21th Temptation
21th Temptation
¤¤¤
Naren sudah pasti positif gila. Tak bisa disangkal lagi sekarang. Karena kalau bukan gila, maka sebutan apa yang paling pantas disematkan padanya yang kini diam-diam mengintipi Berlian dari balik pintu dapur resto?
Tidak, semua berawal bukan hanya dari sini, tapi sudah sejak sepulang mereka dari pesta pertunangan Fia.
Naren menolak menawari Berlian tumpangan kendati arah pulang mereka sama. Dia bermaksud memberi wanita itu pelajaran. Tapi pelajaran macam apa yang justru membuat diri sendiri tersiksa?
Ponsel Berlian mati. Dia tidak bisa menghubungi taksi atau ojek daring karenanya. Sebab itu Berlian harus menunggu di halte, sampai ada kendaraan umum yang lewat. Sintingnya, Naren ikut menunggu. Tentu saja dengan sembunyi-sembunyi. Di dalam mobil. Matanya tak lepas dari sosok Berlian yang duduk angkuh di bawah atap pemberhentian bus. Nyaris satu jam, atau lebih, entahlah. Saat kepala senewen, Naren tidak bisa menghitung waktu. Yang ia tahu begitu dirinya sampai, kafe sudah nyaris tutup. Lalu satu per satu karyawan mulai bergerak pergi, hanya Naren yang tidak memiliki keinginan pulang hingga kafe sepi. Dia hanya duduk sendiri di salah satu meja pelanggan yang tersembunyi oleh pot rotan besar yang berada di pojokan. Bahkan saat salah seorang karyawan pamit, dia hanya mengangguk tak acuh.
Oh, tentu. Benak Naren penuh kecamuk. Emosinya teraduk-aduk.
Marah. Kesal. Benci.
Yang pasti, ia ingin menghantam sesuatu. Kepala Berlian mungkin. Atau Akira. Intinya, dua manusia itu sudah berhasil membuat dunia Naren yang nyaman menjadi berantakan.
Sangat berantakan.
Lalu segalanya diperparah saat tengah malam. Berlian turun dari kamar kecilnya dengan langkah-langkah pelan nyaris tanpa suara di bawah sinar lampu temaran yang membias dari halaman. Lampu utama jelas telah dimatikan untuk menghemat energi.
Dan Narendra yang tampaknya harus segera memeriksakan diri ke rumah sakit jiwa, diam-diam mengikuti sosok yang terlihat bagai siluet peri itu. Ke dapur.
Mau apa wanita itu ke sana? Menghancurkannya lantaran Narendra sudah berbuat buruk di pesta Fia tadi? Atau—
Bunyi perut leroncongan yang terdengar samar-samar, berhasil membuyarkan pikiran negatif sang pemilik Kaferen.
Berlian ternyata tidak bermaksud membalas dendam padanya dengan menghancurkan dapur. Dia hanya ... lapar. Dan kenyataan tersebut berhasil membuat Naren sejenak terdiam kala sesuatu yang tak kasatmata terasa meninju ulu hatinya.
Seorang Berlian. Kelaparan. Hal tersebut tak pernah terbayangkan.
Memejamkan mata sejenak, Naren kembali mengikuti sosok itu dengan pandangan tepat saat Berlian mulai membuka lemari penyimpanan. Mencari ... oh, mengambil sebutir telur.
Melihatnya, Naren mengangkat satu alis dengan decih sinis. Tak yakin Berlian bisa memasak telur itu. Jangankan telur, air saja, Naren yakin akan gosong bila Berlian yang merejang.
Dan benar saja. Tak sampai sepuluh menit kemudian, bau hangus menyebar ke seantero kafe. Membuat Naren, mau tak mau, terpaksa keluar dari persembunyian bila tak ingin tempat usahanya rata dengan tanah besok pagi.
“Apa yang kamu lakukan, Lili?!” bentaknya seraya membanting pintu dapur. Sukses membuat wanita bertubuh kecil yang bergerak panik di depan kompor berjenggit, sebelum menoleh ke belakang dengan tampang kaget dan melas.
“Saya ... saya—”
Enggan memberi Berlian kesempatan bicara, Naren melotot makin lebar. “Minggir!” perintahnya tanpa ampun, yang langsung Berlian turuti, membiarkan Naren mengambil alih pekerjaannya. Pekerjaan yang ... pasti kacau sekali hingga suara tarikan napas Naren terdengar kasar di udara saat menatap wajan.
Oh, tapi siapa yang tidak akan menarik napas panjang dan keras, bahkan mungkin mendengus bila melihat sesuatu yang berada di depan mata Narendra saat ini?
