°DUA°
Jangan lupa tinggalkan jejakmu, bintangmu dan kesanmu.
Di seberang lapang terlihat Hira bersama kawanannya membawa makan siang, gadis itu tampak berjalan dengan salah tingkah saat suara anak-anak meneriaki namanya untuk “dicie-ciein” begitu bahasanya. Hira mendaratkan tangannya di depan wajah, menutupi area dahinya dengan telapak tangan; bibirnya dikulum meski terlihat bahwa dia tengah bersikeras menahan tawanya.
Hira berdiri di depan Ale, lalu menyodorkan kotak makan siang dari kantin sekolah. “Nggak dapat nugget ikan, dan kehabisan salad buah. Cuma makan sama nasi dan sosis goreng saus madu, nggak apa-apa, kan?” tanya Hira dengan raut wajah kurang yakin.
“Nggak apa-apa, kok. Makasih udah dibawain,” sahut Ale yang langsung melahap makanan tersebut. Meski rasanya sama seperti hari-hari biasanya, tapi masakan kantin hari ini terasa sangat nikmat sambil ditemani riuhnya angin pun rindangnya pohon.
Bola mata anak-anak bergulir menggoda, tangannya silih colek pada bahu ke bahu. Ale sadar, dipukulinya mereka dengan tangan yang memegangi sendok, pipinya yang penuh makanan tersebut hampir meledak karena ingin mengumpat. Gelak tawa mereka pecah, begitupun Hira yang senantiasa berdiri mengamati bagaimana Ale makan dengan nikmat hari ini.
Marino berdiri dari duduknya dengan tangan memutar-mutar handuk bagaikan koboi, tangannya merangkul Hira dengan santai yang sontak ditendang kakinya oleh Ale. Marino meringis, terpingkal-pingkal memegangi kakinya.
“Ra, lihat tuh, Ale tuh jinaknya cuma sama kamu doang, sama aku galaknya minta ampun!” ungkap Marino sembari tertawa.
Hira hanya tersenyum samar, dia menggeleng-gelengkan kepala. Melepaskan tangan Marino yang mendarat di bahunya. Gadis itu hanya memberikan tatapan santai atas ocehan Marino kemudian pamit pergi ke kelas, katanya akan membaca buku tugas takut ada ulangan dadakan. Beberapa anak meledek tingkah Marino, sedangkan Ale sibuk makan dan menyuapi Aaron dan dua anak lainnya yang kelaparan setelah main dua inning.
Marino memukul-mukul batang pohon seraya balik meledek anak-anak lainnya dengan merengek-rengek di depan pohon. “Gila, gila, gila, nggak ada kesempatan buat jatuh cinta sama Hira kalau nih orang masih jadi topik utama dalam hidupnya,” sindir Marino.
“Cinta gimana muka, sih, Mar.” Ale dan Aaron tertawa. Dua anggota tim yang dikenal tampan itu melemparkan botol bekal minumannya pada tubuh Marino yang menggeliat bagai cacing di depan batang pohon.
Hira melirik, angin yang terbangkan rambutnya semakin memperjelas bagaimana wajah gadis itu terbakar akibat salah tingkah. Memandangi Ale dari kejauhan membuatnya senang. Dia makan lahap, dia bahagia, dia semangat latihan dan tak ada yang bisa mengalahkan pukulannya; dia juga tampan jika tengah tertawa seperti saat ini berguyon bersama kawanannya. Ale itu seperti batu karang, kokoh, kuat dan tahan banting di luarnya. Tapi, seperti dasar laut, tak bisa ditebak di dalamnya.
Ale bersendawa, kemudian meneguk sisa air pada botolnya. Dia menatap Marino, lalu bertanya dengan santai, “Emang gua jinaknya di depan Hira, doang?” cibir Ale penasaran.
“Emang lo terima kotak makan yang dibawa para primadona sekolah, walaupun ada nugget ikan kesukaan lo? Terus, kalau Leoni ngasih lo kebon tomat ceri lo respons?” Marino dan anak-anak lainnya tertawa nikmat, sambil mengejek Ale. “Kagak, lo kan galak plus cuek sama cewek lain.”
“Nggak suka aja, caranya alay.”
“Padahal nih, ya, cewek secantik Hira lebih cocok sama gua, Al,” Aaron menimpali dengan candaan yang serius. Gelak tawa anak-anak kembali membuat keadaan di sekelilingnya bergairah.
Ale tersenyum, penuh sipu malu, dia berdeham. Ale menyahuti, “Kalau Hira mau, boleh. Tapi dia nggak suka sama cowok ganteng, sukanya sama cowok atletis plus romantis anti melankolis.”
Ale berbenah diri saat bel istirahat selesai terdengar.
Sepulang sekolah dan dua kali latihan, Ale menyambangi warteg. Bau aroma masakan yang sedap gurih membuat Ale meringis, sebab dia hanya bisa beli nasi dan tempe orek seharga delapan ribu. Tak ada rasa umami untuk lauk makannya hari ini, bekal uangnya habis karena harus bayar uang kas kelas dan kas eksklul. Ale memandang lauk ayam goreng serundeng yang masih berasap, liurnya sudah banjiri seluruh rongga mulut. Ale bergegas pulang, setelah santapan makan sorenya selesai dia beli.
Langkah kaki terseok-seok itu berhenti di depan pagar rumah sederhana dengan halaman tidak terurus. Tangannya mendorong gagang pintu, Ale berseru, “Aku pulang!”
“Langsung masukin seragamnya ke cucian, guru-guru kamu telepon Bunda, katanya seragam sekolah kamu kotor dan bau!” sahut sang ibu yang berdiri di depan kulkas sambil menungkan air ke cangkir.
