BAB 7 RIANA_2
Seminggu berlalu, sejak saat itu Jihan belum pernah bertemu Bara lagi di kampus. Bahkan laki-laki itu tidak menghubunginya untuk menanyakan kelanjutan tugasnya. Jihan juga mengabaikannya, Tugas Bara sudah selesai hanya saja ia belum sempat menyerahkannya ke Pak Kurniawan. Dan hari ini, waktu Jihan untuk mengunjungi Riana lagi, Jihan sudah membawa bahan-bahan untuk pengobatan Riana.
Iya, Riana tidak hanya terkena asam lambung, ada seseorang yang sengaja ingin menyakitinya bahkan dijadikan tumbal pesugihan. Jihan telah sampai di rumah Riana. Tante Nilam memberi tahu perkembangan Riana. Dan seperti yang Jihan lihat, gadis itu terlihat lebih segar kali ini.
"Bagaimana kabarmu?" tanya Jihan pada Riana.
"Sudah jauh lebih baik, terima kasih." Riana menggenggam tangan Jihan erat.
Jihan tersenyum, ia menepuk punggung tangan Riana, "Baguslah, ke depannya kita akan lebih berjuang lagi." Kata Jihan.
"Aku siap." Kata Riana penuh semangat.
Ia ingin menjalani kehidupannya dengan normal kembali, ia rindu untuk berkumpul dengan sahabat-sahabatnya. Mereka hanya bisa mensupport dari jauh, di awal ia sakit sahabat-sahabatnya sering mengunjunginya. Namun, begitu keadaannya semakin parah, Riana melarang mereka mengunjunginya. Ia malu dengan kondisinya saat ini,nia juga pasti akan semakin sedih ketika sahabatnya pulang. Ia hanya mengabarkan keadaannya sesekali melalui wa grup, supaya sahabat-sahabatnya tahu ia masih hidup dan berjuang untuk sembuh.
Jihan mempersiapkan peralatannya, dan Riana telah dipegang oleh sopir, tukang kebun, ibunya dan juru masaknya. Jihan meletakkan daun sirih di perut Riana. Biasanya Jin banyak bersarang di perut. Riana menggeliat kepanasan, kali ini yang keluar dari mulutnya adalah istigfar.
"Astagfirullahalazim, Allahu Akbar, saki...t. Allahu Akbar." Riana terus berteriak, kali ini tenaganya jauh lebih besar.
Jeritan Riana mereda seiring dengan berhentinya Jihan menempelkan daun sirih diperut Riana secara bergiliran. Ada 7 lembar daun sirih yang Jihan tempel. Daun sirih yang semula berwarna hijau kekuningan itu berubah warna menjadi hitam.
Keringat mengalir di wajah Riana, tubuhnya lemas.
"Riana," panggil Nilam pada putrinya.
"Jangan khawatir, Tante. Riana baik-baik saja. Biarkan ia istirahat, tolong buatkan dia teh manis." Kata Jihan.
Tanpa aba-aba asisten rumah tangganya langsung keluar, begitu juga dengan yang lainnya. Jihan memberi isyarat pada Tante Nilam untuk mengikutinya, mereka duduk di lantai yang jaraknya cukup jauh dengan ranjang Riana.
"Ada apa sebenarnya, Nak?" tanya Nilam cemas.
Jihan menarik napas pelan, "Riana terkena teluh, Tante." Kata Jihan.
Nilam menutup mulutnya, ia tidak percaya apa yang ia dengar. Selama ini, tidak pernah terlintas bahwa Riana akan terkena hal itu. Memang Riana sering mengatakan hal-hal aneh, tapi mereka berpikir itu efek asam lambung yang sudah akut. Riana bahkan pernah berobat ke psikiater.
"Siapa? Siapa yang tega melakukan ini pada putriku? Apa itu mantan pacarnya?" tanya Nilam.
"Aku nggak bisa bilang, aku akan tinggal disini malam ini. Ada yang harus kulakukan ba'da magrib." Kata Jihan.
"Iya, Nak. Lakukan apapun demi kesembuhan Riana. Ku mohon." Kata Nilam.
Asisten rumah tangga Nilam tidak terlalu tua, mungkin usianya beberapa tahun diatas Nilam. Ia masuk membawa teh hangat untuk Riana. Riana bangun dan menenggak teh hangat itu sampai habis.
Jihan berdiri di dekat jendela Riana, ia bisa melihat aura negatif yang mengelilingi rumah itu. Arwah-arwah penasaran yang dilihat kemarin sudah tidak ada. Yang tertinggal adalah mereka sosok-sosok kiriman yang ditugaskan untuk melukai Riana.
Jihan mengeluarkan sebilah bambu kuning dengan bentuk yang sangat unik, bambu itu berukuran kurang lebih dua puluh sentimeter. Azan magrib berkumandang dari desa sebelah. Rumah Riana memang terletak cukup jauh dari perkampungan. Rumah ini di desain dengan konsep seperti Villa. Kiri, kanan dan belakang ada pemandangan persawahan yang hijau.
Jihan meminta Tante Nilam dan asisten rumah tangganya menjaga Riana di kamar. Apapun yang mereka dengar di luar, mereka tidak boleh meninggalkan Riana sendirian. Mereka diminta untuk terus berzikir.
