5th Temptation

5th Temptation
¤¤¤

Naren mengangkat salah satu alisnya, setengah mendengus mengamati wanita Akira yang kini menatap ia tajam dengan mata sipit itu. Ah ... mata malang yang terlalu sering digunakan untuk melotot melebihi kapasitas yang mampu dilakukan. Malas menanggapi Berlian yang tak seberharga batu berlian sungguhan, Naren memasukkan kedua tangannya pada saku celana. Kaki-kakinya ia silang membentuk pose santai. Tak mengacuhkan Berlian yang masih melotot dengan napas terengah karena marah.

Namun, rupanya wanita itu tak suka diabaikan. Dia menghadap Naren dengan tangan bersedekap. Perbedaan tinggi tubuh yang cukup jauh—meski dengan wedges putih setinggi tujuh senti di bawah telapak kaki Berlian—mengharuskan manusia pendek itu mendongak agar bisa mencapai mata sang lawan bicara.

“Ini pasti bukan suatu kebetulan, kan!” Jelas bukan pertanyaan, melainkan tudingan yang diarahkan langsung tanpa tadeng aling-aling.

Satu-satunya hal yang Naren lakukan sebagai sangkalan hanya, “Apanya yang bukan kebetulan?”

“Pertemuan kita! Lo sama Nara pasti udah niat ikuti kami!”

Terlalu percaya diri seperti biasa, meski ya, memang benar. Tapi, Naren tidak mau mengakui apa pun. “Mengikuti kalian? Apa untungnya buat saya?”

“Buat Nara, bukan buat lo. Lo cuma antek-antek nggak berharga, kayak anjing peliharaan yang mengikuti semua permintaan tuannya.”

Kejam sekali bibir tipis berlipstik nude itu. Dikata anjing, Naren jelas kehilangan sikap santai. Iya mengurai kakinya, berdiri menjulang di hadapan berlian dengan jarak satu langkah di antara mereka. “Kalau saya seperti anjing, lantas kamu apa?” Dengan kurang ajar, Naren menelusuri tubuh wanita itu dari ujung kaki sampai kepala. Berlian mengenakan gaun selutut bertali spageti dengan garis dada cukup rendah. Naren berlama-lama mengamati bagian itu hingga pipi Belian merona. Oh, dia masih bisa merasa malu rupanya. Namun ego yang terlalu besar  membuat wanita itu tetap berdiri angkuh dengan dekapan tangan di depan dada yang kian dieratkan. “Babi montok?!” sinis Naren meski setelahnya ia harus menggigit lidah sendiri sebagai bentuk hukuman pada bagian tubuh tak bertulang itu.

Narendra benci mengumpat menggunakan nama hewan, terlebih dialamatkan pada manusia—terkhusus perempuan yang katanya merupakan mahkluk paling rapuh. Selama 29 tahun hidup, tepatnya sejak berusia 15, dia sudah menantang dirinya untuk menjadi manusia yang beradab. Agung pernah berkata, usai Naren ditemukan babak belur di puskesmas akibat bertengkar dengan teman sekolahnya hingga mendapat hukuman skorsing, “Manusia bejat banyak. Terlalu banyak hingga tidak ada yang spesial dari mereka. Tapi manusia beradab sedikit, karena menjadi beradab itu sulit,” ujar Agung dengan tatapan kecewa yang membuat dada Naren sakit. “Kamu boleh jadi bukan darah daging Papa, Naren, tapi Papa sudah menganggap kamu lebih dari itu. Papa mungkin tidak bisa menurunkan genetik apa pun buat kamu, tapi bersediakah kamu bila Papa hanya ingin menurunkan sikap yang patut? Tapi, kalau kamu keberatan, tidak apa-apa. Saya tahu, kamu mungkin menganggap Papa hanya suami ibu kamu.”

Manusia berhati mana yang tidak akan terenyuh mendengar kalimat tulus itu? Hati Naren yang keras lantaran masih memendam amarah pada temannya pun melunak. Dia menyayangi Agung. Baginya, sang ayah tiri bukan sekadar suami ibu, melainkan ayahnya juga, meski tidak menduduki derajat setinggi bapak kandung.

