BAB 5 RIANA
Jihan masuk kedalam kamar kosnya, ia segera memasak air panas untuk mandi. Sembari menunggu air panasnya matang ia memukul-mukul ranjangnya dengan sapu lidi, setelah itu berbaring sebentar, melihat pesan-pesan yang masuk. Banyak pesan dari Diah, dan ada satu pesan dari Ayahnya. Ia membaca sebentar lalu mengangguk tanda mengerti, setelah itu ia mandi untuk menyegarkan tubuhnya yang pegal-pegal.
Pukul sepuluh malam Jihan keluar ke halaman, ia menatap langit malam, cahaya bulan purnama sangat terang, Jihan berdiri di bawah sinar bulan, kepalanya mendongak ke atas. Ia harus menyerap energi bulan purnama untuk mengembalikan energinya yang hilang. Kepala Jihan bergerak ke kiri dan kanan, ia merentangkan kedua tangannya ke atas. Setelah berdiri kurang lebih tiga puluh menit, Jihan masuk ke dalam. Ia merebahkan tubuhnya di atas ranjang, kedua tangannya terlentang dan matanya terpejam. "Bukan purnama ini." Kata Jihan pada dirinya sendiri.
***
Jihan berjalan di sebuah jalan setapak, disepanjang jalan itu ditumbuhi pepohonan yang rimbun. Sekilas ia melihat anak-anak yang sedang bermain, lalu di depannya ada sekumpulan bapak-bapak tengah bermain catur di posko keamanan. Ia terus melangkah sampai melihat sebuah rumah mewah.
Jihan menyentuh pintu pagar yang menjulang tinggi, saat akan membukanya seseorang memanggilnya.
"Siapa kamu?"
Kring. Kring. Kring.
Alarm Jihan berbunyi, membuatnya terbangun dari mimpi. Jihan segera bersiap-siap. Hari ini sebenarnya jadwalnya bersama Bara untuk melanjutkan tugas perkembangan hasil observasi sebelumnya. Namun, Ayahnya memintanya untuk ke rumah seseorang yang katanya membutuhkan pertolongannya. Ia sudah mengirimi Diah pesan, agar sahabatnya itu tidak mencarinya hari ini.
Setelah menggunakan bus, Jihan akhirnya sampai di tempat yang disampaikan Ayahnya. Letaknya cukup jauh dari tengah kota, setelah bertanya kepada orang-orang yang ditemuinya akhirnya Jihan menemukannya. Tempat ini persis seperti mimpinya tadi malam, Ia memperhatikan jalan setapak di depannya, Jihan melihat sekumpulan anak-anak yang bermain, anak-anak itu terlihat menyeramkan, tubuh mereka berdarah-darah, mata mereka hitam. Jihan berjalan cepat, aura negatif semakin terasa, ia bisa mencium bau anyir yang dibawa oleh angin.
Didepannya lagi Jihan melihat sekumpulan bapak-bapak yang sedang bermain catur, wajah mereka pucat. Jihan merinding, tapi ia berusaha mengabaikan keberadaan mereka. Tempat ini persis seperti mimpinya tadi malam
Jihan kini berdiri didepan pintu pagar berwarna hitam yang menjulang tinggi, Jihan masuk ke dalam, ia menoleh ke belakang tapi tidak ada siapa-siapa. Jihan mengetuk pintu, seorang wanita paruh baya membukakannya pintu.
"Assalamualaikum, Tante. Saya Jihan." Kata Jihan memperkenalkan diri.
"Waalaikumsalam, Nak Jihan. Kamu putrinya Gumilar?" tanyanya lagi.
"Iya, Tante." Balas Jihan.
Wanita itu mempersilahkan Jihan untuk masuk, "Kita langsung ke kamar putriku saja, bagaimana?" tanyanya.
"Baiklah." Kata Jihan mengikuti Wanita itu.
Jihan memperkirakan usia wanita itu tidak jauh berbeda dengan kedua orang tuanya. Mereka menaiki anak tangga satu persatu, sampai mereka masuk ke dalam kamar, seorang gadis sedang berbaring di ranjang. Tubuhnya terlihat kurus dan wajahnya sangat pucat.
"Ada tamu, Nak." Bisik Wanita itu pada telinga putrinya.
Bahkan untuk membuka mata gadis itu terlihat kesulitan, Jihan duduk dsamping ranjang, ia meraih tangan gadis itu dan menggenggamnya erat. "Assalamualaikum, aku Jihan, aku akan mencoba menyembuhkanmu, kamu harus semangat." Jihan menyemangati gadis itu.
"Apa ada yang Nak Jihan perlukan saat ini?" tanya wanita itu.
"Minta tolong air mineral satu botol yang besar, yang lainnya sudah aku siapkan." Kata Jihan.
"Baiklah, tunggu sebentar." Wanita itu keluar dari kamar putrinya.
"Bisa ceritakan kapan dan bagaimana hal ini terjadi padamu?" tanya Jihan.
Gadis itu menggangguk lemah, "aku Riana, mahasiswi ekonomi, karena sakit aku mengajukan cuti. Aku menyukai seorang laki-laki, awalnya hubungan kami sangat indah dan romantis, tapi Ayahnya tidak menyetujui hubungan kami." Riana memejamkan mata, pasti ia sangat terluka, menceritakan kembali luka yang teramat dalam pasti sulit baginya. Jihan kembali menggenggam tangan Riana, mencoba memberinya kekuatan.
"Aku pikir dia akan mempertahankan hubungan kami, tapi setelah kejadian itu, dia perlahan mulai menjauhiku dan entah kenapa dia kelihatan sangat membenciku. Aku nggak bisa menerima semua itu lalu aku sakit, dokter bilang aku asam lambung. Aku sudah berobat ke banyak dokter tapi keadaanku semakin memburuk. Apa kamu bisa menyembuhkanku?" tanyanya penuh harap.
