°DUA BELAS°

Jangan lupa tinggalkan jejakmu, bintangmu, dan kesanmu.

Matahari menyinari lapangan bertanah merah dilengkapi rumput hijau yang mewah nan megah tersebut. Stadion yang cukup menampung lebih kurang lima ratus jiwa di bangku penonton. Rasa menyengat yang buat kepala berdenyut tak Ale gubris. Dirinya masih sibuk membenahi diri. Meski rasa kesal menyeruak tanpa aba-aba, Ale tetap berusaha merendamnya. Nando dan seluruh anak Galantika benar-benar membuat fokusnya terbagi. Sejak anak-anak paduan suara sekolahnya menyanyikan Hymne sekolah. Mereka terus berteriak dan saling melempar sorak dengan nama ayah Ale—Tian Erlangga.

Ale menghela napas panjangnya. Sebagai seorang pemukul nomor empat Ale tak boleh salah. Pasalnya sudah ada tiga temannya yang sudah mengisi base. Ale hanya perlu membuat sebuah pukulan home run untuk menyudahi pertandingan panas ini. Ale berdiri dengan posisi andalannya. Lututnya semu ditekuk, memasang kuda-kuda yang kokoh. Pandangan mata di bawah topi Bantarious itu menatap tajam. Kilat keseriusannya dapat dirasakan anak-anak Galantika. Bahkan, pitcher di hadapannya merasa ketar-ketir. Ale mengerling sejenak, bibirnya tersenyum mistis.

Bola di tangan sang pelempar melesat dengan cepat. Ujung tongkat Ale bersentuhan dengan pemukaan bola karet berbenang merah tersebut. Sebuah pukulan yang sangat bertenaga menghasilkan home run yang orang-orang selalu nantikan. Ale lantas menaruh tongkatnya sembarang. Berlari melambaikan topi yang dilepaskan dari kepala. Rambut hitam lebat yang agak kecokelatan akibat terbakar matahari itu bergoyang-goyang ulah angin. Satu stadion berteriak menyebut namanya. Sementara itu anak-anak Galantika hanya sibuk mengejek dengan senyum merendahkan dan jijik. Meski demikian Ale tak peduli.

Seluruh anak Bantarious sudah kembali ke home plate. Pelukan hangat dan erat Ale dapatkan dari seluruh teman-temannya di sisi lapangan. Di innings ke tiga, Bantarious memenangi seluruhnya telak dengan nilai empat lawan kosong. Dan seluruh pemain Bantarious tak gagal memukul bola.

“Kita emang selalu percaya kalau Ale bisa!” Fito dan senior lainnya berteriak dengan bangga.

Kepala Ale dibelai, diacak-acak rambutnya bahkan ada pula senior yang menoyornya saking sayangnya pada Ale dan berterima kasih atas segala yang Ale berikan untuk Bantarious, begitu bahasanya. Di antara sekian banyak yang memujanya, sang pelatih hanya memberikan dua ibu jarinya, dengan senyum hangat. Jika saja, dia ayahnya, Ale pikir ingin memeluknya dan mengatakan bahwa Ale lega. Sayangnya, Ale terlalu malu memeluk pelatihnya, apalagi di depan umum. Meski kadang kedua tangan pria empat puluhan itu selalu terbuka untuk anak-anak didiknya.

Di bangku nun jauh di seberang Hira dan Nanda melambaikan tangannya dengan senyum bahagia. Ale bisa merasakan getaran dari bibir Hira yang mengatakan terima kasih dan kerja bagus. Ale segera duduk di bangku tim, setelah tim dinyatakan menang telak. Dan di permainan esok, Bantarious akan menghadapi Orion Jatim 2000.

“Al, gua pikir lo bakal mukul bolanya pelan, soalnya pakai ujung tongkat. Taunya beneran melambung tinggi banget!” ucap Marino berdecak-decak kagum dengan mata berbinar.

