Berat

· · ─────── · ─────── · ·

Berat
© Swanrovstte_11

Chara:
Miya Osamu; Haikyuu!! © Haruichi Furudate
Hashigawa Koraru (OC) © Swanrovstte_11

Genre:
Romance, Fluff, Hurt/comfort

Word: 2k+

· · ─────── · ─────── · ·

Jemari menyapu lembut permukaan pipi gembul itu, bibir tak mampu menahan senyuman tipis di paras. Kekehan kecil lolos ketika mendengar suara sang empunya menyebut nama makanan dalam tidur. Sungguh, helaian hitam ini cukup menggangguku untuk melihat paras manis yang mengisi pikiran dan hati. Di satu sisi, aku menyukai mahkota hitam itu.

Hashigawa Koraru.

Dia memiliki paras manis. Pipinya tembem, bulu mata panjang dan lentik, hidung mancung dan bibir kecil. Bukan bentuk wajah yang mampu memikat seluruh orang seperti artis, tetapi tidak menutup fakta bahwa dia imut dibanding cantik. Haha, sejak kapan aku menaruh rasa ini dan menjalinkan hubungan dengannya? Padahal, di mataku dulu, dia hanyalah gentong berjalan yang tidak mampu berdiri tegak.

Benar, gentong yang selalu menunduk dan tidak berani menatap siapapun di sekitarnya. Hawa negatif berkobaran, tubuh besar kentara tegang ketika dikelilingi oleh orang. Beberapa kali, aku mampu melihat bekas luka di tubuh. Sungguh, aku mempertanyakan, kenapa pula dia sampai seperti itu? Lagian, bukannya teman-temannya itu hanya bermain dan tidak sengaja membuat dia jatuh?

Awal dari pertanyaan yang tidak pernah aku pahami jawaban itu perlahan memperbanyak kata "pertama" dilalui bersamanya. Huh, aku tak mampu menahan diri namun mengingat kembali momentum yang tidak mungkin aku lupa.

Pertama kali bertemu.

Kala kaki menginjak perkerasan rumah, mataku langsung mampu menangkap sosok asing duduk di sofa. Sepasang suami istri yang berbincang bersama orang tuaku, seorang anak yang kukira seumuran denganku karena ukuran tubuh. Sejujurnya jarang aku melihat eksistensi sebesar itu, baik aku maupun Tsumu. Tetapi sepertinya karena Tsumu bodoh, aku juga ikut menambah luka di hatimu.

"Kaachan! Kok dia gemuk sekali?" Aku setuju dengannya. Aku memutuskan untuk tidak membuka suara terlebih dahulu. Memastikan apa yang akan direspon oleh ibu.

"Atsumu! Minta maaf! Mohon maaf Hashigawa-san, anak saya sungguh tidak memiliki etiket." Aku dapat melihat ibu membungkuk dalam guna minta maaf atas ucapan Atsumu. Kenapa Ibuku meminta maaf? Bukankah dia memang nyata seperti itu?

Hashigawa-jiisan hanya melepas kekehan geli, melirik ke arah gadis itu, anak mereka, sebelum tertuju kembali pada kami. "Haha, tidak apa-apa. Anakmu kembar dan lucu," pujinya, "halo, Atsumu-kun dan Osamu-kun, ini anak bungsuku, Hashigawa Koraru."

"Mohon bantuannya untuk kedepannya ya, Atsumu-kun, Osamu-kun," ucap Ibu Koraru, aku hanya mengangguk kecil dan memutuskan untuk beranjak dari tempat ini agar bisa mandi dan makan onigiri yang dijanjikan oleh Ibu.

Tidak lupa aku memandang Koraru sesaat sebelum melempar ucapan salam formalitas, "Aku Osamu, salam kenal, Hashigawa-chan."

"Aku Atsumu, Gembul-chan!"

Atsumu memang tidak pernah berubah, tidak berotak seperti biasanya. Padahal, jelas-jelas ibu sudah memarahinya tadi, malah diulangi lagi. Tentu, langsung mendapatkan jitakan cinta. Aku tidak ingin berlama-lama, akhirnya benar-benar pergi ke kamarku. Saat aku naik tangga bersama Atsumu, aku mendengar sekilas percakapan mereka.

"Maaf ya. Mohon bantuannya untuk ke depannya, anakku sedikit lebih pendiam dan pemurung karena sempat terjadi hal tidak mengenakan di sekolah sebelumnya."

Sungguh, aku penasaran, apa yang membuatmu menjadi sosok pemurung dan pendiam itu?

Pertama kali melihat masa kelammu.

