Verso #21
Gugur Menjadi Saksi
by : FiKha17
Aku pun lapuk
Seperti daun yang telah jatuh dari pohonnya
Aku gugur
Ditelan kebencian sampai ke akar
"Bagaimana hubunganmu dengan kekasihmu?" seseorang dari pojok ruangan berucap.
"Hubungan kami diambang kehancuran," seseorang yang lain menimpali.
"Kenapa lagi kali ini?"
"Dia kembali menipuku. Bermain dengan yang lain di belakangku."
"Lagi? Kenapa tidak kau putuskan saja orang seperti dia?"
"Aku tidak bisa. Aku sangat menyayanginya. Aku tidak bisa hidup tanpanya."
"Tapi dia telah menyakitimu. Dua kali."
"Aku tahu. Tapi tetap saja. Aku tidak bisa berpisah dengannya. Biarlah aku sakit selama aku tetap bisa bersamanya. Aku akan berjuang demi cintaku."
"Kalau itu memang inginmu, baiklah. Aku akan selalu mendukung keputusanmu. Aku berharap nasib baik akan menimpamu."
Hening menyapa. Mereka terdiam. Satu menyentuh-nyentuhkan jemari di layar ponsel, sedang yang lain mengaduk minumannya tanpa minat.
Bukannya aku bermaksud untuk mencuri dengar tapi percakapan itu merasuki telingaku tanpa izin. Bagaimana tidak, kedai sepi begini mereka berbincang dengan suara keras. Terima kasih telah membuatku berhenti dari aktivitasku, Wahai Dua Gadis di Pojok Ruangan Kedai.
Aku pun kembali mengisi kertas putih dengan coretan-coretan hitam. Menyelesaikan sketsa wajah seseorang yang tanpa kusadari di kemudian hari akan membuatku mendekam di jeruji besi. Membubuhi nama Rachel di bawahnya sebagai tanda bahwa itu adalah hasil kerjaku.
Persetan dengan ucapan kedua gadis belia itu. Rela tersakiti demi tetap bersama kekasih? Haruskah aku mengapresiasi? Tidak! Jelas hal itu tidak patut diapresiasi. Aku telah menjadi korban dari pikiran bodoh itu. Belajarlah dari diriku.
Lelaki ada untuk melindungi bukan untuk menyakiti. Wanita ada untuk dilindungi bukan disakiti. Begitulah kodratnya. Begitulah seharusnya. Tapi tidak begitu realita berbicara.
Selang waktu satu tahun sejak pembicaraan dua gadis di pojok ruangan kedai. Gugur di kala itu telah menjadi saksi. Bagai adegan slowmotion, dedaunan jatuh perlahan dari pohonnya seiring jatuhnya lelaki ke lantai di dalam sebuah rumah. Warna merah telah menggantikan warna coklat keramik dalam hitungan detik. Ada apa? Siapa pelakunya?
Aku menatap kedua tanganku. Bercak merah terlukis tanpa pola. Sebuah pisau jatuh tersungkur tepat di bawah kakiku, aku melangkah mundur perlahan. Apa yang telah kuperbuat? Bekas telapak tangan merah kini menghiasi wajahku.
Hebohnya sirine polisi mulai merasuki telingaku. Kusadari tak ada tempat bagiku untuk sembunyi. Aku terduduk pasrah di samping lelaki yang seharusnya sedang menghabiskan makan siang bersamaku. Kini ia terbaring di lantai merah, tak akan bangun lagi sekuat apa pun kau berusaha membangunkannya.
Begitu saja cinta terhapus benci. Begitu saja kata manis tak lagi berarti. Begitu saja kenangan menjadi hal yang tak bisa dikenang bersama lagi. Semua itu karena cinta yang dikhianati. Cinta yang dipikir suci nyatanya menjadi omong kosong tiada arti.
Apa itu perjuangan? Apa artinya perjuangan bila yang diperjuangkan pun tak menghargainya? Apa arti cinta? Aku tak paham lagi. Aku muak. Setelah semua yang kulewati, semua itu menjadi sia-sia.
Masih di gugur yang sama. Ketika meja hijau menjadi tempat peraduan. Tinggallah aku menunggu palu itu diketuk disertai pernyataan bahwa aku bersalah dari mulut seorang Yang Mulia. Telah kupasrahkan nasibku pada semesta. Jelas aku tidak akan bisa lepas dari hukuman setelah apa yang telah kuperbuat pada seorang yang seharusnya menjadi kekasih hatiku di kala itu. Terbayang kembali merah kental yang perlahan meraba telapak kakiku yang polos tanpa sandal. Aku menunduk sedalam-dalamnya.
