23th Temptation

23th Temptation
¤¤¤

Dan begitu dokter pergi, Naren langsung berbalik badan. Lupakan dulu segenap tugas yang menunggu untuk dikerjakan, karena ini lebih penting untuk keberlangsungan hidupnya jika tak ingin segera mati konyol.

Di depan pintu kamar Berlian yang setengah terbuka, Narendra menarik napas panjang terlebih dahulu, hanya untuk mengembuskannya melalui mulut kemudian demi mengumpulkan stok sabar. Sebab ia tahu, berbicara dengan seorang pelakor akan sangat melelahkan. Lebih-lebih, pelakor yang sedang merasa menderita ditambah menjadi korban pula.

Tapi, Berlian memang sedang menderita saat ini. Dan itu semua karena dirinya.

Huh, Naren benci merasa bersalah.

Mendorong daun kayu berbentuk persegi tanpa ukiran di depannya, ia dapati suasana kamar yang sepi. Hanya ada Nita yang entah disuruh siapa, tengah menjaga Berlian. Gadis bertubuh subur itu duduk di sisi ranjang sambil memainkan ponsel. Mendapati kehadiran Naren, buru-buru Nita menyembunyikan gawainya ke dalam saku celana. Melihat tindakan karyawannya tersebut, Naren berusaha tidak memutar bola mata jengah.

Naren tidak yakin Nita bermaksud menjaga Berlian yang sedang sakit. Bukan tak mungkin dia hanya sedang malas bekerja dan memanfaatkan keadaan ini agar bisa bersantai ria.

Maka, memasukkan kedua tangan dengan gerakan angkuh ke dalam saku celana—yang sayang gagal menakuti satu lagi karyawannya yang lancang—Naren mengedikkan dagu ke arah pintu. Isyarat agar Nita pergi dan melanjutkan pekerjaan. Yang gadis itu balas dengan bibir cemberut. Cemberut. Pada Naren, sang atasan. Oh, Luar biasa sekali memang seluruh karyawan di sini.

“Kalau saya pergi, yang jaga Lili siapa, Bos?”

Barangkali karena mendengar pertanyaan Nita yang agak kurang ajar, kelopak mata Berlian yang semula tertutup bergerak-gerak pelan sebelum membuka secara perlahan dengan lemah. Erangan lembut terdengar dari bibirnya kala mendapati sosok Narendra menjulang di sisi ranjang bagai elang kelaparan yang sedang mengawasi anak ayam untuk dimangsa.

Tanpa mengalihkan perhatian dari wanita dengan tompel besar berbulu di pipinya itu, Naren menjawab, “Saya yakin Lili tidak butuh dijaga.”

“Tapi, kalau dia butuh minum? Makan? Atau bantuan ke toilet gimana? Atau kalau, jangan sampai, dia pingsan lagi? Siapa yang bakal bantu?”

Terlalu banyak alasan. Dan sialnya, serbuan pertanyaan menyebalkan Nita menimbulkan sesuatu di palung hati Naren.

Benar, bagaimana kalau Berlian butuh bantuan? Bagaimana kalau dia pingsan lagi? Bagaimana kalau—ugh! “Kamu bisa mengeceknya secara berkala, oke? Sekarang pergi!”

Nita berdecak pelan sebelum akhirnya menurut. Kentara sekali dia di sini bukan berniat tulus menjaga Berlian, hanya pengalihan agar bisa bolos bekerja seharian.

Begitu sosok Nita menghilang di balik pintu, Naren menarik kembali tangan-tangannya dari saku celana, menaikkan sebatas dada dan disedekapkan di sana. Dua kakinya terentang agak lebar, sedang posisi kepalanya sedikit miring ke samping. Sikap mengintimidasi seperti biasa. Namun alih-alih merasa takut, Berlian justru mendelik dan mengubah posisi berbaringnya menjadi miring menghadap tembok.

Luar binasa memang wanita ini!

Tidakkah ia ingin mengucapkan terima kasih pada Naren yang semalam sudah memasakkan sesuatu untuk mengisi perut kecilnya yang kosong? Pun, Naren sudah mendatangkan dokter untuk memeriksanya! Bukankah seharusnya Berlian merasa perlu mengucapkan terima kasih?

Oh, tapi kapan Berlian peenah mengucap dua kata keramat itu? Dan lagi, Naren juga yang sudah membuat ia terbaring lemah di sini. Oke, mari kita lupakan perihal hutang budi untuk sementara.

Berdeham, Naren membuka mulut, siap memulai ceramah panjangnya tepat saat tangan lemah Berlian yang agak gemetar terangkat.

