24th Temptation
24th Temptation
¤¤¤
Kabar baik di pagi yang dingin.
Tas dan sepatu Berlian yang dilelang secara online, akhirnya laku terjual. Oh, ya ampun ... ini sulit dipercaya!
Secepat ini? Padahal Berlian pikir butuh waktu paling tidak dua minggu sampai satu bulan. Dan sungguh, ia pun tak berharap banyak. Cukup saja laku dengan harga berapa saja—tapi jangan jutaan kecil juga—yang penting ia bisa memegang uang untuk membayar biaya rumah sakit Salma selama beberapa bulan ke depan sebelum menemukan cara baru mendapat uang lebih banyak demi memperbaiki keadaan ekonominya yang sungguh buruk beberapa minggu terakhir ini.
Berlian mematok separuh dari harga asli tasnya. Dan mendapat tawaran sedikit di bawah itu, tentu langsung ia setujui. Dengan uang tersebut, Berlian bisa membuka usaha kecil. Dirinya tidak perlu lagi terus-terusan menjadi tukang cuci piring dan dipandang rendah orang lain. Kecuali Harry.
Mengucap syukur ribuan kali, Berlian peluk ponselnya erat-erat. Oh, andai kepalanya tak lagi terasa pusing, barangkali ia sudah melompat-lompat bagai bocah di atas kasur busa tipis murahan ini.
Sebentar lagi, pikirnya. Sebentar lagi ia akan terbebas dari semua belenggu. Ia akan memikirkan usaha yang cukup menjanjikan dengan modal tidak terlalu besar. Tak apa, merintis dulu dari bawah. Pelan-pelan merangkak—semoga saja ia bisa bersabar dengan prosesnya, alih-alih menyerah—lalu perlahan bangkit berdiri di atas kedua kaki. Tak lagi butuh Harry, pun uluran tangan Narendra.
Berlian pasti bisa. Sesuai namanya, ia harus tahan banting berada di setiap kondisi.
Dan simpan dulu semua rencana. Karena saat ini, hal pertama yang harus ia lakukan adalah membuat rekening baru. Sebab semua rekening lamanya—saat Berlian mengatakan semua, maka memang seluruh rekening, baik tabungan, deposito dan segala macam akun bank miliknya—telah dibekukan oleh Harry.
Menarik napas, Berlian segera berkutat dengan ponsel. Membuat rekening baru secara online demi bisa segera memuluskan proses transaksi. Setidaknya, kini Berlian sudah memiliki sedikit bayangan masa depan. Meski mungkin akan lumayan sulit dan melelahkan. Toh, tidak ada jalan hidup yang benar-benar mulus, kan?
Yang lebih penting dari segalanya, kini ia memiliki uang lagi!
Selesai dengan urusan pembukaan buku tabungan baru, Berlian bangkit dari pembaringan. Ia meringis saat kepalanya terasa berputar-putar dan perutnya kembali mual begitu tubuhnya berada dalam posisi duduk lantaran bergerak secara tiba-tiba. Tapi, Berlian tetap memaksakan diri, turun ke lantai dan melangkah terseret-seret menuju pojok ruangan, tempat lemari plastik tempat barang-barangnya diletakkan hanya untuk membongkar seluruh isinya.
Berlian punya harta karun di sini. Harta karun yang sejak dulu hanya bisa ia simpan dan jadikan impian. Karena ia tahu, selama berada di bawah bayang-bayang seorang Harry Abimana, ia tidak akan bisa bebas bergerak semaunya. Segala hal dalam hidup, setiap langkah yang terambil, akan selalu Harry awasi. Sejak kecil, Berlian sudah harus bisa menerima kehidupannya berbeda dengan anak-anak lain. Pun pengawasan hampir selama dua puluh empat jam sehari. Berlian nyaris tidak punya kebebasan. Karena itu ia selalu memberontak. Membuat kemarahan Harry tergolak merupakan kesenangan pribadi Berlian. Kesenangan yang hampa. Karena sungguh, bukan itu yang diinginkannya. Bukan hal semacam itu yang diinginkan seorang anak dari ayahnya. Andai saja Harry mengerti.
Mungkin Harry tidak tahu, tapi Berlian menyadari bahwa ada seseorang yang selalu mengikutinya selama ini. Ke mana pun. Tentu atas perintah ayahnya. Itulah alasan setiap kali ia membuat kesalahan, Harry selalu menjadi yang pertama tahu.
