6th Temptation
6th Temptation
¤¤¤
Ya sudahlah.
Naren mendesah setengah mendengus begitu sosok Berlian yang masih kaku dan pucat sudah ditangani oleh ahli—Akira, tentu saja—meski ia sedikit kesal lantaran ... apa dua manusia itu memang tidak mendapat pelajaran sopan santun? Narendra yang menolong wanita itu pertama kali—walau tidak bisa disebut menolong juga karena yang dilakukannya selama terjebak di lift dalam keadaan gelap adalah dengan terus berusaha mengajak Berlian bicara, sesekali menendang kakinya pelan untuk mencari respons—sama sekali tidak mendapatkan sesuatu walau sekadar ucapan terima kasih.
Apakah memang terima kasih, maaf, dan tolong sudah begitu langka di zaman ini?
Ya ampun, mereka memang pasangan yang serasi.
Namun, kalau Akira dan Berlian serasi, lantas Nara dengan siapa? Naren, begitu?
Oh, tidak. Biar kata nanti dia jadi janda perawan yang kaya raya dengan separuh harta keluarga Akira di kantongnya, Naren akan tetap memilih Syifa. Membayangkan menunggu Nara berdandan setiap kali mereka akan pergi, Naren sudah merasa ia akan gila.
Nara cantik, dibanding Berlian, tentu dia lebih baik. Dan kalau menjadi Akira, Naren sudah akan meninggalkan dua wanita itu. Dan Naren, terima kasih, dia tidak berminat berurusan dengan jenis wanita seperti Nara dan Berlian. Terlalu merepotkan.
Bunyi protes naga dalam perutnya terdengar. Naren kembali tersadar bahwa ia belum makan. Dan ini semua gara-gara Berlian.
Meraba perutnya yang keroncongan sambil mengembuskan napas panjang, Naren teringat teman seperjalanannya yang tadi mengeluh hampir mati karena kelaparan. Di mana dia sekarang? Apakah benar-benar sudah tewas lantaran kehabisan tenaga setelah kabur dari kejaran Akira tadi? Kalau iya, di mana Akira bisa menemukan jasadnya?
Menggeleng mengusir pemikiran gila semacam itu, Naren memutuskan untuk mencari Nara di kamarnya, sekalian memindahkan koper ke ruangannya sendiri saat ia berniat mengecek arloji yang melingkar di tangan kiri, lantas terdiam.
Ada bekas merah samar di jari-jemari kirinya. Bekas cengkeraman Berlian beberapa saat lalu. Keras sekali, bahkan Naren sempat merasa tulang-tulang di bagian itu hampir remuk.
“Lo sebenernya takut gelap apa kesurupan, sih?!” Ia bertanya kesal, berusaha menarik tangannya dari cengkeraman Berlian, demi apa pun Naren tidak sudi bersentuhan dengan wanita ini, dalam keadaan tidak sadar sekali pun. Lebih-lebih, dia bekas Akira. Dan mungkin bukan hanya Akira.
Bukannya melepas, Berlian justru mengeratkan cengkeramannya. Kuat sekali. Naren yang laki-laki saja bahkan tidak yakin mampu mengeluarkan kekuatan sebesar itu. Berlian menggeleng, keras. Surai hitamnya yang sependek rambut Dora bergoyang-goyang. Matanya masih tampak tidak fokus. “Jangan tinggalin Berli. Jangan tinggalin Berli.” Dia berujar berulang-ulang, seperti bocah kecil ketakutan, masih meringkuk di sudut lift yang sempit. Dan Narendra mendapati dirinya tidak tega, muak juga. Jadi, sebenarnya dia muak apa tidak tega? Entahlah. Semua yang menyangkut wanita ini serba membingungkan.
Satu sisi, manusia jenis Berlian tidak pantas mendapat simpati. Tapi di sisi lain, hati Narendra tidak sekeras itu. Dia percaya, tidak ada manusia yang benar-benar hitam atau putih. Selalu ada sisi baik dan jahat di setiap hati. Robin Hood pencuri, tapi dia suka berbagi. Maleficent sangat jahat, tapi kasih sayangnya tulus pada sang tuan putri.
Dan Berlian perebut suami orang, apa kebaikannya ya? Naren ingin tahu, untuk meminimali rasa muaknya. Ia tak pernah memiliki ketidaksukaan sebesar ini pada orang lain.
“Gue nggak bakal ke mana-mana. Jadi, lepas tangan gue!” Naren berusaha sekali lagi, yang berakhir gagal.
Wanita itu kembali menggeleng. Dan terus menggeleng keras seperti boneka dasbor. Andai bukan ciptaan Tuhan, kepalanya pasti sudah copot dan menggelinding di sepanjang lantai lift ini, dan membayangkannya, berhasil membuat bulu kudu Naren berdiri. Demi apa, dia sedang terjebak di kotak aluminium sekarang, hanya berdua dengan Berlian yang bisa jadi benar kesurupan.
