4. What You See Isn't What You Always Get


"Pengen gue bejek-bejek mukanya, terus gue goreng di minyak panas!"

"Lo mau bikin perkedel, Al?"

"Atau nggak gue cincang-cincang terus gue ulek!"

"Perkedel apa gado-gado nih jadinya?"

"Gue serius!" keluhku keras-keras. Salah satu kelebihan menjadi pendatang di negara asing adalah kamu bisa menggosipi orang lain tanpa khawatir ada yang menguping. "Sumpah! Itu cowok kurang ajar banget! Gue nggak bakal tahan!"

"Tapi lo kan baru seminggu di rumah itu, Al," kata Ningsih. "Fasilitasnya lengkap dan harga sewanya murah banget. Mana lagi lo bilang ibu kosnya sangat murah hati. Lo yakin mau pindah? Susah lho nemu tempat kos yang kayak gitu lagi."

"Iya!" jawabku. Tiba-tiba aku berubah pikiran. "Enggak! Maksud gue... mungkin! Aah! Lo nggak tahu sih Ning gimana songong-nya cowok itu! Sok kuasa! Tukang tindas! Merasa kegantengan! Mentang-mentang dia lebih tinggi dari gue!"

"Kan bisa lo lempar dia pakai apa gitu."

"Maunya sih pakai toaster. Pas tuh kemarin, masih panas-panas!"

"Jangan! Itu kan punya ibu kos elo. Nanti rusak diminta ganti rugi lagi."

"Uuuhhh! Kok lo ngeresponnya serius, sih?"

"Lah, lo kan tadi bilang lo lagi serius."

Kuremas tasku dengan gemas. "Kenapa lo jadi ikutan menyebalkan kayak cowok itu?"

"Siapa tadi namanya?" tanya Ningsih sambil terkikik geli. "Johan? Jonan?"

"Jovan."

"Namanya oke juga."

"Orangnya nggak oke banget."

"Orangnya cakep, ya?" tebak Ningsih sok tahu.

"Cakep dari Hongkong! Poninya kepanjangan, kayak anak alay. Orangnya slebor, pakai celana melorot asal-asalan. Kayaknya tukang molor di kelas. Paling nilainya nol semua."

"Wow!" Ningsih terpana. "Lo tahu dari mana, Al? Lo ngobrol sama dia?"

"Gimana mau ngobrol, orang dia cuma ngomong maksimal tiga kata!"

"Tiga kata?"

"Iya! Kalau nggak pakai bahasa dagu..." kuperagakan cara Jovan menunjuk ini dan itu dengan dagunya. "Kayak gitu."

Ningsih terkikik. "Jangan suudzon dulu, Al. Siapa tahu anaknya asyik."

"Asyik apaan. Adanya kere dan suka nge-boss!"

"Don't judge the book by its cover. Jangan menilai buku dari sampulnya."

"Gue nggak judging, oke?" Aku nggak mau Ningsih menganggapku sebagai the bitch – cewek kasar  yang suka menghakimi orang seenak jidat. "Tapi dia memang nyebelin. Lo harus ketemu dia, Ning! Pasti lo juga nggak bakal suka sama cowok itu!"

"Aulia! Ningsih!"

Ada yang memanggil. Kami menoleh dan melihat Allison, si bule cantik sedang bersama sekumpulan anak-anak fakultas lain. Dia mengisyaratkan kami untuk menghampirinya.

Allison berdiri di dekat ada sebuah panggung mini, lengkap dengan sound system. Teman-temannya sedang menyetel beberapa alat musik di atas panggung.

"Hai, Allison!" sapaku dalam Bahasa Inggris. "Kamu lagi ngapain di sini?"

"Bakal ada penampilan live music nanti selesai makan siang untuk menyambut semester baru ini. Band aku akan tampil!" kata Allison. Dia kelihatan sangat antusias. "Kalian berdua harus nonton!"

"Keren banget!" puji Ningsih. "Apa kamu bakal nyanyi?"

"Benar!" kata Allison. Dia mengajak kami mendekati panggung. "Sini, aku kenalin kalian dengan anggota band-nya!"

Allison menarikku dan Ningsih untuk mendekati para anggota band. Kami saling sapa dan bersalaman. Semua anggota band itu cowok dan Allison sang vokalis adalah satu-satunya cewek. Nggak semuanya bule. Pemain drumnya adalah seorang cowok Asia yang dari logatnya kutebak berasal Malaysia atau Singapura. Mereka semua ramah-ramah dan meminta kami ikut nonton penampilan mereka nanti.

