Bab 2 MENGENAL BARA_1

Jihan, Diah, Bara dan teman-temannya sedang berada di bengkel mobil. Mobil Bara mengalami sedikit kerusakan di bemper belakangnya Diah kelihatan sedikit panik sedangkan Jihan terlihat biasa saja.

"Apa kamu nggak bisa menyetir?" tanya Bara sinis ke Diah.

"Maaf, Kak Bara Tadi saya kurang fokus." Kata Diah.

Bara mengernyit, ia heran kenapa gadis didepannya mengetahui Namanya. "Darimana kamu tahu namaku?" tanya Bara.

"Kami adik tingkat kakak, kami semester empat sekarang." Jelas Diah.

Bara mengangguk paham, tapi matanya melihat ke arah Jihan, Jihan juga sedang memperhatikannya dan kembali kedua mata mereka bertemu. Tapi kali ini, Jihan tidak merasa kaku seperti tadi di minimarket.

"Kak Bara jangan khawatir, saya akan bertanggung jawab. Semua biaya perbaikan mobil akan saya tanggung." Kata Diah.

"Baiklah." Kata Bara. Lalu ia kembali duduk bersama teman-temannya di meja luar yang telah disediakan.

"Huft, Ya Allah menegangkan sekali berurusan sama, Kak Bara." Kata Diah.

"Orangnya menakutkan, seperti orang yag siap berkelahi kapan saja." Kata Jihan.

"Hus," Diah menyenggol Jihan. "Awas nanti dia dengar." Kata Diah pelan nyaris berbisik.

"Biasanya kalau sudah bertemu sekali seperti ini, kita pasti akan lebih sering melihatnya di kampus." Kata Jihan.

"Waduh jangan dong, kenapa bisa begitu? Kemarin-kemarin, kita hanya melihatya sesekali aja, mungkin dia jarang masuk atau mungkin lagi skripsi, jadi sebentar lagi pasti keluar dari kampus." Kata Diah.

"Aku bilang biasanya, entahlah. Semesta biasanya mempertemukan orang-orang dengan cara yang unik." Jelas Jihan.

Setelah mengatakan itu, Jihan menoleh ke arah Bara dan entah kenapa mereka kembali bertatapan. Dengan cepat Jihan memalingkan wajahnya, dan ia tahu Bara masih melihat ke arahnya.

***

Suasana kampus terlihat cukup lengang di hari jumat. Bara dan teman-temannya terlihat sedang duduk di kantin kampus. Sebuah rokok terjepit disela-sela jemarinya.

"Mobil kamu nggak ada masalah lagi 'kan?" tanya Niko, salah satu teman Bara.

"Sudah beres semua." Balas Bara.

"Mereka cantik-cantik juga ya, aku baru tahu kita punya adik tingkat cantik-cantik. Kenapa mereka sembunyi selama ini." Kata Randi.

"Herannya kita nggak pernah berpapasan." Seru Niko lagi.

"Gimana mau berpapasan, wong kamu masuknya senin kamis." Ejek Randi.

Niko menggaruk kepalanya yang tidak gatal, ia kemudian menyesap kopinya yang sudah dingan.

"Aku lihat kamu memperhatikan salah satu gadis itu kemarin." Kata Randi pada Bara.

"Iya, aku juga lihat. Kamu memperhatikan teman dari gadis yang menabrka mobilmu. Siapa ya namanya kemarin? Apa kita lupa berkenalan?" kata Niko.

"Kita memang nggak menanyakan nama mereka, nggak penting." Kata Bara sembari mematikan puntung rokoknya yang sudah habis. Bara menghentikan tangannya yang sedang mematikan punting rokoknya, ia mencium aroma bunga yang sama seperti yang ia cium kemarin, lalu ia menoleh kea rah pintu masuk kantin. Ia melihat Jihan dan Diah memasuki kantin, mereka sedang berbincang sambil tertawa.

Niko dan Randi yang duduk membelakangi pitni masuk menoleh kea rah pandangan Bara. "Wow, panjang umur, kita ketemu mereka lagi." Kata Niko.

"Hei, kalian. Kemari." Seru Randi.

Tidak hanya Jihan dan Diah yang menoleh tapi hampir semua orang yang ada di dalam kantin. Jihan dan Diah saling memandang.

"Iya, kalian yang nabrak mobilnya Bara kemarin."

'Sial, kenapa juga harus bilang kalau yang nabrak mobil Bara sih.' Batin Diah kesal.

"Sepertinya semesta sudah mulai bekerja." Bisik Diah pada Jihan. Setelah mengatakan hal itu, Diah menggandeng tangan Jihan ke arah meja Bara. Ia malu dipanggil seperti itu apalagi sekarang semua mata memandang ke arah mereka.

Niko dan Randi menatap Jihan dan Diah, "ayo duduk Bersama kami." Ajak Randi.

"Makasih, Kak. Tapi kami belum memesan makanan." Kata Diah.

"Sudah duduk saja." Kata Niko membuat Jihan dan Diah duduk diantara mereka. Setelah itu Randi memanggil salah satu pegawai kantin dan meminta membuatkan pesanan kami. Jihan dan Diah sebenarnya malu seeprti ini, tapi sepertinya Bara dan teman-temannya sudah sangat dekat semua pegawai kantin, atau bisa jadi mereka takut entahlah.

"Kita belum berkenalan kemarin, perkenalkan saya Niko, ini Randi dan Bara." Kata Niko.

"Saya Diah, dan ini teman saya namanya Jihan." Kata Diah.

