Pertanyaan Tentang Senyuman

Apa itu senyuman? Mengapa semua orang gemar memamerkan semyumnya?

Philip tidak mengerti mengapa semua orang selalu tersenyum. Anak laki-laki yang sering memasang wajah skeptis itu tidak mengerti mengapa orang di sekitarnya selalu menegurnya untuk tersenyum meski itu tidak berdampak apapun baginya.

Pernah suatu ketika Philip bertanya kepada orang sekitar tentang alasan mengapa mereka tersenyum. Namun, alih-alih mendapat jawaban, anak yang kikuk itu malah mendapat cerca dan julukan sebagai 'anak aneh dari panti asuhan’. Makin ia bersikeras bertanya, Makin tajam pula ejekan yang diterimanya.

Anak itu membetulkan posisi kacamatanya dan berdeham. Di balik bayangan pohon pagi itu, ia memetik setangkai bunga tak bernama dan membiarkannya tertiup angin halus musim panas. Memperhatikan helai putih yang tak utuh membuatnya teringat pada perkataan kakek pengurus panti yang telah meninggal tahun lalu.

"Senyum adalah jembatan yang mampu menghubungkan dua hati dan menciptakan kebahagiaan."

Philip tahu jika senyum adalah cara seseorang menciptakan lengkung di bibir. Jika ditanya apakah ia bisa tersenyum, maka anak laki-laki itu akan menjawab bahwa ia mampu melakukannya sebanyak apapun. Namun, hal utama yang membuatnya kebingungan adalah arti dari kebahagiaan yang terselip pada akhir kalimat sang kakek.

Anak laki-laki itu tidak merasa bahagia saat melihat senyuman orang di dekatnya. Begitu pula saat ia melihat pantulan senyumnya sendiri dari balik cermin. Anak laki-laki itu membuang bunga di tangannya dan kembali tenggelam dalam pikiran.

Lantas, apa maksud dari senyuman yang sesungguhnya itu? Senyum seperti apa yang mampu membuat hatiku dan orang yang di sekitarku bahagia seperti kata Kakek?

Suara kelontang besi yang tiba-tiba muncul memecah lamunannya. Pendengaran Philip yang mengatup seolah kembali memekak, membawa suara riang tiga anak di belakang panti menyusup ke telinga. Ia bangkit, meregangkan tubuh, lantas menghela napas seraya mengintip jendela dapur di belakangnya.

Seekor kucing hitam tengah mengintai ikan salmon di atas konter dapur. Nenek Nahia, wanita pengasuh panti asuhan tampak mencengkeram tangkai sapu dan melangkah terburu-buru. Kala mata Philip kembali tertuju pada pencuri kecil itu, Nenek Nahia mendaratkan pukulan ala kadarnya, berharap agar kucing tersebut pergi. Nahas, usaha wanita tua itu sia-sia. Kucing hitam yang tak sedikitpun gentar itu berhasil mencuri ikan dan kabur.

Nenek Nahia menghela napas, memukul-mukul tulang belakangnya seraya menyuarakan rasa pasrah. Tepat saat ia akan mengambil panci di lantai, saat itulah ia baru menyadari keberadaan Philip yang mengintip dari jendela.

"Wahai, Philip, syukurlah kamu ada di sana,” sapa Nenek Nahia seraya berjalan menuju anak laki-laki itu. “Bisakah kau pergi ke sungai dan minta tolong kepada Paman Vilho untuk menangkap salmon? Hari ini Eila berulang tahun dan Nenek sudah janji untuk membuatkan Lohikeitto—sup ikan salmon—malam ini."

"Salmon? Bukannya salmon di sungai kita hanya bermigrasi di musim gugur saja?" tanya Philip seraya mengernyitkan alis. "Meski paman tua itu berhasil menangkapnya, ia pasti akan meminta harga yang mahal.”

"Tidak apa, Nak." Nenek Nahia mendaratkan lengan keriputnya ke kepala Philip, mulai mengelus rambut ikal anak berkacamata itu. "Nenek tidak ingin mengingkari janji hanya karena seekor kucing liar."

"Apakah Nenek yakin? Lagipula, sekarang baru saja musim panas. Kenapa juga Eila ingin memakan sup salmon panas di musim seperti ini?" Phillip menatap lurus mata wanita tua itu selama beberapa saat sebelum akhirnya mengembuskan napas panjang. “Baiklah. Aku akan pergi!”

Setelah menerima sekantong uang dari Nenek Nahia, Philip pergi menuju gerbang panti. Terik mentari yang menyengat menyilaukan mata anak laki-laki itu. Eila, gadis yang berulang tahun tiba begitu Phillip akan membuka gerbang. Ia tersenyum, memainkan rambut kepang sembari mengayunkan keranjang yang dibawanya, lantas memberikan Philip beberapa bungkus permen sebelum berlari menuju panti.

Pertanyaan baru pun muncul di benak anak laki-laki itu. "Mengapa Eila bisa tersenyum sangat ceria seperti itu? Apakah karena hari ini ia berulang tahun? Apa karena hadiah yang didapatkannya dari penduduk desa? Atau karena Nenek sudah berjanji untuk membuatkan Lohikeitto untuk perayaan ulang tahunnya? Apakah itu kebahagiaan yang dimaksud oleh Kakek?"

