2nd Temptation

2nd Temptation
¤¤¤

“Selamat ulang tahun, Sayang.” Akira berbisik di telinganya dalam gerakan dansa sebelum mengencangkan jalinan tangan mereka di tengah-tengah iringan irama musik yang mengalun.

Lian mendongak. Tubuhnya mengikuti setiap gerakan Akira. Ke kiri dan ke kanan. Tekanan salah satu tangan pria itu di punggungnya terasa posesif dan hangat. “Terima kasih,” balasnya. “Ini kejutan yang luar biasa.”

“Untuk seseorang yang juga luar biasa.” Si tampan dalam balutan setelan resmi itu menyentak tubuh Lian dalam putaran dansa. Lian tertawa. Gerakannya anggun. Ujung gaun kuningnya yang tampak serasi dengan kulit Lian yang putih pucat berkibar-kibar.

Malam ini indah. Sangat indah. Berlian tidak menyangka kekasihnya akan memberikan kejutan semanis ini. Akira bukan tipe laki-laki romantis. Oh, jauh dari kata romantis sebenarnya. Dia kaku. Di awal hubungan mereka terjalin, Akira bahkan lupa hari ulang tahunnya. Lalu tahun lalu, dia hanya mengirim bunga dan kotak hadiah yang ditutup dengan makan malam bersama. Begitu saja, Lian sudah merasa istimewa.

Namun, kini?

Berlian nyaris tak bisa berkata-kata saat baru sampai di kafe favoritnya. Siang tadi Akira mengiriminya pesan ajakan makan malam. Lian sudah menyangka untuk perayaan ulang tahunnya yang ke-24. Tapi tidak pernah menduga Akira mau repot-repot mengosongkan lantai dua hanya untuk mereka. Dan para pemain musik itu? Hiasan-hiasan ini? Lian jadi harap-harap cemas seraya bertanya-tanya dalam hati, mungkinkah Akira mau melamarnya?

Kalau benar demikian ... tenggorokan Lian tersekat membayangkannya. Kalau benar demikian ... Akira menarik tubuh ramping gadis itu kembali ke pelukan. Dia mengangkat tangan kiri Lian sedikit lebih tinggi dengan tangan kanannya yang kuat. Lalu sesuatu yang dingin terasa meluncur di jari manis.

Lian seketika membeku. Dia berhenti menari demi melihat sesuatu yang melingkar apik di salah satu jemari tangan kirinya.

Platina bertahta berlian.

Tangan kanannya yang disandarkan di bahu Akira ia tarik spontan demi menutup mulut yang ternganga. Cincin. Akira memberinya cincin berlian. Batu berlian yang berpendar-pendar indah di bawah bias cahaya lampu itu seolah mengerling padanya.

“Kamu suka?” tanya Akira, masih setengah memeluk tubuh Lian yang mendadak membeku. Menatap mata hitam Lian seolah mencari-cari sesuatu.

“Suka?” Lian mengulang tak percaya, setengah histeris dan setengah tertawa kering. “Aku bahagia, Akira!” serunya sembari berjinjit dan mengalungkan tangan ke leher lelaki itu. Memeluknya dengan air mata yang nyaris tumpah. “Makasih.”

Akira balas memeluknya sambil tertawa rendah, sesekali mencium puncak kepala Lian. “Kebahagiaan kamu, kebahagiaan aku, Lian. Jangan pernah ragukan itu.”

Lian mengangguk-angguk. Masih berusaha menahan tangis.

Sejujurnya, ia tidak butuh kejutan semacam ini. Dengan adanya Akira di sisinya, itu sudah cukup, saat ayahnya sendiri malah lupa. Tapi, kalau boleh berharap, hal selanjutnya yang ia mau adalah ... Akira berlutut dengan satu kaki dan memintanya menjadi istri.