Entah berapa lama aku mendekam di hotel rodeo. Gugur kala itu kembali menjadi saksi. Aku akhirnya bebas. Menghirup udara dunia luar yang kini terasa berat akibat polusi yang semakin dahsyat. Melihat cahaya mentari yang kini terasa jauh lebih terik akibat global warming yang semakin menjadi. Biarlah. Biarlah aku menikmati semua ini karena di dalam jeruji besi, tak dapat kurasakan sinar mentari menembus kulit. Tak dapat kuhirup udara bercampur racun di jalan besar. Udara di balik jeruji besi bagai racun mematikan, semakin banyak kau hirup semakin hilang umurmu.
Masih di gugur yang sama. Di pinggiran kota. Di sebuah kedai mungil. Kembali teringat alasan aku melakukan hal tak terpuji hingga berakhir di jeruji besi. Hal yang membuatku menyesal hingga detik ini, mungkin tak akan pernah berhenti. Kugoreskan hitam di atas putih. Mengukir wajah seorang yang dulu menjadi kekasih.
Betapa konyolnya pikiranku kala itu. Betapa konyolnya tindakanku sesudahnya. Nyawa hilang dengan percuma. Hanya karena cinta yang dibuang sia-sia. Perjuanganku tak terhitung waktu, perjuanganku hingga titik darah penghabisan, perjuanganku mempertahankan cinta kami, remuk lebur seketika kala kutahu ia mendua. Makan siang terakhir kami, di mana ia memilih berpisah karena akan menikah dengan wanita pilihan orang tua, menjadi makan siang terakhirnya di penutup usia.
Betapa hebatnya cinta. Membuat manusia menjadi gila. Betapa hebatnya benci. Membuat cinta tak lagi miliki arti. Hati-hati dengan hati. Hati-hati dengan perasaan yang mudah berganti. Hati-hati dengan jiwa yang bisa menjadi gila. Hati-hati dengan pikiran yang kadang membuat diri bertindak tanpa sadar, tanpa aturan.
Hati-hati. Kuasailah dirimu. Jangan biarkan hal lain yang menguasai dirimu. Belajarlah dari diriku. Jangan menjadi diriku. Hidupmu lebih baik dari hidupku. -Aku Achrel-
Tamat.
Kututup novel yang berjudul Gugur Menjadi Saksi karya seseorang yang bernama pena Aku Achrel sambil menghela napas. Ini novel dengan cerita dark pertama yang aku baca. Pembunuhan yang dilakukan oleh seorang gadis pada kekasihnya karena cinta yang dikhianati.
Waktu istirahatku berakhir. Saatnya aku meneruskan sketsa wajah seseorang sebagai hadiah ulang tahunnya.
"Bagaimana hubunganmu dengan kekasihmu?" tiba-tiba seseorang dari pojok ruangan berucap.
"Hubungan kami diambang kehancuran," seseorang yang lain menimpali.
"Kenapa lagi kali ini?"
"Dia kembali menipuku. Bermain dengan yang lain di belakangku."
"Lagi? Kenapa tidak kau putuskan saja orang seperti dia?"
"Aku tidak bisa. Aku sangat menyayanginya. Aku tidak bisa hidup tanpanya."
"Tapi dia telah menyakitimu. Dua kali."
"Aku tahu. Tapi tetap saja. Aku tidak bisa berpisah dengannya. Biarlah aku sakit selama aku tetap bisa bersamanya. Aku akan berjuang demi cintaku."
"Kalau itu memang inginmu, baiklah. Aku akan selalu mendukung keputusanmu. Aku berharap nasib baik akan menimpamu."
Hening menyapa. Mereka terdiam. Satu menyentuh-nyentuhkan jemari di layar ponsel, sedang yang lain mengaduk minumannya tanpa minat.
Bukannya aku bermaksud untuk mencuri dengar tapi percakapan itu merasuki telingaku tanpa izin. Bagaimana tidak, kedai sepi begini mereka berbincang dengan suara keras. Terima kasih telah membuatku berhenti dari aktivitasku, Wahai Dua Gadis di Pojok Ruangan Kedai.
Aku pun kembali mengisi kertas putih dengan coretan-coretan hitam. Menyelesaikan sketsa wajah seseorang lelaki yang sekarang menjadi kekasih. Membubuhi nama Rachel di bawahnya sebagai tanda bahwa itu adalah hasil kerjaku.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top