49. Lost In You
'I can tell you there's no place we couldn't go. Just put your hand on the past, I'm here tryin' to pull you through.'
-Justin Timberlake-
***
Di sinilah Alexia, duduk bersila membentuk formasi lingkaran besar di sebuah aula. Sebelum diperbolehkan pulang, dia menjalani terapi kelompok bersama beberapa survivor yang menderita hal serupa dengannya. Dulu, Alexia selalu menghindari kegiatan saling memberi dukungan sebab merasa malu jikalau mereka mengetahui skater andalan mereka punya obsesi aneh terhadap berat badan.
Kenyataannya berbanding terbalik. Ketika Alexia mendapat giliran bercerita sebagai salah satu terapi yang diterapkan di sini, tidak ada satu pun yang menghujat. Bagai menemukan setitik kirana di antara sisi kehidupannya yang kelam, mereka merangkul dan menggenggam erat tangan sembari bertitah jangan sampai mimpi Alexia sebagai skater berhenti.
Tentu hal tersebut mengundang gerombolan air mata sebelum akhirnya pecah membasahi pipi. Sejak remaja hingga sekarang, tidak pernah sekali pun Alexia menemukan tempat berkeluh kesah mengenai insiden pembulian di sekolah. Dia juga tidak pernah mendapatkan dukungan mental semenjak orang tuanya bercerai dan harus mengurusi adik juga Nancy selama masa-masa terpuruk mereka.
"Terima kasih sudah bercerita kepada kami, Alexia," ujar Carolina-wanita paruh baya yang mengenakan kacamata kotak-relawan yang memimpin sesi terapi. "Kau sangat hebat sudah bertahan sejauh ini dan kami benar-benar berterimakasih kau masih bertahan, Nak. Pesanku adalah ... sebesar ada pun masalah selalu ada jalan keluar. Jangan pernah merasa sendirian, oke? Kau punya teman, adik, kekasih, bahkan ibu. Walau terkadang selalu ada perdebatan antara orang tua dan anak. Itu wajar. Lebih baik bercerita meski banyak air mata yang bakal mengiringinya, lebih baik cerita meski lidahmu kaku berkata-kata, lebih baik bercerita daripada mereka menemukanmu tinggal nama."
"Bunuh diri?" Sahut seorang remaja laki-laki di seberang kanan Alexia.
Carolina melenggut. "Perpisahan menyakitkan adalah kematian yang dipaksakan. Jangan mencicipi kematian karena itu bukan akhir perjalanan manusia."
"Ya, kau benar. Ryder pun berkata seperti itu," kata Alexia malu-malu.
"Sudah kuduga sejak kalian debut sebagai pairs, kalian berdua pasangan yang cocok dan sialan sempurna," komentar gadis berambut ikal di depan Alexia. "Aku senang Ryder menemukan senyumnya lagi begitu juga kau, Lex."
"Kalian saling mengisi," sahut Carolina bersimpati. "Tuhan tidak akan membiarkan manusia sendirian selama memiliki secercah harapan, teman-teman. Jangan pernah merasa sendiri, oke?"
Bibir Alexia mengulum senyum merasa sebagian besar beban yang menggelayuti pundaknya perlahan-lahan pupus. Dia berpaling ke arah jendela, di mana pendar mentari lebih semangat menyambut musim semi.
"Kau tak akan hiatus karena masalah ini kan?" Carolina membuyarkan lamunan Alexia.
Gadis itu menggeleng pelan, "Tidak. Skating adalah belahan jiwaku dan tidak akan kubiarkan mereka mematikan angan yang kubangun sejak kecil."
"Kalau begitu, jangan pernah melewatkan obatmu, Alexia. Kami percaya kau akan bersinar lagi bersama Ryder. Kami menunggumu tampil di turnamen mendatang."
"I promise."
###
"Kau tidak menyuruhku melalukan hal-hal aneh kan?" Alexia berjalan perlahan-lahan manakala kedua matanya ditutup kain oleh Jhonny.
