02. Jeon Jaemin

On days you hate being yourself
On days you want to disappear forever
Let's make a door in your mind
When we go through that door,
then this place will wait for you
It's okay to trust me
This is a Magic Shop that will console you
BTS - Magic Shop


Pagi menyapa dengan sinar matahari yang sama sekali tak terlihat dari balik tirai jendela kamar seorang gadis. Annastasia, masih bergelung di balik selimut tebalnya sambil berusaha membuka mata, meski tanpa alarm yang membangunkan. Sengaja ia menutup rapat kamar dan tak membiarkan sepercik cahaya pun menerobos masuk saat dirinya tidur. Karena ia begitu membenci jika dibangunkan meski hanya dengan setitik cahaya dari balik tirai.

Saat kesadaran sudah sepenuhnya ia miliki, kini matanya melirik pada jam digital di atas nakas. Waktu sudah menujukkan pukul delapan lewat tiga puluh menit yang membuat ia berjengit karena merasa sudah terlambat bangun. Anna ingat betul sudah membuat janji dengan seseorang pukul delapan, tetapi sudah jam segini orang yang ditunggu belum juga muncul di unit apartemennya.

Dengan segera ia bangun dari tempat tidur dan menuju kamar mandi. Bersiap secepat kilat sambil sesekali menghubungi seseorang. Jeon Jaemin, sekertaris sekaligus juniornya saat di kampus benar-benar senang sekali membuat Anna naik pitam. Sudah membuat janji untuk menemaninya ke butik pukul delapan, tetapi sudah hampir jam sembilan ia belum juga bisa dihubungi.

Anna sudah mengambil ancang-ancang untuk mengumpat jika nanti Jaemin mengangkat teleponnya. Namun, begitu keluar kamar dan menuju dapur, langkahnya terhenti karena dikejutkan oleh keberadaan seseorang di meja makan. Seseorang yang ia tunggu tunggu—Jeon Jaemin.

"Astaga, kamu ngapain di sini?" kaget Anna sambil menatap nyalang sosok yang dimaksud.

Sementara yang ditanya hanya menjawab datar. "Sarapan."

"Sejak kapan kamu di sini? Dan, hei! Ngapain kamu sarapan di rumahku?" kesal Anna karena protesnya tak kunjung mendapat tanggapan, dan Jaemin malah sibuk melanjutkan suapan roti pada mulutnya.

Jaemin meminum jus jeruk yang tersedia di atas meja. Menelan habis roti yang sedang ia kunyah, kemudian menjawab, "Sudah hampir satu jam dan aku enggak lihat tanda-tanda kamu bangun, jadi kubiarkan saja. Lalu ... membuat sarapan ya, karena aku lapar."

Anna mendengkus mendengarnya. Ia melirik jam yang melingkar di tangan lalu mengembuskan napas kasar. "Nggak ada waktu, Jeon! Kenapa enggak membangunkanku, sih? Kita bisa terlambat kalau kesiangan," ocehnya panjang lebar. Sementara Jaemin menanggapi dengan santai.

"Bukankah anda benci jika dibangunkan, Nona?" responsnya dengan nada meledek dan bahasa yang dibuat-buat—sengaja membuat Anna semakin kesal. Namun, entah bagaimana, Jaemin selalu bisa membuat Anna bersabar meski tak jarang ia mengoceh bahkan sesekali mengumpat untuknya, tetapi wanita itu tidak pernah sungguh-sungguh marah.

"Sudah duduklah, dan makan sarapanmu dengan tenang. Setelah itu kita berangkat," lanjutnya yang membuat Anna menggeleng sebagai respons.

"Enggak bisa, Jeon. Kita bisa terlambat nanti. Aku enggak mau semua jadi berantakan karena pihak butik membatalkan pesanan tiba-tiba," tolaknya. Ia kembali mengecek ponsel dan berniat untuk menghubungi orang butik untuk memundurkan jadwal karena mungkin ia akan datang terlambat.