Namun, Berlian sudah mendobrak pertahanan diri Naren sedemikian rupa. Teman-teman Naren, boleh mengatakan ia terlalu kaku dan terlalu lurus. Mereka yang mengenalnya, seakrab apa pun, tidak akan berani menyebut ia anjing meski hanya sebatas bercandaan. Sedang Berlian, dia bahkan bukan teman, dan umpatannya dimaksudkan untuk mencela.

“Lo!” Berlian marah. Dia menurunkan tangan-tangannya ke sisi tubuh. “Berani lo nyebut gue babi?!”

“Kenapa tidak? Kamu menyebut saya anjing. Saya menyebut kamu babi. Dia dalam sini, kita mungkin memang sudah seperti dua hewan menjijikkan yang terjebak di kandang petani.”

Tangan-tangan kecil Berlian terkepal. Dia maju selangkah, bersiap meninju Naren, namun gerakannya langsung terhenti saat goncangan kecil terasa di kotak sempit itu, disusul angka di atas panel lift yang berhenti bergerak.

Bibir Naren menjadi kaku. Jangan bilang kalau ...

“Liftnya macet,” gumam manusia kecil di depannya dengan ayunan tangan yang berhenti di udara.

Narendra mengerang. Hal terakhir yang diharapkannya selama liburan ah, bukan, survei lokasi lebih tepat, adalah menyiakan waktu percuma dengan terjebak hal yang tidak penting. Dan terjebak bersama makhluk sejenis Berlian, benar-benar tak terbayangkan.

Lift mecet bisa memakan banyak waktu. Sangat banyak. Apalagi Narendra sedang lapar. Lebih dari itu, bisakah ia memilih orang lain yang terjebak bersamanya? Asal bukan Berlian, banci pun tak apa. Sungguh!

Mendesah, Naren Kembali bersandar pasrah pada dinding lift setelah menekan tombol alarm beberapa kali yang sialnya tidak langsung mendapat respon. Dia sedikit berusaha memalingkan pandangan, ke mana saja asal tidak pada makhluk lain di ruang yang sama. Tapi dasar ruang lift terlalu sempit, pergerakan apa pun yang dilakukan teman seruangannya akan tetap tertangkap.

Berlian, dengan wajah yang mendadak tegang—entah ke mana perginya tampang angkuh dan penuh amarah yang tadi ia tampilkan—merogoh ponsel di dalam tasnya. Paper bag yang tadi dijatuhkan Akira masih berserakan di lantai dan sama sekali tak Berlian hiraukan. Wanita itu malah sibuk mengetik sesuatu di ponselnya.

Narendra yang seakan tahu hal tak penting yang Berlian lakukan, mendengus jengah. “Jangan bilang kamu masih mau up date instastory di saat-saat seperti ini?”

Yang sama sekali Berlian abaikan. Wanita itu justru menggoncang-goncang ponselnya dengan gerakan panik. Dan ... Naren menyadari sesuatu. Tangan-tangan kecil itu gemetaran. Ia mengetik sesuatu lagi, lantas mendekatkan ponsel ke telinga hanya untuk menjadi lebih panik setelahnya.

“Nggak ada sinyal,” pekiknya, “Di sini nggak ada sinyal!” Dia menatap Narendra. Pupil matanya mengecil oleh ... rasa takut?

Wanita ini sebenarnya kenapa?

“Ponsel lo ada sinyal?” Akhirnya dia bertanya juga pada Narendra.

“Buat apa?”

“Lo bego atau apa? Kita terjebak di sini! Kita butuh bantuan secepatnya!”

“Kita nggak akan mati kalau pun hanya terjebak di sini selama beberapa menit.”

“Tapi lampu lift bisa aja mati!”

“Dan kenapa kalau lampunya mati?”

“Ponsel lo ada sinyal apa nggak? Tinggal jawab aja kenapa, sih?!”

“Kamu yang butuh, kenapa kamu yang ngotot?”

“Kalo di lo ada sinyal, hubungi Akira buat gue.”

Hubungi Akira buat gue.

Naren tidak bermaksud pelit. Ia bisa saja meminjamkan ponselnya pada Berlian, entah ada atau tidak adanya sinyal. Hanya saja, cara meminjam orang ini tak sopan sama sekali. Tidakkah saat kecil dia diajari tatakrama, diajari mengucapkan maaf, tolong, dan terima kasih pada orang lain?

“Saya tidak tahu ada sinyal apa tidak, tapi saya keberatan meminjamkan ponsel sama kamu.”

