Technologia
"Halo Ciel? Hehe."
Sebuah sapaan yang diiringi kekehan terdengar lembut memasuki telinga seorang pemuda yang sedang berkutat di depan laptop. Ia menaruh ponselnya di meja dan mengaktifkan fitur loud speaker. Terlihat, ia menarik napas dulu sebelum mulai berbicara.
"Kenapa belum tidur, Za?" Pertanyaannya singkat, tapi dapat membuat gadis yang berada di seberang telepon terdiam sejenak.
Suara kekehan ringan kembali terdengar, sebelum akhirnya sebuah jawaban diberikan. "Aku 'kan baru selesai mengerjakan tugas, ini sudah selesai, kok," gadis itu menjeda, "Ciel sendiri kenapa belum tidur?"
"Aku masih mengerjakan laporan," jawab laki-laki itu kemudian menyenderkan tubuhnya pada kursi yang ia duduki. "Sekarang bersiaplah untuk tidur, Za," katanya lagi.
"Iya." Sebuah jawaban singkat yang ia dapat, terlebih dengan intonasi yang rendah. Jika sudah begini, Ciel tahu pasti apa yang terjadi pada gadisnya.
"Tidak bisa tidur lagi?"
Sebuah jawaban tepat sasaran, membuat gadis itu terkekeh kembali. Ia duduk di pinggiran kasur dan menyamankan posisi. "Iya, aku merasa tidak mengantuk," jawabnya kemudian.
"Mau sleep call?" tawar Ciel.
Gadis itu tersenyum, seolah sudah menantikan pertanyaan ini. "Mau," balasnya yang kemudian mengubah posisi menjadi tiduran.
Di malam itu, untuk ke sekian kalinya, mereka berbincang random di telepon. Dari pembahasan konyol sampai pembahasan serius. Telepon diakhiri ketika tak ada lagi suara yang menyahut, hanya tersisa hembusan napas yang teratur.
Kedua sudut bibir Ciel sedikit tertarik ke atas. Ia memutus sambungan telepon kemudian membereskan barang-barang yang ada di depannya. Setelahnya, ia beranjak menuju kamarnya.
~
"Halo? Tumben Ciel menelepon duluan."
"Kenapa memangnya?"
"Aku kira belum bangun."
"Aku yang seharusnya bicara begitu."
"Hahahaa."
Pagi baru saja menyambut, tetapi kedua anak manusia ini sudah sibuk bercengkrama melalui telepon. Memang bukan hal aneh bagi mereka berdua untuk menghabiskan sebagian besar waktu melalui telepon. Hal ini dikarenakan jarak tempat tinggal mereka yang terbilang cukup jauh.
"Sebentar, aku jadikan video call dulu," kata seorang gadis yang kemudian mengubah panggilan suara menjadi panggilan video. Kini ia tengah tersenyum lebar di depan ponselnya yang tersambung dengan Ciel.
"Kubilang tidak usah, Za," kata Ciel sambil menghela napas pelan.
"Tidak apa-apa, aku ingin lihat Ciel. Jadi, ada apa?" Florenza, gadis yang Ciel hubungi pagi ini. Tidak, memang hanya ialah gadis yang bisa Ciel hubungi. Gadis kesayangannya.
"Ayo main catur," ucap Ciel yang membuat Florenza terdiam.
"Tidak ada yang Ciel kerjakan hari ini?" tanya gadis itu heran. Karena biasanya Ciel selalu sibuk dan pekerjaannya menumpuk.
"Kukerjakan siang nanti." Jawaban dari Ciel tidak membuat Florenza puas. Terlihat dari ponselnya jika Florenza sedang menggembungkan pipinya.
"Ciel tahu aku tidak bisa bermain catur, tapi tetap diajak main." Setelah mengucapkan hal tersebut, pipi gadis itu kembali menggembung yang mana terlihat lucu di mata Ciel. Tentu saja laki-laki itu tidak akan mengakuinya.
"Aku tahu tidak ada yang kau kerjakan, Za," kata Ciel sambil menunjukkan senyuman miringnya. Florenza menghela napas lelah, kemudian ia bangkit dari duduknya.
"Sebentar, aku ambil laptop dulu," katanya. Setelah itu ia mengaktifkan laptopnya dan meletakkan ponsel-yang masih melakukan panggilan video-di dekat laptop.
"Di website yang biasa, ya." Florenza hanya mengangguk dan mulai mempersiapkan dirinya. Setelah melalui kesepakatan, dirinya mendapat buah catur berwarna putih sehingga dirinya bisa mengambil langkah pertama kali.