"Tidak. Kalaupun iya, aku lebih suka menguncimu di rumah hantu, Lex," canda Jhonny lantas menyiratkan ketiga teman Alexia bersiap-siap meniup terompet, sementara tiga pria lain memegang party popper. "Satu, dua ... tiga."
Lengkingan suara terompet juga letupan party popper melontarkan kertas-kertas kecil beraneka warna mengejutkan Alexia begitu kain yang menutup mata terlepas. Dia membeliak mendapati teman-temannya datang menyambut kepulangannya dari rumah sakit. Tapi yang lebih mengagetkannya lagi adalah kehadiran pria yang berdiri di ujung belakang mereka.
Pria yang mengenakan celana jeans dipadu bersama atasan putih di sana tengah menyunggingkan seulas senyum penuh kerinduan. Sorot iris hijaunya tampak teduh menenangkan jiwa walau kini penampilannya dihiasi bewok tipis di rahang tegasnya. Namun, hal itu tidak mengurangi daya pikat justru kian menarik atensi. Dia-di sana-merentangkan tangan manakala Alexia berseru,
"Ryder!"
Riuh di sekitar dua insan tersebut seketika membeku saat Alexia melompat dan menghamburkan diri ke dalam dekapan Ryder. Jutaan rindu yang terpendam sejak insiden penangkapan Ryder kini meledak bagai bunga api menyemburkan binar menemani gemintang di cakrawala. Dihidu dalam-dalam harum leather bercampur tonka yang menguar dari tubuh Ryder. Favoritnya. Heroinnya.
Sejenak, dia bergerak mundur, menangkup wajah Ryder kemudian meniti setiap inci kulit hangat dan kasarnya cambang di rahangnya. Ini terlampau nyata. Dia bukan mimpi. Bukan pula fatamorgana sesaat di mana hatinya memelas menanti kepastian terkait hasil sidang juri yang dijalani Ryder.
"You come home," bisik Alexia dengan suara bergetar nyaris meluruhkan kristal bening yang bergerombol di pelupuk mata.
"Yeah. You. My home," balas Ryder mengecup bibir Alexia. "I miss you, Little love."
Disambut ciuman tersebut penuh sukacita, mencecap setiap rasa yang diberikan oleh pria yang bertaruh harga diri juga karier yang baru dijejakinya. Ada rindu tanpa ujung masih terselip di lidah, ada percikan gairah yang tak padam sebanyak apa pun keraguannya pada Ryder, dan ada cinta tanpa batas yang kian lama kian menggelora seiring pembuktian lelaki itu padanya.
Bahwa dia tidak sendiri.
Bahwa dia layak dicintai sepenuh hati.
Bahwa ada orang yang mau memberinya hati tanpa pamrih.
"Jadi, sampai kapan kalian berciuman, huh?" Suara Freddie membuyarkan aksi sejoli tersebut.
Alexia melepas pagutan mesra itu lalu menenggelamkan diri ke ceruk leher Ryder karena salah tingkah. Dia tergelak lalu berkata lirih, "I miss you, Ice prince."
"I know."
Mereka menghabiskan sisa hari ditemani jamuan yang pastinya sudah diatur oleh para gadis-gadis. Ryder mengiris steik menjadi potongan kecil kemudian menukarnya dengan milik Alexia selagi bercerita mengenai hasil persidangan. Tindakan kecil itu dihadiahi Alexia dengan ciuman singkat di pipi, "Thanks."
Ryder mengangguk pelan meneruskan ceritanya, "Tadinya aku tidak berekspektasi tinggi mengingat Thomas pintar bersilat lidah. Bahkan di saat-saat terakhir dia masih membantah sanggahan pengacaraku."
"Sedari dulu kan memang begitu, makanya aku tidak seberapa suka dengan tabiat Thomas," sahut Albert melahap irisan steik begitu lahap.
"Baru sadarkah kita kalau dia narsistik?" timpal Steve. "Dia perlu psikiater."