Ale hanya meresponsnya dengan senyuman ringkas nan manis. Ale memisahkan diri, menuju lorong yang sebelumnya disinggahi. Ale duduk memeluk lututnya, membenamkan diri dalam topi hitam, bersama tongkat kesayangannya. Ale menarik napas panjang. Walaupun seluruh stadion bergemuruh, orang-orang meneriaki namanya, dan euforia yang tak bisa hening. Jiwa Ale tetap terasa hampa. Seperti serpihan tanah merah yang tertiup angin gersang.

“Kenapa di sini? Nggak diakui sebagai sang pemukul yang hebat, Al?”

Suara yang dibencinya, dimusuhinya dan membuat Ale selalu ingin melayangkan kepalan tangannya, memecahkan keheningan hati Ale. Pemuda itu mendongak, mendapati sosok Nando dan kawanannya tersenyum dengan rasa remeh, tatapannya amat melecehkan. Namun, Ale tetap memilih bergeming dalam pikirannya. Kedua bola matanya memandang langit biru yang terhalang dinding kaca lebar tersebut.

“Heh, lo diajarin sopan santun nggak? Kayaknya anak-anak Bantar Gebang, eh apaan, Bantar apaan?” Nando tertawa lantang, sedangkan Ale hanya tersenyum tipis.

“Belagu banget lo!” timpal Nathan yang berdiri di sebelah Nando. Tangan Nathan mencengkeram kerah seragam kesebelasan Ale. Dan Ale masih menutup rapat bibirnya.

Pikiran untuk tidak memukul, tidak bicara dan sebagainya tetap Ale simpan dalam dadanya. Membiarkan mereka memperlakukan Ale sesuka hati. Dari arah belakang, Dema berlari kemudian mendorong tubuh Nathan dan seluruh kawanan Nando.

“Maksud lo apaan?” tanya Dema dengan seringai galaknya. Tatapan mata cokelat pucat itu membuat Nathan diam. “Gua bisa laporin kalian ke federasi. Jangan anggap gua nggak tau, ya. Gua juga mantan anak asuh coach Bambang, dan coach Firman!” singkap Dema yang sudah tak tahan lagi. Urat-urat lengannya terbentuk jelas menghiasi tangan putihnya yang lenjang.

Nando langsung tersenyum canggung. Pasalnya, Dema juga pernah mengajar di tim bisbol sekolah beberapa waktu lalu. “Maaf, Kak. Kita cuma main-main aja, kok, nggak lebih,” elak Nando. Wajah bak kucing liar itu membuat Dema semakin geram.

“Gua nggak segan. Sekali lagi kalian ganggu anak-anak Bantarious dan adik asuh gua. Federasi akan turun tangan, bahkan pak Sanusi selaku ketua umum Komka bisa depag kalian anak-anak Galantika. Ini bukan kali pertama, ya!” singkap Dema lagi, kobaran api dalam tatapan mata pemuda kuliahan itu sanggup membuat seluruh adik tingkatnya bergeming gemetaran.

Seorang pria berseragam khas pelatih, dilengkapi tanda nama di lehernya—Bambang. Berjalan ke arah Dema. “Kenapa??” tanya pria itu pada Dema yang tak lain adalah anak dari kakaknya.

“Anak-anak Galantika harus dididik lebih lagi. Mereka harus dapat pendisiplinan tambahan. Mereka harus bisa menerima kemenangan lawan. Kalau pak Sanusi tau hal ini, nama Galantika sendiri yang bakal jatuh.”

Mendengar ucapan Dema, coach Bambang langsung menoleh pada Nando dan Nathan juga anak lainnya yang berada di belakang punggung kedua pemuda itu. Bambang mengangguk paham, lalu berjalan dirinya mendekati Ale. “Hai, Le, gimana kabarmu?” tanya pria itu dengan lembut. Senyum manis itu hanya dibalas senyum irit oleh Ale.

“Sampaikan salam baik kami pada pelatihmu. Maafkan sifat kekanak-kanakan Nando dan teman-temannya, semoga beruntung, Le!” ucap Bambang semakin lembut lagi. Nyaris seperti orang tengah berlakon layaknya antagonis berwajah protagonis yang begitu melankolis.