Langkah pertama telah diambil, kini giliran Ciel yang menggerakkan buah caturnya. Laki-laki itu memilih untuk menggerakkan kuda. Gilirannya untuk menggerakkan buah catur pun datang lagi, gadis itu terdiam sambil menatap lamat-lamat layar laptopnya. memikirkan langkah apa yang harus ia ambil agar dapat mengalahkan Ciel, atau setidaknya mempertahankan raja miliknya.
Jika boleh jujur, gadis itu ingin berteriak saja rasanya. Ia lebih memilih untuk mengerjakan setumpuk soal matematika atau fisika daripada bermain catur seperti ini. Bahkan, jika mereka bermain secara langsung pun, gadis itu bisa saja langsung membalik papan catur tersebut.
Satu langkah telah ia berikan, kemudian Ciel lalu kembali padanya. Sejujurnya, ia hanya asal menggerakkan buah catur miliknya. bahkan tak jarang Ciel menegurnya karena salah menggerakkan buah catur. Dalam riwayat hidupnya, gadis itu tak pernah sekalipun menang dalam permainan ini. Terlebih lawannya adalah Ciel.
"Checkmate."
Satu kata yang terdengar dari ponselnya, membuat gadis itu melotot. Ia memperhatikan layar di depannya yang menyatakan bahwa dirinya kalah. Bahkan ia bingung bagaimana bisa dirinya kalah.
Pandangannya langsung teralih pada layar ponsel di sebelah laptopnya. "Bagaimana bisa?"
"Rajamu sudah kulengserkan," kata Ciel santai. Smirk tipis ia tampilkan dari seberang sana.
"Aku masih belum mengerti," kata Florenza yang kini sedang memperhatikan layar laptopnya.
"Ayo main lagi," ucap Ciel lalu memulai game baru.
Belum lama mereka main, Ciel sudah mendapatkan 'skakmat'-nya. Bahkan berulang kali pun permainan di-restart, tetap hanya Ciel seorang yang mendapatkan skakmat.
"Stop, stop!" teriak Florenza yang sepertinya sudah tidak sanggup untuk melanjutkan permainan.
"Kenapa? Ayo, lanjut lagi," balas Ciel dengan santainya.
"Gak mau. Aku kalah terus," jawab Florenza sambil menatap malas ke arah ponselnya.
"Dicoba lagi, Za, pasti bisa," ujar Ciel yang masih mencoba membujuk gadisnya agar mau bermain lagi.
Sementara gadis itu hanya menggeleng, raut wajahnya pun sudah masam. "Aku lelah," katanya. "Lagipula, jika Ciel punya waktu seluang ini, lebih baik Ciel urus dokumen-dokumen yang menumpuk. Pasti sudah berdebu." Gadis itu menjelaskan.
"Dokumennya tinggal sedikit, lagipula aku juga lelah mengerjakan semua dokumen-dokumen itu," ujar Ciel yang terlihat tengah menopang dagu dengan sebelah tangannya.
Florenza menghela napas pelan, kemudian membalas, "Kalau lelah, istirahat. Aku tahu sebenarnya Ciel hanya ingin bersenang-senang 'kan melihatku kalah terus?" ungkap gadis itu sembari menatap datar ke arah ponselnya.
"Hmm, mungkin?" balas Ciel sekenanya.
Lagi-lagi hanya helaan napas yang dapat gadis itu lakukan. "Sekarang sudah agak siang, sudah masuk tea time. jadi, Ciel bisa benar-benar istirahat dulu di rumah," ucap Florenza yang kini ekspresinya melembut. "Aku juga akan istirahat. Besok aku main ke sana, ya?"
Ciel menggeleng. "Tidak perlu. Biar aku saja yang ke sana," katanya. "Baiklah, istirahat, Za. Jangan melewati makan siangmu." Ciel berpesan pada gadisnya.
"Iyaa."
"Don't skip your lunch, Za," ulang Ciel penuh penekanan.
Gadisnya hanya terkekeh, kemudian ia mengangguk. "Iya, iyaa. Ciel juga jangan lupa makan."
Ciel hanya mengangguk, walau ia tetap was-was jika gadis yang satu ini melanggar ucapannya. Karena tak sekali dua kali Florenza melewati makan siangnya.
"Ya sudah, kuputus ya sabungannya. Ponselku sudah panas," kata gadis itu yang segera memutus sambungan saat Ciel sudah mengangguk.
Walaupun jarak memisahkan, setidaknya mereka bersyukur dapat tetap merasa dekat. Dapat tetap saling terhubung dan mengetahui keadaan masing-masing dari jauh. Sampai saat mereka dapat bertemu lagi secara langsung, tak ada yang perlu dikhawatirkan.
F i n
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top