Mematikan kompor, ia melirik Berlian yang masih juga berani mengangkat dagu angkuh di sisinya dengan sinis.
“Lo bego, tolol apa goblok sih?!” tudingnya tanpa memikirkan perasaan. Tidak. Naren tidak terbiasa berkata sekasar ini, lebih-lebih pada wanita. Tapi, bukankah sudah pernah ia katakan, Berlian itu berbeda. Dalam artian segalanya. “Atau tiga-tiganya?!”
“Iya!” Berlian yang tidak mau dan tidak suka kalah, tentu menyahut lebih keras. Ia yang kala itu tampak lebih mungil dari biasanya lantaran tidak mengenakan alas kaki, mendongak tinggi-tinggi menghadap Naren. “Gue bego. Tolol. Goblok,” akunya keras kepala dengan nada tinggi hingga urat-urat lehernya menonjol. “Puas lo ngina gue semaleman ini?!”
Tidak, Naren tidak puas. Sama sekali tidak. Kepalanya justru makin mendidih, dan hatinya kian berat. Semua yang ia lakukan pada Berlian selalu terasa salah. Satu hal saja yang seolah benar pada saat ini.
Wanita ini harus dikerasi biar tahu diri.
“Kalo lo sadar diri, diem aja. Susah banget nggak bikin masalah! Lihat ini, lihat!” Lelaki 29 tahun itu mengangkat wajan dari kompor, memperlihatkan ke depan hidung Berlian cemplokan telur yang tak mengembang lantaran dimasukkan pada minyak yang belum panas. Pun, menghitam karena dimasak di atas suhu yang terlalu tinggi.
“Gue laper, sialan!”
“Lo bisa turunin gensi lo yang selagit itu, dan minta tolong!”
“Sama siapa? Jin?!”
Naren sudah membuka mulut membentuk huruf O, hendak mengatakan ‘gue ada di sini’ tepat saat dirinya sadar sedari tadi ia bersembunyi. Sial! Lalu apa bedanya ia dengan jin?
Bingung harus menjawab pertanyaan sarkasme Berlian, Naren mengalihkan pandang. Berusaha mencari sesusatu untuk pengalihan. Dan satu-satunya hal yang terpikir saat ini adalah—
—Berlian harus mempertanggungjawabkan apa yang sudah ia perbuat. Jadilah Naren meniriskan telur hitam yang sama sekali tak menarik itu agar minyaknya berkurang, lantas memindahkan ke piring sebelum menghidangkannya di atas meja. Memaksa Berlian duduk dan memakannya.
“Habiskan!”
Berlian menganga, tampak kehilangan kata-kata. Ia menoleh pada bosnya dengan mata membulat. Ah, tidak bulat. Telaga bening dalam bingkai sipit itu hanya mampu melebar sedikit saat balas melotot pada Naren. “Lo gila!”
Iya! Naren nyaris menjawab begitu keras-keras. Ia memang gila, dan sepertinya butuh penanganan segera.
“Kalau gue mati karena keracunan, emang lo mau tanggung jawab?”
Naren mendengus remeh. “Kalo lo mati, bagus kan. Kafe lagi sepi, tengah malam juga. Gue ada waktu nguburin lo di halaman belakang diam-diam,” jawabnya dengan tampang datar yang berhasil membuat Berlian bergidik.
“Kalau gue nolak makan ini?” Dan dia masih belum mau menyerah. Berlian memang sekeras kepala itu.
“Bakal gue cekokin.”
“Lo nggak bakal berani.”
“Mau nyoba?”
Berlian menggeram. Bibir kecilnya menipis dengan geraham mengeras. Ia menatap Naren penuh permusuhan sebelum mengambil sendok yang Naren sediakan dan mencengkeramnya erat-erat. “Kalau abis ini gue beneran mati,” desisnya, “gue bener-bener bakal menghantui lo, Bambang! Nggak bakal gue bikin hidup lo tenang.”
Naren memutar bola mata bosan.
Tahukah Berlian, jangankan setelah mati, masih hidup saja dia sudah menghantui Naren dan membuat hidupnya tidak tenang!
“Makan!” sama sekali tak terpengaruh ancaman kekanakan itu, Naren bersedekap. Ia menunjuk telur gosong di atas meja dengan dagu.
Berlian mencebik. Ia mengembalikan perhatian pada piring di depannya dengan wajah nelangsa. Menelan ludah susah payah, Berlian mulai mengambil potongan kecil, praktis membuat hidungnya mengernyit saat aroma gosong telur tersebut kian menguar di udara.