“Bukan jadwal nyuci,” balas Ale dengan keki.
Sang ibu lantas menghampiri, bibirmya yang merah cabai mulai keriting penuh omelan. Tak diindahkan oleh Ale, pemuda itu segera membanting pintu kamarnya. Melemparkan tas ke sembarang tempat, lalu membuka bungkusan nasi tempe oreknya dan makan di lantai dengan lahap. Percakapan orang tuanya terdengar jelas dari kamar, Ale mendesah kesal. Makan sorenya seperti hambar-hambar saja walaupun perutnya tak lagi keroncongan. Ale keluar dari kamarnya, dengan mata celih pemuda itu memandangi wajah kedua orang tuanya.
“Kenapa aku harus nyuci bajuku sendiri, bahkan sejak pertama aku pakai seragam putih merah itu aku cuci sendiri. Apa Bunda nggak ingin mencium aroma keringatku yang penuh ambisi ingin juara kelas?” tanya Ale dengan memaki. Wajahnya yang merah gambarkan rasa emosinya.
“Kamu kan tau kalau Bunda sibuk cari duit, karena Ayah kamu nggak sanggup banting tulang sebagai kepala keluarga?” Sang ibu menjadi geram, suaranya berubah garang.
“Kenapa aku dilahirkan kalau akhirnya membuat kalian merasa bahwa ini adalah sebuah beban? Aku lelah, mengejar banyak prestasi tapi hasilnya kalian tetap mengeluh.” Ale meneguk ludahnya, memandang tajam kedua wajah orang tuanya yang juga terlihat ingin marah.
“Aku menghasilkan banyak uang, untuk bayar ini dan itu, kalian hanya perlu mendukung aku, minimal sambut aku ketika pulang, atau semangati aku ketika hendak pergi sekolah, aku nggak minta makan, atau jajan. Karena aku dapat uang latihan setiap minggunya. Aku hanya minta kalian berhenti merasa bahwa aku hanyalah beban, aku lelah.”
Ale meninggalkan rumah, dengan emosi yang belum mereda dan seragam yang masih melekat belum diganti. Pemuda itu mendongak sambil melepaskan napas berat yang panas ke udara. Wajah langit yang biru pekat dengan gundukan awan padat membuat pemuda itu meringsut. Tangannya memijat cukang hidungnya yang berkedut nyeri. Ale putuskan mengunjungi Hira, gadis itu bilang kalau hari ini tidak ada latihan vokal atau sejenisnya. Mungkin, rumah Hira bisa jadi tempatnya berteduh hingga malam tiba.
Kepalan tangannya mengetuk-ngetuk permukaan pintu rumah Hira, satu sampai tiga kali tak ada jawaban. Hingga seorang wanita muda membukakan pintu dengan wajah datar nan cuek. Senyum manis terbit di wajah Ale, hendak melunturkan perasaan getir di dadanya. Namun wanita itu tak peduli.
“Mau numpang makan?” tanya singkat wanita itu. Dia Nanda, kakak perempuan dan satu-satunya keluarga yang Hira punya selepas orang tuanya meninggal dunia.
“Ah, Kak Nanda, nggak lah, aku datang cuma mau ketemu sama Hira. Ada yang harus aku tanyakan.” Ale mengelak sambil memalingkan wajahnya ingin marah lagi.
“Hira-nya ada, nggak?” Ale mempertegas kedatangannya lagi.
“Ada,” balasnya singkat. “bentar, ya.”
Ale mendesah pelan. Kedua bola matanya bergulir ke sisi. Sedangkan bibirnya terangkat sebelah dengan kecut. Kakinya mengetuk-ngetuk permukaan lantai sebab letih. Nanda, di mata Ale sangat menjengkelkan terkadang membosankan dan sedikit menyinggung.
Tak berselang lama, Hira muncul dengan pakaian santainya, rambut yang dicepol asal dan kacamata super tebal hiasai wajah tirusnya. Hira melepas kacamatanya, dia berkata, “Eh, kamu, ada apa? Aku lagi nugas, nih.”
“Mau tanya soal PR, besok ada PR apa aja?” tanya Ale dengan canggung. Tangannya menggaruk-garuk kulit kepala, Ale cekikikan bagaikan orang bodoh. Pemuda itu memilin bibirnya kemudian termenung beberapa jenak. “Emmm, lupakan aja, deh. Gua balik kalau gitu,” imbuh Ale dengan wajah tak enak. Pemuda itu membalikkan tubuhnya, beranjak dari tempatnya bertamu.
Hira menarik bahu Ale, membuat bola mata pemuda itu melirik. Ale memandang tak bersemangat, kedua sudut bibirnya terangkat lesu. “Apa, Ra?” tanya Ale celih.
“Bantuin aku mengerjakan tugas, yuk?” tawar Hira dengan mata berbinar. Bibir Hira melengkung menunggu Ale mengiyakan ajakannya. Namun, mendengar embusan napas sang sahabat yang berat membuat Hira akhirnya mengatupkan bibir. Memilih memalingkan wajah saja.
“Nggak, deh. Kak Nanda nanti marah kalau kita ribut.”
Hira terlihat kecewa berat, tetapi Ale tak ingin peduli untuk saat ini. Dia datang untuk menenangkan pikirannya, bukan untuk memperkeruhnya. Ale pamit dengan segera.
Bagian DUA, sudah bisa dibaca oleh teman-teman semuanya.
#ExclusiveLovRinz
#LovRinzWritingChallenge
Publikasi malam.
Bandara, 020921
AVA.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top