2. Mahasiswa Baru


Siang itu, kami makan di sebuah restoran bernama Nando's. Harga makanan di sini ternyata tak semahal dugaanku, sekitaran sepuluh sampai dua puluh dolar. Memang sih, kalau dikonversi ke Rupiah harganya akan jadi ratusan ribu. Awalnya aku merasa nggak rela membayar semahal itu cuma untuk makanan, tapi Ningsih bilang itu juga salah satu mental "Indonesia banget" yang harus kuhindari. Tips utama hidup tenang di negeri dengan kurs yang lebih tinggi: berhenti mengkonversi apapun jadi Rupiah. Kalau seperti itu, semuanya bakal terlihat mahal. Jadi kalau hidup di negeri yang memakai dolar, biasakanlah menilai apa-apa dengan dolar juga.

Di Nando's, cukup dengan enam belas dolar aku sudah dapat menikmati satu porsi ayam bakar dengan semangkuk nasi yang ukurannya cukup besar. Ukuran bule, kata Ningsih. Yang pasti ukuran bule ini lebih dari cukup untukku yang hanya setinggi seratus enam puluh delapan senti dan berbobot lima puluh kilo ini. Setelah melahap habis makanan ini, rasanya aku bakal tetap kenyang sampai besok pagi.

Selesai makan kami pergi kampus X University. Ada urusan administrasi yang harus kuselesaikan. Aku menitipkan barang-barang belanjaanku di bagasi mobil Allison, teman satu kos Ningsih yang tanpa sengaja kami temui di Nando's. Si bule berambut merah yang imut ini dengan senang hati mengantarkan kami ke kampus.

X University terletak di pinggiran Chesire dan bisa dikira sebagai kota terpisah saking luasnya. Kompleks kampusnya memang luar biasa besar sampai punya kode pos sendiri! Maklum, X University adalah salah satu universitas terbesar di Australia, dengan lebih dari tujuh puluh ribu lebih mahasiswa. Untuk menampung mahasiswa sebanyak itu, pihak universitas membangun bukan hanya satu, melainkan tujuh kompleks kampus yang tersebar di seantero Melbourne. Kampusku di Chesire ini adalah headquarter, alias kampus utamanya. 

Ningsih menunjukkan sepeda-sepeda gratis yang disediakan di sudut-sudut kampus buat mahasiswa letoy anti jalan-jauh macam aku ini. Bayangkan, untuk mencapai pusat kampusnya saja dari gerbang depan butuh waktu lima belas menit dengan jalan kaki! Tapi aku belum bisa memakai sepeda itu karena untuk melepas kuncinya, aku memerlukan Student ID  kartu mahasiswa.

Perjalanan jauh itu terbayar dengan suasana kampus yang ramai di awal semester baru ini. Para mahasiswa berseliweran, banyak yang menenteng laptop Macbook dan semuanya kelihatan cerdas. Ada selusin mahasiswa berkaos biru berlogo X University yang siap menjadi pemandu bagi mahasiswa yang baru pertama kali datang ke kampus sepertiku.

Aku, Ningsih dan Allison menuju Student Center  – Pusat Kemahasiswaan – yang terletak di tengah kampus. Sepanjang jalan menuju gedung Student Center, ada sekitar dua puluh tenda putih tempat klub-klub mahasiswa mempromosikan kegiatan mereka dan mencoba merekrut anggota baru.

Allison mampir sebentar ke tenda Dance Club dan mengisyaratkan kami untuk duluan ke Student Center.

"Eh, itu ada Persatuan Pelajar Indonesia," kataku sambil menunjuk tenda PPI.

"Ngapain lo gabung ke situ," Ningsih mencibir.

"Dasar nggak nasionalis. Memangnya lo bukan mahasiswa Indonesia?"

"Registrasinya bayar, lho. Sepuluh dolar."

"'Elah. Sepuluh dolar doang!"

