05. Habit

Tepat pukul tujuh pagi, Anna terbangun meski tanpa alarm dan juga sinar matahari yang membangunkan. Tubuhnya seolah tahu kapan ia harus bergerak dan beraktifitas. Maka matanya terbuka dengan sendiri.

Ia segera menyibak selimut, turun dari tempat tidur dan membuka tirai jendela. Ia menatap lurus ke bawah, menikmati pemandangan di mana kepingan salju masih setia memenuhi taman depan gedung, sementara beberapa petugas tengah sibuk membersihkan jalanan. Ia melirik jam di atas nakas, menyadari waktunya tidak tersisa banyak untuk pergi bekerja, maka ia bergegas untuk merapikan diri.

Tengah sibuk menyiapkan sarapan, seseorang menghentikan akitifitasnya mengoles Nutella di atas selembar roti dengan denting bel di balik pintu. Anna meletakkan roti di atas piring dan berjalan malas untuk membukakan. Bersumpah akan mengutuk siapapun yang mengganggu kegiatan paginya. Jika itu Jaemin, ia akan memotong gaji pria itu separuh bulan karena biasanya ia langsung masuk tanpa mengetuk dan kini dengan manja meminta dibukakan.

"Selamat pagi, Calon Istriku!" Sebuah wajah dengan senyuman ceria tiba-tiba muncul begitu Anna membuka pintu. Juga ucapan selamat pagi dengan suara cempreng khas pria menyebalkan, sungguh membuat Anna menggeram dengan wajah kusut. Ia mati-matian menahan diri untuk tidak memukul kepala pria yang akan segera menjadi suaminya itu karena enggan membuat keributan yang akan merusak suasana paginya.

Tanpa menunggu izin, Jimin lantas menerobos masuk dengan santai menuju dapur. Ia duduk pada bangku meja makan, lalu melanjutkan kegiatan Anna mengoles selai pada roti. Ia bahkan beranjak menuju lemari pendingin untuk menuang susu di atas es batu yang telah ia siapkan di dalam gelas. Seolah semua hal itu adalah hal yang biasa ia lakukan.

Anna hanya diam melihat tingkah Jimin yang teramat meguasai tata letak dapurnya. Sama sekali tidak merasa canggung dan melakukan itu seperti rumahnya sendiri. Kegiatan seperti ini bukanlah yang pertama, karena Jimin kerap datang ke apartemen Anna sejak minggu pertama mereka sepakat untuk menikah—untuk membiasakan diri katanya. Tidak jarang mereka menghabiskan waktu berdua meski hanya untuk makan malam atau menonton film bersama. Tentu saja hal itu adalah ide dari Hwang Jimin. Ia bilang, hal ini akan membantu keduanya saling akrab dan tidak canggung lagi ketika sudah menikah.

"Jadi, apa kamu ke sini cuma untuk menumpang sarapan?" tanya Anna seraya menerima piring berisi setumpuk roti dan segelas susu dari tangan Jimin.

Tanpa menatap, Jimin menjawab, "Apa yang salah dengan sarapan bersama calon istri, Anna?" Ia tengah sibuk menyiapkan gelas pada mesin pembuat kopi, lalu menyiapkan rotinya sendiri. Jimin tidak terlalu menyukai makanan manis, maka untuk sarapan ia lebih menyukai selai kacang daripada cokelat.

"Bisa enggak, kamu berhenti bilang calon istri saat kita lagi berdua aja?" protes Anna. Ia meneguk susu yang Jimin siapkan usai mengunyah satu gigitan roti.

Jimin menatap Anna sesaat, lalu terkekeh geli saat tangannya menarik satu kursi berhadapan. Ia meletakkan gelas kopi dan piring berisi sandwich secara bergantian. Membuat si pemilik hunian mendengkus dan menatapnya kesal.

"Kenapa sih, kamu segitunya enggak suka dengan pernikahan kita?" Pertanyaan itu lolos begitu saja dari bibir Jimin. Karena jujur saja, ia juga penasaran dengan sikap Anna yang selalu terlihat kesal setiap kali mereka membicarakan pernikahan.

