15th Temptation-2

Siapa sangka, Berliana ternyata tipe seseorang yang gampang belajar dan disiplin waktu. Hal baik dari karakternya yang buruk.

Narendra dibuat takjub saat ia tiba pagi tadi ke kafe ini, berniat membangunkan sang tuan putri—khawatir dia masih pulas dalam mimpi—tapi yang Naren dapati justru ... Berlian yang sudah siap tempur dengan seragam pelayan dan atribut penyamarannya sebagai Lili. Bukan hanya itu, caranya mencuci piring dan mengepel, tidak lagi sekaku kemarin, meski masih agak berantakan. Maklumi saja, dia masih baru belajar saat sebagian anak sepuluh tahun sudah mahir melakukan pekerjaan yang sama lantaran kebiasaan sehari-hari.

Ini jelas kemajuan yang ... menakjubkan untuk jenis wanita yang terlahir di atas ranjang sutera.

Lihat saja sekarang. Berlian, tanpa memedulikan keadaan sekitar, sedang membilas piring kotor. Tangan-tangan kecilnya memegang setiap benda dengan benar, meski posisi berdirinya masih elegan seperti kontestan putri Indonesia. Tegap, lembut dan halus. Seseorang yang jeli, akan langsung mengetahui bahwa jelas pegawai baru kafe ini, Lili, bukan dari kalangan biasa.

“Ngedip atuh, Bos!” tegur Rahman, yang entah sejak kapan berada di sampingnya. Menjentikkan jari dengan kurang ajar di depan hidung sang atasan yang tengah bersandar di dinding, mengawasi Berlian bekerja. Walau pun, yah ... si pegawai baru sebetulnya sudah bisa ditinggal. Hanya saja, tingkah rajin Berlian ditakutkan hanya kedok untuk mengelabuinya. Bila Naren pergi, bukan tidak mungkin Berlian akan memecahkan piring lagi atau menyusahkan karyawan yang lain dengan sifat bossy-nya yang memang sudah bawaan lahir. Naren pun harus mengakui, aura kepemimpinan Berlian lebih kental dari pada dirinya.

Mengerjap, Naren menggeram. Ia menatap Rahman tajam, tapi malah gagal mengintimidasi. “Sekali mengalihkan pandangan, pecahan piring bisa berhamburan,” jawab Naren dengan nada yang sengaja dikeraskan, agar Berlian mendengar alasannya masih berdiri di sana. Bersandar pada dinding pemisah antara dapur masak dan tempat cuci.

Rahman berdecak. “Alah, alasan.” Asisten koki yang satu ini dengan lancang menaikkan sebelah alis seraya meledek, “Dicuekin Mbak Syifa, sekarang ngincer pegawai baru?” Ia bertanya setengah berbisik seperti ibu-ibu kompleks tukang gosip. “Tapi,” lanjutnya, “Mending Mbak Syifa ke mana-mana lah, Bos. Lili lumayan bening emang, tapi modelannya aneh. Terus tompelnya itu loh, bikin geli. Udah gede, di pipi, ada bulunya lagi!”

Naren menggigit pipi, berusaha untuk tidak menyeringai atau tertawa. Andai saja Rahman tahu. Di balik tampilah seorang Lili yang buruk rupa, terdapat sosok jelita yang tersembunyi. Berlian jelas lebih cantik dari Syi—

Sial. Apa yang Naren pikirkan?

Baiklah. Meski berat, harus diakui. Secara fisik Syifa kalah cantik dari Berlian. Tapi bila masalah hati, jangan ditanya. Bahkan rumput yang bergoyang tahu jawabannya.

“Ngomong-ngomong nih, Bos, perasaan tompel Lili kemarin letaknya di pipi kiri deh, kok sekarang di kanan?”

Mendengar pertanyaan itu, Naren mengernyit. Tanpa sadar, dia menengok ke arah Berlian yang setengah menyamping dari posisi sang bos yang sedang mengawasi dan ... benar juga. Kemarin, tompel Lili tak terlihat dari sisi ini, tapi sekarang justru tampak jelas.

Naren menahan gemas. Sepertinya salah posisi—lagi. “Ngayal kamu! Ya kali tompel bisa pindah-pindah!” semburnya, kembali mengeraskan suara yang spontan membuat Rahman meringis tak enak hati dan refleks menggeplak lengan Naren yang dikira tidak peka dan buta sikon. Padahal Narendra memang sengaja agar Berlian sadar tompelnya suka salah tempel.

Tak ingin Rahman bertahan di sana lebih lama dan mulai meracau macam-macam, Narendra mendorongnya kembali ke dapur, sedang ia yang memang harus memeriksa pengeluaran bulan ini pada akhirnya memutuskan meninggalkan ruang belakang. Meninggalkan Berlian yang setelah tinggal seorang diri langsung mencuci tangan, berlari ke arah cermin kecil di sudut dan memeriksa tompel lepas pasang yang yang ia beli di Bali lantaran merasa benda tersebut lucu, tanpa pernah berpikir untuk memakainya. Siapa sangka, sesuatu yang dibeli lantaran iseng itu kini sangat berguna untuk penyamaran.

“Apa benar kemarin di kiri?” tanyanya pada bayangan di depan sana seraya menekan-nekan tompel berbahan silikon itu, berusaha menghapal tempat. Di bawah tulang pipi. Oke, mulai sekarang letaknya di kanan. Kanan. Semoga saja besok ia tidak lupa dan malah memasang di kiri.

