sesal
•
•
•
BERLARI secepat yang dia bisa, Harkasa tidak memedulikan tatapan lalu lalang orang-orang yang memiliki kepentingan tidak jauh berbeda darinya. Harkasa bahkan menerobos tanpa menanyakan tujuannya. Seperti maling, Harkasa sampai diikuti oleh satpam karena dikira hanya akan membuat kegaduhan.
"Istri saya di dalam, Pak. Melahirkan... dia sedang membutuhkan saya!!!" bentak Harkasa kehilangan arah.
"Tenang dulu, Pak. Tenang. Kalau istri bapak benar di sini, tolong tanya dan cek dengan benar. Jangan mengganggu kepentingan yang lainnya."
Untung saja satpam tersebut masih menolerir sikap Harkasa. Lelaki itu masih bisa masuk dan memastikan Berlian baik-baik saja.
Tepat saat Harkasa berniat masuk ruang operasi, sudah ada perawat yang membuka pintu.
"Maaf, bapak ini mau apa, ya? Ini ruang operasi, Pak."
"Saya tahu! Saya mau menemani istri saya di dalam!"
"Namanya, Pak?"
"Berlian."
Perawat membuka sarung tangannya, lalu mengarahkan Harkasa ke ruangan bayi.
"Ibu Berlian sudah melahirkan sejak dua jam yang lalu, Pak. Beliau dibawa ke ruangan rawat inap. Bayinya perempuan. Berat 3,2 dan panjangnya 4,9. Mau diadzani dulu, Pak? Pesan ibu Berlian tadi, kalau ada suaminya yang datang diminta untuk mengadzani bayinya lebih dulu."
Harkasa tidak bisa berkata-katq lagi. Dia takjub dengan sikap Berlian yang lebih mementingkan bayi mereka, bahkan menitip pesan pada perawat.
Rasa takjub Harkasa pada Berlian tidak berhenti di sana. Dia semakin takjub begitu melihat bayi perempuannya. Bayi yang masih belum diberi nama itu menggeliat dalam dekapan kaku Harkasa. Matanya terbuka ketika suara adzan Harkasa dikumandangkan.
"Anak ayah... cantiknya anak ayah."
Rasa bangga, haru, takjub, bahagia, dan segalanya menguar menjadi satu. Menjadi sebuah rasa paling dominan. Yaitu, bahagia.
*
"Li..."
"Mas Asa."
Perempuan itu ternyata tidak tertidur seperti apa yang dikatakan perawat tadi.
"Kamu enggak tidur, Sayang?"
"Sudah tadi." Berlian meringis pelan. "Jahitannya mulai kerasa, enggak bisa istirahat, Mas."
Wajah kesakitan Berlian sengaja ditahan-tahan, Harkasa dapat melihat itu. Matanya sebenarnya memerah, tapi Berlian mengalihkannya dengan terus mengajak Harkasa bicara.
"Dede bayinya sudah kamu beri nama, Mas?"
Harkasa menggeleng.
"Kenapa? Belum nyiapin, ya?" Berlian tersenyum maklum. "Wajar, sih. Aku juga kalau diposisi kamu pasti bingung mau kasih nama apa. Enggak ada satu bulan kita dekat menjalin hubungan sebagai suami istri. Bahkan kerjaan mas juga numpuk..." Berlian memandang suaminya dengan berseri. "... kita kasih nama bareng-bareng saja, ya, Mas? Mumpung dede bayinya belum dibawa ke sini."
Harkasa menurut saja. Dia pandangi Berlian dengan sejuta rasa bersalah. Dia tinggalkan Berlian berjuang sendiri melahirkan anak mereka ke dunia, sedangkan Harkasa sibuk meladeni Laras dengan bulan madu mereka.
Harkasa merasa sangat sakit. Dia bertindak sangat bodoh. Padahal Berlian lebih membutuhkannya. Bahkan nama untuk nama anak mereka saja Harkasa tak sempat memikirkannya.
Jahat sekali kamu, Sa!
"Mutiara Naturesti Belasa. Cocok enggak, Mas?"
"Cantik. Cocok untuk putri kita," jawab Harkasa seraya mengusap kening Berlian.
"Li..."
"Iya?"
"Mas minta maaf, ya."
Berlian menyorot bingung. "Kenapa, Mas?"
"Mas enggak becus jagain kalian. Semuanya kacau. Kamu malah ngurus lahiran sendiri, Li."
Berlian menangkup jemari Harkasa yang tidak mengusap keningnya. Melarikan jemari itu pada bibirnya. Berlian cium punggung tangan suaminya dengan penuh rasa. "Aku sayang, Mas Asa. Aku ngerti, kok. Kalau jadi seorang suami dan ayah enggak bisa santai-santai di rumah. Mas butuh pekerjaan yang menghasilkan uang buat menghidupi kami. Anak dan istri, Mas."
Lihat, Sa. Dia enggak nuntut kamu seperti kebanyakan perempuan lainnya. Harkasa menyalurkan keputusasaannya melalui ciuman pada Berlian. Kamu masih yakin dipertahankan perempuan ini kalau rahasiamu terbongkar??
Harkasa semakin menyalurkan rasa frustasi itu melalui ciumannya. Dia benci membayangkan kemungkinan Berlian meninggalkannya.
Enggak. Lian enggak akan pernah pergi. Dia milikku.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top