Gimana aku bisa menyukai pernikahan yang dilangsungkan tanpa ada ikatan saling mencintai, Jim?

"Jangan bertanya yang enggak-enggak! Kamu bahkan memanggilku calon istri hanya untuk meledek, kan?" jawab Anna sarkas.

Jimin menggeleng. "Aku serius, kok. Kamu kan, memang calon istriku."

Anna terdiam. Jantungnya berdegup kencang hanya dengan mendengar ucapan Jimin barusan. Ada perasaan asing yang telah lama menghilang dari hatinya kini kembali muncul. Wajahnya menghangat dengan letupan-letupan di dalam dada seperti akan meledak. Ia salah tingkah.

Helaan napas panjang Anna keluarkan untuk menetralkan perasaannya. "Baiklah, jadi apa tujuan kamu ke sini? Pasti bukan cuma untuk sarapan bersama, 'kan?" tanyanya mengalihkan pembicaraan. Ia tidak mau terlihat gugup di hadapan calon suaminya.

Jimi kembali menyeruput kopinya. "Iya, hari ini aku ingin mengajakmu pergi bersama untuk final meeting dengan pihak EO. Karena waktunya tinggal satu minggu lagi, dan mereka sudah akan memulai persiapan kebutuhan acara," jawabnya.

Anna terdiam. Ia menatap Jimin dengan mata terbuka. "J-jadi ... ini sudah final meeting, ya? Pernikahannya akan digelar satu minggu lagi?" tanyanya. Ia masih tidak percaya bahwa sebentar lagi ia akan menikah dengan Jimin. Pria yang selama ini memilik banyak kenangan masa lalu di hatinya. Namun, kini semua kenangan itu telah lebur dimakan waktu bersama dengan keduanya yang semakin menjauh.

"Annastasia, jangan bilang kalau kamu lupa tanggal pernikahan kita!" ucap Jimin dengan nada tegas. Ia menatap lurus pada hazel milik Anna. Ia menghela napas sambil mengusap rambutnya—mendramatisir keadaan. "Gosh, kamu ini keterlaluan sekali, Anna! Aku sudah kelimpungan menyiapkan ini dan itu, sementra kamu—" ucapannya terhenti karena Anna tiba-tiba saja berdiri dengan kasar dari kursi makan.

"Diam lah! Habiskan sarapanmu dan aku akan bersiap!" ucapnya lalu berjalan meninggalkan Jimin dan menuju kamar. Sementara Jimin terdiam menatap punggung gadis itu semakin menjauh.

Dalam diamnya Jimin mengerti bahwa Anna sedang dilanda kegelisahan. Dirinya pun begitu. Terlalu banyak yang terjadi secara tiba-tiba. Keduanya hanya mengaku siap dengan segala yang ditetapkan banyak orang. Namun, pernikahan bukan hanya tentang status dan materi. Lebih dari itu, pernikahan melibatkan hati dan perasaan. Baik Jimin maupun Anna, keduanya tidak ada yang benar-benar siap dengan batin mereka sendiri.

*****

Salju telah berhenti turun, tetapi jejaknya masih terpapar jelas menghiasi permukaan kota dengan kepingan putih yang bertumpuk. Kebanyakan orang akan lebih memilih untuk menghabiskan waktu di rumah dengan secangkir minuman hangat maupun hidangan khas musim dingin di rumah mereka. Namun, tidak dengan sepasang calon pengantin yang tidak terlalu akur. Keduanya tengah bergelut dengan setumpuk proposal yang berisi konsep dan juga dekorasi pernikahan.

Diam-diam Anna memperhatikan Jimin yang tengah fokus membaca ringkasan dari serangkaian acara minggu depan. Matanya begitu tajam memperhatikan deretan huruf dan sesekali menyipit saat dirasanya itu tidak sesuai dengan apa yang ia mau. Menurutnya Jimin akan terlihat sangat berbeda saat ia serius menghadapi sesuatu. Tidak seperti biasanya yang gemar bertingkah menyebalkan hanya untuk menggoda dirinya.