Perlahan, dengan amat sangat enggan, ia angkat sendoknya. Dua senti di depan mulut, asam lambung Berlian mulai naik. Ia nyaris muntah. Satu senti di depan mulut, Berlian tidak sanggup. Ia menyerah. Wanita itu membanting sendoknya kembali ke piring hingga menimbulkan bunyi denting keras yang berhasil memecah kesunyian tengah malam itu.
Dan sukses membuat Naren nyaris terjengkang lantaran kaget! Wanita ini .... Naren benar-benar ingin menguburkannya hidup-hidup, enggak menunggu dia mati dulu!
“Kasih gue hukuman lain!” Berlian bangkit dari kursi. Mengambil jarak jauh dari telur gosong itu. “Lo bisa nyuruh gue ngepel sampe pagi atau potong gaji atau—”
“Makan!”
“Gue mending puasa sampai lusa!”
“Atau gue pecat?”
Sekarang, pilihan apa yang bisa Berlian ambil?
Menyebalkan!
Terpaksa, ia duduk lagi ke kursinya. Menarik piring yang ia jauhkan tadi, menatap jengah sebelum kembali mengambil satu bagian kecil.
Tidak, jangan kecil-kecil, pikirnya. Ia harus memakan banyak-banyak agar penyiksaan ini segera berakhir.
Maka, menelan ludah yang terasa pahit, Berlian merobek telur itu nyaris separuh bagian. Menggulungnya di atas sendok hingga membentuk gumpalan besar. Lantas memasukkan ke dalam mulut dengan menahan napas dan menutup mata.
Dan Naren nyaris ternganga melihatnya. Berlian ... dia benar-benar memakan telur itu. Padahal ... padahal ancaman pemecatan yang tadi ia sebutkan hanya, hanya gertakan.
Berlian bisa berkelit seperti biasa. Dan bisa saja langsung pergi begitu saja, kembali ke kamarnya lalu bersembunyi dan keluar lagi besok pagi kemudian bertingkah seolah tidak ada yang terjadi. Apalagi naren tidak akan memecatnya. Ingat, ia sudah mengeluarkan separuh gaji di muka. Kalau pun kesal, mungkin ia hanya akan memotong pendapatan wanita itu saja. Berlian tidak harus menurut. Tidak.
Tapi, kini ... Berlian mengunyah dengan susah payah. Bukan karena teksturnya yang keras, tapi mungkin lantaran rasanya yang tak keruan.
Naren langsung berbalik, menolak melihat pemandangan itu. Ia melangkah ke dekat jendela. Berdiri di sana dengan tangan terkepal di dalam saku. Langit tampak sekelam biasanya, tak ada bintang yang tampak lantaran kilaunya tersembunyi oleh lampu-lampu yang bertebaran di bumi Jakarta. Tak ada yang bisa Naren jadikan pengalihan.
Ya ampun!
Ia benar-benar akan gila. Atau minimal depresi. Demi Tuhan, yang ia inginkan saat ini hanyalah ....
Bukan diinginkan, tapi harus dilakukan bila tak ingin mati berdiri saat ini juga! Ugh!
Kembali berbalik, ia melangkah lebar-lebar kembali ke sisi meja Berlian tepat saat wanita itu akan memasukkan suapan kedua dengan wajah tersiksa yang tak repot-repot ditutupi.
Tepat sebelum suapan itu masuk ke dalam mulut Berlian, Naren menepisnya hingga sendok malang yang tak berdosa jatuh ke lantai, menimbulkan bunyi denting yang lebih keras dari yang tadi. Praktis membuat Berlian selama sepersekian detik membeku, menatap tangannya yang kosong sebelum mengalihkannya pada sendok yang kini tergelatak malang di lantai pun dengan secarik daging gosong telur yang bercecer.
Suasana kala itu seketika sunyi. Seolah dunia mendadak bungkam. Bahkan deru kendaraan di jalan depan tak terdengar sama sekali. Hanya detik jam yang bergema. Pun detak jantung Berlian yang seolah menemukan titik henti sebelum menderu dengan kecepatan dua kali lipat lebih cepat.
Masih dengan napas tertahan, perlahan Berlian kembali mengangkat kepalanya menghadap Naren.
Satu detik yang terasa selamanya, pandangan mereka bertemu dalam gelombang yang sama. Dan entah apa yang terjadi, Berlian merasa darahnya mendesir sepanjang punggung belakang, lalu seketika melesak ke jantungnya.
Ia membuka mulut, hendak bertanya ... kenapa?
Namun Naren lebih dulu berpaling muka seraya menyisir rambutnya ke belakang menggunakan jari. “Pergi sebelum gue lebih marah, Berlian,” katanya dengan nada kaku.