Melihat gerakan itu, Naren tentu merasa luar biasa khawatir. Mengira Berlian butuh bantuan atau merasa kesakitan, jadilah ia mencondongkan tubuh mendekat, hendak membungkuk dan duduk di sisi lain kasur busa tipis yang tergelar di pojok ruangan. Namun gerakannya terhenti kala suara lemah dan serak sang lawan bicara terdengar.

Dia bilang, “Jangan katakan apa pun, atau saya akan pingsan lagi.”

Ap—apa?!

Apa?!

Apa tadi Berlian bilang?

Jangan katakan apa pun atau dia akan pingsan lagi, benak Naren mengulangi dengan gema yang membuat kepalanya seketika pening. Mulut lelaki 29 tahun yang tadi sempat terbuka itu, langsung terkatup seketika. Tangannya yang sempat terulur, ia tarik kembali dalam kepalan kesal yang gatal ingin ia hantamkan ke dinding.

Menarik napas keras setengah mendengus, Naren kembali menegakkan punggungnya.

Naren ingin marah. Oh, lancang. Lancang sekali Berlian ini!

Kesal, Naren membuka mulut lagi, hanya untuk kembali mengatupkannya detik kemudian. Dia ... kehilangan kata-kata. Pun khawatir Berlian akan benar-benar pingsan kedua kalinya.

Namun, mana ada orang pingsan memberi peringatan lebih dulu?! Sial. Berlian pasti hanya sedang ingin mengelabuinya.

“Saya ke sini hanya untuk bertanya keadaan kamu.” Ya, ini jelas kebohongan besar. Naren tidak ingin bertanya kabar, karena jelas dengan hanya melihat Berlian yang terbaring, wanita ini tidak baik-baik saja.

“Saya sakit.”

“Ada yang bisa saya lakukan untuk mengurangi sakit kamu?”

Kepala Berlian yang ditopang bantal dengan rambut-rambut pendeknya yang bertebar berantakan, sedikit bergerak. Seperti sebuah anggukan yang nyaris tak terlihat. “Dengan Bapak pergi dari sini, akan sangat membantu saya.”

Naren yakin, Berlian punya darah ular dalam tubuhnya, karena setiap kata yang lolos dari bibir tipis berwarna pucat itu seringkali mengandung bisa. Yang dapat meracuni dan ... melukai. Lantaran alasan itulah kini, entah bagaimana, Naren merasa, ada sesuatu tak kasatmata menonjok keras perutnya hingga terasa begitu ... linu.

Mengepalkan tangan sebagai upaya pengalihan dari dongkol yang bercokol di tenggorokan dan membuat sepanjang lehernya tak nyaman, Naren mengangguk. Kalau kehadirannya memang tidak diinginkan, untuk apa ia berada di sana?

Bila dengan kepergiannya akan membuat Berlian merasa lebih nyaman dan lebih baik, Naren akan segera keluar dari ruangan sempit serta menyesakkan ini. Untuk apa ia bertahan di sini, kan? Di ruangan kecil, pengap, dan bersama seorang selingkuhan tak tahu terima kasih?

Iya, sebaiknya Naren pergi saja.

Sebaiknya.

Tapi, kenapa rasanya berat sekali hanya untuk mengangkat kaki? Dan ... kenapa dia mendadak dangdut begini? Merasa terluka hanya karena Berlian mengusirnya?

Uh, oh.  Ini sungguh tidak bisa dibenarkan!

Hanya saja ... Naren tidak bisa menerima ini. Ia diusir dari ... salah satu ruangan di kafenya sendiri! Seharusnya Berlian yang pergi kalau memang ia tidak suka dengan kehadiran sang bos. Bukan si pemilik. Tapi, apalah daya. Berlian perempuan, sedang dalam keadaan lemah. Jadi, permintaannya bagai perintah.

Menatap punggung ringkih yang tertutup selimut tipis itu selama beberapa saat, Naren berbalik, ia sudah menarik kenop pintu hingga nyaris separuh terbuka saat mulutnya yang memang tidak bisa ditahan, berkata, “Kalau kamu punya penyakit lambung, seharusnya kamu tidak usah meminum limun.”

Naren menunggu selama dua detik. Tidak ada jawaban. Ia kira Berlian tak akan pernah menanggapinya, ia pun membuka pintu lebih lebar.

Namun tepat saat Naren mengangkat tumit hendak melangkah keluar, suara lemah itu terdengar. “Saya suka limun.”