Philip menggelengkan kepala, mencoba melupakan pertanyaan yang terlintas dipikirannya. Ia mengunci kembali gerbang panti dan mengamati bayangan pohon pinus sembari membetulkan posisi kacamatanya. Sinar yang mengerikan tanpa angin yang berembus, membuatnya berkeringat, dan membuatnya kehilangan motivasi.

Menimang pikiran dari balik bayangan gerbang, anak laki-laki itu pun memutuskan untuk melompati bayangan demi bayangan pohon demi menghindari serangan cahaya fajar. Terlebih, jalanan setapak yang kosong membuat Philip tergoda untuk melompat dari satu bayangan ke bayangan lain.

Setengah jalan menuju sungai telah ia lalui. Philip memutuskan untuk beristirahat di pohon ketiga puluh tujuh yang ia hitung mulai dari depan gerbang panti. Anak laki-laki itu menyenderkan punggungnya dan menyingkirkan keringat di kening menggunakan lengan baju. Tepat saat ia akan memejamkan mata, suara gemerisik semak membuatnya terkesiap.

Seekor kucing hitam keluar dari semak dengan ikan salmon utuh di mulutnya. Dalam diam, mereka saling bertukar pandang hingga kucing itu pergi meninggalkan anak laki-laki itu.

“Hei!”

Philip yang baru tersadar jika itu adalah kucing yang merecoki dapur panti segera berlari mengejarnya. Selama beberapa saat, anak laki-laki itu berhasil memperpendek jaraknya. Akan tetapi, pencuri kecil itu tiba-tiba berlari kencang dan menghilang dari jarak pandang anak berkacamata itu.

Philip berhenti tepat di tengah pertigaan setelah berlari seraya mengamati sekitar, bertumpu pada lutut, lalu mengatur napas. Belokan kiri adalah jalan menuju sungai yang menjadi tujuan akhirnya. Sementara di belokan kanan, ia melihat kucing hitam yang di kejarnya tengah diam sembari mengibaskan ekor.

"Ah! Yang benar saja!" seru Philip yang memutuskan untuk mengejar kembali kucing itu.

Permainan kejar-kejaran antara Philip dan kucing hitam belum berakhir sampai matahari berada tepat di puncaknya. Keringat mengalir deras dari tubuh anak laki-laki itu, membuatnya tidak nyaman sekaligus jengkel. Ia kelelahan. Belum lagi, kucing yang dikejarnya benar-benar menghilang. Philip membaringkan tubuhnya di bawah bayangan pohon, membiarkan angin sepoi-sepoi mendinginkan tubuh, lantas menepuk jidat.

"Kenapa aku harus mengejarnya sampai ke kaki gunung, sih?" keluh Philip terengah-engah.

Ia memejamkan mata dan merenungkan kebodohannya. Baik pikiran maupun perasaannya telah terbelit bak benang kusut. Rumit. Tanpa sadar, kerumitan pikirannya itu malah berakhir dengan khayalan, "Bagaimana jika seandainya tidak ada senyum di dunia ini?"

Angin yang awalnya tenang tiba-tiba berembus kencang. Suara gemerisik daun kering terdengar, tetapi ia terlalu malas untuk mengamati apa yang terjadi. Saat sehelai daun mendarat tepat wajahnya, saat itu pula anak laki-laki itu membuka mata.

"Selamat datang di tempat favorit milik Sovelia, Philip."

Philip terkejut seketika bangkit dan menoleh ke segala arah. Jantungnya berdebar kencang.

"Si-siapa kau? Cepat tunjukan di-"

Seorang wanita bertanduk emas muncul dari balik pohon. Ia memangku kucing hitam yang Philip kejar. Wanita bergaun hitam misterius itu menurunkan kucingnya dari pangkuan dan membiarkannya pergi. Sekarang hanya tersisa Philip dan wanita yang menyebut dirinya sebagai Sovelia itu. Ia berpindah tempat dalam sekejap dan menatap mata Philip dengan lekat.

"Sovelia adalah seorang penyihir. Sovelia akan membantu Philip menemukan jawaban tentang 'senyuman' sebagai tanda permintaan maaf karena Potte sudah mengacau," ucap wanita pemilik mata merah muda itu.

Jantung Philip berdebar sangat kencang, kakinya gemetar hebat, dan keringat yang memancar dari seluruh tubuhnya seolah membeku. Baik pandangan maupun tubuhnya seolah terantai, membuatnya hanya bisa terpaku pada wajah penyihir itu.

"Po-Potte? A-apa maksudmu? Dan kenapa kau tahu namaku?" tanya Philip gagap.

"Potte adalah Potte, kucing Sovelia. Dan tentu saja Sovelia tahu siapa saja orang yang hidup di sini, termasuk semua pikiran mereka,” jawab Sovelia yang kini menyentuh dada Philip dengan telunjuknya. “Seperti yang Sovelia katakan sebelumnya, Sovelia akan membantu Philip menemukan jawaban tentang ‘senyuman’ sebagai permintaan maaf karena Potte mengacau."

