6. Intip-intip Instagram


"Mbak, boleh nggak aku aja yang nge-geprek ayamnya?"

Pegawai depot ayam geprek itu melongo menatapku.

"Dia lagi bad mood, mbak," kata Ningsih. "Housemate-nya menyebalkan. Makanya dia mau memukul sesuatu. Cuma kalau manusia kan ilegal, jadi dia memilih si ayam itu, deh."

"Maaf, hanya staf yang bisa masuk ke belakang sini," kata si mbak ayam geprek serius. "Tolong tunggu saja di meja. Nanti pesanannya saya antarkan."

"Nah, lho!" Ningsih meletakkan tas laptopnya di atas meja dekat konter. "Mbaknya menanggapi dengan serius, tuh!"

"Gue merasa kalau nge-geprek ayam tuh bisa menyalurkan amarah," kataku sok tahu. Kuamati si mbak tukang geprek yang sedang sibuk menggebuk-gebuk dada ayam dengan sedikit cemburu. "Kelihatannya seru."

"Lo magang aja di sini aja!" Ningsih menunjuk kaca depan. "Itu ada tulisan 'Help Wanted' – ada lowongan kerja."

Aku terkekeh hambar dan duduk di seberang Ningsih. "Gue nggak habis pikir sama kelakuan si Jovan. Kok ada ya manusia menyebalkan seperti itu."

"Omong-omong, Al... soal ini lo pasti setuju sama gue."

"Soal apa?"

"Dia cakep, bok."

Aku kehilangan kata-kata. Ningsih menganggap Jovan cakep! "Tetap aja, yang penting tuh inner beauty, Ning! Mau secakep apa pun tapi kalau kelakuannya kayak preman gitu, malah bikin ilfeel."

"Tapi soal PR lo nggak bisa menyalahkan Jovan lagi dong, Al," kata Ningsih adil. "Dia rela menukar moodboard dia sama punya lo. Itu kan so sweet banget."

Aku terdiam. So sweet apanya? Tapi Ningsih benar juga. Jovan bertanggung jawab. Aku nggak menyangka cowok itu sanggup melakukan hal yang begitu heroik. "Paling dia merasa bersalah."

"See? Mungkin aja orangnya nggak semenyebalkan dugaan lo, Al."

"Gue udah bilang terima kasih kok ke dia."

"Terus respon dia gimana?"

"Diam aja."

"Ah! Tipikal cowok cool. Tipenya Aulia banget, nih!"

"Sotoy, lo! Tipe lo kali," balasku. "Cowok-cowok jangkung ala Drama Korea!" Sahabatku yang satu itu memang keranjingan nonton drama Korea.

Ningsih senyam-senyum sendiri. "Sekilas agak mirip Jin BTS nggak sih? Apalagi kalau poninya turun begitu."

Aku bengong. "Jin siapa?"

"Itu lho... si... ah, sudahlah." Ningsih mendadak bete. Dia tahu aku kurang paham budaya K-Pop. "Dari tampangnya, menurut gue si Jovan ini orang kaya lho, Al."

Aku mengingat-ingat muka Jovan. Dia memang kurus, tapi kulitnya sangat mulus, jenis kulit yang biasa dirawat dengan produk skin care mahal. Pakaiannya juga modis-modis.

Bisa jadi.

Setelah sebulan lebih di Melbourne, aku dan Ningsih sependapat kalau ada dua tipe mahasiswa Indonesia di Australia. Pertama, mahasiswa yang kemari dengan sponsor beasiswa sepertiku dan Ningsih. Dan kedua, mahasiswa yang berangkat dengan uang pribadi. Nah, golongan kedua ini yang kami sebut Crazy Rich Indonesians, karena mereka kebanyakan super duper tajir. Mereka juga agak sulit dideteksi, karena wajah oriental mereka membaur dengan mahasiswa-mahasiswa dari Korea, Jepang dan Tiongkok.

Si mbak ayam geprek mengantarkan makanan kami. Sesuai pesanan, kami diberi porsi sambal ekstra. Aku kangen makanan pedas, karena ternyata di Australia nyaris nggak ada makanan pedas! Semuanya entah manis, asin atau asam. Rupanya para bule itu nggak tahan dengan sambal. Jadi makanan pedas hanya bisa didapat di restoran tertentu saja, salah satunya restoran Indonesia seperti ini.