"Anna, menurutku bagian ini enggak penting. Gimana kalau diisi dengan acara lain?" Ucap Jimin seraya menunjukkan berkas di tangannya.

Memperhatikan, Anna melihat deretan kata yang ditunjuk calon suaminya. Ia mengangguk setuju lalu kembali menatap Jimin. "Aku setuju aja, sih. Toh, kita juga enggak pacaran, 'kan? Jadi kita enggak punya foto semacam itu untuk untuk ditampilkan. Kita lewati aja bagian menampilka slide foto," ujarnya begitu lugas seraya menatap lurus pada Jimin.

Sementara lawan bicaranya termangu akan jawaban ringan diri bibir tipisnya.

Jadi kamu udah lupain semuanya, ya?

Jimin mengerjap dua kali untuk menetralkan perasaan. Ia memberikan respons dengan tenang. "Lalu mau diisi dengan acara apa?" tanyanya mengalihkan pikirannya yang sempat terdistraksi dengan respons Anna. Padahal, ia sengaja bertanya untuk memancing Anna mengingat kisah mereka di masa lalu.

Si gadis tampak berpikir sejenak. Pandangnnya menerawang, membayangkan acara pernikahan yang akan dilangsungkan satu minggu lagi. "Bagaimana dengan dansa? Seluruh tamu bisa berdansa bareng pasangan diiringi musik yang menyenangkan," ujarnya saat ide itu muncul tiba-tiba di benaknya.

Jimin menerima saran Anna dengan baik. Ia tersenyum lalu mengangguk. "Boleh juga. Oke, kita ganti bagian ini, ya?" ulangnya seraya menandai pada barisan acara yang dimaksud.

"Kurasa hari ini cukup. Kita udah bicarain semua detail acaranya, 'kan? Ayo, kita pulang." Anna menatap Jimin yang masih saja sibuk membaca ulang segala perubahan yang telah mereka tandai. Ia tampak serius dengan persiapan pernikahan mereka. Sangat berbeda dengan Anna yang sama sekali tidak tertarik, bahkan ia berharap bahwa ada hal yang dapat membatalkan acara tersebut.

"Tentu kita akan pulang, tapi setelah dari restoran Jin Hyung." Jimin berkata tegas seraya menutup map yang ada di tangannya. Ia menyerahkan pada perwakilan pihak EO yang sejak tadi menemani mereka membicarakan setiap detail acara. Berbincang sejenak, lalu beranjak dari kursi untuk keluar.

Anna mengikuti di belakangnya dengan tergesa untuk menyamai langkah lebar Jimin. "Untuk apa lagi ke sana?" protesnya. Ia benar-benar sudah lelah setelah hampir seharian berada di kantor event organaizer untuk membicarakan pernikahan. Di kepalanya saat ini hanya ada kata pulang dan istirahat.

Jimin tiba-tiba menghentikan langkah lalu berbalik menatap Anna yang terkejut. Ia otomatis menghentikan langkah untuk menghindari jatuh dan menabark dada pria itu. "Aku tahu kamu lelah, Anna. Kebiasaan burukmu saat lelah adalah ingin segera pulang dan tidur. Sementara perutmu enggak keisi apapun 'kan, dari siang?"

Diam. Anna tertegun dengan ucapan kelewat lembut dari bibir tebal Jimin. Hatinya menghangat, merasa diperhatikan oleh pria itu. Ada rasa senang bercampur takut yang mendera batinnya melihat Jimin begitu paham akan kebiasaannya. Apa kamu ingat kebiasaanku sejak dulu?

Jimin melirik jam di pergelangannya. Kemudian menarik lengan Anna tanpa permisi dan membawanya keluar gedung. Ia mengoceh sambil berjalan sementara Anna di belakangnya hanya diam dan mengikuti tanpa protes saat Jimin menggandeng jemarinya untuk melangkah bersama.

"Nggak banyak waktu tersisa, sebelum waktunya makan malam," ucap Jimin singkat. Setelahnya hanya keheningan yang ada di antara langkah kaki keduanya menuju tempat parkir.

Tbc...

Terimakasih sudah baca,

~Rizkita Min

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top