Verso #9
Vibrant
By ArchieElysia
Bunyi mesin PC bergerung di dekat anak laki-laki berbaju putih yang terduduk di ruang yang didominasi warna biru.
Sesekali suara napasnya terdengar memenuhi atmosfer ruangan. Pandangannya tak lepas dari layar PC yang menampilkan tulisan bergerak meliuk-liuk sebagai screensaver.
Ji Sung Bae, bocah lelaki itu memijit dahinya. Bosan memandang tulisan bergerak di layar yang kadang berubah warna, kini teralih ke luar jendela.
Tunas-tunas bunga Mugunghwa yang menjadi ikon bunga nasional di negerinya, tumbuh di pekarangan rumah. Beberapa kuncup kelopaknya merekah diam-diam. Nampak segar terbalut embun sisa semalam.
Hari ini, makanan apa lagi yang akan dipakai untuk mukbang? batinnya.
Dia berdesis pelan. Kemudian lekas bangkit, berjalan keluar kamar menuju teras rumah. Dihirupnya napas dalam-dalam. Sebagai seorang youtuber acara mukbang yang subscriber-nya mencapai satu juta, dia harus sering mengisi acara makan dengan porsi banyak.
Semua karena hasrat ingin terkenal. Siapa sangka video pertamanya membuat subsciber-nya membeludak. Padahal hanya sekedar makan roti Pretzel, roti 'pita' khas masyarakat tradisional Jerman. Entahlah. Namun, sudah terlanjur. Banyak permintaan dan tuntutan dari para fans untuk membuat video yang lainnya.
Gaya hidupnya berubah 180°. Yang tadinya bebas kemana saja, sekarang banyak yang mengenalinya di luar. Tak jarang ada yang modus dengan meminta foto bersama, sudah layaknya idol papan atas. Di kelas pun, dia menjadi target para secret admirer-nya.
Lama-lama hatinya bungah. Sung Bae takut keluar rumah. Menjadi bocah yang kesepian tak berteman.
Tiba-tiba dia teringat seorang gadis di kelasnya. Jangankan dekat, namanya saja tak tahu. Tapi gadis yang sok akrab dengannya itu berhasil membobol pintu amigdala-nya.
"Awal musim semi nanti, ada Flowers Taean Festival. Daripada sibuk meladeni keinginan fans-mu, datang saja ke sana. Aku juga nanti ada disana," ucap Sang gadis kala itu dengan senyum semringah.
Sung Bae hanya menautkan alis. Apa wajahnya terlihat 'mengkeret' sampai dibilang begitu? Lalu, kalimat terakhirnya itu apa? Ngajak nge-date, begitu?
Dia geleng-geleng kepala. Kembali pada realita yang dihadapinya. Bimbang. Berangkat, tidak, berangkat, tidak—berangkat! Keputusan final.
Setelah pamit dengan kedua orang tuanya, Sung bae mengayuhkan kaki pada pedal sepeda, menuju Flowers Taean Festival yang terletak tak jauh dari tempat tinggalnya. Sekitar tujuh ratus meter dari rumahnya.
Di sana, hamparan bunga tulip bak permadani tergelar warna-warni. Sung Bae membiarkan aroma bunga yang harum semerbak memenuhi rongga alveolus-nya.
Dia menengadah sejenak. Angin berdesir, matanya terpejam sesaat. Namun, jejak angin menghilang bersamaan dengan sesosok yang menghalangi laju angin ke arahnya.
"Hei, kamu datang? Kukira tak akan datang," sapa seorang gadis, ramah.
"Ini bukan ide yang buruk, kok," balas Sung Bae.
"Aku bilang apa. Tempat ini bagus buat dikunjungi setelah hibernasi."
Alis Sung Bae terangkat. Siapa yang dia sebut hibernasi? Gadis itu, entah kenapa juga tak mengusik kenyamanannya.
"Kamu tak bawa apa-apa? Maksudku, untuk foto-foto." Suaranya terdengar menuntut. Kepalanya celingak-celinguk mencari sesuatu di sekitar Sung Bae.
"Untuk apa? Yang terpenting, kan, menikmati sampai sekalipun meninggalkan tempat ini, gambarannya masih terpatri di kenangan."
Gadis berjepit replika kue unicorn itu tersenyum hingga deret giginya nampak jelas. "Bagus," katanya. "Ayo ke sebelah sana! Ada jenis bunga lily terbaru, warna biru."
"Anu, hei. Maaf aku tak tahu kamu, padahal kita sekelas." Sung Bae sedikit mengerling.
"Aku Hwa Moon Il. Panggil Moon Il saja, Sung Bae," jelasnya.
Sontak Sung Bae cukup terkejut. Gadis itu baru dua kali bicara dengannya berlagak seolah sudah kenal lama. Orang asing yang baru kenal tak sembarangan memanggil tanpa menyebut nama marga.
Orang asing? Sung Bae tersenyum miring. Padahal satu kelas.