 "Makan yuk, Ning! Mumpung nasinya masih hangat, nih."

"Duluan aja, Al."

"Lo lagi ngapain, sih?" tanyaku kepo. "Serius amat?"

"Ini lho, gue lagi nyari-nyari di grup FB."

"Nyari apaan? Calon suami?"

"Insya Allah," kata Ningsih kalem. "Gara-gara keseringan lo ceritain, gue jadi penasaran sama asal-usul Jovan. Lo tahu nggak nama belakangnya apa?"

"Dih, ngapain? Kurang kerjaan lo!"

"Serius gue!" Tangan kanan Ningsih meraih garpu dan mulai meratakan sambal di atas dada ayam sementara tangan satunya lagi asyik mengutak-atik ponsel. "Siapa nama lengkapnya, Al? Kalian kan sekelas. Di daftar absen pasti kelihatan, kan?"

"Ih, ngapain gue ingat-ingat nama lengkapnya itu cowok!"

"Buruan deh, Al! Lapar, nih!"

Ningsih memang sahabat ter-kepo yang kumiliki, sekaligus yang paling pantang menyerah. "Siapa, ya? Alessandro kalau nggak salah."

"Jovan Alessandro?"

Aku mengangguk. "Nanti aja sih keponya! Makan dulu!"

"Iya, iya..." Ningsih mulai menyuapi dirinya tanpa melepaskan ponsel. "Gue cuma penasaran aja. Dari cerita lo, kayaknya si Jovan misterius banget."

Belakangan setiap kali bertemu, kami selalu membicarakan Jovan. Kasihan cowok itu. Pasti lidahnya suka tergigit, akibat keseringan digosipi oleh kami berdua. "Allison ke mana?" kuganti topik pembicaraan. "Dia nggak kuliah hari ini?"

"Kuliah kok," kata Ningsih dengan mulut penuh. "Lagi latihan band."

"Nggak lo ajak makan siang bareng?"

"Ally nggak doyan pedas," kata Ningsih. Tiba-tiba matanya melotot dan dia meremas tanganku. "Ketemu, Al! Dia pernah posting di grup FB mahasiswa baru X University!"

"Oh, ya?" Rasa kepoku tergelitik. "Dia posting tentang apa?"

"Dia nyari tempat kos! Nih, lo lihat sendiri!" Ningsih mengoper ponselnya padaku. Di layar tampak post dari Jovan Alessandro di grup Facebook. Aku juga bergabung di grup tempat para mahasiswa baru saling berbagi informasi itu. Tapi post dari Jovan bertanggal dua bulan lalu, saat aku belum bergabung. Seperti Ningsih, dia memang lebih dulu tiba di Melbourne.

Jovan bertanya tentang tempat kos. Ada dua puluh tiga komentar balasan, semuanya menawarkan kamar kos atau mengajaknya untuk kontrak rumah bersama. Tapi ada satu komentar yang mencuri perhatianku.

"Lo membalas komen dia, Ning!"

"Gue apa?" Ningsih terbelalak. "Masa, sih?"

Kubaca keras-keras komentar Ningsih yang ditulisnya dalam Bahasa Inggris itu. "Tersedia dua kamar kosong di Adeleigh Court Unit 2, Chesire. Housemate aku kenal dengan pemilik kosnya. Ini nomor teleponnya...."

Ningsih berkedip-kedip. "Unit 2 Adaleigh Court itu kan...."

"RUMAH STELLA!"

Ningsih menyambar ponselnya dan meneliti komentar yang ditulisnya sendiri dua bulan lalu itu. Jelas dia tak percaya bahwa dialah yang memberitahu Jovan soal tempat kos yang sekarang kami tinggali.

Kami berdua terdiam selama beberapa detik. Tampaknya fakta ini punya level mengejutkan yang sama buatku dan buat Ningsih sendiri.

"Jadi..." Ningsih meletakkan sepotong daging ayam yang sedang digigitnya lalu mengelap mulutnya dengan tisu. "Ini artinya...."