"Tunggu! Apa?"

"Sovelia akan membawa Philip ke mimpi buruk seperti yang Philip katakan sebelumnya. Dunia tanpa senyuman."

Cahaya yang sangat menyilaukan muncul dari telapak tangan kiri sang penyihir. Tubuh anak laki-laki itu lemas, seolah terbawa pada aliran tenang yang membawanya ke kesunyian. Tubuh Philip seolah mengambang di udara sebelum akhirnya ia terjatuh pada alam mimpi.

***

Philip membuka mata dengan napas yang terengah-engah. Ia linglung. Kepalanya terasa sangat berat, terlebih angin lembut dari celah jendela kamar seolah menjadi perekat antara pipinya dan permukaan mejanya.

"Sudah kuduga jika itu hanyalah mimpi. Lagipula, mana mungkin di dunia ini ada penyihir?" gumam Philip seraya memutar kepala dan menjadikan dagu sebagai tumpuan. “Sepertinya aku terlalu lama tidur siang.”

Ia mengamati pantulan cahaya jingga pot bunga di sampingnya, jam beker menunjuk tepat pukul empat, dan hal yang telah ia lakukan sebelum ia tidur lelap. Anak laki-laki itu memakai kacamatanya dan bangkit, keluar dari kamar sembari mencari jalan keluar dari rumitnya benang dalam pikirannya.

Anak tangga berdecit kala kaki Philip menginjaknya satu per satu. Sunyi. Itulah yang baru ia sadari ketika hampir mencapai lantai dasar. Tidak ada suara tawa anak-anak maupun kericuhan dari dapur ketika Nenek Nahia memasak. Satu-satunya petunjuk yang ia ingat adalah hari ini adalah ulang tahun Eila. Maka dari itu, ia berpikir jika semua orang tengah berada di luar atau tengah bersembunyi sebelum mengeksekusi kejutan. Sayangnya, tidak ada satupun dari pikiran Philip yang tepat sasaran.

Anak-anak panti duduk dengan tatapan kosong kala anak berkacamata itu tiba di ruang tengah sementara Eila duduk dan mendekap kakinya di sudut ruangan. Aura kehidupan yang biasanya melantun dari diri mereka seolah direnggut oleh entitas tak diketahui. Kesedihan menetes dari mata mereka, membuat dada Philip sesak. Kebingungan yang sebelumnya menguasai anak laki-laki itu perlahan tergantikan oleh rasa takut.

Philip melangkah mundur dan terjatuh. Kala suara pintu terdengar, anak laki-laki itu berlari ke pintu depan panti dan memeluk wanita tua dari belakang. Erat dan semakin erat.

"Apa yang telah terjadi, Nek? Apa yang terjadi? Kenapa mereka menjadi seperti itu? Jika ini lelucon, ini tidak lucu, Nek!"

“Ada apa, Philip? Kau tidak seperti biasanya.” Dengan lembut wanita bungkuk itu melepaskan dekapan anak laki-laki tersebut. “Bisakah kau jelaskan kepada Nenek?”

“Semuanya! Semuanya terdiam. Sesuatu sedang ter—”

Philip berhenti berkata saat melihat mimik wajah Nenek Nahia. Tanpa senyum, tanpa binar di mata, dan tanpa ada sedikitpun emosi yang tergurat. Ketulusan yang selalu terpatri pada wajah keriputnya telah menghilang. Ini bukanlah dunia tempat anak laki-laki itu hidup.

“Kau baik-baik saja, Nak?”

Ketakukan kini benar-benar menjalar ke seluruh tubuhnya. Telinganya berdengung, tak mampu mendengar sepatah katapun dari orang yang paling dihormati di panti itu. Semuanya terasa kelu baginya, bak seluruh indra untuk merasakan dunia telah direnggut. Yang mampu anak laki-laki itu rasakan hanyalah bulu kuduk yang meremang.

Dengan panik, Philip meninggalkan Nenek Nahia dan berlari keluar dari panti asuhan. Ia membuka gerbang panti dan berlari sekuat tenaga menuju tempat penyihir itu. Ia harus menemui Sovelia. Dunia tidak boleh berubah seperti ini.

Jalanan yang dilaluinya berputar-putar bak kekalutan di benaknya. Secepat apapun Philip melangkah, ia selalu kembali ke tempat yang sama, gerbang panti asuhan. Dua, tiga, lima, tujuh, dan sembilan putaran masih berakhir sama. Penyihir itu mempermainkannya.

Pandangan Philip perlahan menjadi gelap. Tubuhnya seketika lemas dan siap untuk terkapar tak berdaya. Ia berbaring di depan gerbang dan melihat langit jingga yang mulai bercampur dengan warna keunguan yang janggal.

Di detik-detik ia akan kehilangan kesadaran, ia pun menyadari jika kejanggalan yang tengah terjadi adalah jawaban dari pertanyaan yang selalu menghantuinya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top