"Dan ini pemain bass kita...."

Allison menunjuk seseorang di belakang punggungku.

"Maaf aku terlambat!" Sosok itu melepas kotak gitarnya dan meremas bahu Allison. "Aku ketinggalan kereta. Harusnya naik yang jam delapan seperempat."

Tiba-tiba aku merasa mau muntah.

"Ini Jovan Alessandro," kata Allison. Ditariknya cowok itu ke tengah-tengah kami. "Dia pemain bass yang sangat berbakat!"

Ningsih menyikut rusukku keras-keras.

"Jovan, ini teman-teman aku! Aulia dan Ningsih."

Ugh!

"Halo," kata Jovan. Senyumnya semanis madu. "What's up?"

"Jovan juga orang Indonesia, lho!" kata Allison riang. "Jadi kalian bisa berbicara pakai Bahasa Indonesia. Aku mau membahas sesuatu sama panitianya dulu, ya. Nanti balik lagi. Silakan mengobrol!"

Lalu Allison meninggalkan kami bertiga begitu saja.

Jovan menghadap ke Ningsih, sepenuhnya mengacuhkanku. "Kamu berasal dari mana, Ningsih?"

"Umm... Tangerang..." gagap Ningsih. Dia menyodok rusukku lagi sampai terasa mau patah. "Kalau Aulia dari Jakarta. Dia... udah cerita banyak tentang kamu, lho."

Tatapan Jovan jatuh padaku. Kami saling pandang. "Oh, ya?"

"Udah bisa ngomong?" tandasku judes. "Nggak pakai bahasa dagu lagi?"

"Bahasa Dagu?" Jovan berkedip-kedip. "Maksud kamu?"

"Kayak gini..." kutiru gayanya saat memakai bahasa isyarat yang aneh itu. "Atau kamu udah lupa? Amnesia mendadak, ya?"

Jovan memandangiku dari atas ke bawah seakan-akan aku ini orang asing.

"Nggak usah pura-pura nggak kenal!" tegurku. "Kita kan serumah!"

Jovan terkekeh kecil lalu berbalik mengabaikanku. Lagi.

Kulirik Ningsih. Sepertinya dia masih belum sadar kalau Jovan adalah cowok yang menggebukku di Stasiun Chesire. Jovan versi ini kelihatan sangat rapi dan manis, kontras sekali dengan penampilannya yang urakan sewaktu di stasiun atau di tempat kos. Tanpa kaca mata, rambut berantakan, dan poni yang menutupi mata, dia berubah menjadi orang yang sepenuhnya berbeda. Sebentar, apa jangan-jangan Jovan ini berkepribadian ganda? 

"Kamu ambil jurusan apa, Jovan?" tanya Ningsih. "Musik, ya?"

"Aku ambil Desain," jawab Jovan sopan. "Fakultasku di XADA."

Aku tersedak. APA?

"Sama dong kayak Aulia!" kata Ningsih ceria. "Iya kan, Al?"

Dadaku mau meledak. Cowok ini ternyata teman sekelasku? O-MY-GOD!

"Oh, ya?" Jovan menatapku. "Kamu di XADA juga?"

Kemarahanku tambah menjadi-jadi. Helloooooo, Ningsih? Sadar dong! Dia itu Jovan, cowok menyebalkan yang tadi gue ceritain ke elo! Dia juga yang memukul Aulia sahabat lo yang yang baik hati ini di Stasiun Chesire!

"Omong-omong, kapan kamu sampai di Melbourne, Jovan?" tanya Ningsih lagi, rupanya benar-benar tidak mengenali Jovan.

"Aku udah sampai di sini sejak beberapa bulan yang lalu."

"Wah, sama dong! Aku juga! Kamu kursus Bahasa Inggris?"

"Ada urusan sedikit." Beberapa bule memanggil Jovan dan dia balas melambai pada mereka dengan bersahabat. "Kamu ambil jurusan apa, Ningsih?"

"Jurusanku Public Health  Ilmu Kesehatan Masyarakat," jawab Ningsih. "Aku dapat beasiswa ke sini sama kayak Aulia. Dia... aaawww!"

Kuinjak kaki Ningsih keras-keras. Sampai kapan Ningsih mau beramah-tamah ria dengan Jovan?

