°DELAPAN°

Jangan lupa tinggalkan jejakmu, bintangmu, dan kesanmu.

Jam pelajaran dimulai kembali setelah istirahat lumayan panjang. Ale masih melamun meski guru memerintah seluruh anak untuk segera mengerjakan tugas mereka. Pandangan kosong lurusnya ke papan tulis, Ale benar-benar tak mendengarkan sepatah kata pun dari sang guru. Ale menguap, menjatuhkan kepalanya di atas meja tanpa sadar. Hira meneguk ludahnya, dia hanya bisa mengusap dada saja. Jam berlalu, sudah masuk jam berikutnya dan Ale masih tertidur pulas di atas meja tak pedulikan guru yang berkali-kali mencatat namanya pada buku catatan.

“Jadi apa kesimpulan dari pelajar hari ini, anak-anak?” tanya sang guru seraya menyapu pandangannya ke segala arah.

Ale mengangkat tangannya, dengan wajah segar dia tersenyum. “Belajar dari kisah Aladdin, meski diberi tiga kebebasan untuk meminta, tetap aja manusia harus berusaha. Sebab, Jin pun nggak sanggup mengubah hati putri Jasmin untuk Aladdin. Begitupun manusia, hatinya nggak bisa berubah tanpa ada niat untuk berubah atau merubah,” ucap Ale sambil menatap sendu.

“Lantas kapan kamu akan berubah, Al?” Ibu guru berkomentar dingin.

“Kalaupun diberi kebebasan untuk berubah, aku nggak akan berubah, Bu. Aku suka jadi Ale.”

Sang guru tersenyum hangat, lalu mengangguk sederhana. “Kamu tidur aja bisa menjawab pertanyaan Ibu dengan baik, apalagi kalau melek. Ibu harap, satu hari nanti kamu bisa membuka matamu menyaksikan papan proyektor menyala selama hampir sembilan puluh menit di kelas ini,” tuturnya dengan bijaksana.

Ale hanya tersenyum dingin, bukan tidak niat hanya saja kelelahan setelah membaca evaluasi grup Line dari para senior.

Hira melirik Ale, padahal tadi pagi wajahnya sangat sangat ceria bahkan tertawa bersama-sama, sekarang begitu kusutnya, wajahnya mendadak kusut bukan main. Gadis itu meraih ponselnya yang diletakan di kolong meja. Mengirimi beberapa pesan gambar untuk sang sahabat, kemudian menoleh lagi pada Ale yang sudah menatapnya dengan senyum hangat. Bibir Ale bergerak pelan, terdengar syahdu suaranya tatkala berkata, “Makasih, Ra.”

Hira mengangguk senang.

Bel pulang berbunyi, tepat pada pukul empat. Sebab setelah rapat seluruh pembina ekstrakurikuler akan lebih baik jika jam dipangkas. Apalagi menuju Komka, anak-anak jadi punya jadwal latihan intensif tambahan.

Ale mengganti seragamnya dengan seragam latihan, beberapa perlengkapan latihan memukul pun sudah dirinya siapkan bersama anak-anak lainnya. Ale tampak bahagia, Hira dengan serius duduk di tepi lapangan dengan earphone pemberiannya bulan lalu saat uang latihan cair. “Emm kalian lari dulu, ya, gua mau ke kamar mandi!” titah Ale buru-buru.

Kakinya berlari menuju kamar mandi belakang kantin, sembari celingukkan sana-sini berharap Hira menangkap radar kepergiannya dari lapangan. Tetapi sepertinya gadis itu sibuk bersenandung di tempatnya duduk. Ale terdiam sambil menatap wajah Hira dari samping, angin yang tiupkan helai-helai rambut sebahunya membuat gadis itu tampak semakin cantik. Hira menoleh; Ale segera memalingkan wajahnya sembari tersenyum canggung, merasakan dadanya seperti digelitk banyak semut kecil. Ale berdecak, “Dia selalu aja bikin gua ngerasa tertekan dengan paras cantiknya.” Ale bergegas.