"Enggak mungkin. Kamu itu pelanggan VIP, terlambat lima belas menit, nggak akan masalah." Jaemin menjeda kalimatnya sambil melirik jam tangan. "Nanti aku akan ngebut, tapi sekarang kamu sarapan dulu. Hari ini jadwalmu lumayan padat. Aku enggak mau repot kalau kamu sampai sakit," lanjutnya yang seketika membuat Anna diam dan menurut. Seolah terhipnotis, saat Jaemin sudah bicara panjang lebar dengan nada serius begitu, Anna akan selalu diam dan menurut pada ucapan pria yang dua tahun lebih muda darinya itu.

Ia menarik satu bangku di hadapan Jaemin. Lalu memakan setumpuk roti penuh dengan Nutella yang sudah Jaemin siapkan beserta satu gelas susu putih dengan es batu di dalamnya. Keduanya merupakan sarapan favorit Anna dan Jaemin sudah hafal dengan semua itu.

***

"Jeon, bagaimana menurutmu?" Anna bertanya usai mengenakan gaun pengantin yang telah dipesannya beberapa minggu lalu bersama Jimin. Hari ini ia datang hanya untuk merubah sedikit detail dan mencoba ulang sebelum benar-benar selesai. Balutan gaun putih dengan sedikit pernak-pernik sederhana, terlihat sangat menawan di tubuh rampingnya. Ia berputar agar Jaemin dapat melihat keseluruhan dari gaunnya.

Di tempatnya duduk, pria bergigi kelinci itu mematung. Mata bulatnya membesar dengan mulut sedikit melongo—terpana—akan keindahan di hadapannya. Jaemin tidak dapat menampik bahwa Annastasia Swan akan selalu memesona dengan apapun yang ia kenakan. Bahkan jika Anna hanya duduk terdiam dengan kaus oblong dan celana rumahan pun, Jaemin total terpikat.

"Cantik," gumamnya. Matanya tidak bisa beralih dari objek yang selalu menjadi candu bagi pandangannya. Merasakan tatapan berbeda dari lawan bicara, Anna buru-buru berdehem untuk mengalihkan atensi Jaemin dari dirinya. Ia tidak ingin menjadi canggung dengan terus-terusan ditatap seperti itu oleh seorang yang sudah ia anggap adik sendiri.

"Aku tahu aku cantik, tapi bagaimana dengan gaunku?"

Jaemin mengerjap dua kali saat kesadarannya kembali pada taraf normal. Ia merasa wajahnya menghangat saat lagi-lagi Anna memergokinya tengah memandang lekat—mengagumi—sosoknya di depan mata. Ia menggeleng kikuk sambil membantah, "M-maksudku ... gaunnya! Ya, gaunnya yang cantik! Bukan kamu, Nenek Tua!"

Mendengkus mendengarnya. Anna segera berbalik untuk mengganti pakaian. Percuma saja bertanya pada Jaemin. Anna bukanlah gadis kaku yang tidak peka akan sekitar. Sejak pertama kali bertemu di Boston, ia sudah menerima sinyal pendekatan dari pria itu. Namun, Anna yang hatinya sekeras batu—tidak bisa melupakan cinta masa lalunya—selalu saja menampik perasaan adik tingkatnya itu.

"Anna, ada apa?" tanya Jaemin menatap Anna yang tiba-tiba menjadi diam di sebelahnya. Saat ini mereka tengah duduk di dalam mobil dan bersiap untuk pergi usai menyelesaikan urusan fitting baju. Baru saja Anna menerima telepon dari seseorang yang seketika merubah raut wajahnya menjadi keruh.

Gadis itu menghela napas kasar, lalu menggeleng perlahan. "Aku cuma capek aja, kok. Barusan Seojoon menelepon, dia bilang aku harus segera kembali ke kantor, karena banyak proyek penting yang harus aku pelajari sebelum peralihan saham."