Untungnya, setelah keluar dari rumah, ia tak lagi diikuti tangan kanan sang ayah. Barangkali Harry berpikir hal tersebut tak lagi dibutuhkan karena Berlian bukan lagi penghalang. Ancaman Harry yang kejam tentu akan membuat Berlian berpikir ribuan kali untuk kembali pulang.
Lupakan Harry sekarang, ada hal lebih penting yang ia butuhkan saat ini. Tapi, Berlian mengeluarkan seluruh isi lemari hanya untuk menyadari kemudian, benda itu tidak ada di sini. Ia lupa pesuruh Harry tidak memasukkan barang tersebut dalam koper yang dilempar keluar dari istana Abimana bersama dirinya.
Ya ampun, sekarang bagaimana?
Berlian menggigit bibir keras-keras.
Bagaimana ia memulai semuanya tanpa benda itu? Benda yang membuat hari-harinya tidak terlalu membosankan beberapa tahun terakhir ini?
Lebih dari segalanya, apakah benda itu masih ada di rumah? Atau sudah dibumihanguskan bersama barang-barangnya yang lain?
Tepat saat pemikiran tersebut terbesit dalam benak, ponsel Berlian berdering. Ia segera menunduk demi melihat sang penelepon. Tindakan ceroboh yang praktis membuat ia meringis lantaran kepalanya luar biasa pening.
Dari nomor yang ia kenal, tapi tak tersimpan di kontak. Sengaja memang.
Dilihat dari tiga digit angka terakhir, Berlian tahu. Si penelepon adalah ... salah satu putra kembar kebanggaan Harry. Rubi.
Ah, bocah menyebalkan itu.
Mendengus, Berlian mengusap layar setengah bosan, lantas mendekatkan benda pipih persegi tersebut menempeli telinga kanan.
“Lili!” suara berat khas remaja puber terdengar berebutan. Berlian memutar bola mata jengah. Mendadak lelah, ia bersandar pada pintu lemari, masih dengan ponsel tertempel di telinga. “Rubi, sini kasih ponselnya ke gue!” terdengar suara seradak-seruduk di seberang sana yang Berlian dengar dengan penuh perhatian.
“Gue dulu yang ngomong, Fir! Kalo lo mau, lo bisa nelepon Lili sendiri. Kenapa harus rebut ponsel gue?”
Oh, mereka bertengkar lagi. Berlian berdecak. Tak ingin membuat kepalanya tambah pusing mendengar ocehan tak menyenangkan dari seberang saluran, segera Berlian berdeham keras. “Kalau nggak ada kepentingan, sambungan gue putus,” ancamnya yang berhasil membuat suasana di seberang saluran mendadak sunyi.
Rubi dan Safir. Dua putra kebanggaan ayahnya yang selalu membuat Berlian iri. Sejak kelahiran si kembar, Harry menjadi lebih sering tersenyum. Selalu membicarakan keduanya pada rekan bisnis. Setiap keinginan mereka merupakan perintah bagi sang ayah. Karena itulah dua remaja itu tumbuh menjadi laki-laki lembek dan agak manja. Punn Berlian tidak menyukainya. Sama sekali. Terlebih, dua makhluk menyebalkan itu keras kepala dengan selalu datang mengganggu dan berusaha mendekatinya. Mereka pikir, Berlian adalah saudari pembangkang dan butuh dinasehati agar menjadi lebih baik, biar Harry tidak suka memarahinya lagi.
Bagi Rubi dan Safir, jika saja Berlian mau menjadi anak penurut, papa akan bersikap baik. Pemikiran yang salah tentu saja, sebab apa pun yang dilakukan Berlian tidak pernah benar di mata Harry.
“Jadi, ada perlu apa?”
Terdengar bisik-bisik yang mirip dengungan sebelum satu suara yang Berlian kenali sebagai milik Rubi menyahut pelan, “Lili di mana?”
“Gue di mana, bukan urusan kalian,” jawab Berlian datar. Ia menoleh ke sekeliling dan mendesah. Kamarnya berantakan. Sialan. Tapi, yang dicari tidak ada ada. Padahal ia sangat membutuhkannya segera. Segera agar ia bisa mulai membuat rencana.
Tapi, kalau benar benda yang dicarinya ada di rumah ...
“Bukannya saudara memang seharusnya tahu keberadaan saudara yang lain?”
