°LIMA BELAS°
Jangan lupa tinggalkan jejakmu, bintangmu, dan kesanmu.
Ale dan Hira memasuki gerbang sekolah dan anehnya di jam enam lima belas suasananya sudah sangat ramai. Sudah banyak yang berbaris menunggu kehadiran kedua bintang sekolah itu termasuk Leoni dan Refka. Namun, perhatian kedua remaja itu hanya pada Pak Kepala Sekolah dan sang reporter majalah. Ale menyudutkan bola matanya pada Hira sembari tersenyum kikuk.
“Tuh, Ra, udah nungguin lo. Minta tanda tangan sang diva.” Ale mengguncang bahu Hira oleh bahunya yang bidang. Hira memelototi Ale.
“Issh, paling mau nanya gimana rasanya? Cara ngatasin gugup ala Hira dan Ale gimana? Udah hatam sama pertanyaan itu, Al,” balas Hira mengerutkan hidungnya. Gadis itu tertawa amat bungah saat beberapa anak-anak padus menyambutnya.
Ale memerhatikan langkah dan punggung Hira di antara para gadis-gadis yang bisa dibilang cantik. Tetapi, aura Hira nyaris menyerap aura anak-anak lainnya. Dia selalu tampak menonjol dan istimewa terutama di sisi Ale. Pundak Ale dipukul, menoleh pemuda itu dan Marino juga Radian sudah tersenyum lebar.
“Parasmanan, nggak, nih??” tanya Radian pada Ale. Sembari menunggu jawaban alis pemuda itu naik turun berkala.
“Keponakan gua mau khitan. Di rumah banyak makanan, lo bisa bawa buat makan satu minggu,” sambung Radian. Kedua pemuda itu mengapit tubuh Ale.
Marino, Ale dan Radian melangkah bersama-sama hingga ke kelas. Dan hebatnya, seisi kelas sudah menanti Ale untuk mendapat tanda tangan dan foto sebelum majalah sekolah terbaru luncur akhir pekan bulan ini. Ale duduk pada bangkunya, Sasya mendekatinya, menaruh sepucuk surat dan kotak yang Ale sudah pastikan itu cokelat. Bibir Ale tersungging.
“Makasih tapi gua nggak makan cokelat.” Ale tersimpul, bola matanya menatap sederhana.
“Bukan cokelat. Kata Hira bilang kamu suka pegel-pegel pasca bertanding. Ada beberapa minyak aroma terapi, krim otot dan vitamin,” ujar Sasya dengan senyum lembut. Gadis itu lantas beranjak pada bangkunya yang terletak dekat pintu kelas bersebelahan jendela.
Ale menarik secarik kertas tersebut. Kedua sudut bibirnya terangkat, bola mata Ale berbunga-bunga. Dadanya begitu hangat tatkala batinnya mulai membacai surat tersebut.
(Halo, Ale.
Jangan lupa minum vitamin, ya. Hira bilang kalau kamu nggak sekolah, suasana jadi sepi. Betul, kalau kamu nggak sekolah Bu Endang pasti ngomel. Kita sayang Ale.
Dari Sasya dan seluruh anak-anak kelas IPA.)
Ale menolehkan kepalanya pada Hira yang anteng bercengkerama bersama kawanannya, bahkan tertawa riang. Marino, Aaron dan anak lainnya pun ikut bercanda. Menerbar kebahagiaan hari ini.
Bel berbunyi nyaring, kelas pertama di hari Senin. Seluruh anak-anak pergi ke lapangan untuk upacara bendera seperti biasanya. Baris berbaris dilakukan tanpa aba-aba. Sudah jadi suatu ketertiban naluriah, pasalnya semakin cepat rapi akan semakin cepat pula selesai dan kembali ke kelas.
Ale memandang Hira yang berdiri di seberang, berjajar bersama dengan pasukan paduan suaranya.
Setelah tiga puluh menit berlalu, dengan sepuluh menit waktu tambahan untuk cuap-cuap sang bintang sekolah. Ale dan Hira sama-sama tertunduk seperti biasanya mereka malu-malu. Berbeda dengan Refka yang mengangkat dagu arogan.
Kawanan Ale saling merangkul tubuh atletis pemuda itu. Radian masih menunggu jawaban Ale tentang ajakan tadi pagi sayangnya Ale memilih menemani Hira berlatih paduan suara untuk acara cerdas cermat antar sekolah. Ale rindu, jiwanya begitu ingin mendengarkan Hira bernyanyi.
“Kenapa sih, melow amat dari kemarin?” kicau Ralle dengan tatapan mata mendelik. Bibir Ralle terpilih semu keriting. “Takut Hira digondol Refka secara tadi Refka disebut-sebut kepala sekolah sebagai perwakilan siswa yang berprestasi, ya?”
Radian, Marino dan Aaron tertawa sementara Ralle masih mendelik. Dagu pemuda itu terangkat sedikit, matanya memicing dengan sebelah alis mata terangkat, sudur bibir kanannya tersungging. Wajah kekeh Ralle hanya dibalas senyum simpul oleh Ale.
“Nggak tuh. Semua orang tau siapa yang lebih mumpuni,” singkap Ale dengan santai. Bibirnya menyeringai.
“Aih, bilang aja lo cemburu waktu si Hira tadi bersebelahan sama Refka, foto bareng buat sampul belakang majalah sekolah,” timpal Marino. Tangannya memegangi perut, sudut matanya berair, dan wajahnya memerah. Tubuh berisi Marino bergoyang nikmat mengejek Ale.
“Nggak juga.”
“Terus kenapa, kenapa lo melow?”
“Ngerasa kalau kemarin main kurang bagus aja.” Ale menggulirkan matanya pada jendela dengan senyum meringis.
