25. Lost Control
'And just like the rain, you cast the dust into nothing and wash out the salt from my hands.'
-Sleep Token-
***
Beruntung kediaman Ryder tidak jauh dari Hyde Park Corner sehingga ketika Alexia datang, sebuah bus bercat merah tengah singgah sebentar sebelum melanjutkan rute ke stasiun Paddington. Dia mendudukkan diri di salah satu kursi penumpang yang kosong dan tak lama air matanya pecah tanpa bisa dibendung lagi. Satu yang ada di pikiran Alexia adalah bagaimana jika nyawa adiknya tak terselamatkan? Bagaimana jika dia terlambat datang tuk menghalau sang malaikat maut saat memberikan kecupan kematian pada Jhonny?
Jangan menangis, Lex! rutuknya dalam hati sembari menghapus jejak basah di pipi lantas menelepon ulang Nancy sekadar ingin tahu mengenai keadaan Jhonny.
Nomor yang Anda tuju sedang sibuk atau di luar service area...
"Fuck!" umpat Alexia membenturkan kepala ke kaca jendela. Putus asa.
Tangan Alexia makin gemetaran kala mencoba menelepon ulang namun hasilnya sama. Nomor kontak Nancy mendadak tak bisa dihubungi menimbulkan kecemasan luar biasa pada diri Alexia. Bagaimana tidak, tindakan agresif Jhonny sungguh di luar dugaan setelah Maxwell nekat menemui Jhonny untuk meminta maaf sekaligus ingin memperbaiki hubungannya, begitu yang dituturkan Nancy sekilas.
Persetan denganmu, Dad!
Alexia sudah menebak sedari awal bahwa kehadiran ayahnya malah menambah beban mental Jhonny yang sudah rusak bertahun-tahun lalu. Bila saja Nancy tegas melarang kedatangan Maxwell, mungkin kondisi adiknya tidak mungkin seperti ini. Ah, jika saja mobilnya tidak mogok, Alexia rela tancap gas demi bisa mencapai rumah sakit lebih cepat ketimbang naik bus hingga dua jam setengah.
Ponselnya bergetar, kekhawatiran Alexia berganti kekesalan mendapati notifikasi itu bukanlah dari Nancy melainkan Ryder.
Ryder : What's wrong?
Gadis itu mencebik sebal dan tidak langsung membalas pesan dari partner skating-nya. Banyak pertimbangan dalam kepala Alexia apakah harus menceritakannya kepada Ryder atau tidak. Sementara dewi batinnya merasa malu jikalau Ryder mengendus sisi gelap keluarga Alexia yang tidak pernah tercium media kecuali perceraian mantan atlet figure skating dan hockey lantaran hadirnya orang ketiga.
Tidak! Lebih baik diam, Lex! Tidak perlu orang tahu apa yang sedang menimpamu!
Walhasil, dia membiarkan pesan Ryder mengambang begitu saja daripada menimbulkan banyak pertanyaan. Dimasukkan gawai ke dalam tas sembari bermunajat kepada Tuhan agar mau memberikan secuil keajaiban kepada adik lelaki kesayangannya tersebut.
Tuhan, cukup aku yang menderita. Tak apa. Tapi, jangan adikku, Tuhan. Cukup aku saja yang menerima segala tekanan ini. Jangan dia.
Dua jam setengah terasa seperti perjalanan sehari penuh sampai-sampai Alexia menggigiti kuku jari sekadar meredakan detak jantungnya berdegub sangat cepat. Beberapa kali dia mengetuk-ngetukkan kaki, mengembuskan napas melalui mulut, menyugar rambut, dan mengelus-elus dadanya yang terasa ngilu. Tapi, tidak ada satu pun dari hal tersebut yang bisa menurunkan rasa panik Alexia. Dia menggerutu kenapa sopir melaju begitu lamban bagai siput yang enggan berpindah tempat. Haruskah dia menggeser posisi pengemudi dan menginjak pedal kuat-kuat agar sampai di tujuan lebih cepat?
Begitu bus berhenti di Long Street, Alexia melesat keluar menerobos penumpang lain seraya meminta maaf meski dihadiahi umpatan. Perjalanan itu belum berakhir karena lokasi rumah sakit yang jauh dari pemberhentian bus sehingga dia lanjut naik taksi menuju Great Western Hospital. Dia kembali mencoba menghubungi Nancy dan suaranya langsung meninggi begitu mendengar ibunya memanggil.
"Mom! How is he?"