Dengan gerakan lincah, Moon Il menghentakkan kakinya, berlari ke arah utara. Mungkin, ini hanya bayangan Sung Bae, kelopak bunga tulip muda yang masih rapuh terbawa angin, seakan terbang di sekitar Moon Il.
Sung bae menggelengkan kepalanya. Lantas, kedua kakinya melangkah mengikuti Moon Il.
Moon Il tampak gembira ber-selca ria. Dari satu sisi pindah ke sisi lain dengan gaya berbeda-beda seolah tak ada habisnya. Mulai gaya dua jari sampai bak peri sakit gigi.
"Narsis," batin Sung Bae.
"Kenapa senang banget, sih?" tanyanya setelah mengedarkan pandangan sekilas.
"Kamu sendiri, tak senang ada disini? Nikmati saja panorama setahun sekali ini," sahut Moon Il.
"Kamu sering datang ke sini?"
"Iya, hehe. Semua festival bunga aku datangi. Kamu bagaimana?"
"Hanya ke festival bergaya metro di pusat kota," Sung Bae menggaruk belakang kepalanya. "Ngomong-ngomong, kenapa kamu suka ke festival bunga?"
"Agar aku ingat, bunga tetap cantik walau tak bilang dirinya bunga. Dia tetap wangi walau tak mengibas-ngibaskan dirinya."
Sung Bae tertegun. Kata yang dilafalkan penuh makna. Namun, sarat arti lain juga. Apa dia memuji dirinya sendiri?
"Oh, iya. Aku kadang lihat acara mukbang dirimu. Aku sangat suka," akunya.
Mata Sung Bae mengerjap. Jadi dia juga termasuk penggemarnya—atau termasuk secret admirer di sekolah? Apa ajakannya ke sini juga sebagai akal-akalan agar bersamanya?
"Tapi aku suka makananmu saja. Kadang juga aku tak terlalu suka kamu yang sering mengunggah video, Hahaha," sambung Moon Il diiringi tawanya yang renyah.
"Kenapa begitu?" Sung Bae ingin tahu.
"Itu yang akan kamu pelajari hari ini," senyum Moon Il mengembang.
Dahi Sung Bae terlipat-lipat. Bingung. Setelah itu, tak ada lagi pertanyaan. Ekor mata Sung Bae hanya mengikuti kemana saja arah gadis itu bergerak. Sesekali dia menerka-nerka jika Moon Il merencanakan sesuatu padanya. Tapi apa, ya?
"Sung Bae, apa kamu kesini karena terpaksa? Maksudku, kamu datang karena aku?" tanya Moon Il setelah lelah berjalan.
Taman seakan senyap di indera pendengaran Sung Bae. Intuisinya meminta untuk berkata jujur. Namun, suara utama dalam dirinya memunculkan ego untuk menampik.
"Tidak. Aku ke sini karena keinginanku sendiri," Jawab Sung Bae, jujur.
"Baguslah. Itu artinya, kamu tahu cara menikmati hidup. Kamu lakukan hal yang bukan karena tuntutan orang-orang sekitarmu."
Lama Sung Bae terdiam. Mencerna petuah yang dilontarkan seperti dongeng seribu satu malam. Dia bisa datang ke Flowers Taean Festival karena kehendak sendiri, tanpa paksaan, hanya ajakan teman. Seharusnya, dia juga bisa melakukan apa yang dia mau tanpa terlalu memusingkan banyaknya tuntutan dan permintaan para komentator di laman channel-nya, yang kemudian berusaha dia penuhi semua.
"Aku mau pulang sekarang," cetus Moon Il. "Bulan Juni nanti, ada Lavender Village Farm, festival bunga juga, di Gangwon-do, sebelah timur Seoul. Wisata lokal yang belum banyak diketahui turis. Kalau mau, datang kesana, ya."
"Tunggu! Kamu tak terlalu cepat?" sergah Sung Bae, impulsif.
"Aku harus membantu sepupuku untuk latihan berjalan. Dia habis kecelakaan," tandas Moon Il.
"Oh, baiklah. Maaf."
"Aku tunggu video mukbang terbarumu! Tapi, menunya bunga Mugunghwa, ya! Hahaha," teriak Moon Il dari jarak yang belum jauh darinya.
Sung Bae menyeringai kecil. Permintaan teraneh dari penggemar. Tapi sebentar, apa Moon Il benar-benar seorang penggemar? Lalu, Gangwon-do? Jarak sejauh itu akan dia tempuh untuk ke sana?
Seperginya Moon Il, taman bertambah ramai. Kebanyakan pasangan muda-mudi dan keluarga. Sepertinya, hanya dia yang sendirian. Sebelum memutuskan untuk pulang, Sung Bae membeli beberapa tangkai bunga yang dijual di stand khusus.
Pedal Sepeda kembali terayuh, kedua rodanya berotasi. Perlahan, Sung Bae bersama sepeda gunungnya meninggalkan taman bunga yang tengah bermekaran dan berimbas pada hatinya.