Namun, hal tersebut tidak terkabul. Alih-alih, Akira melepaskan pelukan mereka dan membimbing Lian kembali ke meja. Tanderloin steak dengan tingkat kematangan medium, salah satu menu yang Lian suka di kafe ini, terhidang di meja dengan jus lemon. Lian berusaha untuk tidak kecewa. Ia menggigit lidahnya pelan untuk tidak bertanya, kapan mereka akan meresmikan hubungan.

Meresmikan hubungan? Satu suara yang berasal jauh dari dalam kepalanya bertanya satire. Apa yang bisa diresmikan dari laki-laki yang masih resmi berstatus suami orang? Lian duduk di kursi yang Akira tarikkan untuknya dengan bertumpu pada meja, berusaha menerima kenyataan pahit bahwa saat ini dirinya tak lebih dari sekadar kekasih gelap.

Namun, kekasih gelap mana yang dikenalkan pada keluarga?

Akira tidak mencintai istrinya, itu yang cukup Lian tahu. Pernikahan itu ada karena dipaksakan keluarga. Dan Akira masih bertahan karena terpaksa. Laki-laki itu hanya sedang menunggu istrinya bosan dengan status gantung mereka, lantas mengajukan perceraian. Tapi, kapan? Sudah bertahun berlalu, tapi tak juga ada kejelasan.

Lian sudah pernah mengatakan, ia punya impian menikah muda agar selirih umurnya dengan anak-anak tidak terlalu jauh. Anak perempuan pertama—bila Berlian beruntung memilikinya—akan menjadi teman menyenangkan untuk di ajak ke salon dan berbelanja baju. Lalu anak laki-laki menyusul kemudian. Membayangkannya saja, Lian sudah tidak tahan.

Berapa tahun lagi yang Akira butuhkan untuk menyingkirkan Nara? Satu? Dua? Lima? Saat ini saja Akira sudah memasuki usia kepala tiga. Apa lelaki itu tidak pernah memikirkan anak-anak? Keluarga yang sebenarnya?

Meraih garpu dan pisau, Lian mulai memotong lembar steak yang menguarkan aroma nikmat itu. Cincin berlian baru di tangan kirinya sesekali tampak berkilau mengejek. Memasukkan satu suap ke dalam mulut, Lian mulai mengunyah daging empuk bercita rasa khas itu di mulut. Perpaduan daging dan bumbu rahasia K(af)E REN—nama tempat makan ini—memang berbeda. Tapi kali ini Lian tidak bisa meresapi kenikmatan di mulutnya. Ia seperti mengunyah serbuk gergaji.

Menelan daging yang belum halus terkunyah dalam mulutnya, Lian tak bisa menahan diri lagi.  “Gimana kabar istri kamu?”

Istri kamu. Rasanya saat kata itu diolah dalam kepala, Lian merasa seperti wanita jahat yang berusaha merebut suami orang. Benar dia berusaha merebut Akira, tapi dirinya bukan wanita jahat. Hanya seorang perempuan yang jatuh cinta. Justru Nara lah yang jahat, mempertahankan pernikahan demi bisa hidup nyaman padahal dia dan Akira tidak saling jatuh cinta. Tidak saling membutuhkan. Bahkan tidak saling berhubungan.

Nara melakukannya semata-mata hanya demi uang—kata Akira dulu. Dan Lian memercayai itu, karena ibu Akira lebih menyukainya daripada Nara. Wanita itu bahkan diasingkan ke pinggiran kota.

Mendapat pertanyaan tentang istri yang tidak diinginkannya, Akira mendesah. Seolah topik tentang Nara merupakan hal yang begitu ia hindari. “Tadi siang kami bertemu,” jawabnya kemudian, berhasil membuat gerakan Lian yang kembali berusaha memotong daging, terhenti. Gadis itu mendongak, memandangnya dengan ekspresi terkejut yang tak ditutup-tutupi.

“Bertemu?” Dia mengencangkan genggamannya pada gagang garpu dan pisau di masing-masing tangan. “Kamu mengunjunginya?” tambah Lian dengan nada penuh tudingan. “Kamu bilang, satu-satunya acara siang tadi Cuma makan bareng keluarga temen papa kamu!”

