°DUA SATU°
Jangan lupa tinggalkan jejakmu, bintangmu, dan kesanmu.
Seluruh warga sekolah berhamburan saat jadwal ujian nasional dipasang di mading oleh pak Kadim. Kawanan Ale berdiri memenuhi mading berbentuk tembok utuh tersebut. Selain informasi ujian, adapula informasi anak-anak berprestasi, agenda harian anak paduan suara, ekskul lainnya hingga nama Ale di dalamnya. Bagi orang tampak sangat luar biasa, tetapi bagi Ale hal itu membuatnya lelah. Ditambah hiruk pikuk rumahnya yang selalu disesaki amarah sang ayah, bau alkohol dan semua gunjingan orang-orang terhadap keluarga, dan masa lalunya. Ale menjadi murung, kehilangan gairah dan arti mengapa dirinya dilahirkan jika kehidupan ini terasa seperti jalannya yang mati.
Di tengah semarak para siswa menyambut UN, sudah hampir beberapa minggu Hira tidak sekolah. Bulan lalu dirinya terapi dan istirahat total setelah menjalani serangkaian rawat inap. Minggu ini sakit Hira kembali kambuh. Ale memandangi nama Hira pada daftar nama siswa pintar dan teladan. Wajah gadis itu selalu cantik, meski sakit menggerogoti hampir separuh jiwanya. Rambut sebahu itu selalu digerai, kalaupun diikat pasti diikat asal menampilkan rambut-rambut halus di area dahi dan pelipisnya. Anak rambut yang membuat wajahnya jadi makin cantik dengan senyum manis. Walau kerap rontok meski disisir jari.
Refka menabrakkan dirinya pada Ale hingga pemuda itu tersungkur mencium dinding. Ale langusng bangkit merasa tak terima. Namun, lagi-lagi jika teringat Hira dan Bantarious, amarahnya cepat hilang. Ale memilih pergi ke kelas, daripada berlama-lama berada di dekat Refka. Dia seperti kotoran yang menjijikkan. Namanya saja sudah bikin enek dan mual. Membayangkan wajahnya ingin melayangkan bogem, apalagi kalau di dekat atau berhadapan dengannya ingin rasa Ale mumukul Refka dengan bat sejauh mungkin.
Dinar melambaikan tangannya pada Ale, melangkah pemuda itu membuntuti sang pelatih. Keduanya menuju kantin, dua minuman dan roti kukus kesukaan Ale sudah ditata di meja. Beberapa waktu lalu pria itu memesan khusus untuk Ale. Meja yang cukup lebar menjadi media, keduanya saling menumpukan tangan di permukaan putih nan dingin tersebut.
“Ayo, dicicip.” Pria itu menyodorkan piring berbahan kayu di hadapannya kepada Ale.
“Terima kasih, Coach.”
“Sambil makan sambil ngobrol, ya. Ada yang harus kamu siapkan untuk beberapa waktu ke depan,” urai pria itu dengan senyum ramah. Kedua bola matanya yang hitam terang memancarkan bias senang.
Ale menikmati santapannya. Matanya tampak kosong, wajah Ale yang tak secerah biasanya membuat Dinar bertanya-tanya. Pria itu mengetuk permukaan meja dengan kuku jarinya. Dinar berdeham, membuat Ale menoleh pada dirinya dengan mata terbuka lebar agaknya terkejut. Ale meraih gelas air jeruk di dekatnya. “Iya, Coach?”
“Kenapa, Al?”
“Ah, nggak apa-apa, kok. Oh, iya, ada hal apa yang mau Coach bicarakan sama saya?”
“Seminggu ini kita libur latihan, ya. Dua minggu lagi kita sambung latihan, kampus tempat ngajar saya minta nilai ujian tulis kamu sama bagusnya dengan nilai non-akademikmu. Pastikan kamu belajar dengan giat.”
Ale mengangguk, baru saja memikirkan jadwalnya Ale sudah lelah. Tetapi, Ale tetap tak ingin terlihat lemah di hadapan siapa pun terutama pelatihnya. “Iya, saya akan belajar dengan giat. Minggu ini saya juga ada agenda pemantapan, dan diskusi mapel UN dengan anak-anak. Ada simulasi juga, Coach.”
Belaian lembut mendarat di pusat kepala Ale, menjalar hangat memasuki bilik-bilik padam dalam dadanya. Sudut bibir Ale terangkat bahagia, selagi sang pelatih asyik mencicip teh manis dingin dari gelasnya. Angin dan suasana yang menyejukkan hati ini, menenggelamkan Ale. Membawanya pada alam bawah dasar, pandangan itu kembali kosong redup.
Bel berbunyi, dan anak-anak kembali ke kelas masing-masing.
Di kelas Ale terus menerus mengamati jam di tangan kanannya. Denting jam dinding membuat kepalanya sakit. Guru silih berganti mengajar, istirahat ke dua datang. Jam pulang tiba berganti dengan jam pemantapan. Ale berjuang menahan rasa sakit kepalanya memikirkan Hira yang Nanda tak izinkan bertemu dengannya. Ale rindu Hira.
Pesan-pesan singkatnya tak Hira balas. Ale paham, jika waktu istirahat gadis itu digunakan untuk tidur di ranjang dan menghafal, meski dirinya sedang tak enak badan. Hira bisa dibilang gila belajar, edan-edanan dalam mempertahankan posisinya sebagai juara umum jurusan IPA, terus berlatih olah vokal walaupun suaranya sudah serak tenggorokannya sudah gatal berat. Hira tetap belajar dengan giat. Katanya, sebagai calon mahasiswa Ahli Gizi dan Pangan, Hira tidak boleh kurang ilmu. Jadi, Hira senang belajar bahkan sejak duduk di bangku SD, dirinya selalu jadi siswi paling menonjol.