Ada jeda cukup lama di mana Nancy tengah mengatur isak tangisnya yang belum reda. Dia menarik napas dalam-dalam seperti menuruti perintah seseorang membuat Alexia mengerutkan kening penasaran. Dadanya makin berdentum tak karuan. Nyaris meledakkan diri. Dia ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi di sana, apakah dokter berhasil menyelamatkan Jhonny?
"Mom?" desak Alexia makin gelisah.
"Sorry, Lex, Mom ..." kalimat Nancy terputus berganti suara sesenggukan menyiratkan wanita paruh baya itu tak mampu kehilangan putra tercinta.
"Mom, aku dalam perjalanan ke rumah sakit. Tolong katakan padaku kalau Jhonny baik-baik saja, please," pinta Alexia dalam intonasi cepat seiring tarikan dadanya kian cepat seolah-olah oksigen di sekitarnya tersedot habis. Dia hanya perlu tahu keadaan adiknya. Selebihnya dia bersumpah akan menyelesaikan pemicu yang menyebabkan Jhonny mengiris lehernya sendiri.
"He's fine, just ... " Kalimat Nancy lagi-lagi menggantung di udara. Kendati demikian, Alexia bisa bernapas lega sejenak. "Tadi benar-benar kacau, Lex."
"It's okay, Mom, it's okay. I'll be there and we can talk later. Just don't let him alone, Mom," titah Alexia sebelum memutuskan sambungan teleponnya.
###
Butiran air mata Alexia luruh begitu mendapati kondisi adiknya terbujur lemas di atas ranjang rumah sakit. Masih di ICU seperti beberapa waktu lalu, bedanya sekarang adalah leher Jhonny terbalut perban dan kedua tangannya diikat di pagar pembatas ranjang. Hal itu terpaksa dilakukan oleh perawat setelah menangkap Jhonny melakukan percobaan bunuh diri. Dia memecah vas bunga dan mengarahkan pecahannya ke leher. Walhasil, terdapat sayatan cukup dalam dan darah mengalir deras akibat hampir merobek karotis, begitu yang Alexia dengar. Beruntung perawat dan dokter segera menangani Jhonny, bila tidak, nyawa Jhonny bakal menuju ambang kematian. Padahal rencananya dia akan dipindahkan ke bangsal biasa, namun sayang insiden memilukan harus terjadi.
Hati Alexia bagai ditonjok-tonjok dari dalam sampai terasa mual meniti keterangan Nancy. Tentu saja dia langsung menyalahkan sang ibu yang telah dianggap tak memedulikan kondisi mental Jhonny setiap kali bertemu Maxwell. Walau sudah bertahun-tahun lalu, kebencian yang ditorehkan ayah mereka tidak akan sirna hanya dengan permintaan maaf.
"Mom hanya ingin dia memulai hidup baru, Lex. Lebih dari delapan tahun kejadian itu berlalu. Walau pernikahan kami dipertahankan, ayahmu tidak akan pernah bisa seperti dulu," ungkap Nancy mengusap bulir kristal bening menggunakan sapu tangan. "Mom memahami Jhonny. Jauh di lubuk hatinya pasti ada kerinduan terhadap ayah kalian."
"Tidak, Mom!" seru Alexia murka. "Apa Mom masih belum sadar juga siapa yang membuat Jhonny seperti ini? Di mana Dad sewaktu Jhonny membutuhkannya? Di mana kepedulian Dad saat tahu Jhonny menangis dan memohon agar tidak memilih wanita keparat itu? Di mana?" cerocosnya menggebu-gebu.
"I'm so sorry, Lex," ucap Nancy penuh penyesalan hendak meraih tangan putri sulungnya namun ditepis lantaran Alexia sudah berulang kali menelan pil pahit kehidupan keluarganya.
Semalaman Alexia terjaga tuk mengawasi Jhonny yang masih terlelap. Dia sengaja menyuruh Nancy pulang di samping berhari-hari ibunya menjaga Jhonny di rumah sakit. Alexia kira mungkin faktor kelelahan jugalah yang menyebabkan Nancy tak berpikir jernih.
Dia membelai rambut tebal sang adik--warna pirang nan ikal tampak memanjang dan menutupi dahi. Pandangan Alexia turun ke telinga Jhonny yang dipenuhi tindik, merambat naik ke bagian alis yang juga bernasib sama, kemudian turun lagi ke lengan yang dipenuhi tato sebagai pelarian terhadap rasa sakit yang ditinggalkan Maxwell.