“Jangan marah dulu. Aku nggak mungkin ketemu dia kalo nggak perlu. Kami ketemu di rumah Om Agung. Aku nggak tahu kalau dia juga diundang.”

“Seandainya kamu tahu dia ikut diundang, apa kamu bakal tetep dateng?” Dalam hubungan ini, Lian memang pihak yang cemburuan dan ... posesif. Terlebih, bila menyangkut apa pun tentang Nara. Akira memang tidak mencintai istrinya, tapi kenyataan bahwa Nara memiliki hak yang lebih tinggi, membuat Lian tidak terima.

“Lian,” Akira melepas garpunya, meraih tangan Lian di seberang meja untuk digenggam, “Om Agung udah kayak papaku sendiri. Aku nggak mungkin mengabaikan undangan beliau.”

“Bahkan demi aku?”

“Kamu tahu posisi kita sulit.”

“Kamu yang membuatnya sulit, Ki. Kamu!”

“Lian—”

“Kamu bisa aja menceraikan Nara dan membiarkan dia membusuk dengan seluruh uangnya!”

“Uangku!” ralat Akira dengan nada menggeram. “Uang keluargaku!” imbuhnya. “Dan kamu tahu aku nggak bisa melakukan itu.”

Lian mengernyit merasakan pegangan Akira pada tanganya menguat hingga terasa sakit, tapi dia belum mau berhenti. “Kamu bisa. Kamu yang nggak mau!”

Alunan biola yang sejak tadi mengiringi mereka mulai melambat, barangkali para pemain musik menyadari ketegangan mereka. Dan Lian tidak peduli.

“Lalu membiarkan dia menguasai sebagian harta keluarga kami?”

“Kamu bisa mendapatkan yang lebih. Kamu hanya harus lebih berusaha. Kamu cerdas, Akira. Kamu punya tangan seperti Midas. Apalagi yang kamu butuh?”

“Pengertian dari kamu untuk bersabar.”

Lian menarik lepas tangannya dengan kasar, dan Akira membiarkan. “Sampai kapan?” raung gadis itu dengan nada melengking, membuat alunan musik di sekitar mereka benar-benar berhenti. Dua lelaki pemain biola, saling tatap penuh arti satu sama lain, bimbang harus melanjutkan atau pergi. Sampai kemudian Akira mengibaskan tangan dan mereka pun mundur perlahan. “Apa kamu bisa memberi batas waktu? Sampai kapan aku hanya menjadi simpanan kamu?!”

“Kita berdua tahu kamu bukan simpanan! Jangan nilai diri kamu serendah itu!”

“Lalu apa?”

“Kamu gadis yang aku cintai.”

“Yang kamu cintai tapi nggak berhak memiliki kamu?”

“Kamu sadar, kamu sudah mulai banyak menuntut!”

Lian menyentuh bagian kepalanya, lantas menyugar rambut dengan gerakan frustrasi. Dia frustrasi menghadapi sikap Akira yang kurang tegas pada Nara. Dia frustrasi menghadapi situasinya yang tidak menyenangkan. Dia frustrasi memikirkan ada wanita lain yang lebih berkuasa atas lelaki yang dicintainya. Akira miliknya. Dan hanya ia yang berhak atas lelaki itu seharusnya. “Aku berhak melakukan itu, kan?”

Akira hanya menatapnya. Tajam. Dan Lian sudah bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya.

¤¤¤

Naren menatap kertas tagihan itu dengan puas. Ah, bukan karena lembar tagihan sebenarnya, melainkan kenyataan bahwa makan malam romantis Akira dan Berlian yang berakhir berantakan.

Oh, kalau boleh dilanjutkan, sangat berantakan. Mereka bertengkar, lalu Akira yang marah meninggalkan wanita itu sendirian di lantai dua dengan lampu-lampu hias yang masih berpendar.