"Aku akan berusaha, semua tergantung tekadmu dan atas izin Allah Swt tentunya." Jawab Jihan.
Riana mengangguk cepat, "aku ingin sembuh aku akan berusaha sekuat tenaga." Katanya.
Ibunya Riana masuk membawa satu botol mineral yang besar lalu menyerahkannya pada Jihan, "Ini Nak Jihan, maaf Tante belum memperkenalkan diri, Tante terlalu ..." kata-katanya terhenti karena ia menangis, setelah itu ia berkata, "Panggil saja Tante Nilam ya, Tante dulu teman Ayah dan Ibumu, setelah menikah Ayahmu mengajak ibumu kembali ke kampungnya. Ayah dan Ibumu marah sekali waktu Tante memberitahu keadaan Riana." Jelasnya.
"Tante jangan khawatir, mari kita bersama-sama menyembuhkan Riana." Kata Jihan. Lalu Jihan mengeluarkan beberapa barang dari dalam tasnya. "Ayah sudah menjelaskannya semalam, jadi aku sudah mempersiapkan bahan-bahannya, ini terapi pertama." Kata Jihan.
Jihan mengeluarkan daun sirih, daun bidara, garam kasar, dan beberapa bahan lainnya. Jihan meletakkan semua bahan itu di dalam wadah yang khusus ia bawa. Keranjang kecil yang terbuat dari anyaman bambu, ia meletakkannya di tengah ruangan lalu ia duduk bersila, mulai bermeditasi. Setelah kurang lebih sepuluh menit ia membuka mata lalu membawa air itu ke Riana, memintanya meminumnya.
"Minum ini, baca bismillah dengan penuh keyakinan kamu akan sembuh." Ujar Jihan.
Riana melakukannya sesuai instruksi Jihan, setelah itu Jihan mengusap kepala lengan hingga ujung kaki Riana. Setelah itu ia mengambil batang daun sirih, Jihan meletakkannya didalam genggaman Riana.
"Aw, panas, panas." Ujar Riana.
"Ada apa?" tanya Nilam.
"Apa ada orang lain lagi disini, Tante? Aku butuh dua orang lagi." Kata Jihan.
"Ada, tukang kebun, sopir dan asisten rumah tangga kami." Kata Nilam.
"Bisa tolong minta mereka kemari?" tanya jIhan.
"Tentu saja." Nilam cepat-cepat menelpon mereka dan memintanya untuk naik ke kamar Riana.
Tak lama merekapun datang, "ada yang bisa kami bantu, Nyonya?" tanya sopir mereka.
"Tolong bantu pegang tangan Riana di kedua sisinya, dan Tante bisa dibantu asisten rumah tangganya, untuk memegang kaki Riana." Perintah Jihan.
Mereka segera melakukan instruksi Jihan, "Riana, ingat kamu ingin sembuh, jadi kamu harus mampu melewatinya, bagaimana?" tanya Jihan.
Riana mengangguk, wajahnya penuh tekad, lalu Jihan kembali meletakkan daun sirih di perut Riana, dan Riana langsung berteriak histeris.
"Panas, panas, adu...h, sakit, Ma, sakit." Ucapnya sambil memberontak. Dengan sigap mereka menahan tubuh Riana agar tidak bergerak.
"Sa...kit, Ma. Sa..kit." jeritnya.
Setelah kurang lebih sepuluh menit Jihan menarik daun sirihnya, ia mengangkat daun sirih ditangannya, duan yang semula berwarna hijau segar itu berubah kehitaman, gosong.
Mereka menatap tak percaya, bagaimana bisa daun sirih itu berubah menjadi gosong.
Jihan memberi isyarat untuk melepaskan tangannya dari Riana, dan yang lainnya keluar dari dalam kamar. "Aku akan meninggalkan ini disini, mulai petang nanti masukkan garam kasar ini kedalam air cucian beras, lalu percikkan diseluruh ruangan ini, jangan lupa sembari membaca sholawat Nabi Muhammad Saw. Aku akan datang satu minggu lagi, kalau terjadi sesuatu yang aneh Tante bisa hubungi aku langsung, nggak usah menunggu satu minggu." Kata Jihan.
"Baiklah, maaf sebelumnya berapa saya harus membayarmu, Nak?" tanya Nilam.
"Nanti saja kalau pengobatannya sudah selesai, seikhlasnya Tante, itu untuk mahar pemutusnya." Kata Jihan.
"Terima kasih, Nak." Ucap Nilam berulang kali.
"Sama-sama, Tante, aku pamit dulu." Ujar Jihan undur diri.
"Biar sopir kami mengantarmu." Kata Nilam menawarkan."
"Nggak usah, Tante. Aku sendiri saja, ada yang harus kulakukan di jalan depan." Kata Jihan.
Nilam mengangguk mengerti, setelah berpamitan Jihan keluar dari rumah itu. Mulai dari pintu depan rumah Tante Nilam, Jihan mengeluarkan garam kasar dari sakunya, ia terus berdoa sembari menebar garam itu satu persatu, ia terus menatap ke depan, banyak arwah-arwah mengitarinya tapi mereka tidak bisa menyentuhnya. Arwah-arwah penasaran itu terlihat marah pada Jihan, Jihan berjalan tanpa menoleh ke belakang, sampai diujung jalan arwah-arwah penasaran itu mulai memudar dan menghilang, Jihan bisa mendengar jeritan mereka yang sangat memekakkan telinga.
***
Rencana mau apdet maljum kmren bestie maaf aku kelolosan 😆😘😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top