Kantung mata Jhonny begitu jelas membuatnya lebih tua daripada usia seharusnya, bibirnya pucat, kulitnya pun terasa kering. Alexia tidak bisa membayangkan berapa kilo berat badan adiknya yang hilang akibat obat terlarang itu. Alexia juga tak mampu memikirkan betapa besar dampak dari rusaknya hubungan Maxwell dan Jhonny sebagai ayah-anak.
Jhonny yang malang.
"Kau harus hidup lebih baik lagi, brother," bisik Alexia menggenggam tangan kurus Jhonny yang hangat lalu menciumnya sepenuh hati. "Aku berjanji akan membawamu ke London. Bukankah mimpimu jadi musisi? Memainkan gitar dan bernyanyi di depan banyak orang?"
Kristal bening dari pelupuk mata Alexia meleleh tuk ke sekian kali. Dia terisak, menjatuhkan kepalanya ke pinggir kasur Jhonny. Bahunya terguncang meratapi betapa nahas hidup keluarganya. Ingin mengutuk Tuhan, tapi dia hanyalah manusia biasa yang tak punya kekuatan selain bertahan. Ingin menyalahkan Nancy, namun ibunya dalam posisi serba salah sebab tahu yang dibutuhkan Jhonny adalah kasih sayang seorang ayah. Perhatian Maxwell yang seharusnya ditujukan kepada Jhonny terpaksa lenyap usai memilih wanita lain.
Andaikan Alexia diberi kekuatan pun ingin sekali dia gunakan tuk menghapus semua luka batin adiknya. Menghilangkan semua ingatan Maxwell dalam kepala Jhonny kemudian menggantikannya dengan berbagai momen ketika dia memenangkan kompetisi menyanyi bersama teman-temannya. Alexia ingin mengembalikan senyum adiknya dan menaruh kembali sinar mata Jhonny yang telah redup selama delapan tahun sepeninggal ayah mereka dari rumah. Sungguh dia ingin melalukan apa pun asalkan adiknya tidak mengakhiri hidup seperti ini.
Kematian yang dipaksakan bukanlah tujuan akhir manusia. Itulah yang dipegang teguh Alexia meski mentalnya sendiri kadang terombang-ambing oleh tuntutan pelatih dan ibunya. Namun, bukankah segalanya ada tujuan? Bukankah masalah yang menerpa manusia akhirnya membentuk kepribadian mereka menjadi lebih baik?
Atau tidak semua orang sanggup menghalau badai kehidupan?
Dia menggeleng pelan tak mau menjustifikasi seseorang termasuk adiknya sendiri. Mungkin Jhonny belum siap menerima kehilangan. Mungkin Jhonny punya deretan angan yang ingin dilihat langsung Maxwell. Mungkin juga Jhonny ingin Cinta ayahnya hanya untuk dirinya dan Nancy bukan wanita lain.
Mungkin...
"I'm so sorry, Jhonny," gumam Alexia tersendat-sendat. "I'm so sorry."
###
"Lex... "
Alis Alexia mengerut dalam sembari mengerang mengabaikan tepukan di pundak kanannya. Dia masih memejamkan mata saat suara adiknya kembali memanggil.
"Lex..."
Seketika bola mata Alexia terbuka mengetahui suara tersebut bukanlah bunga tidur semata. Dia mendongak ke arah Jhonny yang melempar senyum dan mengisyaratkan ponsel Alexia tengah bergetar di atas laci sebelah kiri gadis itu.
Buru-buru Alexia menyambar IPhonenya dan membaca nama Ryder sedang memanggil.
Sial!
Panggilan tersebut terputus sesaat sebelum Alexia menjawab. Dia meloloskan desahan berat bahwa hari ini ada jadwal latihan di studio. Tidak terlintas dalam kepala Alexia jikalau program latihannya minggu ini dua kali lebih berat dibandingkan sebelumnya. Terakhir kali Thomas berpesan bahwa dua bulan lagi akan ada tes untuk menguji apakah dia dan Ryder lolos masuk ke kompetisi nasional sebagai debut partner skater baru.
Detik berikutnya ponsel Alexia kembali bergetar bersamaan beberapa notifikasi pesan dari Thomas masuk.
Thomas : Kau di mana?
Thomas : Ayo latihan!
Thomas : Kami sudah menunggumu sejam tadi, Lex! Tolong kabari aku!
Alexia : Sorry, Tom. Aku ada urusan yang tidak bisa ditinggal. Akan kukabari nanti kalau semuanya sudah beres.
