12. People Ccome and Go

Suasana gelap di dalam kamar sederhana berukuran sedang milik sebuah hotel yang semalam disewanya bersama Jimin menyambut pagi Anna. Wanita itu terbangun dengan napas tersengal usai mengalami mimpi buruk dalam tidurnya. Tangannya bergerak acak meraba meja nakas di samping tempat tidur untuk mencari air minum.

Usai menghabiskan hampir setengahnya, kembali ia meletakkan gelas pada tempat semula. Kini tangannya beralih meraba benda lainnya di samping gelas. Sebuah ponsel pintar keluaran terbaru yang sama sekali tidak bisa menyala saat ini.

"Ah, sial! Kehabisan daya!" Ia terus saja merutuki dirinya sendiri yang kelewat ceroboh hingga lupa membawa charger. Namun, sepersekian detik setelahnya terlintas objek lain yang dapat ia salahkan atas kecerbohannya kali ini.

"Hwang Jimin sialan! Gara-gara ngajak aku pergi sejauh ini secara tiba-tiba, aku jadi lupa bawa charger, kan!"

Dengan gerakan tergesa, Anna segera menyibak selimut dan bergegas keluar kamar. Ia setengah berlari menuju kamar sebelah yang sengaja dipesan Jimin agar mereka tidak berjauhan. Tidak peduli jika nantinya akan ada orang yang menatapnya aneh, wanita itu terus saja mengetuk pintu secara brutal agar si pemilik kamar segera keluar.

Sudah hampir dua menit Anna mengetuk, tetapi tidak mendapat sahutan. Ia bermaksud memaki sebentar lalu meminjam pengisi daya milik lelaki itu. Namun, saat pintunya tak juga terbuka membuatnya sedikit khawatir akan kondisi pria yang ia tinggalkan tertidur dalam keadaan mabuk semalam itu.

Gimana kalau dia sakit? Atau ia tersedak saat tidur dan enggak sadarkan diri, lalu meninggal? Astaga, aku enggak mau repot ngurus hal kayak gitu!

"Hwang Jimin! Kamu enggak meninggal 'kan, di dalam?" panggilnya setengah berteriak. Ia mulai panik, takut jika terjadi sesuatu di dalam sana. Berniat menghubungi pihak hotel untuk membuka pintu secara paksa jika laki-laki itu tidak juga membuka pintu dalam lima menit ke depan. Namun, belum sampai hal itu terwujud, tangan mungilnya tanpa sengaja menarik kenop pintu yang ternyata dapat terbuka dengan mudah.

Dasar pria ceroboh! Bisa-bisanya dia tidur tanpa ngunci pintu?

Anna terbelalak kaget saat melihat isi kamar Jimin. Ia ingat semalam ia meninggalkan pria itu dalam keadaan mabuk, tetapi kamarnya masih baik-baik saja. Namun, kini ruangan sederhana itu sudah terlihat kacau dengan kaleng minuman beralkohol yang berserakan. Bahkan sang penghuni tengah tertidur di atas sofa dengan tangan menggantung memegang ponsel.

"Tubuhmu bisa sakit kalau tidur kayak gitu, Bodoh!" ucapnya meski ia tahu tidak akan mendapat jawaban dari lawan bicara.

Ia melangkah mendekat, bermaksud untuk membenarkan posisi Jimin. Meraih ponsel di tangan pria itu, lalu membenarkan tangannya. Namun, ponsel yang tidak sengaja tersentuh itu rupanya tidak terkunci. Matanya menangkap aplikasi mengirim pesan yang terbuka begitu saja memenuhi layar. Pikirannya terus memberontak untuk mengabaikan tampilan layar itu. Namun, hatinya berkata hal lain saat menatap nama kontak yang ada di sana. Choi Sera.

Pandangannya tidak bisa bisa teralihkan ketika menatap deretan kalimat yang tersusun dalam isi pesan tersebut. Seluruh pesan yang ditujukan hanya untuk satu orang. Namun, anehnya Anna tidak melihat ada satu pun pesan balasan dari sosok yang dituju.

Sera, kamu di mana?

Hari ini pernikahanku. Aku gugup banget.

Sera, aku nggak lihat kamu di antara para tamu. Kamu beneran nggak datang, ya?

Sayang, kamu marah, ya? Aku pasti jahat banget. Angkat telepon ku, ya? Kumohon.

Anna gemetar saat menggulir layar semakin ke atas. Membaca deretan pesan selajutnya yang menimbulkan rasa nyeri di dalam dadanya. Kepalanya membayangkan untaian kalimat itu keluar dari mulut Jimin, rasanya bak terbakar gelenyar perasaan aneh yang tak dapat ia terima. Ia sangat mencintai kekasihnya, dan aku begitu tega merusak hubungan mereka.

Selamat pagi, sayang! Hari ini kita ketemu, ya? Sebentar lagi aku jalan ke rumahmu.

Sera, aku beli kue kesukaan kamu, nanti kita sarapan bareng, ya?

Aku udah di depan, kamu kok enggak keluar, Sayang?Buka pintunya, aku kedinginan.

Anna tertegun membaca deretan pesan itu. Ia baru menyadari Jimin mulai banyak termenung sejak kemarin setelah pulang ke rumah. Jadi, lelaki itu pergi mengunjungi kekasihnya pagi-pagi sekali. Satu bulir air mata tiba-tiba saja menetes dari pelupuk matanya. Ada rasa nyeri di dalam dada yang tak dapat ia kuasai. Sekuat hati ia menolak, meyakinkan diri bahwa ia tidak mencintai Hwang Jimin. Namun, rasa sakit yang kini dideritanya usai membaca pesan Jimin untuk Sera, mulai menarik opsi jawaban lain di dalam kepala wanita itu.