“Suka tapi menyakiti, untuk apa, Bimbing?” balasnya dengan tanya seraya melirik ke belakang. Pada Berlian yang belum mau mengubah posisi berbaringnya.

Naren yakin yang mereka bicarakan adalah limun, minuman kekuningan yang mengandung asam. Tapi, entah kenapa kalimat yang barusan lepas dari katup bibirnya justru terdengar jauh ... lebih dalam. Dan Berlian pun, kemungkinan juga merasa demikian. Terlihat sekali dari punggungnya yang menegang.

Oh, ya ampun! Seharusnya ia segera pergi dari sini dan menjauh dari Berliana Pratista, pun seharusnya ia memang tidak berkata apa-apa. Karena sekali bicara, ia justru membawa keadaan mereka menjadi lebih ... canggung.

“Ya, seharusnya kita menjauhi sesuatu yang menyakiti meski sangat menyukainya,” adalah kalimat terakhir yang Naren dengar sebelum ia menutup pintu rapat-rapat. Sangat rapat. Berharap bukan hanya pintu ruangan ini yang tertutup, tapi juga pintu lain yang lebih sensitif dan pribadi.

Pintu hatinya sendiri.

Sedang dibalik daun persegi itu, Lili—bukan Berlian, karena Berlian tidak selemah itu—meringkuk rapat, bagai janin dalam kandungan yang takut dilahirkan ke dunia. Dua tangannya saling tergenggam di depan dada. Menekan sesuatu yang terasa perih di sana.

Naren, berat diakui, berkata benar.

Ia tahu dirinya memiliki riwayat sakit lambung. Tapi, biasanya ia tidak sampai pingsan saat meminum limun walaupun perut kosong, paling hanya perut perih dan agak mual. Setidaknya, dulu tidak begitu. Mungkin karena kemarin ia tidak makan nyaris seharian. Atau disebabkan pola makan yang akhir-akhir ini berantakan. Entahlah.

Yang pasti, dan yang dirinya tahu, Lili—sekali lagi bukan Berlian—tidak menyesal menghabiskan limun itu semalam, walau tingkah cerobohnya mendapat ganjaran berupa jatuh pingsan. Karena, Lili memeluk dirinya sendiri, ada sesuatu dalam limun itu.

Suatu kepedulian, mungkin. Atau ketulusan. Atau mungkin dua-duanya. Yang mana pun, semuanya sangat Berlian hargai. Walau, benar kata lelaki itu. Menyakitkan.

Naren membuatkannya tanpa diminta. Tanpa dibayar. Di tengah rasa marah yang berkobar-kobar.

Naren yang perhitungan dan kadang bisa sangat pelit.

Dalam kondisi seperti itu, memberikan sesuatu pada seseorang yang dibenci tanpa maksud, apa sebutannya kalau bukan peduli?

Semalam, ia makan seperti manusia kelaparan. Menghabiskan daging dalam porsi yang cukup besar seolah itu merupakan makanan terakhirnya dan bila tak segera dihabiskan akan direbut monster antah berantah.

Ya Tuhan, Berlian sudah melakukan kesalahan. Kesalahan besar. Karena makanan yang ditawarkan Naren semalam tidak sepenuhnya gratis. Berlian tetap harus membayar.

Bukan dengan uang. Melainkan sesuatu yang lebih berharga. Hatinya. Yang kini berdenyut lemah karena terluka.

¤¤¤

Semangat kerja Naren turun drastis hari ini. Yang ingin dilakukannya hanya ... apa? Diam pun terasa salah. Dia gatal menggaruk tembok hingga teksturnya rusak. Atau menghantam batu sebagai pelampiasan.

Ugh, suasana hatinya buruk sekali.

Menjatuhkan diri pada kursi di balik meja kerja, ia memutar tempat duduknya hingga menghadap jendela. Lantas menopang dua sikunya di atas paha dengan tangan-tangan terjalin.

Tidak berniat melakukan apa pun. Apa pun, termasuk—

Bunyi ketukan pintu terdengar dari balik punggungnya. Naren menggeram kesal lantaran merasa terganggu.

"Siapa?" tanyanya tak sabar.

"Aku, Ren."

Itu suara Syifa.

Syifa. Bagaimana Naren bisa lupa? Ia berniat bicara dengan gadis itu, tapi malah mengurusi Berlian yang sama sekali bukan urusannya.

Hanya saja, Naren tidak mungkin bicara pada Syifa dengan keadaan seperti ini. Lagi pula, saat Syifa mengetuk pintu ruangannya, pasti ada sesuatu yang penting terkait keadaan kafe.