Setelahnya Alexia menonaktifkan ponsel agar tidak ada yang mengganggu selama bersama Jhonny. Bibirnya melengkung membentuk senyuman tipis saat Jhonny bertanya,
"Apa kabar?"
"Seharusnya aku yang bertanya, Jhonny," balas Alexia kembali berkaca-kaca. "Kau apa kabar?"
Jhonny mengembuskan napas panjang, mengamati langit-langit kamar inap dalam kebisuan. Ada jeda panjang baginya merenungi apa yang sudah terjadi semalam. Bagaimana dirinya mendadak hilang kendali ketika Maxwell datang. Sudut bibirnya terangkat, meratapi hidup yang sialan tidak pernah berjalan sesuai rencana. "Hari yang buruk, Lex," tutur Jhonny tanpa berpaling ke arah kakaknya. "Kau terlihat sibuk sekarang."
Yang ditanya menyengguk lalu menghela napas panjang merasa bersalah. "Aku masuk pairs skating, tidak ada lagi pemain tunggal. Hei, apa tidurmu nyenyak?"
Jhonny terkekeh. "Kalau soal itu, dokter agaknya sangat ahli membuatku tertidur seharian. Kecuali ikatan ini." Dia mengangkat sedikit pergelangan tangannya yang masih terikat. "Mereka pikir aku domba? Persetan benar," umpatnya pelan,
Mau tak mau Alexia tertawa mendengar humor Jhonny. "Kau mau tinggal bersamaku di London? Kau bisa rehabilitasi di sana dan memulai hidup baru bersamaku. Aku akan membelikanmu gitar baru, bagaimana?" tawarnya selagi memegang tangan sang adik. "Dan ... kau bisa sekolah musik seperti cita-citamu, Jhonny."
"Apakah aku ..." Tersirat keraguan besar dari balik iris mata biru Jhonny seakan-akan dirinya tak layak untuk menikmati hidup yang lebih baik. Dia menghindari tatapan penuh selidik kakaknya tapi dagu tirus Jhonny ditarik perlahan oleh Alexia ketika gadis itu berkata,
"Hei, you deserve better, Darling. Aku dan Mom, bahkan Pippa ingin kau sembuh, Jhonny."
Bibir tipis Jhonny gemetaran diiringi korneanya memerah bagaikan dinding pertahanan dalam benaknya mulai retak. Seluruh beban mental yang dipikulnya seorang diri selama delapan tahun ini hingga melampiaskan segalanya ke obat-obatan terlarang perlahan-lahan luruh. Tentu, jauh di lubuk hati, Jhonny ingin sembuh tapi setiap kali dia ingin merangkak keluar selalu saja terbayang kilasan sang ayah mencampakkannya di teras rumah.
"I don't fucking care anymore, Jhonny!" sungut Maxwell menyeret koper manakala Jhonny menangis tersedu-sedu. "Kau bisa hidup tanpaku! Cobalah menjadi dewasa!"
"Forgive me, Jhonny," ucap Maxwell saat datang selepas delapan tahun kepergiannya. "I was wrong."
"I never forgive you, Dad," ketus Jhonny mengepalkan kedua tangan. "Kenapa kau datang sekarang? Semua sudah terlambat."
"Darling?" panggil Alexia membuyarkan lamunan Jhonny. "Are you okay?"
Jhonny melenggut. "Aku ... mau, Lex," katanya memberi keputusan. "Aku mau ke London jika menurutmu itu yang terbaik untukku. Aku ingin sembuh."
"Tentu, Darling," ujar Alexia seraya bangkit dan mencium dahi adiknya. "Kau harus pulih dulu di sini setelah itu kita pindah. Oke? Aku akan bicara pada Mom, nanti."
***
Aku publish buat menemani libur kalian.
Ada additional part di Karyakarsa hanya 3000 rupiah. Isinya tentang pertemuan Alexia sama ayahnya, sebelum Jhonny sadar. Bakal terjawab nanti pertanyaan kenapa Alexia begitu nggak mengijinkan Nancy mempertemukan Jhonny dengan Maxwell. Termasuk sikapnya yang sempat jadi pembicaraan temen-temennya Ryder (bab 19 : Gosip).
Spoiler :
Siapin tisu aja karena mengandung bawang. 🤧🤧
Kalau kalian beli paketan sampai tamat, jangan lupa gunakan kode voucher di atas ya. Berlaku untuk semua paket ceritaku di Karyakarsa.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top