4th Temptation
4th Temptation
¤¤¤
Nara yang Naren kenal dulu, tidak semerepotkan ini. Sungguh. Dia bukan tipe perempuan yang akan heboh dengan penampilan. Oh, jangankan perihal pakaian, berdandan pun dulu dia jarang. Tapi, ini?
Naren menggeram di depan halaman rumah besar berlantai dua sambil mengecek kembali arlojinya untuk yang ke ... ya ampun, ini bahkan sudah satu jam. Dan apa kata pembantunya saat terakhir Naren bertanya nyaris lima belas menit lalu?
“Mbak Nara belum selesai mengeriting rambutnya.”
Mengeriting rambut!
Salah satu dari banyak alasan Naren mendambakan Syifa sebagai istri, saat nanti mereka ada acara, wanitanya tidak perlu repot-repot mengeriting rambut atau pusing memilih anting dan kalung mana untuk dicocokkan dengan pakaian. Cukup kenakan selembar penutup kepala, dan voila! Mereka siap pergi.
Empat puluh lima menit lagi pesawat lepas landas. Dan Nara belum selesai mengeriting rambut. Baiklah, persetan dengan status mak comblang. Naren mengambil ponselnya, mendial nomor Nara yang ... lagi-lagi tidak diangkat.
Keluar dari mobil, ia berderap memasuki istana cantik yang suram itu.
“Tami!” panggilnya tak sabaran. Oh, sabar adalah hal terakhir yang harus Naren prioritaskan saat ini, karena bila hanya mengandalkan sabar, tiket penerbangannya terancam hangus. Bukan hanya masalah biaya lebih besar yang harus dikeluarkan, melainkan juga waktu. Naren benci membuang waktu percuma.
“Tami!” panggilnya sekali lagi dengan nada lebih keras saat panggilan pertamanya tak mendapat tanggapan.
Seorang wanita muda dengan pakaian tak kalah modis dari majikannya melangkah setengah tergopoh menuruni tangga, menghampiri Naren yang menjulang di tengah ruang depan dengan dua tangan terkubur dalam saku celana.
“Maaf, Mas, tadi saya lagi bantuin Nyonya naikin resleting bajunya.”
Uh, oh. Dia bahkan belum selesai mengenakan baju? Lalu satu jam ini, apa yang Naren lakukan? Menunggu seseorang yang tak kunjung selesai mengurus diri? Apakah semua wanita selelet ini? Ah, ibu Naren tidak begitu. Syifa tidak begitu!
Menarik napas panjang dan mengembuskannya kasar dalam bentuk dengusan, ia berucap penuh penekanan, “Bilang sama Nyonya kamu, dua menit dia belum selesai, saya tinggal!”
Tami membuka mulut, siap menyahut saat suara cempreng yang cukup menyakitkan telinga terdengar dari ujung tangga.
“Gue udah kelar, Ren. Kuy kita berangkat!”
Dengan wajah berdempul bedak, bulu mata lentik bermaskara, gaun merah selutut dan rambut berbentuk keriting gantung, Nara nyengir, mempertegas warna bibirnya yang senada dengan pakaian wanita itu. Heels setinggi entah berapa puluh senti yang barangkali belum sempat dikenakannya, Nara tenteng tinggi-tinggi, pun koper merah jambu nyaris setinggi tubuhnya berada di sisi yang lain.
Melihat wanita itu, Naren tercengang. Bingung sebenarnya. Nara ingin sekalian kabur dari Akira dan tinggal selamanya di Bali dengan koper sebesar meja kerja, atau ia hanya ingin mendatangi undangan pesta dengan penampilan seheboh itu?
Kini, bukan mulut Tami yang ternganga, melainkan Narendra.
“Tami, berhenti bengong dan cepet turunin koper saya!” perintahnya, tanpa kata tolong, seolah seluruh umat manusia memang harus mematuhinya. Sedang ia melimbai dengan kaki telanjang menuruni anak-anak tangga dengan gerakan super angkuh. Benar-benar asing. Dia jelas bukan Nara yang dulu Naren remaja kenal. Dan ia bersyukur, bukan dirinya yang dijodohkan dengan wanita ini, melainkan Akira.
Diam-diam, Naren bersimpati pada suami malang yang sudah Agung anggap anak sendiri. Akira begitu sial sampai harus memiliki Nara sebagai istri, dan Belian selingkuhan. Dua wanita itu sama-sama merepotkan. Sama-sama angkuh. Pendek pula, yang memaksa tinggi dengan sepatu berhak menakutkan. Dan kalau dipikir-pikir, kalau Berlian merupakan tipe ideal yang Akira inginkan, maka Nara sudah mengantongi segala persyaratan, tapi kenapa lelaki itu masih mencari orang lain?
Ah, ya, kecuali satu. Berlian anggun dan elegan, sedang Nara ... Naren meringis, terkena penyakit OKB—orang kaya baru—yang menjengkelkan.