"Elo yang menyarankan Jovan buat ngekos di tempat Stella!"

"Tapi gue nggak ingat sama sekali, Al! Sumpah!" kata Ningsih sungguh-sungguh. "Waktu itu di grup banyak yang bertanya tentang tempat kos. Gue berbaik hati mem-forward info kamar kosong yang gue tahu karena gue juga dapat kamar kos yang sekarang ini dari post Allison di grup ini! Gue sering kasih komentar di grup ini, jadi gue udah nggak ingat lagi post mana aja yang gue balas!"

"Yah, tahu gitu kenapa nggak lo aja yang pindah ke tempat Stella?" Aku jadi geregetan. "Harusnya elo yang jadi housemate gue, bukannya Jovan!"

"Gue nggak bisa pindah kali, Al. Kan perjanjian sama Allison gue bakal tinggal di tempatnya minimal enam bulan," kata Ningsih. Selain satu jurusan, Ningsih dan Allison juga housemates. "Dan gue juga nggak tahu kalau kamar lo itu bakal tetap kosong sampai lo datang!"

Astaga!

Aku hanya bisa memotong-motong ayam geprekku dengan kesal. Ningsih benar, di Melbourne ini kami tidak bisa pindah begitu saja. Rata-rata pemilik kos yang menyewakan kamar untuk mahasiswa mewajibkan kami untuk tinggal minimal enam bulan. Jika kami hanya tinggal sebulan, kami harus membayar uang jaminan yang besarnya sama dengan biaya kos sebulan.

"Dan dari dua puluh tiga komentar yang menawari tempat kos, dia milih kamar kosong di rumah Stella," kata Ningsih.

"Pastilah Jovan memilih rumah Stella," jawabku. "Lo sendiri kan bilang kalau kamar kos Stella itu yang terbaik di Melbourne. Murah, kamarnya luas, ibu kosnya baik, dan lokasinya strategis."

Ningsih menggeleng-geleng dan terkekeh kecil. "Sepertinya lo berdua memang ditakdirkan jadi housemates, Al."

Aku menghembuskan napas dengan keras. Takdir? Takdir yang ironis. Komentar Ningsihlah yang mengirim Jovan ke rumah Stella dan jadi "setan" yang tiap hari bikin aku kesal. Mulai dari tingkahnya yang suka mencuri, kata-katanya yang pedas, sampai sikapnya yang masa bodo.

Benar-benar, deh.

"Yah, ke locked," kata Ningsih. "Gue coba buka profil Facebook-nya dia tapi di-private. Tapi... dia ada di Instagram, nih!"

"Ya ampun, Ning! Masih lanjut keponya?"

Ningsih hanya cengengesan.

"Lo dapat dari mana IG-nya? Memangnya dia bilang di grup?"

"Hellooo! Yang cerdas dong, Aulia!" Ningsih menuding-nudingku dengan lagak sok. "Gue mencari di daftar temannya Allison. Mereka kan satu band. Gue sama Allison udah saling follow. Tebakan gue Jovan sama Allison juga pasti udah saling follow."

"Ah!" Kurasa alih-alih jadi pakar kesehatan masyarakat, Ningsih bisa jadi detektif. "Cerdas!"

"Pastinya. Makanya dapat beasiswa," kata Ningsih bertingkah. "Ketemu! Akunnya nggak di-private. Oalah! Pantas aja si Jovan sok banget, Al! Dia lulusan SMA Cahaya Bangsa!"

Aku menggaruk-garuk pipi. "SMA apa?"

"SMA Cahaya Bangsa!" jawab Ningsih tak sabar. "Jangan bilang lo nggak tahu! Itu lho Al, sekolah yang isinya anak-anak super tajir!"

"Idih, pantesan!" Aku langsung ingat tentang sekolah itu. "Katanya anak-anak di situ kalau pergi ke sekolah nyetir Lamborghini, ya?"

"Lapangan parkirnya udah kayak showroom mobil mewah," kata Ningsih. "Dengar-dengar SPP-nya aja lima belas juta per bulan! Nih, lo lihat sendiri!"