Ale menyudutkan kedua ekor matanya, bibirnya terangkat. “Iya,” balas Ale singkat. Dingin suara dan raut wajah pemuda itu menyihir orang-orang. Mereka menelan ludahnya. Kemudian berbondong-bondong pergi, tinggalkan Ale dan Dema yang berdiri memandang tak suka.

“Lo nggak apa-apa, kan?” tanya Dema sembari memegangi bahu Ale. Senyum Dema siratkan bahwa dirinya pun tak nyaman. Ale menggeleng  setelah Dema menepuk-nepuk puncak kepalanya. “Yuk, coach udah nunggu kita!”

Ale mengikuti langkah sang senior, tongkat berbahan kayu itu dipegangi dengan erat. Entah mengapa tiba-tiba saja Ale ingin memukul angin, gerakannya yang diam-diam membuat Dema menoleh padanya.

“Marah aja, nggak ada yang larang. Gua tau, kok, rasanya jadi lo barusan. Nggak ngelawan bukan karena takut, tapi menghargai yang lebih penting, kan?” Suara Dema yang agak husky itu mampu membuat Ale berkutik. Sorot mata temaram Ale kentara dengan emosi terpendam.

Dema melemparkan sebuah topi berwarna putih dengan sebuah tanda tangan berwarna hitam. Dengan terkesiap Ale menangkapnya, menjatuhkan tongkat kayu kesayangannya begitu saja.

“Masahiro Tanaka, mungkin lo nggak kenal, tapi dia salah satu starting pitcher favorit gua, dia banyak menorehkan prestasi sejak sekolah. Pebisbol termuda yang pernah Jepang turunkan di Olimpiade,” ucap Dema ramah. Kedua bola matanya berbinar cerah.

“Gua harap lo juga!” imbuh Dema.

Ale langsung berlari mengimbangi langkah Dema. Wajahnya berubah berseri-seri. Ale kembali mendapatkan belaian lembut di puncak kepalanya. “Makasih, ya, Kak!”

“Oh, iya, cewek lo mana?”

“Hira?” Ale terkikik. “Itu sahabat bukan pacar.”

Dema tertawa melihat Ale terbakar. Rona merah muda di wajahnya membuat Dema jadi senang menggodanya. Kedua pemuda itu memasuki ruangan ganti. Seluruh anak-anak dan pelatih sudah menunggu. Mereka sepakat membahas kemenangan untuk evaluasi tambahan.

“Kita dapat kabar, kalau sekolah mau ngadain makan-makan. Gimana?” tanya Fito mewakili sang pelatih.

“Nggak bisa, Coach. Saya harus pulang bareng Hira.” Ale terlihat malu-malu kucing. “Ada janji makan masakan kakaknya.”

Pelatih tersenyum hangat, kepalanya mengangguk-angguk. Ale kemudian berkemas, setelah berbincang-bincang sebentar. Keluarlah pemuda itu dari ruangan dengan tangan memegangi tongkat pemukul, satu tangan lainnya memegangi topi pemberian Dema. Hira sudah menunggu melambaikan tangannya.

“Al!” teriak Hira dengan semangat. Wajah bahagia bercampur bangga itu membuat Ale jadi deg-degan. Berjalanlah pemuda itu menghampiri.

Dipasang topi pemberian Dema itu di kepalanya. Ale mengangkat dagunya. “Makin ganteng, kan?” goda Ale mengerling genit. Hira lantas mengusap-usap puncak kepala bertopi putih tersebut. Hira mengangguk pelan.

“Sahabatku ini memang selalu ganteng. Yuk, pulang, kakak udah nunggu kamu!”

Tangan Ale tersemat di antara jemari Hira yang lembut. Keduanya bergandengan tangan, sesekali keduanya bertukar candaan.

Jam 12:14AM. Masih melek, ya udah akhirnya publikasi malam karena nggak bisa tidur walaupun udah minum obat. Ohehee curhat.

Bagian 12. Masih setia nggak, nih? Masih ada yang nunggu nggak kisah selanjutnya?

Publikasi 120921

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top