3. Sang Housemate


Kutarik selimut hingga menutupi kepala. Brr, dingin!

Di balik selimut, aku mengecek suhu lewat ponsel. Dua derajat Celcius! Pantas saja aku kedinginan!

Sewaktu mendaftar untuk kuliah di X University, aku memang sudah tahu kalau semester pertama perkuliahan akan dimulai pada bulan Juli, tepat saat musim dingin dimulai. Sebetulnya perkuliahan di Australia dimulai pada dua periode - Juli atau Februari, tetapi jurusanku hanya tersedia pada perkuliahan Juli. Makanya karena musim dingin di Australia tak bersalju, semula kukira cuacanya nggak dingin-dingin amat. Jadi waktu berangkat dari Jakarta, aku nggak bawa cukup banyak pakaian hangat.

Ternyata aku salah.

Angin kencang yang mematikan itu berhembus keras, menggetarkan kaca-kaca jendela. Ya Tuhan, ternyata yang namanya musim dingin nggak seromantis di film-film percintaan. Pelan-pelan kusibak gorden yang masih tertutup rapat. Di luar masih gelap. Padahal ini sudah jam delapan pagi. Di musim dingin, matahari memang terbit lebih lama dan tenggelam lebih cepat.

Aku jadi kasihan pada orang-orang kantoran yang sudah harus berangkat kerja.

Aku kembali masuk ke balik selimut. Untungnya aku memang nggak ada rencana apa-apa hari ini. Selama dua hari berturut-turut, Ningsih sudah mengajakku berkeliling Melbourne dan itu cukup bikin aku pegal-pegal. Meski transportasi umum tersedia di mana-mana dan tepat waktu, kami tetap harus jalan kaki untuk mencapai beberapa lokasi karena Chesire letaknya di suburb, daerah pinggiran Melbourne. Dan seperti yang kuceritakan waktu itu, aku bukan cewek yang berprestasi soal urusan jalan kaki.

Yep, sudah kuputuskan. Rencana hari ini: hibernasi di bawah selimut.

Tapi... ooh, tunggu sebentar.

Sialan! Aku kebelet pipis!

Oke. Mari kita lakukan ini secepat mungkin. Lari ke toilet, pipis, dan balik lagi ke selimut. Estimasi waktu: tiga puluh detik. Jika bisa melakukannya kurang dari tiga puluh detik, berarti aku hebat. Hehehe...

Kutendang selimut hingga terbuka. Dingiiin! Kubuka pintu kamar dengan terburu-buru dan bergegas lari menuju toilet yang letaknya tepat di samping kamarku.

Pintu kamar mandi terbuka. Pas.

Eh.

"AAARRRRGGGHHHH!"

Ada sosok jangkung yang sedang pipis di depan kloset. Orang itu berbalik. Aku langsung meloncat keluar dan merapat ke arah dinding, tanganku terangkat menutup mata.

Astaga. Astaga. AS-TA-GA!

Apa-apaan itu?

Ternyata betul! Cowok pipis sambil berdiri!

Terdengar bunyi air yang mengguyur kloset. Lalu orang tak dikenal itu keluar. Tanpa memandangnya, aku lari ke toilet, membanting pintu dan menguncinya rapat-rapat. Aku nyaris ngompol.

Fiuuuhhh! Ya Tuhan. Siapa sih cowok ini? Kenapa dia nggak tutup pintunya saat pipis?

Aku duduk di atas kloset sedikit lebih lama dari yang kuperlukan, sambil mencoba menenangkan diri. Oke. Mungkin dia masih separuh tertidur. Mungkin dia sama kebeletnya denganku. Mungkin dia lagi mager.

Sebentar, sebentar. Apa jangan-jangan dia housemate  teman satu rumah – penghuni kamar di seberang itu?

Aku menelan ludah dan membersihkan diri. Hmm... apa aku harus pura-pura biasa aja kalau ketemu dia lagi?

Kutarik napas dalam-dalam dan kubuka pintu toilet.

Si cowok asing berdiri di depan toilet sambil bertumpu lesu pada tangan kanannya di birai pintu. Dia jangkung, kira-kira sekitar seratus delapan puluh sentimeter, dan kurus. Rambutnya agak panjang dan acak-acakan. Dia memakai sweter abu-abu yang kebesaran hingga memperlihatkan lehernya yang bertulang, dan celana panjang tidur warna biru bermotif kotak-kotak. Celana panjang itu melorot di pinggangnya yang ramping. Setelah kuamati dari dekat begini, rasanya suara dan gerak-gerik tubuhnya familier. Apa jangan-jangan aku pernah bertemu dengannya?

Dia mengangkat dagunya padaku sekilas. "'Low."

Low? Apa maksudnya, halo? "Umm. Hai."