"Kata senior gue yang udah setahun gabung, dia nggak merasakan manfaat berarti tuh ikutan PPI," kata Ningsih. Dia menatap tenda PPI dengan keji seolah mencoba membakar tenda itu dengan tatapannya. "Memang sih kegiatannya banyak, cuma lo tetap harus bayar buat ikut. Kalo kayak gitu apa gunanya jadi member, coba?"

"Ah, masa iya sih ikut PPI seburuk itu?"

"Ada beberapa diskon juga, sih. Potongan sepuluh persen buat pembelian tiket Garuda, tapi siapa juga yang sanggup naik Garuda buat pulang liburan? Gue sih milih naik AirAsia."

"Yeee... itu mah elonya aja yang kere."

"Bukan kere¸ jeung. Hemat. Lagipula masih banyak kok klub-klub lain yang nggak pakai biaya pendaftaran! Kalo lo mau ikut klub, mending ikut yang lain aja."

"Lo sendiri ikut klub apa, Ning?"

"Klub tidur-di-rumah-masing-masing. Di cuaca seperti ini, gue cuma keluar rumah untuk urusan yang menyangkut hidup dan mati aja."

"Dasar gen rebahan."

"Dingin, Al. Mager gue. Lagian ini universitas aneh banget sih, masa di tengah-tengan musim dingin begini semesternya dimulai?"

Pernyataan Ningsih barusan sangat relatable. Aku sendiri sebetulnya enggan berkeliaran di luar ruangan dalam cuaca sedingin ini. Kami cekikikan bersama dan masuk ke Student Center. Sesuai namanya, kompleks ini menjadi pusat kegiatan sebagian besar mahasiswa X University. Kompleksnya sendiri sangat luas, mirip sebuah mall, dan terdiri dari beberapa gedung juga. Ada sejumlah kantor cabang bank, puluhan restoran, kafe, toko cinderamata, toko buku, salon rambut, kantor pos, Religious Center - Pusat Peribadahan, gym, lapangan basket, lapangan tenis, kolam renang, museum, dan sebuah...

"Wow! Bioskop!"

"Bioskop ala-ala," kata Ningsih. "Cuma menayangkan film-film lokal. Ada juga sih film-film Hollywood, tapi harga tiketnya lebih mahal dari bioskop beneran."

"Tetap aja keren! Kampus mana di Indonesia yang punya bioskop, coba?"

"Kampus yang seberangan sama mall?" jawab Ningsih ngasal. "Al, dari tampang lo sepertinya lo takjub ya melihat kampus kita ini?"

"Iya, nih. Lebih keren dari brosurnya!"

"Nggak bakal keren lagi kalo lo udah dapat PR," kata Ningsih misterius. Dia menunjuk sebuah pintu kaca buram bertuliskan 'X University Student Office'  Bagian Kemahasiswaan Universitas X. "Tuh dia kantornya. Yuk!"

Kami melewati pintu buram itu dan masuk ke sebuah lobi elegan yang didesain serba biru, mirip interior sebuah bank premium di Indonesia. Ada beberapa sofa lebar berlogo X University yang kelihatan nyaman. Di dinding terpasang selusin televisi plasma raksasa yang menyiarkan informasi seputar kampus. Meja-meja pegawai Student Office diatur dalam sebuah lingkaran kecil tepat di tengah ruangan.

"Halo, ada yang bisa dibantu?" sapa seorang cowok India dalam Bahasa Inggris. Dia juga memakai kaos biru berlogo X University seperti yang dipakai para pemandu di halaman depan. Bahasa Inggrisnya sempurna, tetapi memiliki aksen.

"Saya mau buat kartu mahasiswa," jawabku dalam Bahasa Inggris juga.

Si cowok India mengangguk paham. Dia memencet tombol mesin antrean. Secarik kertas muncul dan disodorkan kepadaku.

"Ini nomor antrean kamu. Nanti petugas di meja C15 akan membantu kamu dalam sepuluh menit. Silakan duduk untuk menunggu."