Lantas seketika membuat Jaemin paham alasan perubahan mood Anna saat ini. Pria yang lebih muda itu tahu betul bahwa sesungguhnya Anna tidak benar-benar siap menjalankan wasiat yang ditujukan untuknya. Sebab di Boston, Anna memiliki dunianya sendiri.

Ia sangat tertarik dengan dunia model dan banyak menerima tawaran pekerjaan di bidang tersebut. Namun, begitu pulang ke Korea, tiba-tiba saja ia didapuk untuk mengemban tugas sebagai ketua sebuah perusahaan sekaligus pemegang saham tertinggi di mana semua keputusan berada di tangannya. Pasti sangat sulit untuk menyesuaikan diri.

"Maklumi saja, dia pasti ingin yang terbaik agar kamu enggak kesusahan nantinya. Sebagai ketua dari sebuah perusahaan fashion terbesar, pasti akan sulit kalau kamu enggak paham apapun soal proyek yang sedang mereka jalankan, 'kan?" ucap Jaemin, berusaha menenangkan sosok yang selalu dikaguminya itu.

Anna menggeleng. "Kamu tahu itu masih lama, 'kan? Aku masih harus mengurus pernikahanku, lalu mendapatkan kewarganegaraan Korea, baru aku dapat melakukan peralihan saham, Jeon."

"Tiga bulan itu sangat cepat, tahu. Kamu enggak akan terasa. Saat kamu sibuk menyiapkan ini dan itu, lalu tahu-tahu kamu sudah menjadi Nyonya Hwang di hadapan pendeta," oceh Jaemin, memberi petuah untuk yang lebih tua.

Seketika Anna terdiam. Ada rona merah di kedua pipi mulusnya saat Jaemin menyinggung soal pernikahan dan ia yang sebentar lagi akan menjadi Nyonya Hwang. Semua yang pria itu katakan total benar. Bahkan tanpa Anna sadari, persiapan pernikahannya sudah tujuh puluh persen terselesaikan meski dengan bantuan banyak pihak.

"Heung? Wajahmu memerah? Apa kamu segitu sukanya menjadai Nyonya Hwang, Anna?" ledek Jaemin yang sontak mendapat cubitan dari Anna pada lengan kanannya.

"Jangan meledek, Jeon! Kamu tahu, 'kan, aku sama sekali enggak mencintai Hwang Jimin?" elak Anna dengan mata melotot dan nada tinggi guna menutup kegugupannya.

Jeon Jaemin hanya mencebik mendengarnya. Ia tidak berniat menjawab pernyataan Anna dan memilih diam untuk fokus pada kemudi. Menurutnya, berdebat dengan gadis di sebelahnya soal perasaan adalah hal yang melelahkan. Annastasia akan sekuat tenaga menutup rapat soal perasaannya dan mengubur lebih dalam agar tidak ada seorang pun yang mengetahui perasaannya.

Kamu bisa membodohi semua orang, Anna, tapi enggak bisa denganku. Jangan kamu pikir aku enggak tahu siapa yang membuatmu merana didera rindu setiap malam di Boston?

"Sebentar lagi masuk waktu makan siang. Mau mampir ke restoran Sejin Hyung?" tawar Jaemin, mengalihkan pembicaraan.

Anggukan Anna menjadi jawaban pasti atas tawaran itu. Setelahnya hanya keheningan yang tercipta di dalam mobil. Karena si penumpang tengah memiringkan tubuh menghadap jendela. Ia memejamkan mata, sementara Jaemin tidak ingin mengganggunya. Lelaki itu cukup tahu bahwa saat dalam mode seperti itu, Anna pasti tidak ingin diganggu, maka Jaemin memilih diam dan memberikan waktu untuknya.

Tbc .

Terima kasih sudah baca 💜

Love

-Rizkita Min

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top