26th Temptation

26th Temptation
¤¤¤

Berlian mendesah keras melihat telapak tangannya yang keriput. Telapak tangan yang dulu begitu cantik, bersih dan terawat, kini ... tinggal kenangan. Berlian bahkan telah lupa bagaimana bentuk tangannya dulu. Yang pasti halus dan tidak sekasar ini. Bagaimana kalau nanti ada pangeran tampan berpajero putih bila ingin berjabatan dengannya? Uh, uh. Dia pasti akan melihat Berlian dengan tatapan sangsi penuh spekulasi.

Ah, ya nasib. Sang tuan putri telah turun tahta menjadi upik abu. Hidup anak tiri yang tak diakui mungkin lebih baik darinya. Setidaknya, anak tiri tidak diusir oleh ayah kandung, melainkan ibu sambung yang jahat. Jika begini, bagaimana cara ia bertemu pangeran? Dirinya bahkan lebih rendah dari pelayan.

Mengelap tangannya dengan hati-hati pada kain celemek yang digunakan, Berlian berbalik, tepat saat Joni masuk ke area belakang dan menyebut nama si tukang cuci dengan enggan. “Lili!”

Wanita yang suasana hatinya sedang tidak baik lantaran ... kondisi tangan yang menyedihkan, mengangkat satu alis tinggi-tinggi. Lantas menyilang tangan di depan dada dengan gaya angkuh, menantang Joni yang jelas sekali tidak tertarik padanya. Oh, Lili si tukang cuci piring memang cantik, tapi berpenampilan norak dan bertompel. Sekelas pelayan pun masih berpikir puluhan kali untuk mendekatinya, apalagi pangeran berpajero.

Ya ampun, posisi Berlian benar-benar tak tertolong.

“Ya?” sahutnya dengan bibir cemberut.

“Dipanggil Bos ke ruangannya sekarang.”

“Ada perlu apa?”

“Mana gue tahu.” Joni melengos dan langsung pergi begitu saja. Tak menutup-nutupi rasa jengahnya terhadap Lili serta keinginan buru-buru pergi. Lagi pula, oh itu hanya seorang Joni bukan pangeran. Tapi, kenapa diperlakukan dengan tidak menyenangkan sebegini menyebalkannya, ya?

Melepas celemek dengan gerakan kasar dan melemparkan sembarangan ke arah kursi buluk yang disediakan sebagai tempat istirahat, Berlian membetulkan posisi kacamata anti radiasinya sebelum melangkah keluar dari ruang sempit penuh piring kotor itu menuju ruangan tempat sang bos berada.

Tiba di depan pintu kayu berukir sederhana yang dicat putih itu, Berlian mengetuk dua kali. Detik kemudian suara bass yang ia kenali memerintahnya untuk masuk.

Memerintah. Begitulah. Ingat, ia memang babu sekarang. Posisi yang mau tidak mau harus diterima. Namun, sebentar lagi keadaan akan segera berubah. Sebentar lagi. Sampai ponselnya berdering. Panggilan dari kurir pengantar barang yang mengabarkan—

“Masuk, Lili!” ulang suara bass itu lagi, yang mau tak mau memaksa Berlian membuyarkan seluruh lamunan menyenangkan dalam kepalanya.

Tanpa menyahut, Berlian menyentuh kenop pintu dan menariknya ke bawah hingga daun persegi yang terbuat dari kayu jati pilihan itu terdorong ke depan. Menampakkan sosok Narendra yang duduk angkuh di balik meja kerja besar dengan penuh kuasa. Laptop bergambar apel tergigit berada dalam posisi terbuka di hadapannya. Dia, tiran kejam yang sialnya berhasil membuat pikiran Berlian semraut akhir-akhir ini. Bukan sang pangeran.

“Saya merasa tidak melakukan kesalahan apa pun,” katanya tanpa rasa takut. “Kenapa saya dipanggil?”

Naren mengedikkan bahu sambil memutar-mutar kursi kerjanya ke kiri dan kanan. “Kamu tidak melakukan kesalahan apa pun, Lili.” Ada penekanan cukup kuat dalam nada suara lelaki itu saat menyebut namanya, yang entah mengapa membuat Berlian merasa ... ia perlu curiga.

“Kalau begitu, kenapa?”

Seringai kecil di ujung bibir Naren memang menarik. Oh, sangat menarik. Tapi, bukan itu poinnya.

Ada sesuatu. Sesuatu yang lain. Naren tidak bermaksud menggoda atau memikat. Tidak akan pernah. Hanya saja—

“Ada yang ingin bertemu kamu.”