"Narsistik tidak bisa diobati. Mereka perlu dijemput karma dan hukuman sosial," komentar Jhonny.
"Setidaknya petisi, dukungan penggemar, pejabat Golden Skate, dan perwakilan asosiasi skating akhirnya membungkam Thomas," kata Poppy.
"Dan Nancy," timpal Norah membuat Alexia mengerut tak paham.
"Ibuku?" Alexia melirik Jhonny. "Apa benar Mom datang, Jo?"
Yang ditanya mengangguk-anggukan kepala dalam diam. "Sepertinya dia sudah sadar dari ambisinya," komentar Jhonny dengan suara datar. "Aku juga tidak menyangka dia tiba-tiba hadir, mengatakan kalau terpengaruh oleh janji-janji Thomas."
"Membawa medali emas," kata Alexia dan Ryder kompak.
"Ucapan basi," omel Freddie geleng-geleng kepala. "Tanpa janji itu, kalau kita berusaha secara wajar pun emas bakal datang."
"Kau sendiri dapat perak kemarin," cibir Steve,"karena tergelincir di pertengahan."
Freddie hanya memutar mata tanpa menanggapi komentar Steve.
"Jadi, semua juri hampir mendukung penuh tindakan Ryder sebagai alasan pembelaan diri. Sisanya dua orang, aku yakin otaknya agak tidak berguna," gerutu Jhonny menyesap red wine.
"Sudahlah, yang terpenting nama baik Ryder kembali, Bung," sahut Steve. "Kau tetap ikut kompetisi kan?"
"Dokter-"
"Aku tetap ikut, masih ada waktu latihan sambil menjalani pengobatan," Alexia menyela kalimat Ryder seraya mengunyah steik. "Aku tidak mau mundur meski kakiku patah."
"Apa kau sudah membicarakan ini dengan pimpinan Golden Skate?" Ryder memiringkan kepala berusaha mencari kemungkinan ada rahasia lain yang disembunyikan Alexia. Menurutnya, saat ini kompetisi menjadi opsi terakhir. Yang terpenting adalah kondisi kekasihnya membaik dulu secara fisik dan mental.
"Ya. Mereka menemuiku bersama ayahmu, Ryder," jawab Alexia tanpa menyembunyikan apa pun. "Aku tidak mau mundur."
"Kalau begitu kami akan mengawasi pengobatanmu, Lex," timpal Poppy. "Kami mendukung apa pun keputusanmu, Babe."
"Hei, itu tugasku sebagai adiknya," protes Jhonny.
"Tugas kita semua," sambung Ryder menggenggam tangan Alexia dan memberinya kecupan.
Gadis itu melenggut sembari mengulum senyum haru. "Terima kasih untuk segalanya."
"Terima kasih sudah bertahan untuk kami," kata Ryder lalu mencium bibir Alexia lagi.
###
Thomas Cook Didepak, Siapakah Sosok Baru yang Akan Membawa Kejayaan Bagi Pasangan Skater Ryder-Alexia?
Drama di Golden Skate, Thomas Cook Dipecat Menjelang Penampilan Perdana Ryder-Alexia di British Championship!
Pecat Pelatih, Akankah Alexia Ross Mengajukan Hiatus?
Pemberitaan mengenai Alexia belum juga surut selepas pimpinan klub mengumumkan secara resmi pemberhentian Thomas sebagai pelatih. Tidak hanya itu saja, Dewan Pelatih Figure Skating Inggris menskorsing sampai lima tahun mendatang sebagai konsekuensi atas skandal yang menjerat namanya.
Kalah suara walau membela hingga berdarah-darah, Thomas akhirnya memberi klarifikasi bahwa tindakannya tersebut semata-mata melampiaskan sakit hatinya semasa menjadi atlet. Dia mengemukakan jikalau pernah berada di posisi Alexia sampai harus mengalami penurunan berat badan lima belas kilogram dalam dua bulan. Kendati demikian, masih banyak orang yang tetap menuduh Thomas sebagai pria manipulatif dan egois terlepas dedikasinya terhadap Golden Skate.