Yang paling menyenangkan dari semua itu, ternyata asisten Akira belum melunasi biaya booking lantai dua, pihak mereka baru membayar separuh. Lalu sekarang lelaki itu pergi. Pulang lebih dulu, meninggalkan Lian yang malang seorang diri meratapi nasibnya di atas sana. Ah, perumpamaan Naren terlalu mengenaskan, tapi Naren puas membayangkan perebut suami orang menderita. Sepadan saja rasanya. Fakta bahwa Lian yang harus menutupi sisa pembayaran lebih menyenangkan lagi. Dan coba tebak yang lebih dan lebih membuat Naren ingin tertawa sambil berguling-guling?

Tas Lian beserta isinya, yang memang sengaja wanita itu tinggalkan di jok belakang mobil Akira, mungkin agar tidak mengganggu acara makan malam romantis mereka, sudah Akira bawa pergi. Barangkali saking marahnya, Akira sampai tidak menyadari bahwa ia meninggalkan kekasih yang katanya dicintai tanpa uang sepeser pun di kafe Naren.

Ini benar-benar hari yang menyenangkan.

“Suruh dia cuci semua barang kotor di dapur kalau tidak bisa membayar,” intruksinya pada Joni, manajer K(af)EREN yang berdiri di tengah ruang kerjanya untuk melapor.

“Tapi, Bos, Mbak Berlian merupakan pelanggan setia kafe kita. Dia meminta keringanan untuk membayar kekurangannya besok. Apalagi biaya booking tidak murah. Mencuci semua stok piring bahkan membersihkan seluruh kafe ini saja tidak akan cukup.”

Naren menjalin jari jemarinya di bawah dagu dengan binar kepuasan di wajahnya yang membuat Joni agak bingung. Lebih-lebih, bosnya justru tersenyum geli. “Karena mood saya lagi baik sekarang, dia cukup melunasi semua kekurangan baya dengan hanya mencuci piring.”

Karena Narendra tahu, Lian jenis betina yang seumur hidup tidak pernah menggunakan tangannya yang halus untuk pekerjaan domestik. Naren yakin, wanita itu bahkan tidak bisa membedakan vetsin dan garam.

“Bos yakin?”

Naren berdecak. Ia mengibaskan tangan untuk menyuruh Joni melakukan apa yang ia perintahkan. Manajer itu hanya mengembuskan napas lelah sebelum berbalik pergi hanya untuk kembali lima menit kemudian.

“Mbak Berlian menolak. Dia menggadaikan sepatunya sebagai jaminan.”

Sepatu Berlian jelas bukan dari merek abal-abal. Kalau dijual lagi, Naren bisa mendapat untung banyak. Tapi, tidak. Ia melirik sepatu yang berhak luar biasa tinggi itu yang kini teronggok di atas meja kerjanya tanpa minat. Ia lantas berdiri, menyerahkan tugas ini pada Joni yang tidak mengerti niat Naren untuk mengerjai Lian, tentu tidak akan berakhir seperti yang ia mau.

Bangkit dari kursi kebesarannya, Naren ambil sepatu itu. Ia tenteng heels berbahan kulit asli dengan tangan kirinya seolah benda tersebut tidak berharga. Oh, memang tidak bila benda ini kepunyaan wanita keji perebut suami orang. Naren benci wanita yang yang rela menjadi simpanan meski demi cinta. Seolah cinta bisa menghalalkan segalanya.

“Biar saya yang tangani dia. Kamu urus saja yang lain,” instruksinya sebelum melenggang keluar ruangan dengan perasaan puas yang tak ditutup-tutupi.

Tiba di puncak tangga lantai dua, Naren dapati wanita bertubuh kecil sedang membelakanginya. Dia berdiri di samping terali, menatap ke atas, pada langit gelap Ibu Kota yang gelap gulita. Ujung gaun kucingnya melambai pelan ditiup angin malam.

Naren mengernyit. Lantai ini kosong, hanya ada wanita itu saja. Tapi, tidak mungkin dia Berlian. Berlian tak semungil itu seingatnya. Dan tampak rapuh dari belakang.