"Udah?"

"Hah? Udah?"

Dia mengangkat dagunya lagi. "Toilet."

"Oh. Udah."

"Good."

Dia menyambarku sehingga aku tergencet ke dinding. Dia berbalik, siap memelorotkan celananya tapi dia terhenti dan menatapku.

"Kamu mau di situ ngeliatin aku lagi?"

Lagi? "Eh, bukan begitu. Itu kamu yang nggak tutup pintu."

"Tadi cuma pipis."

Iya, aku tahu. Aku bisa lihat dengan SANGAT JELAS. "Tetap aja. Tutup pintunya."

"Aku nggak tahu kalau ada orang," jawab cowok itu cuek. Matanya yang mengantuk terhalangi poni depannya yang panjang. "Minggir!"

Aku teringat pesan Ningsih sewaktu di Stasiun Chesire. Seenaknya saja dia! Aku tak mau ditindas lagi. "Kamu... kamu siapa?"

"Jovan," jawab cowok itu pendek. Entah mengapa aku merasa pernah mendengar suaranya. "Sekarang minggir!"

"Aku Aulia. Aku baru pindah dua hari yang—"

Belum sempat kuselesaikan kalimatku, cowok bernama Jovan itu mendorongku kuat-kuat dan membanting pintu toilet di belakangku.

"Heh!" kugebuk pintu toilet keras-keras. "Nggak sopan!"

Aku langsung berderap turun, hatiku panas. Di bawah tangga, Stella si pemilik rumah sedang memakai jaket musim dingin, sepertinya mau keluar rumah.

"Selamat pagi, Aulia," sapanya ceria.

"Pagi, Stella," jawabku. "Anu... ada cowok di toilet atas."

"Oh, itu Jovan!" kata Stella. "Dia housemate yang waktu itu saya ceritakan ke kamu."

Ah. Aku mencelus. Jadi betul. Cowok kasar itu adalah housemate baruku.

"Sepertinya kalian sudah bertemu, ya..." Stella tersenyum. Bahasa Indonesia-nya begitu lancar sehingga orang yang hanya mendengar suaranya nggak bakal menyangka dia seorang bule tulen. "Dia juga kuliah di X University, sama seperti kamu."

Oh, tidak! "Oh, ya?"

"Iya. Kalian bisa ngobrol lebih banyak nanti," kata Stella. Dia mengancingkan jaketnya. "Saya berangkat kerja dulu. See you later!"

"See you!"

Sambil menuju dapur, berbagai pikiran mulai berputar di kepalaku. Masak aku harus serumah dengan cowok kasar ini? Si Jovan ini enaknya diapain? Apalagi ternyata kami nggak cuma housemates, tapi sama-sama mahasiswa X University. Nggak kebayang kalau aku juga harus bertemu dia di kampus. Mudah-mudahan kami nggak satu jurusan.

Kubuka kemasan roti tawar dengan kekuatan agak berlebih karena gemas. Kuambil dua lembar roti dan kumasukkan ke toaster – panggangan roti. Lalu aku berdiri bersedekap sambil mengawasi tangga, menunggu kalau-kalau Jovan turun ke bawah.

Terdengar bunyi pintu toilet yang dibuka dengan kasar dari atas. Aku berbalik menghadap toaster, mencoba menyibukkan diri dengan membersihkan meja dapur yang licin mengilap.

Ada bunyi langkah kaki yang agak malas-malasan di tangga lalu suara sandal karpet menggesek lantai. Desis roti yang dipanggang bersama aromanya mulai menguar memenuhi dapur. Oh roti tawar, cepatlah kalian berdua terpanggang!

Aku bisa merasakan Jovan sampai di dapur.

Oke, Aulia. Siap-siap....

Tanganku refleks memegang plastik roti tawar, sepenuhnya dalam mode perang. Aku siap melempari cowok itu dengan roti tawar seandainya dia macam-macam. Otakku sudah terlanjur melabeli Jovan sebagai "cowok berbahaya." Aku nggak boleh menghadapinya dengan tangan hampa.

Dia mampir tepat di sebelahku. Kuberanikan diri menatap matanya yang agak tertutup rambut itu. Jovan mengangkat dagunya lagi ke arahku, sebuah gerakan yang kini kupahami bisa berarti 'Halo,' sekaligus menunjuk sesuatu.

"Hai!" kupaksakan diri untuk sedikit ramah. "Kamu... mau sarapan?"

TING! Toaster melontarkan dua buah roti yang baru matang dipanggang.

Tiba-tiba, Jovan menjulurkan tangan secepat kilat melewati bahuku dan lurus ke arah toaster. "Iya," katanya cuek. Dia mengambil piring dan...

Oh, seriously? "Umm. Those are my toasts."