Harold777 : Tetap saja itu bukan alasan dasar menyiksa Alexia. Bilang saja mentalmu belum cukup kuat sebagai pelatih, Tom.
"Hei."
Ryder yang baru kembali dari kamar mandi membuyarkan aktivitas Alexia membaca ribuan komentar tentang dirinya. Alexia mendongak, kontan bola matanya membola mendapati Ryder hanya mengenakan handuk yang melingkari pinggang yang sialan ....
Oh my God ...
Rambut Ryder yang mulai memanjang tampak basah sedangkan kulitnya mengeluarkan aroma sabun menggoda indera penciuman Alexia. Jujur saja, dia belum terbiasa melihat Ryder setengah telanjang walau beberapa percintaan panas telah dilalui. Hingga tanpa sadar, mulut Alexia setengah terbuka mengagumi bentuk tubuh Ryder yang sialan, sialan, dan sialan sempurna.
"Aku suka tatomu," puji gadis itu terdengar serak dan berusaha menelan ludah walau agak susah. Dia berusaha tidak meneteskan air liur memuja riak-riak otot Ryder yang sangat ingin dijamah. Atensinya berhenti di iga sebelah kiri di mana ada angka 224 terukir secara horizontal. "Seingatku terakhir kali kita ... ehm ... bercinta, kau belum punya tato itu. Apa arti angka-angka di sana?"
Ryder menunduk lantas menunjuk angka 224 yang agak kemerahan sebab baru terpatri tak lama selepas keluar dari tahanan. Lagi-lagi dia ingin mengabadikan sebagian perjalanan hidupnya dalam tinta yang menggores lapis demi lapis kulit tannya. "224? Hari ini. Besok. Selamanya. Tato untukmu."
"Untukku?" Alexia menunjuk dirinya sendiri dengan ekspresi tercengang lalu muncul seulas senyum malu-malu di wajahnya.
Ryder mengangguk seraya menghampiri lemari dan mengambil sweatpants abu-abu.
"Punggungmu?" Alexia menuding ukiran lain di sana, di mana ada tato bergambar ular yang melilit setangkai mawar tercetak di sepanjang tulang punggung Ryder. "Apa itu juga baru?"
"Ya." Ryder menanggalkan handuk tanpa malu kalau di belakangnya menggigit bibir bawahnya mengamati lekuk tubuh juga pantatnya yang keras dan bulat menggiurkan. Seraya mengenakan celana panjang tersebut, Ryder berbalik dan berkata, "Ross. Bagiku nama belakangmu mencerminkan bunga mawar. Ular adalah aku yang terlena oleh pesonamu. Walau berduri, nyatanya kau godaan terbesarku saat ini Alexia Ross."
Oh fuck ...
Entah ini pemikiran Alexia sendiri atau bukan, entah kenapa suasana di kamar Ryder mendadak begitu panas membakar permukaan kulitnya. Dia tak mampu berkedip pun tak sanggup meredam dentuman dadanya yang bertalu-talu saat lelaki itu merangkak naik ke atas ranjang. Tanpa memutuskan kontak mata, Ryder memiringkan kepala tuk menghadiahi ciuman lembut di bibir Alexia lantas berbisik, "I'm lost in you, Little love. There's no way for me to get out."
"Then, I drown for you, Ice prince, and nobody can save me." Alexia membelai bibir Ryder selagi napas mereka saling beradu menyapu pipi. Sesaat Alexia berpaling ke arah tulang selangka lelakinya, meraba huruf rune lalu ke angka 999 di bawah ketiak kanan Ryder.
"Dan ini?"
Ryder mendudukkan diri di depan Alexia, menarik tangan gadis itu meraba lebih dekat tato-tato lama sebagai penghormatannya kepada Cherry. "Kekuatan, pelajaran hidup, keseimbangan, ketidakadilan, cinta,karma, delusi. Itu arti alpabet rune. Aku mengukirnya ketika pulang dari terapi."