"Thank you."

Kami duduk salah satu sofa dan langsung melesak ke bawah. Ternyata sofanya empuk banget! Sambil menunggu, kami mengamati para mahasiswa baru dilayani. Selain bule-bule berkulit putih, ternyata di X University ini juga banyak siswa dari Tiongkok dan India.

"Kameranya tersembunyi," Ningsih tiba-tiba memberitahuku sambil menunjuk meja petugas Student Office. "Kata Allison, ada di dekat monitor. Mereka nggak ngasih tahu, tiba-tiba aja jebret... foto lo jadi."

"Foto buat apa, Ning?"

"Buat Student ID. Waktu gue difoto, gue nggak tahu di mana kameranya. Foto gue jelek banget."

"Masa sih? Coba mana, gue mau lihat."

"Jangan, ah! Malu gue! Tampang gue bloon banget, Al!"

"Gue nggak bakal ketawa. Janji!"

Ningsih mengeluarkan Student ID-nya dan menyodorkannya padaku dengan ragu-ragu. Setengah mati kutahan tawa begitu melihat fotonya.

"Lo lihat genderuwo pas difoto?"

"Sialan lo! Katanya lo janji nggak bakal ketawa?"

"Lo melotot, neng!"

"Itu karena gue diwanti-wanti sama petugasnya supaya jangan berkedip, gitu," kata Ningsih sambil merebut kembali kartu itu. Sesaat kelihatannya dia akan mencabik si kartu, tapi kurang kuat karena kartu itu terbuat dari plastik. "Mana gue nggak dikasih tahu lagi kapan bakal dijepretnya! Gue nggak mau mata gue tertutup pas di foto. Makanya gue melotot gitu, deh."

Aku terbahak-bahak. Foto Ningsih terlihat galak abis.

Tak berapa lama, nomor antrean telah berubah menjadi nomorku. Aku cepat-cepat menghampiri meja C15.

Seorang cowok bule berambut pirang dan memakai kemeja biru menyambutku di meja C15. Dia cukup pendek untuk ukuran bule, hanya sejengkal lebih tinggi dariku. Tapi matanya sangat biru dan cemerlang, mengingatkanku pada laut di hari yang cerah. Hidungnya juga mancung sekali, seperti dipahat.

"Selamat pagi," sapanya ramah dalam Bahasa Inggris beraksen Australia yang khas. Kutebak dia penduduk lokal. "Ada yang bisa saya bantu?"

"Nama saya Aulia Setiadi," kuserahkan bundel berkasku padanya. "Saya mau buat kartu mahasiswa."

"Sure. Bisa kamu eja namamu?"

"Nama pertama: A-U-L-I-A. Nama keluarga: S-E-T-I-A-D-I."

"Terima kasih. Saya cek dulu. Mohon menunggu."

Tanpa memeriksa berkasku, cowok itu mengetikkan sesuatu di komputernya. Selagi dia memeriksa, kuteliti meja kerjanya, mencari-cari kamera tersembunyi itu. Aku harus menemukannya! Aku nggak mau punya foto bertampang cengok di Student ID-ku nanti. Apalagi kartu itu akan kupakai selama studiku di sini. Pasti memalukan sekali kalau fotoku nggak keren, kan? Makanya aku harus kelihatan oke!

"Jadi kamu di Fakultas Desain juga," kata si bule bermata biru. 

"Kok kamu tahu?" Aku terkejut mendengarnya. "Kamu kan belum memeriksa berkas-berkas aku."

"Nggak perlu mengecek berkas," kata cowok itu sambil tersenyum. "Semua sudah terdaftar di dalam sistem."

Ah, benar. Aku ingat saat tiba di bandara waktu itu, petugas imigrasi juga tidak memeriksa visaku sama sekali. Padahal aku sudah sengaja mencetaknya untuk jaga-jaga. Rupanya segala sesuatu di negara ini sudah otomatis, demi menghemat penggunaan kertas. Waktu berbelanja di swalayan, aku ingat hanya sedikit sekali orang yang membayar dengan uang fisik. Kebanyakan memakai kartu atau pembayaran lewat NFC dari ponsel.

