Verso #18
Sabani
by : penuliskelabu

Sasa terpana menatap sosok cowok berparas tampan, tubuh tinggi jangkung dengan kemeja berwarna biru muda duduk di bangku yang sama di taman. Sudah lima menit gadis itu tidak berkedip hingga cowok itu melambaikan tangan ke arahnya. Bukan karena wajah tampan cowok asing itu yang membuatnya tanpa berkedip, melainkan mata biru yang dirindukannya sekian lama.
"Ada apa?" tanya cowok itu sebentar melihat manik mata Sasa, lalu beralih menatap lurus.
Lamunan Sasa buyar. Pikirannya berkeliaran kemana-mana.
"Kenalkan, aku Bani. Sebastian Bani," kata cowok. Membuat Sasa berani menatap ke arah cowok bernama Bani.
"Ada apa dengan wajahku? Kenapa kamu menatapku seperti itu?" Sasa berkedip mendengar pertanyaan Bani. "Kenapa kamu daritadi diam saja?"
Sasa bingung harus mengatakan kalimat apa yang cocok untuk mengambarkan isi hatinya. Apa perlu dia menangis sekarang?
"Namamu siapa?" katanya lagi karena tidak melihat tanda-tanda Sasa akan menjawab pertanyaannya.
"A-aku ... Sasa," jawab gadis.
"Sasa atau Salsa? Maaf aku tidak mendengar L dalam namamu, tapi aku takut salah menghapal namamu."
"Sasa tanpa L."
"Sasa micin ya?" balas Bani sambil terkekeh, tapi Sasa hanya diam saja menatap lurus ke depan. "Krik banget ya ... maaf."
Sasa semakin buang muka ke sembarang arah, asal jangan melihat ke arah cowok di sampingnya. Sasa Micin adalah panggilan seseorang yang pernah hadir dalam hidupnya.
Jika melihat cowok itu lagi, bisa dipastikan Sasa akan histeris seperti tahun-tahun sebelumnya. Itu sangat mengerikan jika ditunjukkan pada orang yang baru dikenalnya.
"Tidak ... kamu tidak salah aku hanya butuh sendiri." Sasa berbicara dengan suara parau sambil menutup mata.
Bani menghela napas, "Baiklah aku akan pergi."
Sasa mendengar langkah kaki itu kian menjauh.
Dalam hati Sasa mengerutuki pikirannya yang belum lepas dari Ronal. Sehingga dunia menjadi gelap gulita.
Terakhir sebelum Sasa tergeletak, ia mendengar suara Bani teriak, "Sasaaa ...."
Berhari-hari Bani tidak bosan menjenguk Sasa di rumah sakit. Sasa heran kenapa cowok itu selalu ada bersama dengannya padahal Sasa baru mengenalnya beberapa hari lalu.
"Kenapa?" tanya Sasa dengan wajah pucat.
Bani menyiapkan kursi roda dan membantu Sasa duduk di kursi beroda itu.
"Kenapa apanya?"
Sasa menutup matanya menahan sakit di hatinya. Ia tidak mau jatuh hati lagi. Karena baginya setelah jatuh cinta adalah patah hati terdalam. Membuatnya sakit seperti tertusuk belati.
"Perlakuanmu ... apakah kamu baik ke semua orang juga?" Sasa mendongkak kepala melihat wajah lelah Bani yang tersenyum.
Cowok itu mengangguk, ia senang karena gadis di hadapannya bisa berkata lebih panjang dari biasanya.
Sasa dibawa keliling rumah sakit, Bani bersyukur cuaca tidak seterik kemarin sehingga Bani bisa membawanya berkeliling.
"Kita ke mana?" tanya Sasa mendongkak kepala, saat roda menjauh dari rumah sakit.
Bani tanpa lelah menunjukan lesung pipitnya.
"Sasa boleh kedua matamu dipejamkan sampai aku mengijinkan kamu membuka mata?"
Sasa mengangguk.
Bani mengaitkan sapu tangan biru muda hendak menutup kedua mata Sasa.
Sepanjang perjalanan Bani bercerita lucu hingga Sasa tertawa. Tanpa terasa tempat yang dituju mereka akhirnya sampai.
Bani melepas ikatan sapu tangan di mata Sasa.
"Sudah sampai ya, Ban?"
"Iya, sudah sampai."
Sasa terpana melihat taman yang dulu menjadi tempat pertama bertemunya Sasa dengan Bani. Awal pertemuannya hingga sekarang. Ralat hanya menurut Sasa bukan Bani.
Indah. Sasa melihat begitu banyak bunga mawar merah bertaburan di pohon, bangku kayu dihiasi bunga mawar di sisi kiri dan kanannya. Bukan hanya itu juga ada lampion di ranting pohon yang sudah tidak ada daunnya lagi. Lampu-lampu bertengger di pohon. Dan lebih istimewanya ada kerlap-kerlip dengan tulisan "Sasa I Love You"
Sasa sempat terpana melihat ke Bani, air matanya sudah tidak bisa dibendung lagi karena tempat yang menjadi perpisahannya dulu dengan Ronal berganti menjadi tempat yang cantik dan mempesona.
"Jelek ya?" kata Bani ketika Sasa menangis sesengukan di kursi roda.
Bani berganti posisi tepat di depan gadisnya sambil memeluk Sasa. "Apa ini terasa begitu cepat?"
Sasa mengangguk, masih menangis di pelukan Ronal.
"Apakah dua tahun adalah waktu yang cepat untuk menyatakan cinta pada seseorang?"
Mendengar itu Sasa menguraikan pelukan agar melihat wajah Bani.