Berlian berkedip lambat. Sejenak kehilangan akan sehat. Tidak tahu harus berbuat apa, sebelum kemudian ia mengangguk kecil dan bangkit berdiri. Menjauh dari meja dapur dengan langkah ragu.
Ada apa dengan Naren? Dia yang tadi memaksa Berlian menghabiskan telur itu, tapi kini?
Menjalin jari-jemari di depan perut, ia menoleh dengan gerak rikuh ke belakang, pada Naren yang kembali menatapnya. Mulut Berlian terasa kering mendapati sesuatu yang kelam di sepasang mata cokelat hangat itu, sesuatu yang tak ingin Berlian gali—sesuatu seperti ... rasa peduli.
Tak kuasa bertatap mata lebih lama, segera Berlian berpaling muka sebelum berbalik keluar dari pintu dapur. Lalu setelah menghilang dari pandangan Naren, ia berlari melewati anak-anak tangga menuju lantai atas. Ke kamarnya yang kecil dan hanya berisi kasur single, lemari kecil serta cermin mini yang ditempel di dinding dekat pintu.
Merasa terlindung di ruang kecil itu, Berlian membanting pintu keras-keras, lantas menguncinya. Kemudian berbalik dan bersandar di sana dengan dua tangan terkepal di sisi-sisi tubuhnya.
Berada di dekat Naren selalu membuatnya merasa terancam. Sangat terancam.
Berbeda dengan Harry yang membuatnya merasa berani mati, bersama Naren, ia justru merasa sebaliknya.
Dan ini ... sama sekali tidak benar. Tidak benar.
Melangkah tertatih menuju kasur lantai lantaran kakinya mendadak selemas jeli, Berlian banting tubuhnya hingga terpental beberapa kali di atas busa tipis itu. Matanya terpejam rapat kala bayangan saat Naren menepis sendoknya terekam kembali, bagai kaset rusak yang tombol kontrolnya tak lagi berarti.
Seharusnya Naren tidak melakukan itu. Biarkan saja Berlian menghabiskan telurnya.
Tidak. Berlian sudah tak lapar lagi. Insiden tadi sukses membuat perutnya terasa penuh.
Hanya saja .... hanya saja ... semua kian kacau sekarang. Oh, sangat kacau.
Tahu dirinya tak akan bisa tidur—lagi—malam ini, Berlian bangkit. Bergerak ke arah jendela kecil. Menatap jauh ke luar sana beberapa saat yang terasa begitu lama sebelum akhirnya lelah dan menunduk.
Lalu, detak ganjil itu kembali saat menemukan sosok Naren di bawah sana. Di sisi anak-anak tangga dekat pintu masuk kafe. Sedang memberikan hidangan pada beberapa ekor kucing. Telur gosong yang tadi. Bersama sisa-sisa daging pelanggan yang tak habis. Yang hewan-hewan itu makan dengan lahap.
Barangkali merasa diperhatikan, lelaki tersebut mendongak. Berlian buru-buru melangkah mundur. Ia cepat-cepat mematikan lampu setelahnya, hanya agar Naren mengira ia telah tidur.
Kendati demikian, sepertinya tidakan itu sama sekali tak berguna. Karena tak sampai satu jam kemudian, pintu kamar Berlian diketuk.
Satu kali.
Tak perlu memiliki indra keenam untuk mengatahui siapa pelakunya. Pun bulu roman yang meremang di tengkuk bukan karena takut hantu, melain lantaran Berlian tahu tersangka utamanya adalah Narendra.
Tak langsung menjawab ketukan tadi, Berlian bersembunyi di balik selimut. Melanjutkan sandiwaranya yang amatir. Barulah setelah menunggu selama lima menit dan ketukan tadi tidak terulang, Berlian memberanikan diri bangkit dari persembunyiannya.
Membuka pintu perlahan, hatinya mencelus tak mendapati siapa pun. Hanya ada remang lampu dan desau angin malam yang membuat tulangnya menggigil. Narena pasti sudah pergi. Ketukan tadi barangkali hanya untuk memastikan Berlian sudah terlelap atau belum.
Yah, begini lebih baik, kan?
Menarik napas pendek, Berlian bermaksud menutup pintu kembali, tepat saat sesuatu di bawah sana menarik perhatiannya.
Nampan berisi sepiring tenderloin stik dan segelas lemon.
Menu favorit yang biasa Berlian pesan dulu. Di kafe ini.
¤¤¤
Maaf banget lamaaaaa....
Kemarin bantu2 nikahan sepupu. Dan masih capeeekkk banget. Tadi pagi maksa nulis, untungnya kelar.
Semoga suka yaaa ...
Esto bhule dhin dhika, Cah😘
Pamekasan, 23 Nov 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top