permohonan
•
•
•
TANGKAPAN Harkasa saat memandang kagum pada napsu makan berlian adalah... luar biasa. Gadis itu benar-benar terlihat sangat rakus ketika Harkasa mengatakan akan membayar apa pun yang Berlian pesan.
"Uhuk... uhuk...."
"Pelan-pelan," ucap Harkasa seraya menyodorkan segelas es jeruk.
Iya. Menu yang dipesan oleh Berlian adalah menu yang sebelumnya sudah Harkasa makan. Tidak paham kenapa, tapi kebetulan saja Harkasa merasa Berlian begitu gendut. Harkasa tidak mau mengatakannya, takut-takut gadis itu tersinggung. Seperti menghadapi Laras, kalau sudah diucapkan kata, Kamu gendutan, ya, semua akan berantakan.
"Kenapa kerja di sini?" mulai Harkasa.
"Karena butuh."
Selain makin terlihat gendut. Berlian yang sekarang begitu minim bicara, tidak seperti biasanya.
"Sampai jam berapa kerja di sini?"
"Dua belas."
"Malam?"
Berlian mengangguk. Meneruskan makananya, Berlian tidak berani menatap Harkasa sedikitpun. Entah kenapa Harkasa merasa ada yang salah dengan gadis itu.
"Kamu... ada masalah?"
Berlian diam. Mengabaikan pertanyaan Harkasa, dan terus mengisi perutnya hingga kenyang. Ya, mumpung ada orang yang siap mengenyangkannya. Tiga hari ini Berlian belum merasakan makan yang kenyang.
"Lian, saya bicara sama kamu."
"Saya sudah selesai, Pak. Makasih untuk traktirannya malam ini. Makasih dan... maaf."
Harkasa tidak memiliki wewenang lagi sebetulnya. Dia hanya merasa... perlu mengetahui apa yang terjadi dengan gadis itu.
"Duduk dulu. Saya mau bicara sama kamu, Lian."
"Maaf, Pak. Maaf saya merepotkan, tapi... saya mohon... berhenti ingin tahu. Saya juga... pokoknya sebisa mungkin jangan menyapa, menegur, dan memedulikam saya lagi, ya, Pak. Ini terakhir kali. Permisi."
"Lian... Lian!"
Panggilang itu tidak digubris sama sekali oleh Berlian. Gadis itu berjalan menuju dapur dan menghilang dari sana.
Ada apa dengan kamu, Lian.
*
Lima bulan....
Tinggal menunggu dua minggu lagi, pernikahan Harkasa dan Laras akan berlangsung. Lamaran sudah pasangan itu lewati, bahkan persiapan pernikahan yang ternyata segala perintilannya menggunung sudah mampu teratasi. Hanya perlu menunggu pingitan saja.
"Mau ke mana kita, Mas?"
"Makan di luar. Dinner romantis."
Laras tertawa, bukan gaya Harkasa sekali sok romantis.
"Ada-ada saja kamu ini, Mas."
"Serius aku. Kenapa? Kamu enggak percaya?"
"Enggak!" canda Laras.
Keduanya tergelak, Laras sengaja menyandarkan kepalanya di bahu calon suaminya. Dia ciumi pundak itu, dibalas oleh Harkasa dengan mencium kening Laras.
"Kalau nanti kita menikah, aku hamil, kamu mau anak pertama kita perempuan atau laki-laki, Mas?"
"Oooohhhh... kamu sudah kepingin, ya. Hayo ngaku!"
Laras dengan gemas mencubit perut Harkasa sampai suara pekikan lelaki itu terdengar.
"Serius, Mas!"
"Iya, iya. Hmmm... aku maunya... perempuan."
"Kenapa?"
"Kan biar kamu senang. Dandanin anak perempuan kita nanti."
"Uuuuhhh. So sweeeeeeet, Mas."
Keduanya larut dalam obrolan ringan nan menyenangkan.
*
Ucapan Harkasa yang mengajak makan malam romantis memang benar adanya. Laki-laki itu memilih di area pantai dengan semilir angin yang menentramkam hati.
Selesai makan, keduanya bergegas menuju mobil karena gerimis turun.
"Mau aku beliin minuman hangat dulu?"
Laras memang tidak tahan dengan cuaca yang mendadak begini. Perempuan itu bisa cepat sakit kalau dibiarkan.
"Sama tolak angin, ya, Mas."
"Iya."
Saat Harkasa turun, hujan memang lebih lebat. Untungnya ada payung kecil yang bisa Harkasa gunakan.
Ada warung kecil di seberang Harkasa memarkir mobil. Musti berjalan agak ke depan memang, tapi Harkasa bisa melewatinya.
"Keluar sana! Kerjaanmu enggak berguna! Semua barang rusak gara-gara kamu!"
Samar Harkasa mendengar dan melihat di depan, tepatnya toko sebelah warung, ada seorang berpostur hamil di dorong untuk ke luar dari toko. Harkasa begitu miris, hingga tanpa sadar memilih berjalan maju untuk melerai keributan itu.
"Saya mohon, Pak... saya butuh kerjaan ini. Saya... saya butuh untuk anak saya––"
"Halah!!! Minta sana sama laki-laki yang menghamilimu! Jangan mohon sama saya! Masih untung saya enggak minta ganti rugi barang rusak."
"Pak... saya moh––"
"SANA!"
Perempuan hamil itu hampir saja terjatuh jika Harkasa tidak menolongnya.
"Jangan kasar sama perempuan, Pak. Apalagi sedang hamil."
"Bodo amat!" Pemilik toko tersebut langsung menutup pintu.
Tangisan perempuan hamil itu pun terdengar.
"Mbak––"
"S–sakit...."
"Huh? Mbak kenap––"
Tubuh perempuan itu langsung ambruk dalam rengkuhan Harkasa, ketika wajah perempuan itu bisa dikenali oleh Harkasa... jantungnya terasa berhenti berdetak.
"Lian...."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top