Ningsih melotot padaku, tidak terima kakinya diinjak. Ingin rasanya aku meneriaki Ningsih: Ning, ingat kata-kata lo waktu itu? Lo ingin menginjak kaki Jovan demi gue kalau ketemu dia lagi, bukannya sok akrab kayak begini!

"Lo kan mau menemani gue, Ning," kataku untuk mengalihkan perhatian Ningsih. "Yuk cabut."

"Ke mana?" tanya Ningsih bego. "Di sini aja. Kita udah janji sama Allison buat nonton konser."

"Lo janji mau menemani gue bikin Student ID," jawabku asal saja.

"Bukannya minggu lalu batas terakhir pembuatan Student ID?" tanya Jovan.

"Enggak, kok," dustaku. "Aku belum bikin. Iya kan, Ning?"

"Aulia!" Allison kembali. Wajahnya agak merah sehabis berlari. "Aku ketemu ini di mobilku tadi pagi. Pasti jatuh dari dompet kamu waktu kamu mencari koin."

Allison menyerahkan sesuatu padaku. 

Itu kartu mahasiswaku.

Brengsek!

Ningsih terbahak keras.

"Jangan sampai hilang lagi," kata Allison mewanti-wanti. Jelas tidak menyadari bahwa perbuatannya sukses membongkar habis kebohonganku. "Kamu harus bayar lima puluh dolar untuk kartu baru, lho. Lebih baik simpan kartunya dengan baik."

Telingaku panas. Astaga, bikin malu banget! "Thank you, Allison."

"Sepertinya kantor mahasiswa udah pindah ke mobil kamu, Ally," singgung Jovan. "Tadi Aulia bilang, dia baru mau mengambil Student ID-nya."

Aku jadi tambah ingin menonjok cowok ini. 

"Oh, ya?" Allison tertawa. "Aku rasa Aulia nggak sadar kartunya tercecer."

Suasana menjadi sangat canggung. Saat ini aku lebih rela kehilangan kartu itu dan membayar lima puluh dolar daripada menanggung malu.

"Omong-omong Jo, mungkin kamu bisa kasih Aulia name tag," kata Allison. "Supaya dia nggak kehilangan kartunya. Aku tahu kamu punya name-tag cadangan. Tolong bagi satu ke Aulia, ya."

Jovan mengangguk patuh. Allison memang sangat manis sehingga orang-orang nggak akan tega menolak permintaannya. Jovan mengubek-ubek kotak gitarnya, mencari sesuatu. Akhirnya dia menyodorkan sebuah name-tag berlabel X University padaku. "Nih. Buat kamu."

"Makasih."

"Kembali."

Jovan tersenyum. Oh, senyum palsu! Kalau Allison nggak menyuruhnya membagi name tag itu untukku, mana mungkin dia mau memberi sesuatu padaku!

"Ini gratis, kan?" selidikku.

"Kebetulan ada lebih."

"Tumben baik. Biasanya doyan yang gratisan."

"Cuma name-tag. Nggak usah baper."

"Nggak biasanya aja."

"Memangnya biasanya itu kayak gimana?"

"Biasanya aku yang berbagi."

"Nggak usah sok akrab!"

"Kalian berdua kenapa?" Allison mengamati kami dengan curiga. "Kalian berdua nggak apa-apa, kan? Aku nggak paham bahasa kalian, tapi... apa aku kelewatan sesuatu?"

"Enggak kok, Ally," kata Ningsih dalam Bahasa Inggris. Wajah sahabatku itu sudah merah menahan tawa. "Jovan sama Aulia cuma... bertukar kabar."

"Sebetulnya, Aulia lupa minum obat pagi ini," sambung Jovan dengan santai. "Dia menderita bipolar dan sedang dalam terapi obat."

Kali ini tawa Ningsih betul-betul meledak.

Bipolar? Terapi obat? Apa-apaan cowok ini? "Salah! Aku cuma—"

"Aku sama Aulia itu kan housemates," Jovan melanjutkan dengan lancar. "Makanya aku tahu. Tempo hari dia berteriak-teriak di dapur dan memukul-mukul pintu toilet kayak orang gila. Kalian pasti nggak akan mengenalinya hari itu."

A-P-A?