"Dua tahun lamanya aku melihatmu di sini, tepat di musim yang sama, memandangimu dari kejauhan enggan menyapa. Membiarkanmu menangis sendirian tanpa berani ikut campur. Dua tahun adalah waktu yang cukup bagiku mengenalmu.
Apa kamu ingat musim gugur tahun lalu aku pernah berkata, Jangan salahkan waktu. Karena di setiap perpisahan akan hadir orang baru, orang yang mungkin akan menjadi pasangan hidupmu kelak. Menjaga agar tetesan air mata tidak perlu jatuh lagi.
Dan jangan salahkan diri sendiri. Tetapi belajarlah dari masa lalu agar kamu bisa menjaga hati ini." Bani mengenggam tangan Sasa tepat di dadanya.
"Se-sejak kapan? Du-dua hiks tahun?" Sasa menahan bibirnya agar tidak menangis.
Bani mengangguk, "Apa kamu mau jadi calon istriku?"
Air mata Sasa semakin deras.
"Kenapa hiks?" ucap Sasa parau. "Kenapa harus ... aku?"
"Kamu spesial, Sa."
Sasa mengelap air matanya dan ingusnya di sapu tangan Bani, "Maaf aku masih belum bisa."
"Aku paham kok."
"Tidak ... aku tidak bisa membalas cintamu dan perlakuanmu ini. Aku tidak pantas dicintai."
Sasa mengernyit kesakitan di dadanya, tangannya memukul-mukul Bani yang setia memeluknya.
"Aku tahu masa lalumu, Sa, aku paham. Aku sudah lama mengikutimu diam-diam, aku tahu semuanya. Bahkan kenanganmu dengan Ronal-"
"Stop!! Aku tidak mau mendengar nama itu."
"Itu bukan salahmu, Sa, bukan. Jadi hentikan semua ini. Jangan salahkan dirimu lagi."
"Sudah aku katakan diam!" wajah Sasa memelas, Bani mengguraikan pelukan. Dan Sasa tertidur dalam pelukannya.
Bani menghapus air mata Sasa perlahan, lalu mengendong Sasa, "Demi Tuhan. Aku sungguh mencintaimu, Sa."
"Maaf," batin Sasa masih setia menutup matanya. Jika harus memilih lebih baik matanya tertutup saja daripada melihat sendiri sosok Ronal dalam diri Bani.
Sudah seminggu Bani menemani Sasa di rumah sakit. Berbanding terbalik dengan hubungan keduanya, Sasa enggan bicara dengan Bani. Bukan Bani namanya jika ditolak langsung menyerah.
"Sa ...."
Cowok itu merapikan selimut Sasa yang sudah keriput.
"Sa, kamu dengar aku, 'kan?"
"Hemm." Selepas dari toilet gadis membelakangi cowok yang sibuk merapikan peralatannya.
"Aku yang antar kamu ya?" keukeh Bani untuk ke sekian kalinya.
Sasa mengeleng, lalu menatap jendela rumah sakit. Wajahnya tersiram sinar pagi. Bani mendekat melihat fenomena langka ini. Ia terpana.
Merasa diperhatikan, Sasa menghadap cowok itu yang terus berjalan mendekatinya. Refleks Sasa berjalan mundur dan mengenai tembok. Jarak mereka hanya lima senti.
Jantung Sasa rasanya ingin copot merasakan hembusan napas mint milik Bani.
Rahang Bani bergerak, "Kenapa kamu menghindar?" Sasa hanya diam.
"Apa aku buat salah sama kamu?"
Sasa mengelengkan kepala.
"Nggak mungkin kalau jawabannya tidak. Pasti waktu aku mengutarakan perasaanku minggu lalu. Benar, 'kan?"
Sasa mengeleng kuat.
"Tolong jawab, Sa."
Wajah Sasa panas, ingin menangis rasanya.
"M-maaf ... a-aku nggak mau lihat kamu lagi, Ban." Cowok itu tampak tenang walau hatinya seperti teriris pisau.
"Tapi kenapa?" Bani menundukkan kepala dan kedua tangannya menahan tembok, mengunci pergerakan Sasa, ia frustrasi.
Sasa mengigit bibirnya kuat agar tidak dilihat lemah lagi di hadapan cowok ini.
"Maaf ...."
"Bukan itu yang mau aku dengar."
Sasa beranikan diri menatap mata biru Bani dengan sorot kekecewaan.
"Aku benci matamu, senyummu, perhatianmu dan semua tentang kamu, Bani! Aku benci!"
"Kasih aku satu alasan logis kenapa kamu benci tentang aku?"
Sasa menghela napasnya perlahan, "Maaf ... bukan itu maksudku. Tapi aku memang tidak mau terima kamu jadi pacarku karena wajahmu mengingatkanku pada seseorang."
"Ronal?" Sasa menatap wajah Ronal yang kini cowok itu ikut menatapnya.
Sasa mengangguk lemah dengan sorot mata tak bisa diartikan. "Mata birumu mengingatkanku padanya. Aku tidak mau hidup dalam bayang-bayang Ronal."
"Aku Bani, Sa. Aku Bani ...." Bani meninggikan suaranya sambil mengenggam bahu Sasa sangat erat.
Gadis itu menutup matanya sambil menangis sesenggukan. Genggaman Bani membuatnya meringgis kesakitan.
"Karena kamu Bani! Aku tidak bisa."
Genggaman tangan Bani merenggang, Sasa masih menggunakan tangannya menutup mata. Ia tidak berani menatap langsung Bani.
"Suatu saat kamu akan tahu artinya pengorbanan ini, Sa. Tenang saja aku tidak akan mengganggumu lagi. Jadi kamu tidak akan merasa terganggu lagi akan keberadaanku."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top