Tiba di lantai bawah, wanita itu mengulurkan heels merahnya pada Naren dan berkata, “Pegangin sepatu gue, dong, Ren. Gue mau selfie dulu.”
“Kalau kamu mau foto-foto dulu, silakan, saya berangkat duluan.” Dan tanpa mau repot-repot meladeni Nara, Naren berbalik, melangkah panjang-panjang menuju pintu ganda rumah besar itu yang terbuka lebar. Empat puluh menit lagi, kalau tidak macet, ia masih bisa menyusul waktu. Tapi kalau macet ... kalau benar macet dan Naren ketinggalan pesawat, mungkin ia akan mencekik Nara.
“Eh, eh ... kalau lo berangkat duluan, gue sama siapa?” pekik wanita itu yang tetap Naren abaikan. Pada akhirnya, Nara menyusul, langsung masuk ke mobilnya tanpa permisi. Dia duduk di kursi penumpang depan. Sedang Tami dan Pak Sul kerepotan memasukkan koper besar Nara ke kursi belakang karena bagasi mobil nara tidak cukup menampungnya.
“Lo buru-buru banget sih, Ren? Buru-buru itu pekerjaan setan tahu, nggak boleh. Mau disamain sama setan? Ih, gue sih engga—”
“Diam atau aku turunkan?”
Nara langsung bungkam dengan bibir cemberut. Mendengus, ia memasang heels-nya. Naren yang mengira Nara akan terus diam sampai mereka tiba di Bali, harus mengelus dada memohon kesabaran, karena belum seratus meter keluar dari gerbang rumah, nara kembali menyerocos, menceritakan segala rencana kegiatan yang berniat dilakukannya selama liburan, tak peduli sekali pun Naren sama sekali tidak menanggapi.
Berkutat dengan kemacetan serta ocehan sepanjang jalan menuju Bandara, Naren merasa ia patut mendapat piagam penghargaan karena kepalanya masih utuh saat memasuki pesawat. Yah, sebuah keberuntungan besar mereka tepat waktu—Naren harus menyetir gila-gilaan dan nyaris menabrak pedagang kaki lima untuk ini, dan rasanya sepadan.
Dua jam lebih kemudian, ia memilih memejamkan mata, membiarkan Nara terus berceloteh meski sebenarnya Naren sedikit khawatir melihat wajah pucat wanita itu—barangkali karena ini kali pertamanya dia naik pesawat—sebagai bentuk dukungan, Naren hanya membiarkan Nara mencengkeram lengannya hingga lengan kemeja lelaki itu kusut. Naren lelah. Menunggu sejam penuh, nyaris ketinggalan pesawat, dan terjebak bersama istri orang, bukan pengalaman menyenangkan yang patut disyukuri. Dua detik setelah kelopaknya menutup, Naren berpikir, apakah Akira dan Berlian sudah tiba di Bali? Kalau iya, bagaimana caranya mempertemukan Nara dan suaminya di sela-sela waktu luang saat ia tidak harus survei lokasi dengan Rama?
Ah, tugas lain lagi. Naren benci kegiatan yang mengharuskannya banyak berpikir. Lebih-lebih memikirkan masalah yang bukan miliknya sendiri.
Tiba di Bali, Naren langsung memesan taksi, mengabaikan Nara yang merengek kelaparan dan mengajaknya makan dulu di kafe Bandara—entah di mana Nara yang pucat dan gemetaran di pesawat tadi.
“Kita bisa makan di hotel,” tolaknya.
“Kalau gue mati sebelum sampe di hotel gimana?”
“Gue kubur lo di pinggir jalan.”
“Ih, Naren kok jahat!”
Naren memutar bola mata seraya merogoh ponselnya di saku kemeja dan mematikan mode pesawat. Tidak kuasa ingin tahu apakah Akira sudah sampai di Pulau Dewata, ia membuka aplikasi instagram. Wanita sosial media macam Berlian pasti selalu mengunggah segala sesuatu yang bisa dipamerkan oleh dirinya.
Dan benar saja, instastory yang sudah seperti titik-titik saking panjangnya, berisi semua hal yang menceritakan sepanjang perjalanan dari Jakarta sampai Bali. Dia gambar terakhir, perempuan berambut pendek itu tampak menggunakan topi lebar, berpose merangkul leher Akira hingga kekasihnya harus menunduk untuk menyejajarkan wajah mereka di depan sebuah hotel—
“Putar balik, Bli, ke daerah Sanur,” ujarnya pada si sopir taksi. Cepat-cepat ia mencari nama hotel yang sama di sebuah aplikasi wisata untuk memesan kamar. Yah, setidaknya dengan ini ia tidak perlu repot-repot berpikir bagaimana harus mempertemukan Nara dan Akira. Cukup tempatkan mereka di penginapan yang sama, kalau semesta mendukung, dan bila takdir menginginkan dua manusia bodoh ini bersatu, maka segalanya akan dilancarkan.
Satu hotel, tidak mungkin tidak pernah bertemu, kan selama seminggu liburan? Kecuali mereka memang tidak berjodoh.