Saudara. Berlian mengulang kata itu dalam benak, lantas menyeringai kemudian. Yah, ia lupa dirinya punya saudara di dunia ini. Saudara yang kebetulan merupakan putra mahkota di rumah Harry, yang bisa melakukan apa pun tanpa harus merasa khawatir akan dicurigai seperti dirinya dulu.
Baiklah, mari kita manfaatkan hal ini sebaik-baiknya. Saudara harus saling membantu, kan?
“Ada imbalan untuk satu jawaban, Rubi,” katanya. Di seberang sana, Berlian yakin kedua putra Harry sedang saling pandang sebelum menyahut.
“Oke. Lili mau imbalan apa? Safir bisa bikinin Lili nastar keju kalau mau. Kemarin dia nyoba resep di internet, dan rasanya enak banget!”
Nastar keju? Berlian mengerutkan kening. Berpikir adik-adiknya cukup sinting. “Penerus Abimana tidak bermain-main di dapur, Safir.”
“Tapi, Chef kerjanya di dapur, Lili,” bantah dua suara berat dengan serempak.
“Tunggu kalau sampai ayah kalian tahu.”
“Orang-orang dapur nggak akan berani ngadu. Dan Papa lagi ke Tokyo sama Mama.”
Anak-anak yang beruntung, pikir Berlian jengah. Mereka bisa melakukan sesuatu diam-diam tanpa harus merasa takut akan ketahuan. Harry menaruh kepercayaan penuh pada si kembar. Saking percayanya, Harry bahkan tidak tahu salah satu putranya menolak menjadi pengusaha dan malah bercita-cita jadi chef. Setidaknya masih ada Rubi, dengus Berlian kesal.
“Jadi, Lili mau apa sebagai imbalan?”
“Ada kardus di kamar gue. Di bawah ranjang. Kirimin kardus itu ke Kaferen. Atas nama Lili.”
“Sekarang?” tanya Rubi polos.
“Tahun depan, Rubi,” yang Berlian jawab dengan sarkastik. “Ya sekarang lah!”
“Oh, oke.”
“Kirim melalui kurir,” ujar Berlian penuh penekanan. Tahu betul adik-adiknya cukup pembangkang karena keseringan dimanja oleh orangtua mereka. “Paham?”
“Oke, nastar kejunya mau?”
“Gue nggak suka nastar!” jawab Berlian ketus sambil mematikan sambungan telepon.
Sudah hampir jam delapan pagi. Berlian harus kembali bekerja setelah dua hari mendekam di kamar. Kendati badannya masih belum sehat betul, Berlian sadar diri posisinya hanya pegawai rendah di sini. Terlebih, mungkin satu atau bahkan dua minggu lagi dirinya sudah tidak berada di kafe ini lagi, minimal ia harus meninggalkan kesan yang pantas. Bukan untuk bos, melainkan karyawan yang lain, mengingat namanya dikenal agak buruk sebagai ... Lili si anak emas dan pemalas!
Setidaknya, satu masalah sudah terselesaikan. Oh, bukan satu, tapi dua.
Tasnya terjual. Barang yang dibutuhkan akan segera diantar—berdoa saja semoga barang-barangnya belum Harry bakar.
Setelah ini, Berlian yakin hidupnya akan berubah! Sebentar lagi. Hanya sebentar lagi. Ia bisa memulai dunianya sendiri, dan menjauh dari Naren. Segera.
Karena untuk menjadi wanita kaya, pilihannya bukan hanya dengan menikahi lelaki beruang.
***
Berlian sudah kembali bekerja. Narendra mengamati diam-diam dari pintu dapur, sesaat. Tidak berniat berlama-lama karena itu cukup membahayakan. Kendati, benaknya masih bertanya-tanya ... apakah dia sudah sembuh betul?
Tidak, bukan peduli. Naren hanya tidak ingin rugi. Iya, hanya itu. Sebab satu karyawan tumbang, karyawan lain harus menggantikan. Dan jelas hal tersebut cukup merugikan.
Memastikan untuk terakhir kalinya Berlian tidak akan pingsan, Narendra berbalik. Kembali menatap kesibukan dapur. Senyumnya ... Naren harus tersenyum, terkembang saat tatapannya bertemu dengan Syifa.
“Lidah gue udah baikan sekarang, Fa,” katanya. Rahman yang kebetulan sedang mengiris daging tepat di samping sang kepala koki, menatap Naren dengan satu alis terangkat dan senyum pongah. Seolah berkata 'modus' tanpa suara, yang berusaha Naren abaikan. Ingat, karyawan di sini, rata-rata memang begitu. Tak perlu diambil hati.