"Masuk aja, Fa," ujarnya seraya memutar kembali kursi kerjanya menghadap ke arah pintu yang otomatis terbuka, menampilkan sosok manis yang hari ini mengenakan hijab merah muda. Di tangannya, ada nampan kecil tertutup tudung saji yang luput dari perhatian Narendra lantaran benaknya yang masih tertinggal di lantai atas. "Kenapa?" tanya Naren kemudian setelah Syifa berdiri tepat di depan mejanya. "Duduk dulu."

Sang kepala koki menurut. Ia menjatuhkan diri ke kursi tamu, lalu meletakkan nampannya di tengah meja. "Kamu masih inget pembicaraan kita di meeting bulanan terakhir?"

Pembicaraan di rapat terakhir. Naren mengerutkan kening. Berusaha berpikir. Yang mana? Terlalu banyak yang mereka bicarakan. Dan yang Naren ingat hanya ... Ya, seharusnya kita menjauhi sesuatu yang menyakiti meski sangat menyukainya.

Sial, itu adalah percakapan dengan Berlian. Bukan Syifa.

Menyerah berusaha mengingat yang hanya akan membuatnya kian meradang, Naren berusaha tersenyum kecil seraya menggaruk keningnya. "Yang mana?"

Syifa pura-pura mendesah lelah. "Itu loh," kayanya sabar, "tentamg menu baru yang kita rencanakan."

Oh, menu baru. Bagaimana bisa Naren lupa hal sepenting ini?

"Aku udah bikin. Ini, kamu harus cicipi dulu. Komentari apa yang kurang dan perlu ditambahkan atau dikurangi. Lalu putuskan apakah makanan ini bisa masuk menu." Syifa membuka tudung saji bulat kecil berbahan stainlees itu dan mendorong nampan lebih jauh mendekati Naren.

Sepotong cake berwarna merah yang tampak begitu menggiurkan, lembut penuh lelehan cokelat putih dengan beri cantik bertengger di atasnya. Menggoda dicicipi. Hanya saja, Naren sedang tidak ingin makan apa pun sekarang.

"Cobalah," kata Syifa kalem, yang tak mungkin Naren tolak.

Mengangguk, lelaki itu menarik nampan kecil itu mendekat, lantas menuruti Syifa. Memasukkan sedikit ke dalam mulutnya. Mengunyah sesaat, lantas terdiam.

Kenapa rasanya ... "Kok aneh?"

"Aneh?" ulang Syifa tak percaya.

"Iya. Teksturnya sih bagus. Lembut. Tapi, rasanya kayak serbuk gergaji."

"Hah?" Syifa yang tak percaya, segera menarik kembali nampan dari hadapan Naren. Ikut mencicipi hanya untuk menatap Naren penuh tanda tanya kemudian. "Enak kok, Rahman dan anak-anak dapur yang lain juga bilang ini enak," bantahnya. "Kamu sehat kan, Ren?"

Narendra menelan ludah salah tingkah. Sadar dirinya sudah bertingkah konyol. Syifa selalu membuat makanan yang enak. Kalau ada yang terasa ganjil, itu bukan karena masakannya melainkah ... diri Naren.

Maka, berusaha menyembunyikan kegondokan pada dirinya sendiri, ia cengengesan. "Iya, kayaknya ada yang salah sama tenggorokan gue."

"Jadi, gimana?"

"Bisa kita tunda dulu? Mungkin, sampai tenggorokan gue mendingan?"

Syifa yang kalem dan penurut hanya mengangguk penuh pengertian, sukses membuat Naren kian meradang dan ingin menendang tubuhnya yang mulai bermaslaah. Karena bukan hanya tenggorokan yang berulah, melainkan nyaris seluruh organ.

"Iya, nggak apa-apa. Kamu istirahat dulu aja. Urusan kafe serahin aja ke aku sama yang lain. Kamu mungkin kecapean," nasihat Syifa penuh pengertian, sukses membuat Naren kian ingin menggaruk tembok hingga hancur.

Seharusnya ... gadis ini yang membuat ia kelimpungan. Bukan Berlian yang ... oh, kacau itu!

Tapi, apa mau dikata? Kenyataan kadang memanglah selucu itu.

Kenyataan yang sama sekali tak ingin Naren terima. Andai saja bisa.

¤¤¤

Naren Lian yang galaunya belum juga usai balik, Cah.

Semoga kalian suka yaa ....

Esto bhule dhin dhika, Cah😘

Pamekasan, 29 Nov 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top