Berlian menelan ludah. Bibirnya menegang dan agak pucat, dia menatap Naren beberapa saat dengan pnuh tekad, lantas maju dengan serampangan dan ... coba tebak apa yang wanita itu lakukan?

Dia meraba kemeja Narendra dengan gerakan mencari-cari. Membuat laki-laki itu tersentak kaget tentu saja. Lantas bergeser menjauh menghindari Berlian yang terlewat berani. “Hey, hey! Apa yang kamu pikir sedang kamu lakukan?!”

Bukannya menjawab, Berlian malah mengikuti setiap gerakan Narendra dan kini meraba bagian celananya.

Ya, ampun! Narendra laki-laki. Dan dia digerayangi seorang pelakor di lift sempit yang sedang macet. Demi apa, dia masih perjaka dan belum rela kehilangan status itu sebelum malam pengantin dengan Syifa.

“Jangan macam-macam kamu, Berlian! Saya bisa laporkan kamu ke polisi atas tindakan asusila!”

“Diam!” pekik wanita itu yang kini meraba kantong depan bagian kiri, ke kanan, rasanya agak ... geli. Sial! Naren menggeliat, ingin mendorong tubuh kecil itu tapi takut salah sentuh. Tubuh wanita terdiri dari: area sensitif, area sensitif, dan area sensitif! Apalagi Naren punya satu komitmen yang juga belum ingin dilanggarnya. Menyentuh perempuan sembarangan, karena kalau ibu tahu, ia bisa dipecat sebagai anak!

Tapi, ini godaan yang terlalu besar!

Apalagi saat ... saat ... Berlian meraba bokongnya, lantas memekik girang. Saku belakang jins Naren yang cukup dalam, Lian rogoh, membuat tubuh mereka menempel. Tidak keseluruhan, hanya sebagian, sebagian kecil yang sukses membuat jiwa pemangsanya terbagun paksa.

Narendra menggeram dengan napas tertahan selama tangan kecil itu bergerak turun, turun, turun, dan ... Naren tidak tahan lagi. Dengan gerak keras, Narendra dorong tubuh kecil itu menjauh hingga punggung Berlian menabrak bagian dinding lift yang lain. Tapi alih-alih marah, wanita itu malah menunjuk ponsel Naren yang berhasil diambilnya dengan tampang lega. Lantas mulai menekan tombol aktif.

“Perempuan macam apa sih, lo?” hilang sudah bahasa formalnya. Dia tidak mungkin bersedia bersikap formal pada wanita yang cukup murahan untuk bersedia meraba-raba lelaki yang dibenci dan bahkan baru dikenal!

“Gue Cuma mau pinjem ponsel.”

Cuma mau pinjam ponsel. Ringan sekali jawaban si Berlian menyebalkan. “Tapi, bukan seperti itu caranya. Kamu bukan meminjam, tapi mencuri!”

“Kodenya apa?” Dasar bebal, bukan menanggapi, dia malah menampakkan layar ponsel Naren yang terkunci. Narendra berusaha memanfaatkan itu untuk merebut ponselnya kembali saat dengan gesit berlian menjauhkan benda persegi itu dan menempelkannya ke bagian dada atas. “Kodenya apa?!”

Praktis membuat Naren langsung berhenti bergerak dan menggeram. Sungguh, ia ingin mengumpat dan mengabsen seluruh isi kebun binatang sekarang.

Makhluk ini benar-benar barbar!

“Jangan harap gue mau ngasih tahu!”

“Kodenya apa?! Atau gue banting ponsel lo!”

Banting? Berani dia membanting ponsel yang bahkan baru Naren beli Minggu lalu? Ya Tuhan, Narendra tidak bisa habis pikir. Manusia macam apa sebenarnya Berlian ini?

Pencuri. Pemaksa. Pengancam. Barbar. Menyebalkan. Licik. Selingkuhan. Murahan. Naren yakin, bahkan setan sekali pun mungkin akan kalah jahat dengan seorang Berlian. Ah, dia lebih cocok diberi nama batu kali dari pada Berlian. Berlian terlalu berharga. Berkilau. Tak tersentuh. Jauh sekali dari kesan yang ditampilkan wanita simpanan Akira.

