45. Your lies hurt me

'Thought we built a dynasty forever couldn't break up.

It all fell down and all I gave you is gone.'

-MIIA-

***

Bola mata Alexia membulat mendapati Ryder mendadak muncul dengan raut tercengang. Bagai orang tertangkap basah melakukan kejahatan, buru-buru dia menghapus jejak basah di pipi lalu tersenyum nanar seraya berkata, "I'm okay. Just bad dream."

"Sampai kapan kau berbohong padaku, Alexia?" Suara Ryder pelan namun justru seperti memberi gamparan hebat di telinga gadis kurus itu. Dia memejam, giginya gemeletuk menghadang gelombang emosi yang bisa saja meledakkan amarah yang berhari-hari dipendam. Diraup udara sebanyak mungkin sekadar melonggarkan rongga paru-paru yang begitu pekat seakan-akan ingin membunuh Ryder perlahan-lahan.

Tadi, dia terbangun begitu merasakan Alexia tidak berada di sampingnya. Tentu segala pikiran negatif menyergap Ryder dan toilet tempat pertama yang ditujunya. Benar saja. Dia mendengar gadis itu memuntahkan makanan sebelum akhirnya menangis.

"Apa maksudmu?" Alexia masih berlagak tak tahu meski sejujurnya dia takut Ryder diam-diam mendengarnya menangis. "Aku hanya--"

"You. Are not. Okay." Ryder memandang Alexia lalu menghampiri gadis itu dan merangkum wajah tirusnya. Memerhatikan secara teliti betapa banyak hal-hal kecil yang dilewatkan Ryder selama mengenal Alexia. Seharusnya dia menangkap ada yang tidak beres sejak pertemuan pertama mereka. Betapa kurus tubuhnya kala itu. Seharusnya dia curiga setiap kali Alexia bertanya apakah Ryder baik-baik saja saat membawa tubuhnya ke udara.

Seharusnya ...

"Please, don't lie anymore, Alexia." Ryder berkata lirih sekaligus memohon dengan sangat bahwa gadis itu mau berkata jujur. Sekali ini saja. "You hurt me with your lies."

"I ... I ..." Alexia gugup bukan main, berusaha menghindari tatapan penuh selidik Ryder bersamaan korneanya kembali berkaca-kaca. Bibirnya bergetar dan sialnya lidahnya ikutan kelu seolah-olah seluruh kosakata dalam kepala mendadak lenyap tanpa jejak.

You. Are not. Okay.

You hurt me with your lies.

Kata-kata itu menggetarkan hati Alexia seperti untuk mencari secuil celah. Menusuk-nusuk sanubari. Mencabik-cabik jantungnya tanpa permisi. Mencekik tiada henti agar Alexia segera membuka diri. Semakin menggema kalimat Ryder semakin retak dinding pertahanan yang dibangun diam-diam agar rahasianya tak pernah terungkap.

Bahwa dia membenci diri sendiri.

Sialnya, tidak ada kalimat yang meluncur dari bibir Alexia, melainkan butir demi butiran kristal bening pecah tanpa bisa dibendung lagi. Tumbang sudah segala pilar-pilar yang melindungi ego, gengsi, juga kebenciannya pada diri sendiri. Renggangan itu berhasil dimasuki Ryder memunculkan sosok Alexia si gadis malang bertopeng kemunafikan yang meringkuk di kegelapan. Seluruh afeksi dalam dadanya beradu membentuk pusaran besar menonjok diafragma bak menelan karma.

Alexia mendorong Ryder kala rangsangan mual itu datang tiba-tiba. Tergesa-gesa dia membuka penutup kloset toilet kemudian mengeluarkan apa pun yang membuat perutnya meronta-ronta lagi. Nihil. Tapi lambungnya diremas-remas seperti dipaksa memuntahkan cairan atau sisa-sisa makanan hingga urat nadinya menyembul jelas. Rasa frustrasi menyebabkan kulit pucat Alexia merah padam, napasnya naik-turun tak beraturan, dan bolak-balik dia meludah. Kontan, Ryder merumpun rambut Alexia dan memijat tengkuknya dalam diam meski hatinya menjerit tak tega.

Beberapa menit bermetamorfosis menjadi siksaan panjang menghadapi gelombang mualnya tak kunjung hilang. Bertumpu dengan satu tangan, Alexia memijit pelipis yang berdenyut-denyut akibat rasa pening kini datang tanpa diundang. Dia meludah lagi menyisakan sensasi pahit dan asam menyebar di permukaan lidahnya.

"Sudah, Lex ... sudah ..." Ryder menarik tisu dan membersihkan mulut Alexia kemudian menekan flush.