Ningsih menunjukan padaku akun Instagram Jovan. Nama akunnya standar banget, @jovanalessandro. Followers-nya banyak, sembilan belas ribu sekian. Foto-fotonya memang keren, seperti diambil dengan kamera profesional. Berbeda sekali dengan foto-fotoku yang cuma diambil pakai ponsel murah. Di profilnya, aku menemukan foto Jovan mengenakan jaket varsity bertuliskan SMA Cahaya Bangsa dan foto saat dia dinobatkan sebagai Prom King. Duh!

"Anaknya sporty, ya..." Ningsih berdempetan denganku mengintip foto-foto Jovan. "Suka berselancar sama skydiving, nih. Hobi anak sultan, nih."

Wajar saja kalau Jovan gemar melakukan hal-hal mevvah macam itu. Dia kan alumni SMA Cahaya Bangsa!

"Tapi kenapa dia cuma kuliah ke Australia?" tanya Ningsih curiga. "Kalau SMA-nya aja udah sekelas Cahaya Bangsa, seharusnya dia ke Harvard atau Oxford gitu lah."

"Otaknya nggak..." aku teringat moodboard Jovan yang lebih keren dari punyaku. "Nggak jadi."

"Lo mau bilang apa, Al? Otaknya nggak sampai buat masuk Harvard?"

"Nggak, bukan itu maksud gue," jawabku cepat-cepat. "Moodboard dia lebih bagus dari punya gue. Gue rasa anaknya lumayan pintar. Lagipula bukannya seleksi masuk SMA Cahaya Bangsa benar-benar susah? Gue yakin sekolah itu isinya anak-anak super semua."

"Nah, terus siapa waktu itu yang menuduh itu cowok tukang molor di kelas?" todong Ningsih. "Nilainya nol semua? Hayooo!"

"Iya, iya! Gue suudzon! Maaf, deh."

Ningsih manggut-manggut. "Pasti kaya raya ini cowok!"

"Eh, tapi..." sesuatu menggangguku. "Kalo Jovan memang betulan tajir melintir, kenapa dia selalu mencuri makanan gue? Dia nggak pernah belanja!"

Ningsih memicing curiga. "Hmm... benar juga! Terus kenapa dia memilih rumah Stella yang uang kosnya cuma enam ratus lima puluh dolar sebulan? Dia pasti sanggup buat beli satu apartemen di pusat kota!"

"Dia juga nggak nyetir mobil di sini," kataku. "Padahal dari foto-foto di Instagram ini, sepertinya dia menyetir BMW pas zaman SMA."

Kami mengamati lagi foto-foto Jovan. Ya, nggak salah lagi. Dari foto-foto ini bisa disimpulkan kalau Jovan bukan tipe mahasiswa kere seperti aku dan Ningsih. Seharusnya dengan latar belakangnya ini, dia termasuk dalam golongan Crazy Rich Indonesians. Tapi kenapa gaya hidupnya di Chesire ini begitu bertolak belakang dengan segala kemewahan yang ditampilkannya di Instagram?

"Foto terakhir di-post setahun lalu," kata Ningsih. "Pas kelulusan SMA. Sejak saat itu dia nggak pernah posting apapun lagi, termasuk Story."

"Wah... kenapa, ya?"

"Padahal orangnya kan ada di sini," kata Ningsih sambil mengernyit. "Dan kayaknya baik-baik aja. Masak iya dia nggak posting lagi karena lupa password?"

"Atau mungkin dia memang mau istirahat dulu dari sosmed?"

"Maksud lo, Al... si Jovan sengaja melakukan ini? Apa jangan-jangan dia memang mengatur supaya kesannya dia... menghilang?"

"Kalau mau menghilang, dia kan bisa menghapus semua akun sosmednya, Ning."

"Benar juga."

Kami berdua terdiam sejenak dan hanya saling tatap. Ningsih pantas curiga. Fakta-fakta hidup Jovan ini terasa tidak cocok.

"Ini cuma perasaan gue aja," kataku hati-hati. "Atau kita malah jadi tambah kepo sama si Jovan?"

"Udah jelas, kan?" kata Ningsih dengan gaya memutuskan. Dia menusuk sepotong daging ayam dan mengunyahnya. "Karena dia housemate elo, udah selayaknya elo yang kepoin dia lebih jauh lagi, Al!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top