Yang paling menyedihkan dari segalanya, Narendra tidak bisa menjadi beradab bila berada di dekat seorang Berliana Pratista.

“Satu satu satu satu satu sembilan,” desisnya setengah tak rela. Menatap penuh sayang pada benda pipih yang entah terlalu beruntung atau terlalu sial karena berhasil menempeli bagian kulit telanjang Berlian. Ah, setelah ini Naren harus membersihkan ponselnya tujuh kali dengan air, salah satunya harus air yang dicampur debu! Biar ponsel malang itu bisa kembali suci!

Tanpa berkata lagi, Belian langsung mengetik angka-angka yang Naren sebutkan, tepat saat lampu lift benar-benar mati.

Lalu detik kemudian, ponsel Naren yang semula berada dalam kuasa Berlian jatuh.

Jatuh. Ponsel baru yang belum genap berusia satu minggu itu jatuh. Atau dijatuhkan.

Marah, Narendra segera berjongkok meraih benda itu. “Lo niat minjem, nyolong, apa ngerusak sih?!” omelnya. Menggunakan pencahayaan layar ponsel yang tak seberapa, Naren berusaha mengecek bagian luar si mungil canggih, untungnya masih mulus, hanya ada bekas goresan sekidit di bagian pojok bawah yang cukup membuat hatinya sesak. Benda yang Naren perlakukan dengan baik dan cukup hati-hati, main dibanting-banting oleh orang lain. Orang lain yang sangat tidak disukainya.

“Gara-gara lo, ponsel gue kegores!” dumelnya seraya mengaktifkan lampu senter namun tidak berhasil lantaran daya baterai berada di bawah lima belas persen.

Merasa aneh lantaran suasana yang mendadak sunyi—Berlian yang ia tahu tidak bisa diam—Naren arahkan cahaya ponsel seadanya ke sekeliling ruang sempit itu dan mendapati tubuh kecil Berlian meringkuk di sudut lift dengan mata nyalang yang terbuka lebar-lebar. Pupilnya bergerak liar seolah mencari-cari.

“Berliana,” panggil Naren dengan nada hati-hati. Kondisi aneh Berlian berhasil membuat Naren lupa pada bekas gores di ujung ponselnya. “Katanya lo mau pinjam hape gue. Ini, ada sinyal tapi agak lemah.” Ia ikut berjongkok, menyodorkan ponselnya pada Berlian yang sama sekali tak bereaksi. “Mau gue bantu teleponin Akira? Tapi, gue nggak ada nomor dia.” Mengingat sesuatu, Naren meringis. Akira sedang bersama Nara sesuai misinya. Tapi, kalau Berlian memang butuh laki-laki itu sekarang, Naren tidak punya pilihan lain, kan? Jelas hanya Akira yang bisa menangani selingkuhannya yang mendadak aneh.

Apa wanita ini takut kegelapan? Haha ... konyol. Jiwa yang gelap takut gelap.

Ah, tidak lucu sama sekali.

Mendengar napas Berlian yang kian tidak beraturan, Naren mendadak panik. Ia menarik tas Berlian dan mencari ponsel wanita itu yang syukurnya tidak dikunci.

Nama Akira berada di daftar teratas kontak. Naren segera menghubungi lelaki itu secepat gerak jarinya bisa menari lincah di atas keypad.

“Halo, dengan siapa saya bicara?” sapa suara berat sang lawan bicara melalui speaker ponsel.

“Akira, ini gue. Naren.”

Terdengar dengus jengah di seberang saluran. “Ngapain lo hubungin gue?”

Narendra menahan diri untuk tidak memutar bola mata. Harusnya ia yang mendengus, bukan si berengsek itu. “Denger, ini penting. Gue sama Berlian terjelab di lift.”

“Terjebak di lift?” ulang lelaki itu dengan nada ngeri yang kental, “Apa ... apa lampunya padam?”

“Iya.”

Terdengar umpatan sebelum sambungan telepon mati lantaran baterai ponsel Narendra habis.

¤¤¤

Ah, kasian Narenku harus terjebak sama pelakor🤧

Bdw, buat yang nanya kisah Akira Nara, jangan cari di work saya, tapi di Kak GreyaCrazz yes. Dan yang nanya siapa tokoh utama di sini, keempatnya tokoh utama.

Esto bule dhin dhika,  Cah😘

Pamekasan, 19 Sept 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top