pilihan



HIDUP memang pilihan. Harkasa menyadari itu. Mendapat banyak pilihan dan harus dia tentukan... pasti sulit. Apalagi secara cepat. Itu yang harus Harkasa lakukan. Secepat yang dia bisa, mempertahankan Berlian serta anaknya, dan mempertahankan Laras agar tak sakit hatinya.

Bermodalkan kebohongan, Harkasa dapat membelikan rumah sederhana untuk ditinggali oleh Berlian dan bakal anaknya. Namun, tidak seperti itu yang Harkasa katakan pada Laras.

"Dia ngotot mau menghidupi anaknya, Ras. Aku cuma ngasih sedikit dana bantuan sebagai bekal dia sampai bisa dapet kerjaan yang bagus."

Tatapan sedih dan khawatir Laras bergulir. "Kamu yakin, Mas dia enggak pa-pa ditinggal sendiri? Apa mendingan aku kasih tahu––"

"Jangan!!" larang Harkasa cepat.

"K–kenapa, Mas?" tanya Laras dengan heran.

"Dia bilang, dia takut ketemu keluarganya, Ras. Dia enggak mau jadi masalah kalau sampai ketemu keluarganya."

Dahi Laras mengerut. "Kok gitu? Enggak masuk akal, ah! Ini kakaknya, kok yang memang mau ketemu. Aku yakin enggak akan masalah––"

"Laras... kamu harus menghargai keputusannya. Kasihan Berlian. Mungkin, dengan begini dia bisa tegar menjalani hidup."

"Berlian itu masih tujuh belas, Mas. SMA saja enggak lulus. Tegar apanya? Memangnya dia bisa dapat kerjaan apa tanpa ijazah minimal SMA? Belum lagi. Memangnya dia bawa Ijazah SMP-nya saat pergi dari rumah? Dia enggak punya apa-apa dan enggak punya siapa-siapa. Lebih kasihan mana kalau sampai dia melahirkan tanpa satu orang pun yang nemenin?"

Harkasa menarik napas dan membuangnya secara perlahan agar Laras tidak begitu menyadarinya.

"Aku akan ngomong sama Berlian," ucap Harkasa.

"Ngomong?" Harkasa mengangguk. "Memangnya kamu tahu dia tinggal di mana?"

"Aku sudah ngasih dia ponsel yang bisa dipakai. Paling enggak, dia bisa aku lacak dari sana."

"Kamu mau ngomong apa kalau ketemu?" tanya Laras seraya menyuapkan kue ke dalam mulut, mengunyah perlahan.

Harkasa mendadak miris. Jika Laras bisa menempati tempat duduk kafe kelas menengah atas begini dan Harkasa belikan kue yang harga sepotongnya cukup membeli beras lima liter... bagaimana kabarnya Berlian dan anaknya?

"Mas??" tegur Laras.

"E–eh?"

"Kok malah bengong, sih? Kamu kepingin ini?" Laras menunjuk piring kecilnya.

Harkasa menggeleng.

"Terus? Kenapa ngelihatin aku makan kue sampai begitu?"

"Aku capek sepertinya, Ras. Kamu mau pulang?"

Laras memaklumi sikap calon suaminya itu. Bagaimana pun, Harkasa sudah menemani Berlian selama lima hari di rumah sakit. Jelas lelaki itu akan merasa lelah.

"Minggu depan kita sudah dipingit, ya."

Laras mengerucutkan bibirnya tak senang. Dia merasa masih merindukan Harkasa dan sudah harus dipingit seperti ini.

"Sabar, dooong, Sayangku. Cuma beberapa hari saja, kok."

Dalam perjalanan, mereka menghabiskan banyak pembicaraan guna melepas rindu sebelum benar-benar tidak diperbolehkan bertemu. Sedangkan Harkasa, walau sebenarnya tidak begitu fokus dengan celotehan Laras, dia menekan rasa berlebih yang menghampirinya untuk segera menemui Berlian.

"Bye. Sampai ketemu pas ijab, ya. Calon suami."

Harkasa tertawa pelan.

"Ya. Sampai ketemu, calon istri."

Salam perpisahan yang layaknya anak kecil itu pada akhirnya berhenti tepat pukul 11 malam. Harkasa memutar balik dan segera mengemudi menuju rumah Berlian berada.

Sampai di tempat yang dia tuju, Harkasa langsung memarkir dan menutup kembali gerbangnya. Rumah sederhana yang tiba-tiba saja ingin dia pantau secara penuh.

"Lian!" seru Harkasa setelah mengetuk tiga kali pintu kayu. "Li––aaan––"

"Pak Asa?"

Berlian tidak menunggu lama. Membukakan pintu untuk orang yang sudah bersedia memberinya fasilitas guna hidup lebih baik bersama anaknya kelak.

"Mau minum apa, Pak?"

"Lian. Tolong jangan panggil bapak. Saya bukan guru les kamu lagi."

Berlian menunduk. "Maaf."

"Panggil yang benar, baru saya maafkan."

"Uhm... mau minum apa... Mas Asa?"

Harkasa tersenyum. "Nah, begitu. Saya suka."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top