"Jovan, kamu seriusan baru bilang ke Allison kalo aku bipolar dan lupa minum obatku pagi ini?" kulabrak cowok itu. "Kamu bercanda, kan? Aku kesal karena waktu itu kamu nyolong roti panggang aku! Dan soal toilet, itu kamu yang pipis nggak menutup pintu! Dan satu lagi, aku nggak pernah teriak-teriak!"

Allison celingak-celinguk bingung, tidak memahami kata-kataku. "Yang benar, Aulia? Aku minta maaf. Sayang sekali kamu lupa minum obat. Kamu... nggak apa-apa, kan?"

"Aku baik-baik saja, Ally! Jovan bercanda!"

"Aku sangat serius, lho," kata Jovan tanpa berkedip, sama sekali tak terpengaruh konfrontasiku. "Sebetulnya, Ningsih itu selalu menemani Aulia karena mood-nya nggak stabil banget Dia bisa kumat sewaktu-waktu, apalagi kalo lupa minum obat!"

Okay. That's it! This has to stop now! "KAMU INI APA-APAAN, SIH?"

Jovan mengangkat bahu dan berdecak. Aku merasa kecil dibuatnya karena dia jangkung sekali.

"Apa kubilang..." kata Jovan pada Allison. "Bipolar."

"Di Student Center, ada klinik, Aulia..." Allison merengkuh bahuku dengan hati-hati seperti akan menyentuh singa. "Atau kalau kamu merasa kurang sehat, aku sama Ningsih bisa mengantar kamu pulang. Aku paham kok sama kondisi kamu."

Rupanya Allison menganggap serius kata-kata Jovan. "Enggak, Allison. Aku baik-baik saja!"

"Enggak, enggak! Aku mengerti banget, Aulia!" Allison menatapku dengan prihatin. "Aku tahu kalau bipolar adalah gangguan mental yang menyulitkan. Kamu nggak perlu malu. Di sini, di Australia, kita nggak menyepelekan kesehatan mental...."

Lalu Allison nyerocos tentang penanganan kesehatan mental di Australia.

"Ning, cabut yuk!" bisikku pada Ningsih yang wajahnya sudah semerah wortel karena terus-terusan tawa. "Masa gue dikatain bipolar?"

"Gue pengen nonton konsernya sih, Al."

Jovan mendengarkan ocehan Allison sambil mengangguk-angguk setuju. Ekspresinya aneh, seolah dia ingin menertawaiku tapi masih menahan diri supaya nggak ketahuan Allison. Huh, sudah kuduga! Itikad baik cowok ini menawariku name-tag ternyata cuma kedok semata.

Sekarang seluruh anggota band yang lain sudah mengerumuniku. Parahnya, semakin aku berusaha meyakinkan mereka bahwa aku nggak bipolar, mereka tambah percaya bahwa aku betulan bipolar dan lupa minum obat.

"Kamu!" kutunjuk Jovan dengan berang. "Kasih tahu ke mereka kalau kamu bercanda!"

Jovan pura-pura tidak mendengarkan.

Benar-benar deh.

"Eh, eeeh! Al! AULIA!"

Ningsih berteriak. Para anggota band yang lain menghambur, beberapa tangan menarikku sekaligus tapi aku sudah tak peduli lagi. Aku menerjang Jovan, ingin menonjoknya. Ningsih benar, ini di Australia, dan aku nggak boleh bersikap "Indonesia banget" seperti waktu itu. Cowok ini boleh saja memukulku sampai jatuh dan mencuri sarapanku, tapi nggak akan kubiarkan dia menjelek-jelekkanku di depan teman-teman baruku ini.

Jovan berkelit cukup cepat. Ah! Gerakannya lincah seperti kucing. Tinjuku meleset dari pelipisnya! Brengsek! Para anggota band ditambah Ningsih berjibaku meleraiku tapi aku-tidak-akan-berhenti-sebelum-kucakar-wajah-tengil-sialan-ini....

"Aulia! Lo ngapain berantem sih, Al?" kata Ningsih, ngos-ngosan menahan bahuku dengan kedua lengannya. Nada suaranya seperti sedang memarahi hewan peliharaan yang nakal. "Mending kita pulang, oke? Go home! GO-HOME-NOW!"

"Setuju," dukung Allison, paham akan kata-kata Ningsih. Dia berdiri di antara aku dan Jovan, menjadikan dirinya semacam tameng. Cowok itu malah menatapku sambil tertawa kecil, sepertinya menikmati pertikaian kami. "Menurut aku, kamu perlu istirahat, Aulia."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top