Ralle dan Aaron membawa body protector, masker pelindung bagi catcher dan leg protector untuk tungkai bawah. Kedua pemuda itu tampak bingung saat Ale tak ada di lapangan untuk lari bersama yang lainnya. Aaron meletakan perlengkapan di atas kursi kayu panjang tempat biasa mereka istirahat, lalu melakukan peregangan sebelum bergabung dalam barisan untuk lari. Tak berselang lama Ale kembali dengan wajah sedikit lembab, rambutnya pun basah. Pemuda itu berlari masuk barisan bersama lainnya.

“Udah berapa putaran?” tanya Ale pada Marino yang memimpin barisan. Marino mengangkat empat jemarinya tanpa menoleh. “sebelas lagi, ya, yok semangat!” seru Ale menyusul teman-temannya dengan lari yang lebih cepat tetapi stabil.

Tujuh menit berlalu, beberapa di antara mereka sudah kelelahan begitupun Marino. Ale masih berlari dengan prima, tak pedulikan kawanannya yang sudah demo minta waktu untuk minum. Aaron melambaikan tangan, dia berteriak, “Ada chat dari couch!”

“Apa?” sahut Ale menghentikan larinya, menghampiri kerumutan di tepi lapangan. “Apaan?” tanya Ale dengan wajah berkerut penasaran. Pemuda itu meluruskan kakinya sambil sedikit digoyang-goyangkan agar tidak keram atau menyebabkan kesemutan.

Fix, lo pada bakal pakai baju baru, walaupun lebaran udah lewat.” Aaron membalik layar ponselnya pada wajah-wajah kawanannya. Pemuda itu tampak sedikit mengangkat dagu, katanya lagi, “desain gua, kita bakal pakai seragam baru desain gua.”

Marino dan lainnya terkejut kemudian tertawa terbahak-bahak. “Seriusan? Wah, akhirnya ganti seragam juga, dah risi, nih, pakai seragam yang motifnya samaan sama alumni, mana agak kuno warnanya.”

“Iyalah, masa, iya, gua bohong. Luntur dong ganteng gua kalau bohong,” kelakarnya dengan percaya diri.

“Keren, dong?” Ale ikut nimbrung.

“Iya, kata pihak sekolah, kompetisi ini bergengsi. Jadi, nggak boleh mengecewakan. Mainnya keren kalau seragamnya kuno, kan, nggak etis juga,” cibir salah seorang dengan gerakan alis dan bibirnya yang naik mengejek.

Semuanya mengangguk setuju. Setelah beberapa menit bercakap-cakap tentang seragam, Ale kembali mengintrupsi untuk latihan sesuai dengan perannya.

Ale memutar lengannya ke samping, menstimulus sendi bahunya agar tidak kaku. Gerakan naik turun, dan sedikit putaran ke dalam sejajar dada dilakukannya delapan hitungan. Ale meraih tongkat pemukul, bersiap dengan posisi berdiri tegak dengan lutut agak diteguk ke dalam. Matanya menatap lurus, membayangkan sang pelempar menatapnya. Kelopak matanya turun perlahan, lalu naik lagi dengan cepat. Tangannya mengayunkan tongkat, merasakan bahwa permukaan tongkatnya menghantam bola. Lagi, Ale melakukan gerakan yang sama sebanyak sepuluh hitungan.

Marino berdiri di depan Ale sembari memutar-mutar tangannya mengambil ancang-acang untuk melemparkan bola pada Ale. Terlihat betul bagaimana Marino tampak gugup, napasnya yang panjang dan berat bahkan terasa oleh Ale meski keduanya berjauhan. Ale mengangguk siap, sedangkan Marino memutar lengannya, meleparkan bola ke arah Ale dengan kilat, tetapi bolanya melesat tak terkendali.

Ball one!” teriak Aaron yang mengamati dari sisi lapangan.

“Santai, Mar, fokus!” Ale ikut berteriak menyemangati.