Pagi ini aku merasakan firasat buruk ketika bertemu dengan Koraru, penawaran pergi ke sekolah bersama ditolak mentah tanpa berucap kata apapun. Aku hanya mampu melihat punggungmu menjauh dengan lari kecil. Di saat itu, aku tidak mempermasalahkan ditolak atau diterima, sebab, hal yang dilakukan nyatanya formalitas.

Baik aku maupun Atsumu saja diejek karena berjalan denganmu. Seharusnya kami yang menghindarimu, kan?

Langkah kakiku membawaku berdasarkan insting. Sesekali, aku mengembuskan napas kasar karena hati yang tidak mendapatkan ketenangan. Setiap perasaan seperti ini ada, maka hal buruk selalu terjadi. Tangan berpindah ke mahkota cokelat, mengacak pelan sebelum mendengar hiruk pikuk dari arah gudang olahraga umum sekolah. Aku menaikan sebelah alis, kentara ingat gudang ini adalah gudang lama yang tidak pernah digunakan. Siapa pula yang akan menghabiskan waktu di sini? Gudang yang jauh dari gedung utama.

"Kenapa kau harus pakai baju kalau misalnya lemakmu sebanyak itu?"

"Haha, aku kalau memiliki badan seperti ini aku akan menghilang dari muka bumi saja."

"Lihat wajahmu yang besar, lemakmu yang banyak, benar-benar bikin muak."

Semua bahasa yang dilontarkan oleh mereka tidak ada satupun yang sanggup kudengar lebih jauh. Dalam lubuk hati, aku tidak tahu harus menolong atau membiarkan. Ragu, tangan mendorong pintu. Mata langsung menangkap adegan yang tak pernah aku duga sama sekali. Sosok gadis bermahkota hitam duduk bersandar ke dinding, kepala menunduk dan seluruh bajunya basah. Tepung terigu terlihat berserak di lantai.

Plak.

Kedua mataku membelalak lebar ketika salah seorang menjambak mahkota hitam yang kelam dan mendaratkan telapak tangan di pipi tak berdosa tersebut. Namun, yang jauh membuatku terkejut adalah sorot mata Koraru. Bukan tatapan kosong atau rasa takut, sorot itu jauh lebih tegas, menantang, dan amarah bercampur aduk.

"Padahal kau tidak pernah melawan, tetapi matamu ini selalu menyebalkan, Hashigawa."

Dorongan pintuku ternyata tidak membuat mereka sadar bahwa aku sudah berada di belakang mereka. Mau tidak mau aku membuka suara, "Apa yang kalian lakukan?"

Seketika, ruangan itu hening. Seluruh orang menaruh pandangan padaku. Pandangan mengedar ke seluruh tempat, menganalisis keadaan sekitar dan menghafal wajah-wajah pelaku sebelum lurus tertuju pada Koraru. Ini pertama kalinya, aku memandang lurus ke bola mata hitam kelam, tetapi di satu sisi seperti berlian indah.

Tak butuh aku minta, semua beranjak keluar dari ruangan ini dengan cepat, meninggalkan aku dan Koraru di ruangan pengap tak memiliki sirkulasi udara baik. Baik aku maupun dia tidak ada yang membuka suara. Dia masih duduk di lantai dan bersandar ke dinding, napas tenang namun tak beraturan, seketika memancingku melempar pertanyaan, "Apakah kau selalu diperlakukan seperti ini?"

"Terima kasih, Miya-senpai. Aku akan membersihkan sisanya," ucapnya sembari bangkit berdiri dan membungkuk kepadaku. Tunggu, bukankah responnya lari dari pertanyaanku? Apakah mungkin otaknya tidak sebaik itu untuk menjawab pertanyaan?

Tubuh memperlihatkan berbagai memar, kaki tidak seperti dalam kondisi mampu menjaga keseimbangan sukses membuatku khawatir. Kedua mataku terus mengikuti pergerakannya mulai membersihkan kotoran ruangan. Seketika aku sadar beberapa hal yang aneh dari paras itu. Pucat pasi dan tidak seperti memiliki semangat hidup. Terlebih lagi, dia seperti kelihatan lebih kurusan sedikit?

"Hashiga--"

Belum selesai aku memanggil, gadis itu memejamkan matanya dan jatuh membentur lantai yang masih belum kunjung bersih. Jantung terasa berhenti seketika, pertama kali, aku melihat sosok itu jatuh dan tak berdaya. Aku tidak pernah tahu, dia selemah ini.

Pertama kali rasa bersalah melanda.

