alkisah



PECAT adalah kata yang aneh bagi Harkasa untuk  didengar. Keluarga Cokro jelas bukan orang yang tidak menyukai pendidikan, mereka justru giat mendorong anak-anaknya untuk rajin belajar. Diperkerjakannya Harkasa di sana tentulah memiliki maksud yang baik.

"Dipecat, Pak? Kenapa? Apa saya membuat kesalahan? Atau ada metode yang––"

"Pak guru, saya bukannya menginginkan hal ini karena semata-mata saya merasa ada yang salah dengan metode les yang pak guru berikan." Cokro menghela napasnya. "Ini murni karena... memang tidak ada lagi yang harus pak guru ajarkan."

"Masalahnya, Berlian sebentar lagi akan––"

"Tolong jangan sebut namanya!" pekik Cokro keras. Harkasa sampai terkejut dibuatnya.

Keduanya mendadak diam.

"Maaf, Pak guru. Saya rasa sudah cukup. Ini uang saku dan segala permintaan maaf saya karena menghentikan semuanya sebelum kontrak berakhir. Terima kasih, ya, Pak guru."

Harkasa mengangguk, dia membalas juga mengucap terima kasih karena sudah dikontrak untuk menjadi guru les privat di rumah tersebut dengan bayaran yang tidak sedikit. Bahkan menilik dari ketebalan di amplop, Harkasa yakin uang itu sudah lebih dari cukup untuk membiayainya tiga bulan ke depan.

Setelah keluar dari ruang kerja Cokro, diam-diam Harkasa memandang pintu kamar Berlian. Tertutup. Ini hari libur memang, seharusnya gadis itu sibuk membantu ibunya membuat kue seperti yang Harkasa ketahui dari banyaknya curahan hati Berlian diam-diam.

"Eh, Pak guru, permisi, ya." 

Harkasa agaknya memang menghalangi ujung tangga. Melihat mbok Diayu membawa nampan berisi mangkuk bubur, air putih, dan beberapa pil obat di piring kecil membuat Harkasa penasaran.

"Mbok, boleh saya nanya?"

Mbok Diayu berhenti. "Nanya apa, Pak guru?"

"Itu... obat buat siapa, ya, kalau boleh saya tahu."

"Oooh. Ini... obat buat Nyonya. Sudah tiga hari ini beliau sakit."

Harkasa mengernyit. "Ibu Berlian sakit?"

Mbok Diayu hanya mengangguk lalu buru-buru ke kamar ibu Berlian. Padahal Harkasa ingin menanyakan juga keberadaan Berlian. Namun, sepertinya keadaan belum memihak padanya.

*

"Kalau ibu sakit, ya mending ke rumah sakit. Dokternya lebih paham apa penyakitnya, Bu."

Harkasa memijat kepala ibunya dengan tenang.

"Halah! Wong ancene awak tuwo, yo cepet rapoh ngene(*memang dasarnya badan udah tua, ya cepet capek begini). Rumah sakit itu cuma bisnis saja kerjaannya."

Harkasa tidak membujuk lagi. Dia biarkan ibunya mengoceh menyuruh memijat bagian-bagian yang katanya sakit dan nyeri itu. Harkasa menurut, dia tidak membantah barang sedikitpun.

"Gimana cah ayu yang kamu bilang segera kamu lamar itu," ucap ibunya penasaran.

"Ooh. Laras belum selesai mutasinya. Nanti, cepat-cepat aku lamar dia supaya enggak kerja capek-capek. Dia bentar lagi, kan jadi ibu rumah tangga, jadi istriku."

Yarti senang sekali kalau sudah mendengar kata istri bagi anaknya. Tidak sabar sekali menunggu saat-saat itu tiba.

"Ibu seneng dengernya. Pokok'e segera dilaksanakan niat baik itu yo Leh."

"Iya, Bu."

*

Selesai memastikan ibunya terlelap, Harkasa bergerak mengambil baju dan berniat keluar untuk mencari makanan.

Dia ingin melihat keadaan malam hari saja, makanya tidak memilih order dan menunggu di rumah. Harkasa ingin bebas memilih makanan secara langsung. 

"Mau pesan apa, Mas?" sambutan cepat dari pelayan Warung Wakih Wuenak(www) membuat Harkasa sigap melihat etalase yang menampilkan beberapa lauk.

"Kikil sapi masih, Mbak?"

"Masih, Mas. Mau yang varian apa?"

"Kikil sambal pedas, sama ampela goreng kriuk, ya, Mbak."

"Makan sini, Mas?"

"Iya."

Harkasa senang sekali ketika tak lama menunggu menu yang masih mengepulkan asap itu dibawa. Dia dengan sigap membiarkan pelayan menaruh masing-masing menu pilihannya serta sebakul nasi, dan berbagai lalap tersedia.

"Saya belum pesan minum, Mbak. Es jeruknya satu, ya."

Pelayan mengiyakan, dan Harkasa mulai menyantap makanannya dengan lahap.

"Permisi es jeruk sat––uuu...." suara itu memelan seiring dengan pandangan Harkasa yang naik.

"Berlian???"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top