“Yakin? Nanti kamu bilang rasanya kayak serbuk gergaji lagi,” cibir Syifa setengah bercanda, membuat Naren meringis tak enak hati.
“Bos bilang masakan lo rasa serbuk gergaji, Fa?” Akhirnya, Rahman tak bisa menahan diri untuk bertanya. Ia bahkan sampai menghentikan kegiatannya demi menatap Naren sangsi.
“Bos lagi nggak enak badan aja kemarin, wajar kalo semua yang dimakan rasanya nggak enak.” Dan Syifa yang baik hati, masih saja membela bosnya yang memang sempat bermasalah. Oh sangat bermasalah.
“Tapi, serbuk gergaji—”
Naren yang jengah dipertanyakan setengah diejek, jelas tak terima. Ia menatap Rahman dengan tampang bossy-nya seraya bertanya dengan nada menegur, “Kenapa dengan serbuk gergaji?”
“Ya nggak apa-apa. Cuma, emang Bos pernah nyobain serbuk gergaji sampe bisa nyama-nyamain sama masakan Syifa? Masakan Syifa loh, kepala koki. Dibilang rasa serbuk gergaji?!”
Oh, Naren kesal. Rahman bicara tanpa sadar tempat, dengan suara yang cocoknya digunakan penyanyi seriosa. Tinggi. Saking tingginya hingga membuat nyaris seluruh pekerja dapur kini menoleh pada mereka. Tepatnya, pada Naren dengan tatapan aneh.
Tentu saja aneh. Seburuk-buruk hasil masakan Syifa, tidak pernah ada yang menyebutnya serasa serbuk gergaji. Paling buruk hanyalah terlalu manis atau agak asin, tapi masih dalam tahap layak jual dan sangat layak makan.
Namun, Syifa yang pengertian barangkali paham perasaan sang bos. Ia menyahut penuh pembelaan, “Nggak usah lebai deh, Man. Kayak lo yang nggak pernah sakit aja, sih.”
“Gue kalo sakit cuma nggak enak makan aja, Fa.” Rahman yang memang agak cerewet, masih saja ngeyel. Sungguh, membuat Naren gatal ingin memecatnya andai saja alasan mempertanyakan indra perasa bos merupakan alasan yang masuk akal. “Fix, Bos beneran sakit kalo pernah nyobain serbuk gergaji.”
Naren tahu maksud Rahman, sakit dalam artian benar-benar sakit. Sinting, lebih tepatnya. Karena, manusia waras mana yang bersedia mencoba memakan serbuk gergaji dalam keadaan suka rela.
Pun Naren tidak pernah mencobanya. Kemarin itu hanya ... ya ampun. "Itu cuma perumpamaan Rahman," desisnya membela desisnya diri.
"Perumpamaannya terlalu luar biasa, Bos."
Naren memutar bola mata jengah. “Kembali bekerja dan jangan banyak bicara, Rahman, kalau tidak mau saya potong gaji kamu,” ancamnya hanya agar sang lawan bicara mau kembali diam. Yang untungnya berhasil. Asisten koki yang bawel itu cemberut sebelum kembali fokus pada daging yang masih harus ia potong. “Gue blik ke ruangan. Nanti kalau udah, anterin cake-nya ke sana. Oke, Fa?” instruksinya pada Sifa yang gadis manis itu angguki.
Berbalik hendak keluar dari dapur, Naren tidak bisa menahan diri untuk melirik ke ruang cuci. Sialnya, saat itu bertepatan dengan Berlian yang memutar badan sambil mengibaskan tangannya yang basah ke udara.
Lalu ... pandangan mereka bertemu. Dan ... Naren tahu, sumber segala penyakitnya adalah wanita itu. Bila ia ingin lidahnya baik-baik saja saat mencoba cake buatan Syifa, maka ia harus segera memutus kontak mata mereka segera.
Segera.
Menipiskan bibir, Naren menarik napas seiring kepalanya yang kembali dihadapkan pada pintu keluar dapur. Kemudian melangkah lebih cepat keluar dari area itu. Mengabaikan keinginan untuk menanyakan kabar si karyawan bertompel besar sudah ada di ujung lidah.
Lelucon macam apa ini?!
¤¤¤
Akhirnya tas Berlian yang nhatis seharga satu Mber terjual, gaesss ....
Kaya mendadak dia!
Selamat membaca ....
Semoga suka, ya!
Esto bhule dhin dhika, Cah😘
Pamekasan, 02 Des 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top