Marino menggebrak punggu Ale, hingga pemuda itu terhempas ke meja dengan tangan terbuka guna menahan diri. Sayangnya, karena sakit dan terkesiap, Ale kehilangan keseimbangan. Marino tertawa terbahak-bahak, melihat posisi Ale kini bak cicak menempel di dinding. “Le, panggil pak Syahril. Kalau cepat datang, cepat juga pulang,” kata Marino masih tertawa.
Ale mengembuskan napasnya, bergerak amat pelan mengangkat tubuhnya dari meja. Punggung itu terasa sangat kaku, ototnya seperti ditarik tali karet yang terus mengikatnya erat. Ale menoleh pada Marino. “Sakit, njir!” protes Ale dengan tatapan mata ketus.
“Maaf, buruan sana panggil bapaknya!”
Ale beranjak keluar kelas menuju ruangan guru. Namun, belum beberapa jengkal pak Syahril sudah berjalan ke arah kelas. Ale dan pak Syahril masuk kelas bersama. Pembelajaran dimulai saat seluruh siswa sudah duduk rapi, dan pak Syahril membuka layar gawai, membagikan modul dan lainnya pada anak-anak.
“Kalian kerjakan dulu, nanti kita bahas bersama. Silakan pilih teman kelompok belajar.”
“Siap, Pak!”
Anak-anak mulai berkelompok di meja, bercakap membahas soal. Sementara pak Syahril mengotak-atik gawainya. Ale memandang kertas dengan beberapa soal bercabang tersebut. Ale terngiang-ngiang hari saat itu marah pada Hira. Pemuda itu menelengkupkan wajah pada kertas.
UKS di waktu itu, amat sepi hanya dijaga Jifara di luar membuat Ale sejatinya ingin marah. Tetapi, tak ada kata lain, takut-takut Jifara mendengar ucapannya. Ale berdiri memandang langit dari jendela.
“Kalau lo sakit, pasti kak Nanda marah. Lo sadar, nggak? Kalau lo nggak terapi atau minum obat imbasnya ke kita? Gua lelah, Hira. Gua nggak mau lo sakit. Siapa yang bakal ada buat gua kalau lo sakit??”
“Al … dengar dulu, ya?”
“Gua tuh bingung, Ra. Gua sibuk sama bisbol, dan sekarang lo malah jatuh sakit. Gua nggak mau gagal, gua mohon jangan pernah lupa minum obat. Apa susahnya?”
Hira membuka selimut tubuhnya. Kemudian mendekati Ale yang setia memandang langit. “Aku nggak lupa. Cuma akhir-akhir ini lidah aku beneran mati rasa sehabis minum obat, itu pahit,” bela Hira atas dirinya dan pernyataan Ale.
“Kita udah terbiasa dengan rasa pahit. Tahan aja, itu demi kebaikan lo. Gua nggak mau Nanda marah sama lo. Atau dokter yang nanti malah males periksa lo karena resep obat yang lagi-lagi nggak habis. Buat apa terapi kalau lo sendiri nggak mau sembuh?”
“Aku mau sembuh, kok.”
“Kalau mau sembuh, ya, minum obatnya. Jangan bolos terapi dan jangan sampai males minum vitamin!!” bentak Ale dengan suara bulatnya. Wajah merah pemuda itu membuat Hira terdorong ke dekat ranjang. “Bisa, kan?” lontar Ale lebih santai, meski masih terdengar membentak pelan.
“Iya, aku akan minum obat dengan giat. Supaya bisa selalu bersama kamu,” balas Hira sendu.
“Nggak usah nemenin gua kalau lo sakit. Gua nggak mau lo tambah sakit. Karena gua sayang sama lo. Nggak mau lo semakin lagi,” ujar Ale parau. Kakinya mendekat pada Hira, melingkarkan tangannya pada tubuh Hira yang mungil. Dikecupnya puncak kepala Hira dengan lembut. “Ingat, ya. Lo nggak boleh nonton gua kalau sakit dan bolos minum obat!”
Hira mengangguk sederhana. Meski demikian dirinya mengagumi sikap perhatian Ale. Tetapi, hari ini hatinya terasa sangat sakit bukan main. Seakan dipelintir, dibanting dan dipatahkan. Pasalnya Ale tak pernah semarah ini. Iya, Hira bisa mengerti mengapa Ale marah. Hanya saja, kali caranya sedikit salah.
“Dah, sana istirahat lagi. Gua bakal nunggu di sini sampai Nanda datang.”
Bibir Hira tersimpul cantik.
Kembali ke suasana kelas sekarang, Ale mengangkat kepalanya tatkala anak-anak mulai gaduh membahas soal yang katanya sulit. Ale segera membantunya. Mengajarkan beberapa soal yang sudah dirinya kuasai berkat belajar bersama Hira.
“Ini soal pecahan sederhana, kok. Ribut-ribut kirain sesusah apaan soalnya?” Ale mencorat-coret kertas soal miliknya dengan cepat, wajah santainya membuat anak-anak tersenyum girang.
“Ya, udah, kerjain sama lo!” titah Marino. Dadanya membusung dengan alis mata terangkat. Ale mengembuskan napas sebal.
“Iya, iya, biasanya juga gua yang ngerjain. Kalian kapan pinternya, heh?” cibir Ale kesal. Bola matanya bergulir ke sembarang arah.
Bab 21. Kuotaku tinggal 500MB. Jadi aku up sekarang aja, deh.
Ale marahnya bikin Hira membisu, hem.
Publikasi 200921
#ExclusiveLovRinz
#ExclusiveWritingChallenge
#LovRinzWritingChallenge
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top