Iya
Esa tersenyum setelah menemukan ribuan rupiah di sebuah kotak kecil penuh darah, yang dia temukan dekat dengan Tempat Kejadian Perkara sebuah kasus pembunuhan berantai. Matanya menelisik melihat tempat gelap yang tampak familier di depannya.
Pintu terbuka. Seseorang masuk ke dalam ruangan tersebut. Senyum kecil tersungging di bibirnya setelah dia melihat orang itu datang dengan membawa beberapa stoples transparan, yang berisi cairan kekuningan di dalamnya.
“Kamu orang yang mengoleksi cairan urine manusia ini?” Petugas berseragam kepolisian bertanya, sambil menaruh stoples tersebut di atas meja.
Laki-laki berpupil hitam menyeringai sebelum melirik pintu besi di ujung ruangan.
“Iya,” ujarnya.
Petugas berkulit sawo matang menunjukkan selembar kertas berisi identitas laki-laki tak dikenal. “Apa kamu juga yang membunuh Direktur Swalayan itu?”
“Iya.”
“Ada berapa mangsamu selama ini?”
Esa terdiam sambil memeluk setumpuk uang berwarna merah. Dirinya mencoba berpikir sesaat sambil tersenyum memperhatikan lawan bicaranya. “Iya.”
Sepasang mata petugas itu berputar mengikuti arah jarum jam. Laki-laki tersebut menghela napas sambil memejamkan mata. “Jadi, apa dalang di balik semua kejadian pembunuhan ini adalah kamu?” tanya petugas tersebut sambil memperlihatkan beberapa lembar lagi identitas orang-orang yang telah meninggal dengan kasus pembunuhan selama setahun terakhir.
“Iya.”
Suara dentingan kaca terdengar saat dirinya mencoba menyentuh stoples berisi cairan urine. Sementara petugas di depannya masih belum kembali membuka kelopak mata, Esa kini mencoba menghirup cairan yang dapat membawanya ke dalam fatamorgana. Stoples berisi cairan berbau tidak mengenakan yang kini penutupnya telah terbuka, dijilatnya beberapa kali sambil wajah laki-laki itu terbenam di sela-sela lubang benda kaca itu.
“Jangan melakukan hal-hal aneh!” Petugas interogasi memukul dia menggunakan papan jalar.
Esa hanya tersenyum mendengarkan perkataan tersebut. “Iya.”
“Jangan selalu berkata iya! Kamu harus berpartisipasi dalam penyelidikan ini agar kita sama-sama enak.” Petugas bertubuh berotot melirik sekilas ke arah Esa, walau tidak mengalihkan pandangan dari catatan aneh yang dibuatnya. Orang itu memberikan tatapan jijik begitu melihat perbuatan laki-laki yang penampilannya urak-urakan. “Kembali ke topik. Berapa lama kamu merencanakan suatu pembunuhan hingga masa eksekusi?”
“Tidak.”
“Tidak?”
“Iya.”
Orang bersuara serak itu melempar pulpennya ke atas meja. Pandangan laki-laki pujangga itu melotot sambil mengepal tangan demi menahan amarah. Di sisi lain, Esa memicingkan mata begitu nametag petugas tersebut terpampang di depannya. Dia tersenyum begitu mengetahui nama orang yang kini mengganggunya.
“Tolong jawab lebih serius!” serunya.
“Iya.”
“Siapa yang akan kamu bunuh selanjutnya?”
Senyum Esa merekah dengan sempurna saat mendengar pertanyaan tersebut. Jantungnya berdetak lebih kencang setelah memperhatikan satu stoples cairan urin lagi yang belum terisi penuh. Mulut laki-laki itu mulai bergerak berusaha mengeluarkan beberapa kata.
“Abdi Kismial.” Esa merogoh kotak berisi uang yang ada di atas meja. Sebuah pistol dengan pelatuk menyala bersiap membidik kepala seseorang. Tangannya bergerak mengarahkan pistol tersebut dengan mata penuh binar, memperhatikan raut ketakutan orang di depannya yang kini dalam keadaan tidak siaga. “Apa yang harus aku lakukan setelah ini? Meminum urinmu terlebih dahulu atau membunuh semua orang yang ada di tempat ini?”
Suara tembakan terdengar. Darah mengucur membasahi seisi meja setelahnya. Kemudian, Esa mengambil stoples kaca yang ada di depannya. Dia mulai berjalan pelan ke arah Abdi sambil menenteng stoples tersebut.
_____
Cermin by rifuriqi
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top