“Lo bagus tau! Keren dan emang bintang sekolah, Le!” seru Ralle tampak bodoh. Tersenyum lebar memamerkan deretan gigi dengan gingsul tersebut.
“Emm.”
Semua kompak bungkam, tatapan lugu anak-anak di depan Ale membuat pemuda itu mendesah. Ale memutar bola matanya menatap langit-langit. “Kalian pasti tau alasannya,” tandas Ale yang memutuskan untuk keluar kelas meski bapak guru terlihat datang dengan lari tunggang langgang.
“Kasihan si Ale, pasti berita masa lalu itu masih bikin dia kacau. Siapa sih, yang nggak tau sosok Tian Erlangga?” tanya Radian memandang begah.
“E'em, sampai gua kadang emosi dengar anak-anak Galantika main curang dengan manggil-manggil nama bokap Ale bahkan bikin poster pakai fotonya!” geram Marino mengepalkan tangannya lalu dipukulah meja olehnya.
Anak-anak itu mengangguk setuju, tetapi mereka memahami satu hal, jika Ale tidak membalas hal buruk untuk orang-orang yang menghinanya. Justru sebaliknya, memutar segalanya lewat prestasi gemilang walau ujungnya selalu disangkut-pautkan pada kesalahan ayahnya di masa lalu.
“Di kualifikasi nanti kita nggak boleh leha-leha. Kita nggak boleh ngirim Nando ke semi final!”
Semua yang berkumpul di meja Ale setuju dengan ucapan Ralle. Setelahnya mereka kembali ke bangku masing-masing saat pak guru datang untuk memulai.
Sementara kelas akan mulai belajar, Ale tengah membaringkan tubuhnya di tepi lapangan. Menikmati angin di jam delapan ini. Sayup-sayup terdengar suara kepala sekolah dan beberapa pengurus ekskul. Mereka tampak berbincang tentang pertemuan orang tua. Ale merasa begitu kecewa, sebab sejak dirinya mulai sekolah tak pernah ada yang datang untuk menjadi wali dirinya. Pembagian raport selalu Ale ambil sendiri, bayar ini itu pakai yang hasil jerih payah keringat tidak istirahat siang dan malam.
Ale mengembuskan napas panjang. Tiba-tiba perutnya melilit nyeri. Paru-paru pengap sangat. Buru-buru Ale berlari ke kamar mandi. Ulu hatinya seperti dihantam tongkat bisbol yang ayahnya selalu layangkan. Bersamaan itu, perutnya semakin melilit kerubukan karena tak sarapan pagi. Di jam yang bersamaan di kelas, pak guru mencari rimbanya Ale. Dengan senyum bebas, Hira menatap sang guru, gadis itu berkata, “Tadi Ale ke ruang kesiswaan. Mau ambil buku absen, Pak.”
“Coba kamu susul Ale, soalnya ada yang harus bapak bahas. Karena hari ini kelas setengah waktu saja. Bapak ada urusan, daftar siswa untuk CC harus segera disetorkan kepada panitia,” terang pak guru yang langsung disambut hangat nan merah oleh murid kelas tersebut.
Hira langsung melaksanakan tugasnya. Gadis itu tampak kelimpungan karena Hira sebetulnya tak tahu di mana Ale. Kakinya beranjak ke kantin, tetapi hanya ada beberapa senior laki-laki yang memakai seragam olahraga, ke lapangan suasananya masih kosong hanya ada bola-bola dan jaring untuk permainan voli. Hira memutari seluruh pelosok sekolah tapi tak ada tanda-tanda Ale. Hira mengusap tengkuknya dengan gelisah.
“Ke mana Ale, ya?” gumam Hira celingukan. Terlihat bapak penjaga kebun berjalan menentang peralatan berkebun. Gadis itu spontan berlari. “Pak Kadim, lihat Ale, nggak?” tanya Hira cemas.
“Nggak, Non. Bukannya selepas upacara aden ke kantin sama anak Bantarioua, ya?” Pak Kadim balik bertanya dengan canggung pada Hira.
Gadis itu mengangguk lantas menggeleng. “Tadi keluar kelas, terus belum masuk lagi. Di kebun tomat nggak ada?”
Pak Kadim menggeleng rengkuh.
Waktu terus berlalu, Hira datang dengan buku absensi tetapi tanpa Ale. Pak guru tampak heran. Namun, berkat kebohongan putih Hira kelas dimulai saja tanpa Ale.
Langit kebiruan, agaknya menguning akibat matahari yang perlahan-lahan naik. Semilir angin membawa aroma kayu-kayu tua dari runtuhan bangku dan meja yang sudah usang. Selepas dari kamar mandi, suasana hati Ale jadi buruk. Pemuda itu memutuskan untuk menenangkan diri pada rooftop sekolah yang letaknya di atas gudang, lantai lima gedung dua utama di belakang aula.
Ale duduk dengan kaki mengantung di tepian bagunan. Kelopak matanya terpejam erat, bibirnya tipisnya yang merah alami terkatup. Kedua tangan Ale terjulur ke belakang menahan tubuhnya. Seragam yang agak basah di bagian dada kanan itu memberikan sensasi dingin saat angin menerobos masuk, hendak mengeringkan serat kain tipis tersebut.
“Kamu bolos kelas, Al?”
Ale terkesiap, kelopak matanya langsung terbuka lebar. Jantungnya memompa banyak udara dan darah dalam satu hitungan membuat dadanya sesak. Kepala Ale menoleh perlahan, si empunya suara menatap dengan seringai dingin agaknya iba.
“Kenapa?” imbuhnya masih tersenyum.
Suara itu kembali membuat Ale terkesiap dan pedih hatinya.
Bagian 15. Nah, siapa tuh??
Publikasi 150921
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top