Tidak, tidak ada wanita perebut yang rapuh, karena mereka harus tangguh untuk berjuang naik tahta dari yang kedua menjadi yang utama. Rapuh hanya kedok mereka di depan target.

Menurunkan pandangan, Naren lihat kaki wanita mungil itu yang telanjang, lantas melirik heels yang ditentengnya. Ah, jadi tinggi karena ini, pikirnya masam. Lian bahkan sedikit lebih pendek dari Nara.

Melangkah kian mendekat, Naren berdeham, berusaha menarik perhatian.

Berhasil. Berlian memutar tubuh menghadapnya.

Berlian cantik. Harus berapa kali Naren ulang kata itu di otaknya sampai ia terbiasa dengan kenyataan itu sehingga tidak harus selalu terpaku setiap kali menatap wajah simpanan Akira ini. Kulitnya pucat, dan tampak bercahaya. Pasti perawatannya mahal. Rambutnya yang dipotong sebahu, diblow. Warnanya hitam legam. Sangat hitam hingga tampak berkilau di bawah bias lampu. Entah berapa rupiah yang sudah wanita ini buang untuk memiliki penampilan sempurna. Seperti potretnya di instagram, wanita ini berdandan sederhana. Bulu mata lentik. Alisnya lurus seperti yang sedang tren. Matanya agak sipit. Tulang pipi tinggi. Bibir tipis agak lebar. Hidung kecil mancung. Dia mengenakan gaun sepaha berkerah Sabrina, memamerkan tulang selangkanya yang menonjol. Secara keseluruhan, Naren ulangi sekali lagi dengan berat hati. Wanita ini cantik. Wajahnya terlihat begitu muda dan kerling matanya bagai gadis tak berdosa. Tapi, siapa yang coba Berlian kelabui dengan tatapan polos itu? Dia lebih daripada sekadar berdosa.

“Mbak Berlian,” sapanya.

Yang namanya disebut berkedip, “Ya?” dengan nada tanya. Ia lantas melarikan pandangan ke bawah, pada tangan Naren, lantas menaikkan alis dengan angkuh dan berseru, “Oh. Itu jaminan saya," ujarnya, seolah sepatunya begitu berharga, bahkan sisa pembayaran yang harus dilunasinya sama sekali tidak ada seujung kuku dari harga sepatunya. Membuat Naren muak. "Saya langganan di sini. Saya janji besok akan melunasi—”

Naren melempar sepasang heels berwarna nude itu ke depan. Jatuh tepat satu langkah di depan Berlian dengan bunyi pluk pelan, berhasil memangkas kalimat Berlian yang belum tergenapi.

“Jaminan Anda ditolak. Kebijakan kafe ini, bayar tunai atau debit. Dan atau, kalau tidak mampu,” Narendra sengaja menekan kata terakhir untuk menghina, “Anda terpaksa harus cuci semua barang kotor di dapur.”

Lian mengangkat pandangan dari sepasang heels-nya yang malang dengan mulut ternganga. Menatap Naren tidak percaya.

Naren menahan diri untuk tertawa. Wanita itu jelas kehilangan kata-kata.

¤¤¤

Tahu-tahu. Haters Lian nambah abis ini
Maki aja makiii... Berlian kuat kok😌

Dan akhirnya bab ini meluncur juga, setelah mengumpulkan mood yang mendadak kandas gegara ketajaman jari wattyjen🤧

Jadi, Cah, kalau kalian nggak suka tulisan saya, langsung melipir aja, ya. Itu lebih baik daripada maksa baca cuma buat ngomongin di belakang. Komennya baik di wp, eh nyakitin di sosmed lain.

Udah ah, kalo inget sakit hati saya. Toh, masih banyak yang baik. Kucrut2 itu lupakan sahajaaa~~~
Biarkan anjing menggonggong kafilah tetap berlalu~~~

Esto bule dhin dhika, Cah😘

Pamekasan, 05 September 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top