Ah, jadi itu. Ada yang ingin bertemu. Tapi, “Siapa?” Berlian mengerjap, teringat bahwa saat ini dirinya sedang menyamar sebagai orang lain. Tak ada yang mengenalnya dalam diri seorang Lili. Pun, tak ada yang mau peduli pada si buruk rupa yang bekerja di ruang paling kecil dan kotor di kafe ini. Sekali pun ada, orang itu hanya Narendra.

Jadi, bila ada seseorang yang ingin menemuinya, itu hanya berarti satu hal.

Penyamaran Berlian terbongkar. Atau tempat persembunyiannya sudah ditemukan.

Ooh .... Berlian menatap Naren nyalang dengan pundak yang tak lagi bisa setegak detik sebelumnya. Ada debar takut di balik dada yang secara tiba-tiba mengedor.

Apakah ... Akira yang ingin menemuinya? Atau, Berlian menelan ludah yang tiba-tiba terasa kelat. Harry-kah?

“Siapa?” tanyanya dengan suara tercekat.

Narendra yang menyebalkan tidak langsung menjawab. Ia menatap Berlian lekat selama beberapa saat sebelum mengedikkan bahu ke arah belakang punggung sang lawan bicara, tepat pada kursi panjang di sisi jendela ruangan.

Mengedip sekali lagi, wanita itu berbalik pelan hanya untuk mengetatkan rahang kemudian.

Di sana, beberapa meter dari posisinya berdiri, terdapat dua makhluk yang jauh lebih menyebalkan dari Narendra berada, dengan rupa yang sama. Keduanya saling dorong, berbisik-bisik, lalu tercengir lebar saat Berlian menatap dengan mata menyipit dan alis tertaut. “Kalian ...?”

“Ini.” Safir, menjulurkan dua tangannya yang dibebani kardus berukuran besar padanya. Tersenyum lebar kendati keceriaan yang ditampilkan tidak sampai ke mata. Jelas sekali dia tampak ngeri, berlama-lama menatap tompel di pipi kanan wanita berseragam pelayan itu. “Lili?”

“Kalian ngapain di sini?” tanya Berlian dengan suara mendesis tanpa mengindahkan pertanyaan sebelumnya. Membuat Safir praktis mundur dan malah mendorong Rubi ke depan dengan kardus di tangannya.

“Dia benar Lili kita,” bisiknya pada sang kakak yang masih bisa Berlian dengar. “Tapi, sejak kapan pipinya tumbuh tompel, Bi?”

Rubi berkedip lambat sebelum ikut tercengir lebar dan malah mengambil satu langkah mundur mensejajari si bungsu, “Halo, Lili,” sapanya basa-basi sambil melirik Safir dengan delikan sinis. Seolah berkata, kenapa lo dorong gue?!

Berlian tidak mengatakan apa pun, hanya mengubah tumpuan tubuhnya pada kaki kanan sembari bersedekap dengan posisi kepala yang dimiringkan. Dan hanya dengan gesture itu saja, dua lawan bicaranya langsung menurunkan pundak dengan desah napas pelan.

“Maaf,” keduanya berucap bersamaan. Safir mendekap kardusnya lebih erat seolah berusaha mencari perlindungan dari ... amukan mungkin? Yang pasti, ekspresi Berlian saat ini sangat tidak menyenangkan. Dia malah mengangkat satu alis tanpa menyahut sepatah kata pun. Yang si kembar  pahami, sang kakak butuh penjelasan.

Oh, oke, mereka memang sudah melanggar kesepakatan. Harusnya kurir yang datang ke sini membawa paket pesanan, bukan malah ... begitulah.

“Lili lama nggak keliatan.” Rubi yang memberanikan diri membuka suara, tahu adiknya tak akan berani mengucap sepatah kata bila Berlian sudah mengeluarkan ekspresi seperti itu. “Semua orang juga bersikap aneh. Semua barang-barang Lili tiba-tiba hilang. Kecuali,” ia melirik dus dalam rengkuhan Safir, “kardus yang tersembunyi di bawah kolong ranjang di kamar Lili. Yang ini.”

Untuk mendukung argumen kakaknya, juga agar memiliki peran dalam sandiwara ini, Safir mengangguk kuat-kuat. “Kami juga kangen Lili. Lili ngapain di sini? Jadi pelayan? Apa Lili lagi ada misi rahasia? Kalau iya, kenapa nggak ngajak kami?”

Berlian menarik napas panjang sebelum membuka mulut. Siap mendamprat dua makhluk itu saat bunyi lonceng terdengar keras di kepalanya. Memberi peringatan bahwa kini, ia berada di ruangan Narendra. Bosnya yang menyebalkan dan selalu ingin tahu. Jadilah, Berlian kembali menurunkan tangan ke sisi tubuh, lantas berdiri dengan benar. Berdeham, ia berkata, “Sekarang kita sudah bertemu, kan? Kalian bisa meletakkan kardus itu di lantai dan ... pulang!” pada kata terakhir, Berlian memberi penekanan cukup dalam sambil melotot hanya agar adik-adiknya langsung paham dan tak banyak bertanya.