Bara duduk bersandar dan menyilangkan kedua tangannya di depan dada, ia menyimak percakapan mereka dan sebenarnya ia belum pernah mendengar suara Jihan kecuali permintaan maaf di lorong mini market kemarin. Ia sedikit penasaran dengan gadis itu, entahlah seperti ada sesuatu yang menariknya untuk terus melihatnya. Dan Jihan tahu itu.

Apalagi saat ini, Jihan terlihat sedang menikmati makanannya dengan santai. Jihan memesan mie goreng telur dan segelas jus jeruk. Berbeda dengan Diah yang makan seperti malu-malu, sesekali ia melirik ke arah Niko, Randi dan Bara yang tengah berbincang. Sepertinya membiarkan mereka makan dengan santai.

"Kami sudah selesai, apa kami boleh pergi, Kak." Tanya Diah.

"Kalian ada kelas lagi?" tanya Randi.

"Nggak ada, Kak." Jawab Diah.

"Kalau kamu Jihan? Dari tadi aku belum mendengar suaramu." Kata Niko pada Jihan.

Jihan menatap Niko, lalu tersneyu tipis, "Nggak ada, Kak. Tapi aku ada sedikit urusan." Kata Jihan.

"Kalau begitu, sini, kita berbagi nomor whatsaap. Berapa nomormu?" tanya Niko.

Jihan melihat Diah, Diah memberikan nomornya pada Niko. "Nomormu?' tanya Niko pada Jihan.

Melihat Jihan lama memberikan nomornya membuat Bara jengah, "kalau dia nggak mau memberikan nomormu ya sudah, kayak penting banget sih." Kata Bara.

Jihan menatap Bara dengan tatapan tajam.

"Kenapa melihatku seperti itu? Kamu keberatan 'kan?" kata Bara.

Jihan tidak mau menjadi pusat perhatian di kantin itu, jadi ia memberikan nomornya pada Niko lalu segera pamit dari sana.

"Jihan tunggu," panggil Diah.

"Aku langsung pulang, aku naik bus aja di depan." Kata Jihan.

"Kamu sama Kak Bara kenapa sih? Kayak musuhan gitu, padahal baru bertemu dua kali." Kata Diah setelah menyamakan langkahnya.

"Iya, tapi seeprti katamu dia orangnya dingin dan agak kasar. Terbukti, nggak ada basa-basi juga sama kita adik tingkatnya." Kata Jihan kesal.

"Iya sudah, sudah. Aku pulang duluan kalau begitu. Aku mau antar mama ke rumah Tante Fera. Oh ya, Mama bilang terima kasih banyak sama kamu." Kata Diah.

"Sama-sama, salam sama Mamamu, Tante Fera dan Haris ya." Kata Jihan.

"Aku pergi dulu, bye." Pamit Diah.

Jihan menghentikan langkahnya, ia melihat ke sekeliling lalu berjalan menuju halte bus di depan. Ia melewati halte bus, ia terus berjalan ke arah jembatan yang berada tidak jauh dari kampusnya. Setelah berjalan sekian lama ia akhirnya tiba disana. Ia memperhatikan sekitar danau dan jembatan. Persis seperti yang ada di dalam mimpinya. Ia belum memahami makna mimpinya, mimpi yang sering dialaminya apalagi menjelang purnama.

Flash Back

Jihan yang masih berumur tujuh tahun tengah sakit tubuhnya mengalami demam. Ia mengigau banyak hal, tapi kedua orang tuanya, tidak membawanya ke dokter. Mereka hanya mengompres tubuh Jihan menggunakan air hangat. Eyang kakung Jihan duduk tidak jauh dari tempat Jihan berbaring. Eyang kakung duduk bersila sembari bermeditasi, sembari berdoa.

Setelah tiga hari berlalu, demam Jihan mulai turun dan Eyang kakung sudah tidak bermeditasi lagi. Mereka bertiga duduk diteras rumah, Eyang kakung Jihan menatap bulan sabit yang menghiasi langit kelam malam itu.

"Bagaimana keadaan Jihan, Ayah? Aku kasihan melihat keadaannya seperti ini terus?" kata Sekar, ibunya Jihan.

"Kamu jangan khawatir, Jihan adalah orang terpilih dari leluhur. Kita ndhak bisa menghentikannya, kita harus membantu Jihan agar ia bisa mengendalikan kemampuan yang dimilikinya. Untuk sementara aku Sudah menutup cakranya, tidak semua tapi paling ndhak itu nggak akan terlalu menyulitkannya." Kata Eyang kakung.

"Apa ndhak sebaiknya semua cakranya ditutup, Ayah?" tanya Gumilar, Ayah Jihan.

Eyang kakung menghela napas lalu menghisap rokok pilitan miliknya, "Hanya itu yang bisa kita lakukan, mungkin ini sudah garis yang harus dilalui Jihan. Semoga bisa membantu sesamanya." Ucap Eyang kakung.

"Apa ada kesulitan yang akan dihadapinya nanti?" tanya Sekar khawatir.

"Telu Purnomo." Ucap Eyang kakung.

"Ada apa dengan telu Purnomo?" tanya Gumilar.

"Aku ndhak tahu kapan saja waktunya, hanya Jihan yang akan mengetahuinya. Setelah telu purnomo, kemampuan yang dimilikinya akan sempurna, semoga ndhak ada halangan besar." Ucap Eyang kakung.

"Apa maksud, Ayah?" tanya Gumilar dan Sekar bersamaan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top