“Oke, oke!” sahut Marino dengan antusias.

Marino kembali ke posisinya, menarik lengannya ke belekang dan mendorong bola pada Ale dengan cepat, akan tetapi bola lagi-lagi melesat tak terarah. Pemuda itu tampak murung, sudah dua kali ball, dan akan merugikan tim jika ini terulang dalam pertandingan nanti. Marino mengedikkan kepalanya, lantas menatap Ale untuk meminta semangat. Ale berseru dengan lantang seraya mengayunkan tongkat pemukul di tangannya.

“Semangat, semangat, bakar semangat kalian menuju kompetisi di depan mata!!” soraknya berapi-api, semua yang ada ikut bersorak menciptakan sensasi membawa.

“Ingat, Mar, bolanya di lempar ke strike zone jangan ke mana-mana!” timpal Ralle dan Radian yang menyaksikan di sisi dirinya.

Sementara itu di tepi lapangan, Hira menatap sahabatnya yang begitu tampan di bawah sinar senja yang keemasan. Topi di kepalanya semakin membuat dia tampak menawan, apalagi semangatnya yang bergelora semakin buat senyum di bibirnya manis. Hira menggelengkan kepalanya malu-malu. Menarik napasnya sedalam mungkin, kemudian diembuskan perlahan menikmati musik yang mengalun di telinganya juga tampannya wajah Ale secara bersamaan adalah suatu kebahagiaan.

“Ngelamun terus, mikirin Ale, ya?” celetuk seseorang yang tak lain adalah Kirara.

Hira langsung terkesiap, di wajahnya ada senyum canggung yang masam. “Enggak, kok. Nggak mikirin Ale,” elaknya memalingkan wajah menutupi rasa salah tingkahnya yang manis.

“Jangan bohong.” Kirara menyenggol bahu Hira sembari tertawa nikmat. Sesekali mencolek hidungnya dengan genit.

“Ih, Kakak, apaan, sih?!”

“Nggak apa, dong, jangan sahabatan mulu. Jadian kek, kan, sama-sama barengan,” kicau Kirara semakin suka melihat Hira salah tingkah.

“Ih!!” Hira melayangkan tangannya ke lengan Kirara. Memukulnya dengan sebal, meski demikian keduanya masih tertawa-tawa bahagia.

“Oh, iya, Ra. Ale ganteng, ya?!” tanya Kirara tiba-tiba saja mengalihkan pembicaraan. Lantas Hira mengangguk setuju.

“Cocok nggak sama primadona sekolah?”

“Cocok aja. Asal mau.”

“Iya, kamu mau nggak?!”

Hira kembali memukul Kirara, baru saja tegang sudah dibuat tertawa lagi.

“Aku pulang duluan, ya. Tuh, Iden udah selesai latihan.” Kirara pamit saat kekasihnya Iden—yang juga anak ekskul bisbol satu angkatan lebih tua dari Ale—selesai berbenah. Pasalnya Iden hanya latihan menangkap bola lambung.

“Ketemu besok, ya, Ra! Sekalian tolong urus Leoni, dia kerjaannya bikin rusuh tim. Sampai ngancam anak-anak buat tukeran posisi. Awas, ya, kalau kamu sampai kasih posisimu ke dia!”

“Siap, Kak!” seru Hira semangat.

Bola mata Hira kembali tertuju pada Ale yang masih membantu Marino. Dan beberapa anak juga masih menyemangati. Bapak kepala sekolah terlihat senang berdiri di dekap pos istirahat satpan sekolah. Bahkan sesekali memuji dengan tepuk tangan meriah.

Senja sudah habis, bahkan sisanya saja tak ada. Langit semakin keunguan, samar biru terang di ujung nirwana. Hira berbisik, “Aku yakin kamu bisa, Al. Kita semua sayang kamu.”

Bagian 8. Ternyata Leoni main curang. Ale semangati Marino yang suka pecicilan. Dan semua sayang Ale.

Publikasi 080921

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top