“Lo kira dengan ngaca bisa bikin tompel jelek itu hilang gitu? Jangan ngimpi!” suara keras dari balik punggungnya, berhasil membuat gerak jari Berlian yang sedang menekan tompel terhenti. Lewat cermin, ia tatap salah seorang karyawan yang namanya entah siapa, pun tak ingin Berlian ketahui, dengan tajam. Menurunkan tangan ke sisi tubuh, ia berbalik.  “Nih, cuci. Nggak usah kecentilan narik perhatian Bos. Lo nggak ada apa-apanya dibanding Mbak Syifa.” Lalu si perempuan kurang ajar berambut panjang dan bertubuh semok itu pergi setellah meletakkan nampan besar berisi barang-barang kotor dengan kasar di samping bak cuci.

Berlian menahan diri untuk tidak menarik rambut berombak yang diikat mirip buntut kuda itu dan menyudutkannya ke tembok.

Ingat kata bos kemarin.

Jangan cari-cari masalah dengan karyawan lain, atau ia akan dipecat.

Jangan bertingkah seolah masih putri kaya, atau Naren sendiri yang akan menyeretnya keluar dari kafe.

Jangan merusak barang apa pun di sini, atau gajinya akan disunat.

Dan sederet aturan khusus lain yang Berlian yakin tidak diterapkan pada karyawan lain. Hanya dirinya. Narendra memang pilih kasih.

Tapi, apa kata si semok tadi? Jangan goda bos? Seolah Berlian sudi melakukan itu saja. Lagi pula, ia memang jauh lebih cantik dari Syifa, kepala koki yang katanya ... disukai Naren. Oh, bahkan banyak karyawan kafe yang menjodoh-jodohkan mereka.

Setiap kali Naren dan Syifa kedapatan bicara berdua, mereka akan dicie-cie, bahkan disiuli. Tingkah pekerja di sini memang mirip bocah. Berlian tidak habis pikir bagaimana Naren menerapkan sistem kerja pada para pegawainya yang seperti tak menaruh hormat sama sekali pada atasan.

Selain mirip bocah, mereka juga suka sekali menggunjing. Kabar Berlian nyaris memecahkan kepala Rudi dengan tatakan gelas, karyawan yang kemarin sempat ditugasi Naren untuk mengawasinya, langsung tersebar luas, yang kemudian membuat sebagian besar karyawan lain menatapnya sinis.

Dengung lebah yang sering kali Berlian dengar tanpa sengaja menyangkut dirinya, “Masih baru kok belagu?”, “Dia tuh nggak bisa apa-apa. Heran deh, kok bisa Bos nerima pekerja jenis begitu?”, “Tingkahnya itu loh, kayak anak presiden. Tukang cuci piring aja songong!”, “Kok, rasa-rasanya Bos perhatian banget sama dia?” Dan banyak lagi. Dan banyak lagi.

Baru dua hari, Berlian sudah merasa tidak tahan. Bukan hanya tugas yang berat, dia gatal ingin membungkam mulut-mulut sialan itu. Tapi, tidak. Ia bisa bertahan. Biar saja anjing menggonggong, kafilah akan tetap berlalu.

Menarik napas untuk meredakan amarah yang ditimbulkan salah satu tim hore Naren-Syifa, Berlian kembali ke sisi bak cuci. Tangan-tangannya sudah berkerut, pun bahu pegal dan kaki kesemutan lantaran kelamaan berdiri, tapi ia tidak bisa berhenti.

Benar kata Narendra. Saat ini ia bukan Berlian putri konglomerat, melainkan Lili si pegawai melarat.

Tapi, apa hidup Berlian akan selamanya begini? Ke mana takdir akan membawanya ke masa depan? Harry sudah membuangnya, praktis Berlian tidak punya apa-apa sekarang. Kecuali bila ia membunuh. Nara atau Harry beserta istri dan kedua anaknya.

Masih ada satu pilihan lain.

Mencari suami kaya. Atau setidaknya mapan, yang bisa membuat ia hidup nyaman.

Namun, bagaimana cara mendapat kriteria suami semacam itu dengan dirinya yang seharian berkutat dengan piring kotor sebagai Lili yang jelek? Karyawan rendahan macam Rahman saja tidak berminat padanya.

Huh, Andai saja Naren tidak pelit, Berlian mungkin akan mempertimbangkan untuk benar-benar mendekatinya seperti yang dituduhkan pegawai semok tadi.

Namun, masalah terbesar bukan pada sisi pelit Naren sebenarnya, melainkan standar tinggi calon istri lelaki itu. Dan Syifa benar-benar merupakan kandidat paling sempurna.

Dari keluarga baik-baik. Sifat ramah. Tata krama bagus. Murah senyum. Berhijab. Pintar masak.

Dibanding Syifa, Berlian bahkan tak ada seujung kukunya saja.

Tapi, tunggu dulu ... kenapa juga Berlian harus mempertimbangkan Naren sebagai kandidat calon suami potensial? Narendra jelas-jelas bukan tipenya!

Ah, ini pasti karena ia mulai lelah dan lapar, jadilah berpikir melantur.

Lagi pula, kalau benar dirinya ingin menikah dengan lelaki mapan, tinggal meminta Fio memperkenalkan Berlian pada teman-teman calon suami adik Akira itu saja. Untuk apa repot-repot mempertimbangkan Narendra!

Ya ampun, lapar benar-benar bisa membuat sistem kerja otak bermasalah.

Sialan. Dia butuh makan untuk kembali menjernihkan pikiran!

¤¤¤

Ini lanjutan bab kemarin ya.
Masih dikit?
Wkwkw... hari ini ada acara di rumah, jad ngetiknya kudu diburu2in. Moga aja bab selanjutnya bisa banyak lagi, yes.

Esto bule dhin dhika,  Cah😘

Pamekasan, 19 Okt 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top