Sera, Bibi Choi bilang, kamu pergi. Kamu beneran ninggalin aku? Bukannya kita udah berjanji enggak akan menyerah? Kubilang tunggu sebentar lagi, Sayang. Kamu enggak percaya aku? Aku nggak cinta sama Annastasia.

Satu pesan terakhir yang Anna baca membuat pertahanannya runtuh seketika. Ia merasa sekujur tubuhnya lemas tanpa mampu membendung air mata. Ia berusaha menahan isak agar tidak membangunkan yang sedang tertidur. Bergegas mengembalikan ponsel milik Jimin dan kembali ke kamar. Setidaknya, pria itu tidak boleh melihat ia yang tengah menangis tersedu usai membaca pesan pribadinya.

*****

"Gimana makanannya?" tanya Jimin sambil menatap lurus pada mata Anna yang tampak kikuk di hadapannya. Wanita itu kebingungan akan sikap pria di hadapannya ini. Sebab pagi-pagi sekali Jimin sudah mengetuk pintu kamarnya dengan seutas senyum ceria di wajahnya. Sangat jauh berbeda dengan keadaan yang Anna jumpai semalam saat ia tertidur. Ditambah deretan pesan yang ia kirimkan pada Sera, lelaki itu terlihat begitu frustasi akan masalah yang menimpanya. Namun kini, ekspresinya sungguh tidak menggambarkan kesemrawutan hidupnya.

Tidak tahu akan kebingungannya sendiri, Anna hanya dapat mengangguk tanpa minat menjawab lebih selain, "Lumayan." Tidak sepenuhnya berbohong, karena jujur saja Anna menikmati menu sarapan pagi ini. Hanya saja pikiran dan perasaannya yang sedang dilanda kebingungan membuatnya menatap tanpa minat pada seporsi avocado toast yang disajikan bersama dengan secangkir teh hangat. Meski bukan sarapan andalannya, tetapi Anna tetap dapat menikmati itu.

Jimin tersenyum hangat dengan anggukan kecil dari kepalanya. "Habis ini kita jalan-jalan, ya? Kayaknya banyak tempat bagus di Sokcho."

Namun, buru-buru Anna menolak dengan gelengan keras. "Enggak bisa! Aku ada rapat penting di kantor, jadi harus buru-buru pulang." Bukannya menyetujui, Jimin malah tersenyum aneh dengan wajah yang sulit diartikan oleh lawan bicaranya.

"Rapatnya ditunda besok, kok. Aku udah bicara sama Seojoon Hyung," jawabnya santai dengan satu cengiran bodoh dari wajah menggemaskannya.

Seketika membuat Anna mendelik kaget. Ia merasa tidak terima akan tindakan Jimin yang seenaknya menunda rapat penting pada pekerjaannya. Ditambah Kim Seojoon yang dengan seenaknya memberi persetujuan, sementara dirinya harus merengek setiap kali meminta izin untuk mengambil libur saat mengurus pernikahan. Dunia memang tidak adil bagimu, Annastasia.

"Kok, bisa? Seojoon kasih kamu izin semudah itu?" tanyanya penasaran. Membuat Jimin tersenyum penuh kemenangan. "Tentu, karena aku anak baik."

Kamu enggak tahu aja, aku harus menjanjikan tiket liburan ke Jepang untuk memintanya memberimu izini hari ini.

*****

Embusan angin pantai menerbangkan rambut Anna yang tergerai indah terlihat sedikit berantakan. Namun, gadis itu tampak tidak peduli, karena kini netranya asik menikmati pemandangan hamparan pasir putih juga birunya laut di hadapannya. Suasananya yang tidak begitu ramai di pagi hari menjelang siang, benar-benar membuat ia terkesan pada tempat ini. Kini ia dapat melupa sejenak akan penatnya kehidupan yang baru saja ia jalani usai mengucap janji suci sebuah pernikahan.

Mereka bahkan baru menikah dua minggu yang lalu. Namun, rasanya beban yang harus ia pikul sudah sebesar Gunung Everest. Ia bingung ke mana harus melangkah. Hanya dapat mengikut ke mana arus akan membawanya berlayar bersama rumah tangga barunya. Meski akhir sudah dapat diprediksi, karena cepat atau lambat, ia yakin Jimin akan menceraikannya.

Anna cukup sadar diri untuk tidak mengganggu hubungan sepasang kekasih itu lebih lama. Ia merasa bersalah telah membuat Jimin menderita dengan kehilang Choi Sera. Ah, benar. Seketika Anna teringat akan pesan di ponsel Jimin semalam. Jadi, gadis itu benar-benar pergi? Ke mana perginya Choi Sera. Hal itu semakin membuat Anna merasa bersalah.

"Anna, mau coba wahana pantai itu?" tanya Jimin yang baru saja datang membuyarkan lamunan Anna.

Wanita itu menoleh pada wahana yang Jimin maksud. Tampak berpikir sejenak, lalu mengangguk ragu. Mungkin menikmati liburan singkat di sini enggak buruk juga. Setidaknya aku bisa lupain sejenak tentang permasalahan yang ada. 

Tbc ...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top