Sudah tiga hari lamanya Koraru menginap di rumah sakit. Keadaan mental juga perlahan lebih banyak, hanya saja wajah pucat pasi masih belum kunjung pergi. Makan pun tidak ada satupun yang dihabiskan, itu membuat ibu khawatir berat. Jelas-jelas anak tetangga, tetapi kayaknya malah lebih disayang daripada anak sendiri.

Tangan menggeser pintu kamar penginapan rumah sakit. Mata langsung tertuju pada Koraru, tampak sedang merenungi sesuatu sampai-sampai tidak menyadari kehadirannya. Daripada kerasukan, maka aku memutuskan untuk membuka suara, "Hashigawa-san."

Koraru menoleh, tanpa aku sadari, aku menegang sesaat. Ini kesekian kalinya mata kami langsung bertemu, tetapi aku masih belum terbiasa dengan sorot pandangan yang tajam dan tegas itu. Sejak kapan, dia sudah seperti ini? Aku ingat, dulu dia masih membungkuk dan menunduk, tidak ingin berbicara dengan siapapun. "Terima kasih," ucapnya, lembut.

"Hashigawa-jiisan dan Hashigawa-baasan sedang mengurusi berkas keluar dari rumah sakit. Kaachan memintaku menjenguk sebelum pulang," jelasku, walau di kalimat akhir adalah bohong, "bagaimana keadaanmu?"

"Sudah lebih baik," jawab Koraru singkat.

Aku hanya mengembuskan napas pelan karena tidak tahu harus melanjutkan kata-kata lagi. Namun, aku tetap mencoba untuk mengingatkannya mengenai makan. Sebab, saat dia masuk rumah sakit, dokter menyampaikan bahwa dia sudah mengosongkan perut selama beberapa hari dan akan terjadi hal fatal bila terus berkelanjutan. Untungnya, lebih cepat diatasi, hanya

saja porsi makan masih belum kunjung meningkat dari hari pertama.

"Jangan terus mengosongkan perut, setidaknya makanlah sesuai dengan porsi yang ada," tegurku, melirik ke arah makanan yang disentuh hanya beberapa sendok.

Koraru tidak langsung menjawab, seperti sedang meragukan beberapa hal. Aku cukup peka, karena pernah melihat kondisi terburuknya di kala itu, aku mengetahui apa yang menjadi kekhawatirannya. Aku sungguh, tidak tahu harus berbuat apa, apakah tidak ada cara agar orang diet dengan sehat?

Aku tahu ini bukan menjadi masalahku, tetapi entah kenapa, rasa bersalah itu sukses melanda.

Pertama kali kau melawan.

Suara dentuman keras asal kelas Koraru menarik perhatian, saat itu, kegelisahanku langsung bangkit dan lari menuju ke kelas, membuka pintu. Baru saja aku buka pintu tersebut, seisi kelas bahkan tidak tertuju padaku, melainkan beberapa orang yang berulah di tengah. Padahal, hari ini hari pertama Koraru kembali bersekolah, tetapi sudah membuat ulah sebesar ini. Mana Hashigawa-jiisan dan baasan sedang berbicara dengan kepala sekolah mengenai permasalahan ini.

Meja berserakan, terlihat meja tumbang akibat tendangan seseorang. Koraru sendiri menjambak salah seorang yang tidak asing bagiku, orang yang mengganggu Koraru saat itu. Lantas, kala gadis lain ingin menyerang, Koraru melangkah mundur dan melepas jambakan. Kaki diangkat tinggi dan menendang tepat di perut. "Terus bertindak konyol, maka aku akan menjadikan kalian babi cincang," ucap Koraru, bibir melepas seringai halus, "kalian tahu kenapa aku tidak melawan? Karena aku merasa tidak perlu meladeni orang-orang konyol dan bodoh."

"Apa kau bilang---ugh!" Aku mampu menyadari beberapa orang terkapar karena merasakan rasa sakit akibat pukulan Koraru. Ini pertama kali, gadis itu melawan dan memperlihatkan ekspresi yang tegas dan menakutkan.

"Dengar, aku dirawat oleh orang tuaku selama belasan tahun bukan untuk diganggu," lanjut Koraru sembari melepas kekehan geli, "sentuh aku sekali lagi, aku akan membuat kalian masuk ke rumah sakit seperti yang kalian perbuat. Kalian hanya makhluk sampah yang tidak seberapa, paham?"

"Koraru!" Mulut refleks membuka dan memanggil nama sang gadis. Kaki membawaku melangkah ke depan dengan cepat, kemudian menarik pergelangan Koraru, mendekapnya, mengangkat kaki dan menendang sosok lelaki yang membawa senjata tajam. "Kepala sekolah sedang dalam perjalanan ke sini, aku harap berhenti sama di sini," ucap Osamu.