"Terapi?" Alexia menatap iris mata Ryder.
Lelaki itu melenggut pelan. "Ingat kan ketika aku bilang aku agak kacau?"
Alexia mengiyakan.
"Aku menemui terapisku sekaligus dosenku di kampus. Namanya Denny Collins," kata Ryder.
"Wait ... kau mengambil jurusan psikologi?" Alexia memiringkan kepala karena baru tahun bahwa Ryder menempuh pendidikan kesehatan jiwa.
"Tentu. Sialnya, aku tidak bisa mengobati kejiwaanku sendiri," ledek Ryder pada diri sendiri menimbulkan gelak tawa di bibir Alexia. Lelaki itu menautkan jemarinya ke sela-sela jari Alexia kemudian mencium penuh kasih sayang. "Sejak kecelakaan sampai kita berdua bertengkar saat itu, Denny yang membantuku mengatasi traumaku. Walau sudah tiga tahun berlalu bahkan sekarang menginjak tahun keempat, aku masih dibayang-bayangi kematian Cherry. Aku merasa tidak pernah pantas hidup di dunia ketika dia dibuai kematian, Lex. Aku merasa Tuhan tidak pernah adil saat seharusnya aku yang tewas bukan dia."
"Itu bukan salahmu, Ryder," tukas Alexia membelai pipi Ryder. "Kematian adalah misteri. Kita tidak mampu memprediksi kapan ajal menjemput."
"Aku tahu. Hanya saja ... kemarahanku yang membuat segalanya buruk. Jikalau saat itu aku membiarkannya pergi setelah pertengkaran kami, Cherry tidak akan tewas. Jadi, setiap malam ... aku selalu bermimpi tentangnya ... wajahnya yang berlumuran darah."
Berlumuran darah.
Alexia tak mampu berkata-kata lagi. Sungguh dia baru mengetahui fakta bahwa Ryder harus melewati malam tak menyenangkan selama tiga tahun berturut-turut. "Apa kau baik-baik saja sekarang?"
"Ya. Aku telah berdamai dengan masa lalu, Lex," jawab Ryder. "Jangan khawatir. Dan ... angka sembilan ini tentang melepaskan sekaligus mengikhlaskan apa yang sudah lewat."
"Untuk Cherry."
Ryder mengiyakan sembari mengulas senyum nanar seperti menyiratkan bahwa ada segelintir rindu terhadap mendiang kekasihnya. Tak disangkal kisah yang mereka ukir begitu manis sampai membuat banyak orang terbuai oleh cinta yang dipersembahkan Ryder untuk Cherry.
Ada keraguan besar merangkak dalam dada Alexia melihat Ryder ternyata masih menyimpan rasa. Meski sudah banyak pengakuan, entah kenapa Alexia tidak pernah yakin apa benar cinta yang ditujukan Ryder benar-benar untuknya atau memang sebatas pelarian atas kematian Cherry.
Sebelum Alexia berucap, ponselnya bergetar menunjukkan sebuah notifikasi dari Drew.
Drew : Hey, are you free this weekend? Aku mau merayakan kepulanganmu dari rumah sakit, tapi kata Jhonny kau menginap di rumah Ryder.
Alexia : Yeah. Kita bisa bertemu akhir pekan ini. Can't wait to see you :)
"Dari siapa malam-malam begini mengirimimu pesan?" Ryder berpindah posisi di samping Alexia ketika gadis itu menyiratkan ingin tidur.
Alexia meletakkan ponselnya di atas laci. "Teman."
Apa aku harus bertanya ke Poppy dan yang lainnya? Bagaimana jika mereka megolokku terlalu pilih-pilih dan selalu ragu-ragu?
Atau ... aku harus menceritakannya kepada Drew?
Ekpresiku pas nulis bagian Ryder menato tubuhnya untuk Alexia.
224.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top