“Berli takut. Berli takut.”
“Harusnya gue yang takut, bukan lo, Bimbing!” Naren berusaha menarik lagi, hanya untuk mendapat sentakan lebih kuat yang membuatnya yakin setelah pencahayaan kembali, lengannya mungkin sudah tidak tersambung lagi dengan bahu. Sakit! Dan kalau pun Naren berhasil keluar dengan fisik utuh, ia harus segera mencari tukang urut. “Lo beneran hilang kesadaran apa cuma pura-pura buat ngerjain gue, sih?!”
Tak ada jawaban, hanya gumaman tidak jelas yang lolos dari katup bibir tipis itu. Lelah, Naren menurunkan satu tangannya yang masih memegang ponsel Berlian, menjaga agar layarnya tetap menyala.
Narendra sudah mencoba menghidupkan senter dari ponsel itu tadi, tapi langsung dimatikan begitu Berlian yang justru berpaling dari sinar sorotnya, memalingkan muka menghadap tembok lift dengan tubuh yang gemetar hebat dan napas tersendat-sendat, seolah berusaha untuk lari dan sembunyi. Tapi, dari apa? Dia takut gelap. Dia juga takut cahaya senter, lantas maunya apa? Dan kenapa harus Narendra yang terjebak bersamanya? Merepotkan sekali.
Beruntungnya, keadaan menyiksa itu tidak bertahan lama, meski Naren tetap merasa sedetik bersama Berlian sudah seperti seharian. Tim teknisi akhirnya berhasil mengeluarkan mereka. Namun Berlian tidak lantas sadar begitu mendapat cahaya. Dia masih meringkuk di sana, mencengkeram tangan Naren. Dan salah satu orang yang melihatnya bertanya, “Istrinya kenapa, Pak?”
Respons pertama Naren mendengar pertanyaan tak berakhlak itu adalah ... tercengang.
Apa katanya tadi?
Istri? Is-tri? Hidung Naren mengerut, ia melirik Berlian yang napasnya mulai teratur dengan jijik, lantas mengempas tangannya keras-keras yang anehnya berhasil lepas. “Bukan! Dia bukan istri saya!” jawabnya lantang dan cepat. Tangan kurus Berlian yang entah sejak kapan berubah lemas itu terlempar kasar ke dinding aluminium dengan bunyi ‘duk’ keras dan pasti sangat gilu. Andai dalam keadaan sadar, Berlian sudah pasti mengamuk padanya.
Naren sedikit merasa bersalah begitu melihat tulang di bagian pergelangan tangan kecil itu memerah akibat benturan tadi.
"Bukan sih, bukan, Pak," celetuk suarayang entah siapa, "tapi nggak usah dibanting gitu juga tangan mbaknya. Kasihan."
Ugh, andai mereka tahu siapa Berlian, tentu tidak akan ada yang merasa kasihan. Ah, kecuali sebagian para kaum Adam mungkin, yang ada malah terpesona.
Beberapa petugas lantas membantu Berlian berdiri. Wanita itu mulai mengerjap beberapa kali, seolah sedang berjuang, berusaha keluar dari lubang hitam yang telah berhasil menyedot kesadarannya. Naren hanya mengawasi. Melihat saat-saat Berlian terlihat sepeti wanita kebanyakan. Yang tampak kelelahan bersandar pada punggung sofa di lobi—tempat para petugas mendudukkannya. Wajah Berlian masih sepucat hantu. Sejenak dia menoleh kanan kiri, seolah berusaha mencari—Akira, mungkin—lantas menerima sodoran air putih dari perempuan yang entah siapa. Ia menegaknya seperti manusia kehausan. Air mineral dalam kemasan gelasan itu habis sekali minum. Beberapa tetes lolos dari bibirnya, membasahi dagunya yang lancip dan sebagian menetes ke atas pangkuannya. Saat ditawari kemasan air kedua oleh salah seorang resepsionis, Berlian menggeleng lemah.
Akira datang tak lama kemudian, yang langsung Berlian sambut dengan mata berkaca-kaca. Dipeluknya lelaki itu erat. Erat sekali, hingga Narendra yakin tulang rusuk Akira pasti linu bila mengingat betapa kuatnya sepasang tangan kurus itu.
Mendesah, Narendra memasukkan tangannya ke saku celana. Berlian sudah berada di tangan yang tepat. Tugasnya selesai sore ini, tapi misinya jumpalitan. Gagal total.
Seharusnya Berlian tidak usah takut gelap. Seharusnya sekarang Akira ada bersama Nara. Seharusnya Narendra makan sendirian dengan bahagia.