Kala mual itu berangsur memudar, Alexia yang masih sesenggukan berusaha mengembalikan irama napas yang terasa berat. Dibuka matanya yang terasa pedih bagai seseorang tengah mengulitinya hidup-hidup. Gadis itu jatuh terduduk, bersandar ke dinding toilet ketika Ryder bertanya,

"Who made you like this?"

"People."

Satu kata itu mengejutkan Ryder. Bagai seseorang menancapkan sebilah pedang baru diasah, jantung Ryder serasa berhenti berdetak seketika. Dunia seperti sedang mempermainkannya lagi dengan rahasia-rahasia yang benar-benar dibencinya. Jika alam sadarnya tidak lenyap, mungkin Ryder ikutan limbung meratapi kenapa dunia tidak adil. Kenapa Alexia selalu berpura-pura segalanya tampak baik-baik saja sementara kebisuan malam menjadi saksi bisu isak tangisnya. Kenapa Alexia selalu memikul segalanya sendiri di saat ada dirinya yang menjadi pelipur lara? Bukankah ini tentang kepercayaan? Bukankah ini tentang komunikasi? Kenapa dia selalu melanggar aturannya sendiri? Kenapa dia selalu bertindak egois seperti ini?

"Jangan libatkan amarahmu, Nak. Dia sudah rapuh dan tidak tahu kapan hatinya akan hancur lebur tanpa sisa."

"Buatlah dia merasa berharga dan dicintai, Ryder."

Rahang Ryder mengetat kuat, menelan pil pahit atas kenyataan bahwa sesungguhnya Alexia benar-benar tidak menaruh kepercayaan sekali pun pada orang terdekat. Dia tidak paham jalan pikirannya. Dia ingin marah. Dia ingin berteriak. Tapi, segalanya tersendat di kerongkongan membentuk bongkahan menyakitkan manakala ucapan Denny kepadanya kala itu berputar-putar dalam kepala.

Ditarik tubuh Alexia dalam dekapan, memberikan bahunya dan berharap ada sedikit beban yang mau diberikan gadis itu padanya. Dibelai lembut punggung gadis itu sembari memejam menghadang bulir air mata yang makin berdesakan. Dia mendongak, meminta belas kasihan kepada semesta bahwa tidak semestinya Dia memberikan cobaan kepada gadisnya.

Perceraian orang tua.

Adik terjerat narkoba.

Kisah cinta yang tak semulus drama.

Ryder ingat kemungkinan diagnosa yang diikrarkan Denny dan hatinya makin ngilu apabila ada seseorang di masa lalu Alexia menghinanya sedemikian rupa. Andai bisa memutar waktu, ingin sekali dia menghajar mereka yang tega mengolok gadisnya. Bukankah manusia sudah diciptakan Tuhan begitu sempurna? Kenapa mereka begitu angkuh jika pada nantinya mereka hanyalah seonggok daging dan belulang?

"Kemungkinan besar ini pelampiasan Alexia pada dirinya sendiri."

"It's okay, Little love ... it's okay ..." bisik Ryder mengusap-usap punggung gadisnya dan memberi ciuman di kepala. "I'm here... I'm here, Alexia ... you're safe with me."

Setelah Alexia cukup tenang, Ryder membopong gadis itu ke dalam kamar lalu mendudukkannya ke pinggiran kasur. Diraih segelas air di atas laci kemudian menyuruh Alexia menenggaknya supaya tenang. Dia menegakkan badan, menghampiri lemari dan mengambil kaus bersih karena ada sisa muntahan yang mengotori kaus yang dipakai Alexia.

"Aku ganti kausnya, oke?" Ryder bertumpu pada lutut selagi menawari Alexia dengan suara sepelan mungkin sementara gadis itu masih tertunduk dengan hidung memerah, mata bengkak, dan rambut berantakan.

Alexia hanya melenggut dalam diam sembari sesenggukan. Dia mengangkat tangan manakala Ryder menanggalkan kausnya, menyisakan kulit telanjang yang langsung ditutup dengan kedua tangan.

"Don't." Ryder menahan lengan Alexia. "Biarkan aku melihat lukamu, Alexia."

Kontan pandangan sayu gadis itu terangkat dan bertemu dengan iris hijau yang menggelap berselimut ribuan kesedihan. Dia tahu bukan makna sungguhan yang dimaksud Ryder melainkan luka batin yang sengaja disembunyikan dari semua orang. Dalam diam, Alexia memerhatikan Ryder menyorot setiap lekuk tubuhnya terutama bagian tulang rusuknya yang begitu kentara setiap kali menarik napas.

"I'm broken, Ryder." Suara Alexia terdengar begitu serak. Air mata kembali berderai di pipinya. "Into pieces."

"Are you hurt?" tanya Ryder yang dibalas anggukan lemah. "Do you trust me?"

Alexia menggigit bibir bawahnya. "I don't know."