Namun, sepertinya, Narendra tidak bisa membiarkan sandiwara yang berlangsung di ruangannya berakhir begitu saja. Lelaki itu bangkit dari kursi kebesarannya dengan gerakan anggun yang menyebalkan. “Well, well,” katanya seraya keluar dari balik meja, melangkah angkuh dengan bunyi ketuk sepatu yang membuat telinga Berlian gatal, mendekati posisi wanita itu serta adik-adiknya, “Reuni keluarga, eh?”

“Maaf, tapi ini bukan urusan Bos.” Berlian berdiri lebih tegak. Tatapannya lurus mengarah pada Rubi dan Safir yang masih saling lirik, seolah mengobrol tanpa kata yang hanya bisa dipahami oleh keduanya saja. Yah, setiap pasangan kembar selalu punya bahasa sendiri kan?

“Ini ruangan saya. Jelas urusan saya.”

“Maaf sudah mengganggu. Saya akan segera membawa mereka keluar dari sini.”

“Tidak perlu meminta maaf. Mereka tamu saya. Dan tidak perlu buru-buru juga, saya sudah memesankan mereka makanan. Jadi, santai saja. Kamu boleh mengobrol dengan mereka sepuasnya. Juga ... silakan duduk.”

Sial! Berlian menggerutu dalam hati. Pelototan matanya melebar pada si kembar yang kini saling senggol.

“Bukan begitu, adik-adik?” Naren maju beberapa langkah lagi hingga posisinya sejajar dengan Lili. Ia tersenyum ramah penuh maksud pada dua remaja di depannya yang hanya mengangguk lesu. “Silakan kalian mengobrol, saya akan melanjutkan pekerjaan. Kalian anggap saja rumah sendiri, tidak usah canggung.”

Mengobrol? Berlian menipiskan bibirnya. Bagaimana ia bisa mengobrol dengan Rubi dan Safir saat yang ia inginkan adalah menjewer si kembar yang kini berwajah sok memelas bagai kucing kelaparan di depan sang bos?

Oh, selain menjewer, Berlian hanya ingin mereka segera pergi. Segera. Lebih dari segalanya, ia ingin tahu bagaimana bisa Rubi dan Safir berada dalam ruangan ini saat seharusnya mereka menghubungi ia begitu sampai di kafe ini.

Tapi, tapi ... bagaimana cara mengobrol di bawah tatapan mata Naren yang jeli?

“Kenapa malah bengong?” tegur Naren lagi saat mendapati tiga kakak beradik itu masih berdiri kaku bagai kaktus kering di padang tandus, yang bahkan tak tergoyahkan oleh embusan angin berpasir. “Jangan malu-malu,” lanjutnya. “Lili, persilakan tamu-tamu kamu duduk.”

Berlian memutar bola mata. Nada ingin tahu dalam suara Naren kendati samar masih bisa ia deteksi. “Mereka hanya pengantar barang. Tidak ada yang perlu kami bicarakan.”

“Oh,” Naren berlagak terkejut menatap sang karyawan yang hanya setinggi dada atasnya, “pengantar barang dua orang, ya? Kembar lagi. Dan ... em, kebetulan wajahnya rada mirip sama kamu? Sama satu lagi, mereka datangnya tidak dengan motor atau mobil boks loh, Li. Kurir zaman sekarang bergaya sekali, ya.”

Berlian menarik napas panjang. Narendra mencurigai sesuatu. Atau bahkan mungkin sebenarnya ia sudah tahu? Ya, ampun! Tidak bisakah adik-adiknya hanya menurut tanpa melakukan hal lain yang membuat segalanya menjadi kacau?

Sudah cukup buruk Naren tahu sebagian tentangnya. Dan sebagian itu sudah sangat banyak. Kalau sudah begini, apa yang bisa ia lakukan? Mengakui Safir dan Rubi sebagai saudara? Berpura-pura tidak kenal rasanya sudah lebih dari sekadar terlambat.

Menarik napas panjang, ia berpaling muka pada jendela ruangan yang menyuguhkan pemandangan langit mendung. Musim penghujan telah tiba, barangkali siang ini langit akan kembali menangis, menumpahkan segala beban yang bergumul dalam awan-awan pekat itu.

Ah, andai saja semua beban di atas pundak Berlian bisa ditumpahkan seperti hujan. Sayangnya, tak ada bumi yang sudi menampung keluh kesahnya.