Mengepalkan tangan yang memerah, Naren menurunkannya ke sisi tubuh seraya meneruskan langkah menuju kamar Nara. Mengingat dirinya masih ngeri setelah terjebak dalam lift, ia memutuskan menggunakan tangga ke lantai tempat kamarnya berada. Untunglah hanya di lantai tiga, kalau sampai ia mendapat kamar yang lebih tinggi lagi, barangkali tulang-tulangnya benar-benar akan rontok.
***
“Terkilir?”
Nara mengangguk dengan bibir mencebik. Benar-benar mirip bocah yang sedang merajuk. “Iya. Ini gara-gara si makhluk astral itu. Tadi gue jatuh pas mau ngindarin dia, soalnya dia bilang kalau sampe liat gue lagi selama di Bali, gue bakal dikirim balik. Gue kan masih mau berenang di pantai. Liat-liat bule buat cuci mata. Eh, malah jatuh. Sakit, Ren. Pijitin.” Gadis itu bicara dalam satu tarikan napas. Naren menolak bersimpati, karena kalau masih cerewet, berarti Nara baik-baik saja. Justru kalau dia sudah sedikit bicara, baru Naren harus segera membawanya ... ke mana? Rumah sakit umum apa rumah sakit jiwa?
Yang pasti, ke suaminya.
Berdecak, Naren memperlihatkan bekas tangannya yang memerah. “Ini nggak bisa dipake buat mijit, tapi kalo cuma nyumpel atau nyekek, kayaknya masih mampu.”
Bibir Nara yang sudah maju seperti cocor bebek, makin mengerucut. Membuat Naren gemas ingin menguncirnya dengan karet gelang, biar sekalian permanen. “Lo kok jahat, sih sama gue? Padahal gue baik loh selama ini.”
“Lo punya laki buat apa?”
“Buat kesejahteraan hidup lah. Hidup gue terjamin karena gue punya laki.”
Naren memutar bola mata jengah. Menyesal mengajukan pertanyaan tadi. Seharusnya dia sudah tahu, Nara itu sinting. Naren bisa gila bila meladeninya. “Minta pijit dia aja sana. Gue laper.”
“Gue lebih mending kaki pincang daripada diurut dia. Yang ada nanti diamputasi sama tukang selingkuh itu!”
Naren melambaikan tangan, malas menanggapi. Berbincang dengan Nara hanya membuat geliat naga dalam perutnya makin gila. Ia pun memutuskan untuk memindahkan koper ke kamarnya. Namun saat menoleh ke arah seharusnya benda-benda miliknya berada, Naren dibuat mengangkat satu alis begitu mendapati posisi tasnya berubah. Jelas bukan karena kena senggol. Tas yang semula berada di dekat pintu, sekarang tengkurap malang di dekat lemari yang beberapa meter jauhnya. “Lo tendang tas gue?” tanya Naren penuh tuduhan pada pemilik kamar yang kini meringis menatapnya.
Menggaruk leher karena memang gatal atau hanya pengalihan isu, Nara nyengir. “Ditendang Akira, hehe.”
Tasnya ditendang Akira. Hidung Naren mengernyit. Berani sekali lelaki itu! Dia sudah menyusahkan hidup Naren dan ... menendang tasnya! Luar biasa!
Tapi, tunggu.
“Dia masuk kamar ini?” Ia menoleh dengan mata menyipit ke arah kanjeng ratu yang bersandar penuh kuasa di tengah ranjang sambil memelintir rambutnya yang dikeriting gantung.
“Makanya kalau orang cerita itu, dengerin, Naren. Dia tadi tuh ngejar gue,” Nara menjelaskan, kalimat terakhirnya penuh penekanan seolah Naren tidak melihatnya saat Akira keluar dari lift dan meninggalkan Berlian nyaris satu jam lalu. “Dan dia ngejarnya sampe sini.”
“Setelah itu, apa yang terjadi?”
“Dia ngasih ancaman, terus pergi.”
“kalau dia Cuma ngancem dan pergi, kapan dia sempat nendang tas gue?”
“Lo nanya udah kayak polisi.”
“Jawab aja kenapa, sih?”
Nara mendengus keras. “Pas dia mau keluar. Dia nggak suka ada tas lo di sini.”
Mata Naren makin sipit penuh spekulasi. Lalu, seulas seringai samarnya muncul. Sepertinya ada yang mulai cemburu.
Atau hanya sebatas ego.
Yang mana saja, ini jelas sebuah kemajuan. Kecil memang, tapi daripada tidak sama sekali. Naren hanya tinggal harus menjauhkan air dari tungkunya, lalu menambahkan bara. Ah, satenya akan segera matang. Lalu ia bisa makan dengan tenang.
¤¤¤
Bang Naren perjaka tingting kita dateng lagi. Siapa yang udah kangen?
Atau mungkin kangen sama Berlian🤣
Esto bule dhin dhika, Cah😘
Pamekasan, 22 Sep 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top