Tangan perlahan memberi kelonggaran, tidak lagi mendekapmu. Aku menunduk, mempertemukan pandang, sorot matamu benar indah hingga tak bosan untuk kupandang.

Pertama kali aku merasakan candu akan keberadaanmu.

"Osamu-san sekolah SMA di mana? Aku lupa," ucap gadis bermahkota hitam sembari membalikkan lembaran kertas buku di sampingku. Hashigawa Koraru, anak tetangga sekaligus teman ibu yang menjadi salah satu tanggung jawabku. Hmm, entah sejak kapan, melindunginya seketika terasa tanggung jawabku.

Walaupun Koraru sudah banyak berubah dari sifat sampai ke segi fisik, oh tentu saja berkatku membantunya diet. Agar dia segera membuang diet tidak sehat itu. Siapa pula yang diet tidak makan sarapan, cuma makan siang, kemudian malamnya tidak makan apapun. Konyol. Seperti menanti penyakit saja.

"Inarizaki, kenapa?" tanyaku.

Sejujurnya, aku sedikit senang dirinya bertanya. Mungkinkah dia akan mendaftarkan diri ke Inarizaki? Kemudian aku mampu menjaganya lagi, kami juga dapat berangkat ke sekolah bersama. Mengingat sudah menginjak beberapa bulan semenjak aku lulus SMP dan memasuki jenjang SMA.

"Tidak, aku lagi memasukan list sekolah yang tidak ingin aku masuki, salah satunya Inarizaki," jelas Koraru berhasil membuatku menatap dengan mata membelalak lebar.

Saliva kutelan diam-diam, menaikan sebelah alis kembali bertanya, "Kenapa?"

Tangan Koraru berhenti menarikan pensil di atas kertas, menoleh untuk menatapku. Bibir mengulas cengiran halus, "Aku akan terus merepotkanmu, Osamu-san. Aku bisa mandiri, kok."

"Masuk Inarizaki." Tanpa aku pikirkan dua kali, bibirku langsung berucap demikian, mengundang keterkejutan Koraru. Kedua alis berkedut, aku percaya wajahku menunjukkan raut wajah murka.

Kala waktu masih berlalu tak menanti manusia, aku menatap sosok gadis manis di hadapanku, memintanya untuk masuk ke sekolah yang sama.

Aku candu.

Pertama kali injak altar merah.

Alunan musik penyambutan, tepuk tangan meriah, suka yang terukir jelas baik di wajah keluarga maupun tamu, mataku terpikat olehmu yang berpenampilan indah. Gaun putih membungkus tubuhmu, wajahmu tertutup oleh kain putih. Samar, namun aku mampu membayangkan cantikmu di balik itu.

Sudah tujuh tahun lamanya, aku akhirnya mendapatkanmu secara resmi. Di atas altar merah kau jalan digandeng ayahmu, berdiri di hadapanku, menggandeng tanganku. Tanganmu yang mengurus semenjak pertama kali kita bertemu, begitu kecil tanganku sampai-sampai aku takut menyakitimu.

Hashigawa Koraru, gadis yang kuat dan mandiri. Yang pernah terpuruk, tetapi tidak pernah menyerah terhadap dirinya sendiri. Sosok yang awalnya tidak menarik perhatian justru perlahan menjadi sosok yang harus terus berada di sisiku. Ingin aku lindungi, berdiri di sampingnya, membahagiakannya.

Masih ingat? Kita berdua yang tidak mampu menyadari benih cinta. Kita berdua yang membohongi diri sendiri bahwa kita tidak saling mencintai. Kita berdua yang berucap teman, tapi nyatanya melebihi dari itu. Kita berdua yang selalu makan bersama, masa lalu, kini, dan depan. Aku siap.

Aku mengangkat kain putih yang menutup paras setelah menyematkan cincin pernikahan di jari manis. Wajahmu merona merah karena malu dan bahagia. Sama halnya denganku, terpesona dengan kecantikanmu. Tak peduli kau pernah gemuk atau menjadi bahan olokan, sampai saat ini aku terus tidak menyesali kau pernah menjadi demikian. Bukan karena kau pantas mendapatkan perlakuan buruk, tetapi kamu yang dululah menghasilkan kita yang sekarang.

Bibir bertemu bibir, kecupan itu lembut, dalam tanpa adanya nafsu. Murni, ciuman itu mengantarkan cinta, membagi kasih. Dalam lubuk mengikat janji akan bersama hingga akhir hayat menjemput.

Miya Osamu dan Miya Koraru.

Aku rasa, timbangan menyatukan kita, benar?

· · ─────── · ─────── · ·

Batam, 10 Oktober 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top