"Mereka memang bukan kurir biasa," jawab Berlian akhirnya sambil mengedik tak acuh, "karena tidak ada yang biasa bagi seorang Lili."

Wanita itu menyeringai. Berusaha kembali bersikap menyebalkan. Yang gagal, sebab detik kemudian Naren menegapkan posisi berdirinya, memasukkan tangan ke dalam saku celana dan berujar dengan ekspresi datar, "Adik-adik kamu, kan." Ketiadaan nada tanya dalam kalimat tersebut membuat Berlian spontan menoleh marah pada si kembar dengan penuh tuduhan, yang praktis membuat dua bocah malang itu langsung menunduk dalam.

"Apa mereka mengatakan segalanya pada Bos?" tanya Berlian geram. Tangan-tangan mungil itu terkepal erat di sisi tubuh kurus yang tampak sekali butuh penopang. Berlian baru sembuh dari sakit. Naren menatap kepalan mungil sang karyawan dengan desah napas tertahan.

"Tidak, jangan salahkan mereka. Saya tahu dari akun sosial media kam—" Oow ... menyadari kesalahan, pemilik Kafe Ren langsung bungkam. Ia mundur satu langkah tepat saat Berlian memutar kepalanya cepat ke arah lelaki jangkung itu dengan posisi tubuh siaga.

Narendra meringis, berusaha melarikan diri dari tatapan tajam Lili yang langsung menghujamnya bagai katana. Menusuk. Sangat. Sialnya, ia justru merasa ... berdebar.

Oh, debar takut. Tentu saja. Eh, tapi tidak. Mana mungkin Naren takut pada makhluk kurcaci seperti sulung Abimana ini.

"Bos memeriksa akun mendia sosial saya?!"

Kepalang basah. Narendra tahu ia tidak lagi bisa mengelak. Lidahnya yang tak bertulang terlanjur bersilat. Lagipula, "Kamu mengunggah sesuatu ke media sosial yang sifatnya publik, Lili—"

"Akun sosmed saya diprivat, Bos," selanya dengan nada tajam. Kini wanita itu berbalik sepenuhnya menghadap Naren yang masih tak berani menatap langsung ke matanya yang sewarna malam.

"Ya," sang lawan bicara berusaha memilah kata, "tapi para pengikut kamu masih bisa—"

"Oh, jadi Bos mengikuti  akun sosial media saya?!" tanyanya setengah nyinyir. Yang sialnya membuat Naren praktis bungkam.

"Sejak kapan? Akhir-akhir ini saya tidak lagi menerima permintaan mengikuti. Terhitung sejak keberangkatan ke Bali—ooh, Bos mengikuti saya sebelum itu, kan?"

Tepat sekali! Bahkan bisa dikatakan sejak mereka belum saling mengenal.

Narendra meringis. Ia tidak terbiasa berbohong, pun tak ingin membiasakan diri. Jadi, pilihan terbaik adalah—

"Dari mana Bos tahu nama akun media sosial saya? Sejak kapan Bos mengikuti aktifitas saya? Saya cuma pernah sekali mengunggah foto bersama Safir dan Rubi, itu pun sekitar dua tahun lalu, jauh sebelum kita bertemu, Bos tidak mungkin menemukannya kecuali Bos menyempatkan diri melihat semua foto yang saya pos sampai ... unggahan pertama kali."

Telak! Berlian bahkan tidak memberinya kesempatan untuk lari.

Lalu rentetan pertanyaan itu, bagaimana Naren harus menjawab?

Dia tidak mungkin mengatakan, saya sengaja mencari tahu semua tentang kamu untuk ... merusak hubungan kamu dengan Akira demi memenuhi janji pada Papa!

Namun, kenapa tidak? Siapa Berlian? Narendra tidak takut padanya. Sama sekali tidak.

Hanya saja, belum juga Naren membuka mulut untuk menjawab, Wanita itu lebih dulu tertawa.

Naren mengernyit menatapnya. Lalu saat pandangan mereka bertemu, lelaki itu tahu ... Berlian sudah bisa menganalisa segalanya.

Segalanya.

"Sejak awal saya memang sudah curiga. Pertemuan kita di Bali bukan sekadar kebetulan," katanya, yang entah mengapa membuat perut Naren mulas seketika. "Bahkan mungkin bantuan yang Bos berikan sekarang juga bukan bentuk ketulusan."

Ada sesuatu di mata kelam itu. Seuatu yang entah mengapa berhasil mengusik perasaan Naren.

Sesuatu yang ... tampak seperti ... luka.

¤¤¤

Maaf lama ya...
Akhir2 ini ada aja yang bikin mood nulis anjlok.

Semoga ke depannya bisa update lancar lagi, ya.

Esto bule dhin dhika, Cah😘

10 Jan 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top