"Aku juga di XADA, lho," kata cowok itu lagi.

"Maaf? XADA?"

"X Arts Design and Architecture. Itu nama fakultas kita," kata cowok itu. Dia mengulurkan tangan padaku. "Namaku Terrence Adler."

Kujabat tangannya. "Aulia Setiadi." 

"Aku tahu, kok," kata Terrence sambil mengedik ke layar komputer. "Senang berkenalan denganmu, Aulia." 

Kami tertawa. 

Cepat-cepat kuambil kembali berkas-berkas itu. Pasti kelihatan ndeso sekali bawa-bawa sebundel berkas seperti ini. "Apa kita... satu kelas? Aku pikir kamu kerja di sini."

"Bukan. Secara teknis, belum," jawab Terrence. Dia nyengir, memamerkan deretan gigi kelinci besar-besar tapi seputih mutiara. "Aku cuma magang di sini selama liburan sekolah."

"Ooo. Keren sekali, Terrence!"

"Wah, jangan panggil Terrence. Cuma opaku yang memanggilku dengan nama lengkap begitu. Panggil Terry saja," kata Terry. "Kamu berasal dari mana? Bali?"

"Bukan. Aku dari Jakarta."

"Big city girl!" goda Terry sambil tersenyum. "Chesire kecil sekali kalau dibandingkan dengan Jakarta. Dan penduduknya juga sedikit."

Aku membalas senyumnya dengan sumringah. Aku justru jengah dengan Jakarta yang padat.

"Omong-omong..." Terry menunjuk sebuah bulatan tersembunyi di dekat monitor komputernya. "Sekarang aku akan mengambil foto kamu buat kartu mahasiswanya. Kameranya ada di sini. Jadi tolong menghadap kemari."

"Oooh, si kamera tersembunyi!"

"Nggak tersembunyi, kok," kata Terry sabar. "Kebanyakan mahasiswa baru nggak ada yang bertanya harus menghadap ke mana, jadi nggak ada yang memberitahu."

Aha! Jadi itu jawabannya! "Aku juga nggak nanya, tapi kamu tetap kasih tahu aku."

Terry tersenyum lagi lalu menggeleng kecil seolah telinganya kemasukan air. "Well, aku memang mau kasih tahu kamu, kok. Supaya foto kamu bagus di Student ID."

Hohoho! Ningsih pasti bakal kesal setengah mati jika mendengar ini. Aku merasa seperti baru dapat bocoran letak peti harta karun! "Terima kasih banyak, Terry. Kamu baik sekali."

Tiga menit kemudian, Terry menyodorkan padaku sebuah kartu mahasiswa lengkap dengan fotoku yang menatap kamera sambil tersenyum lebar. Terry bahkan mengizinkanku buat mengambil foto kedua, karena di foto pertama, poniku sedikit menutupi mata. Kupamerkan Student ID-ku pada Ningsih. Sahabatku itu langsung cemberut dan bersungut-sungut. "This is so unfair," katanya.

"Ning, kalau lo memang nggak suka sama foto lo, kenapa nggak lo hilangin aja kartu itu dengan sengaja? Supaya lo bisa difoto lagi."

"Ogah. Buat bikin kartu baru, kita musti bayar lima puluh dolar."

"Lima pu—" aku tercengang. "Lima ratus ribu, dong!"

"Iya," jawab Ningsih sambil mencebik. "Gile, ni negara emang mahal banget!"

"Wah, sekarang lo yang jadi 'Indonesia banget'."

Kami terkikik bersama. Ningsih mengajakku untuk cabut mencari Allison.

"Omong-omong, Ning..." ketika meninggalkan Student Center, aku teringat mata biru Terry yang sejernih air laut. "Si bule yang membantu gue tadi... dia cakep, ya?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top