Jihan sudah berada di halaman, ia meminta sopir dan tukang kebun untuk mengikat benang merah ke sekeliling rumah itu .
Tepat di depan pintu, aneka sesajen telah disiapkan Jihan. Ada dua jambang emas yang berisi air terletak di kiri kanannya. Jihan mengambil posisi duduk bersila, awan gelap menutup sinar bulan, angin berhembus pelan lalu berubah kencang dalam waktu singkat. Dihadapannya muncul sesosok kuntilanak terbang, kuntilanak itu hendak terbang ke arah Jihan tapi tubuhnya terpental begitu mengenai benang merah yang dipasang Jihan.
Sosok kuntilanak itu marah lalu dengan bar-bar berusaha merangsek dari segala arah tapi, lagi-lagi tubuhnya terpental dan mengeluarkan bau gosong seperti terbakar. "Pergi dari sini atau kalian akan aku musnahkan." Ancam Jihan.
Sopir dan tukang kebun itu saling pandang, raut wajah ketakutan terlihat jelas dimata mereka, tanpa sadar mereka berpelukan dan menutup mata sembari merapal doa apa saja yang mereka ingat saat itu.
Sosok itu terbang tinggi lalu menukik tajam menembus benang merah itu, tapi sebelum menyentuh Jihan, Jihan telah terlebih dahulu menyiramnya dengan air yang ada di salah satu jambang emas yang telah Jihan sediakan.
Terdengar pekikan yang menyayat telinga lalu kuntilanak itu menghilang.
'Ah," seru Jihan pelan lalu tersungkur ke belakang.
"Kamu nggak apa-apa?' tanya Tukang kebun Riana.
Jihan mengatur napas, tubuhnya lemas. Energinya benar-benar terkuras. "Aku ... baik-baik saja." Ujarnya
***
Keesokan paginya, tukang kebun Riana lari tergopoh-gopoh. "Bu ... Ibu..." panggilnya.
"Ada apa, Pak Kasman?" kata Nilam.
"Aku menemukan ini." Kasman menyerahkan sebuah bungkusan kain berwarna putih,
Nilam mengambilnya, ia hendak membukanya tapi dilarang oleh Jihan.
"Jangan dibuka." Jihan meraih bungkusan itu dari tangan Nilam. Ia melangkah ke halaman, diikuti oleh Nilam dan Kasman.
Jihan membaca doa-doa sebelum membuka bungkusan itu, isinya ada foto Riana, paku berkarat, biji merica, dan banyak lagi.
Nilam menutup mulutnya tidak percaya, "apa itu?" tanyanya.
"Ini buhul yang ditanam di rumah ini, penyebab sakitnya Riana." Jelas Jihan. Jihan meminjam korek api Pak Kasman lalu membakar buhul itu. "Tinggal selangkah lagi, nanti sore aku akan menyelesaikannya." Kata Jihan.
"Tante, aku akan istirahat sebentar, tolong bangunkan aku sebelum azan zuhur." Pesan Jihan pada Nilam.
"Baik, Nak. Kamu istirahatlah dulu, semalam kamu hampir tidak tidur." Kata Nilam.
Jihan masuk ke dalam kamar yang telah disiapkan oleh Nilam, ia butuh tidur untuk mengembalikan energinya. Jihan merebahkan tubuhnya di ranjang, ia berbalik lalu tertidur. Sebelum azan zuhur Jihan dibangunkan oleh Tante Nilam, ia bangun lalu membersihkan diri di kamar mandi. Setelahnya, ia melaksanakan shalat zuhur lanjut zikir hingga shalat ashar. Setelah itu ia melihat Riana di kamarnya. "Bagaimana kabarmu?" tanya Jihan.
Riana tersenyum, wajahnya terlihat lebih segar sekarang, "Alhamdulillah, aku merasa lebih baik. Terima kasih banyak, Jihan." Kata Riana.
Jihan mengangguk, "apa bahan-bahan yang dibutuhkan sudah disiapkan, Tante?" tanya Jihan.
"Sudah siap, Nak Jihan." Kata Nilam.
"Iya, ini tahap akhir pengobatannya, setelah itu jangan lupa untuk meningkatkan ibadahnya." Pesan Jihan.
Di halaman belakang telah disiapkan air di dalam ember berukuran sedang yang telah dicampur dengan garam kasar, daun bidara, dan bahan-bahan lainnya. Riana duduk di sebuah kursi, lalu Jihan mengambil air menggunakan gayung yang terbuat dari batok kelapa, ia menyiram tubuh Riana dari atas kepala sampai ke ujung kaki. Jihan melakukannya sembari membaca doa-doa sebanyak tujuh kali siraman. Setelahnya, Riana di balut menggunakan kain jarit berwarna coklat.
Sementara itu ditempat lain, dukun yang mengirimi Riana teluh tengah marah-marah, ia membanting sesajen yanga ada diepannya. Api kecil yang menyala di ujung ruangannya padam. "Sontoloyo, bocah edan....
(Kurang ajar, dasar bocah tengik, berani sekali mengacaukan pekerjaanku.)
***
Jagan lupa vomentnya ya bestie 😘😘😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top