Jovan mengangkat roti bakar milikku dan mengunyahnya. "Thanks!"

"Aku bikin buat diriku sendiri." Rasa sebal mulai memanjat naik di kerongkonganku. "Kalau kamu mau, bikin yang baru aja."

"Aku nggak punya roti."

Dan itu salah gue gitu? "Ya udah..." Jangan bete, Aulia. Ingat, kamu malaikat baik hati nan cantik jelita. "Ini, pakai punya aku aja."

Kusodorkan bungkusan roti tawarku padanya.

"Nggak perlu repot-repot," tolak Jovan cuek. Dia menunjuk roti bakarku. "Ini udah ada yang matang."

Ingin kusambar toaster yang masih berdesis panas ini dan kujejalkan di mulutnya. "Kenapa kamu nggak bikin yang baru aja?"

Jovan mengangkat bahu dan menarik kursi meja makan. "Nggak. Makasih." Dia duduk di sana dan menatap dua lembar roti panggang hasil jarahannya, seperti mengira-ngira apakah aku meracuninya atau tidak. Lalu tanpa rasa bersalah, dia menggigit sepotong. Lagi.

Cowok ini! Sungguh kelewatan!

Aku menarik napas dalam-dalam, berupaya mencegah terjadinya tindak pidana kekerasan di dapur ini. Oke, Aulia. Siapa yang malaikat? Kamu. Ada yang salah dengan cowok ini. Sabar, ya.

Kuselipkan dua buah roti lagi dalam toaster dan kutekan tombolnya keras-keras, membayangkan si tombol sebagai jidat Jovan.

"Heh."

Ya Tuhan. Apa dia barusan memanggilku? "Apa?"

"Kamu...."

"Iya. Kenapa?" Sah-sah saja kan memaki orang yang baru kita kenal? "Namaku Aulia. Bukan 'heh'."

Jovan mengedikkan kepala dan menghembuskan napas tak peduli, seakan aku baru memberitahunya info nggak penting macam pasangan artis siapa yang baru saja cerai. Lalu dia menunjuk sesuatu di atas meja dapur.

"Itu. Tolong. Selainya."

"Itu selai aku."

"Bagi."

"Udah minta roti. Terus sekarang selai. Nggak sekalian minta dimasakin nasi goreng?"

Mata Jovan lurus-lurus menatapku sampai aku terkejut. Dari balik poninya yang panjang dan rambutnya yang berantakan, aku bisa melihat matanya yang berwarna cokelat gelap dan lebar. Dia hanya diam saja.

Umm, apa dia tersinggung? Apa aku sudah kelewatan?

Tunggu sebentar.

"Kamu..." pantas saja aku merasa pernah mendengar suaranya! "Kamu ada di Stasiun Chesire dua hari lalu!"

Jovan menggigit roti curiannya dengan acuh. "Maybe."

"Kamu...." Nggak salah lagi. Waktu di stasiun, Jovan menyisir poninya hingga naik ke atas dan memakai kacamata. "Kamu cowok yang memukul aku pakai kotak gitar!"

Jovan terdiam. Dia melambatkan kunyahannya dan menyipit menatapku lagi. Ingin rasanya kugunting poninya yang panjang itu. Kesannya dia berlindung di balik rambutnya.

Akhirnya dia berdeham dan melanjutkan makan. "Salah sendiri menghalangi jalan."

Ternyata benar!

Darahku langsung auto-mendidih. "Kamu... benar-benar...." Kata-kata berebutan keluar dari mulutku saking marahnya. "Nggak sopan! Kasar! Sangat keterlaluan! Aku sampai jatuh! Nggak pake minta maaf lagi! Ngeles pula! Kebangetan—"

Jovan bersendawa keras.

Kusambar plastik roti, kuremas kuat-kuat sambil berteriak, "Aaarrrgggh!"

Sisi malaikat Aulia baru saja menyerah. Aku nggak tahu sudah berapa lama aku berteriak. Sepuluh detik? Tiga puluh detik? Satu menit? Pastilah aku berteriak cukup lama karena Barney si anjing German Shepherd milik Stella mulai melolong di ruang depan.

TING!

Toaster yang baru berdenting masih kalah panas dengan telingaku. Jovan bangkit berdiri dan menghampiriku. Semula kukira dia akan minta maaf, tapi dia hanya menjulurkan tangannya ke sampingku dan menatapku dari atas. Sial! Tinggiku hanya sampai di dadanya!

"Makasih buat selainya."

Dia menyambar botol selaiku yang masih baru, memutar tutupnya yang masih tersegel hingga terbuka nyaris tanpa tenaga, dan menuang seperempat isinya ke sisa roti bakar curian itu. Lalu dia melahapnya dengan rakus, mengacuhkanku begitu saja.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top