🌸🌸🌸
Hamparan warna ungu tercipta dari ribuan bunga Lavender di Tanah luas wilayah Gangwon-do, sebelah timur kota Seoul.
Taman baru saja dibuka. Pengunjung belum banyak yang datang. Beberapa yang hadir sudah menjelajah ke tengah taman sembari membawa kamera atau ponsel untuk berswafoto.
Usai membayar tiket masuk, Sung Bae melenggang ke pinggiran area taman yang paling dekat dengan farm house. Dia datang ke festival Lavender Village Farm. Kali ini, dia penasaran dengan apa yang akan dilakukan Moon Il.
"Wah, kamu datang! Aku kira kamu tak akan lagi suka beginian," suara gadis yang tiba-tiba muncul entah dari arah mana menyentak Sung Bae.
"Argh, jangan muncul mendadak, dong! Kaget tahu!" gerutu Sung Bae.
Gadis yang tak lain dan tak bukan adalah Moon Il justru tertawa girang. Disibaknya anak-anak rambut yang tertiup angin menutupi wajahnya.
Di mata Sung Bae, sesaat hal itu seperti adegan drama yang diperlambat. Bukannya apa. Hanya entah kenapa, dadanya kebat-kebit, mendadak ada pusara air berdebit-debit.
"Nah, kamu kenapa kesini?" tanya Moon Il, memancing.
"Aku— suka festival bunga. Itu menyenangkan dan ada kepuasan tersendiri saat mengunjunginya."
"Lalu, apa kamu juga suka mengisi acara mukbang di channel youtube-mu?"
"Iya. Tapi, hei, apa maksudmu bertanya begitu?"
"Itu yang ingin aku beri tahu setelah dari Flowers Taean Festival," Moon Il menghela napas. "Kamu suka membuat acara mukbang, dan bukan berarti kamu harus memenuhi semua permintaan para netizen. Kamu yang punya channel, yang punya acara, bukan orang-orang yang berlebihan memintamu ini-itu. Kamu berhak melakukan sesuai kehendak hatimu."
Sung Bae dibuat tertegun, sama seperti di Festival Taman Taean. Kata-kata yang keluar dari bibir Moon Il seperti sihir yang menghisapnya ke lubang kekaguman.
"Bagaimana kamu tahu?"
"Aku termasuk subscriber-mu, jadi aku juga membaca kolom komentar. Kupikir itu pasti akan menyulitkanmu."
"Aku sedikit takut dihujat," Sung Bae berkata lirih.
"Jangan risaukan itu. Fans yang baik akan menerima apapun keputusanmu nanti."
"Kamu seperti tak punya beban. Apa rahasiamu?"
"Ciptakan musim semi dulu dalam hatimu. Kalau sudah begitu, mau di musim apapun, kamu tetap bersemi bahagia seperti musim semi," tutur Moon Il. Senyum lebarnya teriring cahaya matahari yang mulai naik meninggi.
"Jangan alay badai," sela Sung Bae, intens. Padahal di lubuk hatinya merasa senang.
Moon Il menyengir lebar. Kemudian, kepalanya menoleh ke lautan bunga lavender. Tangannya meraih ponsel yang tergantung di lehernya.
"Bunga ini cuma di musim semi dan panas. Mau— foto bersama? Untuk diabadikan," ajaknya. Terlihat canggung.
"Kau saja sendiri. Aku sedang tak ingin difoto," tolak Sung Bae tanpa ragu.
"Ah, begitu. Okay," sahut Moon Il. Ada emosi bernada rendah, agak kecewa.
Sung Bae tak enak hati. Dia menyesal. Terlebih Moon Il nampak biasa saja setelah itu. Bahkan memasang senyumnya lagi sebelum pergi setengah berlari menuju padang lavender.
Kini Sung Bae memutuskan untuk berjalan-jalan sendiri. Tak jauh dari areanya, dia melihat batu persegi setinggi pinggangnya.
Sederet tulisan yang tercetak di sana menampilkan biodata bunga ungu tersebut. Mulai dari nama latin, spesies, ukuran, hingga maknanya. Tepat di baris tentang makan bunga, tertulis sebuah kalimat,
Bunga Lavender merupakan salah satu cara bagi seseorang untuk menyampaikan perasaannya kepada orang lain. Tapi di balik paras ungu yang cantik ini, bunga lavender memiliki makna yang mendalam tatkala bunga ini melambangkan pertumbuhan seorang perempuan dan menunjukkan keanggunan.
Apa mungkin? Batin Sung Bae. Apa Moon Il mencoba mengutarakan sesuatu yang lain?
Sung Bae merenung sejenak. Pandangannya kini teralih ke Gadis bertopi bundar lebar di deretan rumpun bunga. Sudut bibirnya tertarik. Langkah kakinya spontan menyusul gadis yang tengah asyik berswafoto.
Angin lembut berembus pelan. Pucuk-pucuk lavender menerbangkan keharuman yang kuat, menyelusup ke kedalaman hati dua remaja yang ingin dekat.
~ END ~
02.15.2019
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top