“Kenapa kita malah ke Sanur? Bukannya kamu bilang penginapan kita ada di daerah Kuta?” adalah pertanyaan Nara, yang bersambung dengan kalimat panjang selanjutnya, tak memberi kesempatan Naren menjawab, “Gue belum pernah ke Kuta, Ren. Pengen tahu pantai yang terkenal itu kayak apa. Katanya banyak banget turisnya. Terus gue mau belajar main surfing. Di Pantai Sanur, kata Google, ombaknya terlalu tenang. Terus ke Kuta jauh, kan? Ongkosnya mahal! Gue kemarin cuma dapet tambahan uang jajan sepuluh juta doang! Belum lagi buat belanja oleh-oleh.”
“Sanur lebih cantik dari Kuta. Percaya sama gue.”
Nara cemberut. Dia mendekap tangannya di depan dada dan memalingkan pandangan ke arah jendela.
Terima kasih kepada Berlian yang selalu membantunya memberikan clue apa yang harus ia lakukan. Untuk seorang selingkuhan, wanita itu entah terlalu bodoh atau terlalu pintar.
“Jadi, Bli,” ujar sopir menengahi, “kita ke Kuta atau Sanur.”
“Sanur.” Keputusan Naren final. Palu sudah diketuk. Mari sambut drama baru yang akan semesta suguhkan beberapa waktu lagi.
Naren dan Nara mendapat kamar di lantai tiga. Ruangan mereka bersebelahan. Kamar yang tidak terlalu besar, tidak terlalu kecil juga dengan single bed. Naren mengamati kamar Nara dengan cukup puas. Kurang lebih, seperti ini juga kondisi kamarnya.
Lelaki jangkung itu sudah akan berbalik, menyambangi kamar sendiri dan istirahat sebentar—ia butuh mandi dan tidur—saat Nara menarik ranselnya hingga Naren nyaris terjengkang.
“Tas lo taruh sini dulu! Gue laper. Lo janji ajak gue makan! Traktir karena udah bohong. Bilang Kuta ujung-ujungnya Sanur!”
Naren mendesah. Berjanji pada nara seperti janji pada bocah. Selalu diingat dan ditagih. Menurunkan ranselnya, ia letakkan juga dengan koper kecil yang dia bawa di dekat pintu agar nanti tidak susah mengeluarkannya. Lantas mengikuti Nara yang melangkah cepat ke arah lift dengan ocehan panjang. Dia lalu memencet panel lift berulang-ulang dengan gerakan tak sabaran. Mungkin Nara sudah benar-benar kelaparan.
Pintu aluminium itu pun akhirnya terbuka. Disusul pekikan Nara kemudian.
Mengedip, Naren menelan ludah. Semesta terlalu cepat mengabulkan harapannya.
Di depan sana, di hadapan mereka, di dalam kotak aluminium, Akira dan Berlian sedang berangkulan mesra. Sejenak, Nara merasa waktu berhenti berputar saat mata sepasang kekasih di depannya membulat. Terkejut, pasti. Kalau dalam sebuah drama, adegan ini sudah ditayangkan dalam bentuk slowmotion serta latar musik menyebalkan.
Setelah sepersekian detik yang sunyi dan menegangkan, Akira memecah ketegangan itu dengan geraman. “Nara,” ia menurunkan tangannya dari bahu Berlian, “sedang apa kamu di sini?!”
Yang ditanya mengerjap. Ia menatap Akira cukup lama, kemudian Berlian, lalu Naren, dan ... kabur terbirit-birit.
Reaksi yang luar biasa mengingat Nara tadi merengek kelaparan.
Akira mengejarnya. Sesuatu yang tak Naren sangka. Lelaki itu keluar dari lift, meninggalkan Berlian yang berteriak memanggil.
Pemandangan langka. Naren menggeleng-geleng takjub. Merasakan perutnya keroncongan, ia pun masuk lift dan bersandar pada dinding belakang aluminium sembari menarik tas selempang Berlian yang hendak ikut mengejar kekasih yang mengejar istrinya. Ck, istilah macam apa ini. Mengejar kekasih yang mengejar istri. Kalimatnya tidak efektif sama sekali.
“Lepasin gue!” pekik Berlian, berusaha menarik tas selempangnya dari tarikan Narendra, tapi tidak semudah itu. “Lepas!” teriaknya lebih keras.
Naren mengedik, lantas mematuhi titah sang ratu yang menggeram marah bagai singa yang anaknya dilukai. Setelah lepas dari cengkeraman Naren, Wanita itu kemudian berbalik, hendak keluar, tapi terlambat. Pintu lift terlanjur menutup.
Welcome to the—
“Lo sengaja kan, ngalangin gue?! Dasar cowok sialan lo!”
—hell.
¤¤¤
Berlian kembali beraksi, yeah ...
Esto bule dhin dhika, Cah😘
Pamekasan, 17 Sept 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top