Bagai dicambuk puluhan kali kemudian didorong ke jurang terdalam, hati Ryder remuk redam mendengar pengakuan Alexia. Bahunya merosot merasakan dirinya terjun bebas sebelum terhempas menjadi puing-puing. Apa arti dirinya di mata gadis itu? Apa arti pengakuan yang diucapkannya selama ini? Apa arti segala perlakuan Alexia padanya? Apakah selama ini Ryder terjebak dalam delusi tak bertepi?

Lalu, perasaan macam apa hingga membuatnya rela bersimpuh dan menyerahkan harga dirinya kepada gadis itu? Perasaan macam apa yang membuat Ryder selalu marah setiap kali Alexia berbohong padanya? Perasaan macam apa ketika Ryder begitu sakit mendapati Alexia menitikkan air mata?

Perasaan macam apa ini, Tuhan? Jikalau cinta, kenapa aku selalu disakiti seperti ini?

Dia memejam cukup lama kala hari-hari bersama gadis ini menari-nari di pelupuk mata. Tidak! Segalanya nyata! Tawanya. Sentuhannya. Ciumannya. Pelukannya. Semua bukan mimpi semata. Hanya saja Ryder ditampar kenyataan bahwa sedari awal pertemuan mereka memang terkesan dipaksakan dan ketika mereka bersatu tidak mudah membangun rasa percaya di saat Ryder pernah menyakitinya.

"Lihat saja tubuhnya, tak enak dipandang!"

"Seperti pencandu saja!"

"I'm sorry, Ryder," kata Alexia.

Lelaki itu menggeleng cepat berusaha mengulum senyum walau terasa kaku. Dipasang kaus dari lengan kiri ke lengan kanan Alexia begitu lembut sembari berkata, "Don't say it. This isn't your fault, Alexia." Dia menyisir rambut Alexia dan merapikan untaiannya juga menghapus jejak basah di pipi. "I love you, every part of you ... even the parts you don't like but I still love you."

"Aku ..."

"Just tell me the truth, Alexia," pinta Ryder memelas. "Just tell me, who did this to you?"

"People."

"But who?"

Alexia berpaling seraya mengusap wajahnya gusar. Keraguan membanjiri benaknya karena tahu Ryder tipikal orang yang tidak berpikir panjang mengetahui suatu kebenaran. Dia tidak mau menambah masalah di saat orang yang membuat segalanya runyam adalah orang yang dihormati sekaligus disayangi.

"Please look at me, Alexia." Ryder menarik dagunya untuk mempertemukan mata. "Did I mean anything to you?"

Alexia melenggut tidak mengelak pertanyaan terakhir Ryder. Hanya saja untuk menaruh seluruh hati dan kepercayaannya, seperti memindahkan batu besar dengan kedua tangan. Dia memiringkan kepala saat tangan Ryder membelai lembut pipinya.

"Sekali pun kau tidak percaya padaku, aku masih mencintaimu, Alexia," ujar Ryder mencium kening Alexia sepenuh hati. "Tapi, aku mohon ... sampai kapan kau akan menyembunyikan dan memendamnya seorang diri? Sampai kapan kau menganggap dirimu baik-baik saja padahal segalanya tidak? Bukan hanya kau yang sakit, tapi aku juga, Alexia. Aku sedih melihatmu seperti ini."

"I know." Alexia menyentuh tangan Ryder yang menangkup wajahnya dengan derai air mata yang ke sekian kalinya. "Ini yang tidak kuinginkan, Ryder, kau akan menaruh belas kasihan padaku."

"Karena kau bukan robot, Alexia. Kau punya perasaan. Kau punya harga diri." Ryder mengusap kristal bening yang jatuh dari mata indah gadis itu. "Setiap air matamu seperti satu tusukan di dadaku. Aku hanya ingin tahu siapa yang membuatmu sampai seperti ini? Apa yang bisa kubantu supaya kau tidak sendirian? Bagaimana aku bisa mengembalikan semangat di matamu?"

Ryder menyatukan keningnya ke kening Alexia, merasakan embusan napas gadis itu menyapu permukaan kulitnya. "Tell me how to fix this?"

"Then promise me, don't be angry." Alexia mengunci pandangannya terhadap Ryder. "It's my fault, not theirs."

***

Gimana menurut kalian bab ini?

Teman-teman bisa mampir ke instagram Ry_kambodia buat dengerin sefruit audio mereka ya. Cari reels Tease Me Baby part 12 dan 17.

Nyesek sih pas aku ngeditnya, kayak kasian banget jadi Alexia. Tapi, kasian juga sama si Ryder, sejauh hubungannya dengan Alexia ternyata doi belum bisa menaruh kepercayaan.

Kalau kayak gini, Ryder bukan tukang flirting kan?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top