2. Begin before begin

'You and me together, nothing is better. Cause there's a side to you that I never knew.'

-Adele-

***

Tanpa diketahui seorang pun di sekitar gelanggang latihan Golden Skate, Ryder menghentikan laju mobil Bentley Continental hitam di basemen. Sesaat dia mengedarkan pandang lalu menaikkan tudung hoodie abu-abu, menutupi sebagian besar paras yang tidak ingin diperlihatkan ke publik. Setidaknya bukan sekarang, pikir Ryder memasang masker dan kacamata hitam. Sialan! umpatnya seolah-olah menyusup mirip seekor tikus yang takut tertangkap basah manusia. Jikalau bukan karena hinaan Thomas yang mengolok habis-habisan, Ryder lebih suka menghabiskan waktu di dalam apartemen.

"Yang kulihat sekarang adalah si pecundang yang betah berlindung di balik tembok sialan ini!" sindir Thomas kala mengunjungi kediaman Ryder. "Kalau kau merasa hebat, buktikan! Jangan menggonggong seperti anjingmu. Isinya omong kosong semua!"

Langkah demi langkah ditempuh selagi melintasi lorong-lorong tanpa ada secuil ingatan yang tergerus dalam kepala Ryder. Meski tiga tahun berlalu, dia masih hafal betul seluk-beluk tempat yang membesarkan namanya menuju puncak. Mulai klasemen junior sampai senior. Pemain tunggal hingga pairs. Teriakan penonton. Seruan pelatih. Musik pengiring. Setiap waktu. Setiap sudut. Cat-cat lama yang kini diperbarui terendus dan menusuk hidung juga langit-langit yang dipenuhi sarang laba-laba seakan-akan meninggalkan memori indah sekaligus menyakitkan jiwa.

Dia berhenti sebentar manakala disambut ratusan bangku penonton yang kosong. Hanya beberapa orang tampak duduk, itu saja para anggota Golden Skate baik anak-anak, remaja, bahkan dewasa. Ada juga pelatih-pelatih yang sudah lama tidak ditemuinya, kecuali Thomas--si mulut pedas.

Ryder mendudukkan diri di bangku paling ujung, menyelipkan tangan di kedua saku jaket kulit yang melapisi hoodie sembari mengamati dalam diam setiap pergerakan orang-orang yang meliuk-liuk di ring. Thomas bilang, gadis yang digadang-gadang sebagai pasangannya akan datang latihan dan meminta Ryder memperhitungkan sendiri bagaimana Alexia memikat dirinya nanti.

"Ck! Yang benar saja," cibir Ryder remeh.

Tak sengaja iris matanya berserobok dengan Thomas yang melambaikan tangan ke arahnya penuh sukacita. Tanpa dosa, dia berteriak, "Hei, Ryder!"

Fuck! Damn fuck!

Jikalau bukan pelatih, Ryder akan mengacungkan dua jari tengah kepada pria kurang ajar itu. Susah payah dia menyembunyikan diri agar tidak menarik perhatian, ternyata lengkingan Thomas langsung mengundang banyak pasang mata. Sejak awal dia yakin kalau kemunculannya bakal jadi buah bibir yang merambat dalam hitungan sepersekian detik. Alhasil, gerombolan orang-orang yang sangat ingin dihindari Ryder langsung mengikuti sorotan Thomas disusul bisikan-bisikan yang bisa ditebak.

"Benar itu Ryder? Dia kembali?"

"Dengan siapa dia akan main? Kukira dia sudah pensiun."

"Kalau dia kembali, aku yakin gelanggang ini bakal penuh!"

"Kemampuannya pasti menurun, tiga tahun terlalu lama bagi orang yang mengalami cedera kecuali tendonmu putus."

"Hei, hei," lerai Thomas. "Ayo kalian latihan, kau Millie! Double axel-mu masih kurang bagus," tunjuknya ke arah gadis berambut cokelat yang diikat tinggi-tinggi.

Yang diperintah memajukan mulut lantas masuk ke area seluncur, sementara Thomas menaiki satu persatu anak tangga sementara Ryder menyingkirkan penyamaran yang dirasa sia-sia. Thomas mendaratkan pantat di samping kiri Ryder selagi menanti Alexia keluar dari ruang ganti.

"Kupikir kau tak akan datang," sindir Thomas menyandarkan punggung ke kursi dan bersedekap. "Ucapanku akhirnya membangunkan ambisimu ya?"

"Ambisiku tetap sama. Lagi pula, tidak ada orang yang bisa menandingiku," ketus Ryder berlagak pongah. "Aku hanya menimbang apakah dia memang pantas seperti yang kau elu-elukan, Tom."

Dia ikut-ikutan melipat tangan di dada. Ekspresinya tak menunjukkan raut apa pun dan memilih tak mengindahkan opini orang-orang menangkap kemunculannya lagi. Entah karena penasaran atau justru mencibirnya habis-habisan. Ryder tidak peduli. "Sering kali pemain tunggal merasa sok paling pintar dan unggul daripada pairs," sambungnya.

"Well ..." Thomas mengusap tengkuk karena ucapan Ryder memang sialan persis seperti Alexia. "Aku yakin dia bersedia," tuturnya penuh keyakinan.

"Kuharap begitu agar kedatanganku di sini tidak buang-buang waktu," tandas Ryder menyapu sekitar dan tidak sengaja bertemu muka dengan seorang gadis berkulit putih pucat mengenakan leotard biru tanpa lengan yang dilapisi rok sifon hitam transparan. Rambut pirangnya diikat tinggi, menonjolkan lekuk leher jenjang serta garis rahang yang tajam. Ada jeda cukup lama bagi Ryder memindai penampilan gadis tersebut, terutama mata biru terang yang memerhatikan dirinya balik. Tanpa ada kesan ramah.

Thomas melambaikan tangan dan mengisyaratkannya latihan. "Itu dia, Ryder. Alexia Ross, kalau kau belum tahu namanya," ucap Thomas menyiratkan Alexia masuk arena.

Ryder tak menanggapi kalimat pengenalan tersebut. Pikirannya terfokus pada gerakan Alexia di atas es terutama tingkat kepercayaan diri si pirang yang terasa sampai di tempat Ryder singgah.

Namun, harus diakui memang kalau lompatan, putaran, bahkan cara landing Alexia benar-benar perfek tanpa ada keraguan. Gerakan hair cutter spin--punggung melengkung ke belakang dan kedua tangan menyentuh pisau sepatu kaki bebas yang didekatkan di kepala sehingga membentuk lingkaran penuh, sementara bertumpu pada kaki kanan--mengejutkan Ryder. Dia tahu gerakan variasi itu lumayan susah sebab butuh keseimbangan dan kelenturan yang harus dipertahankan dalam kurun waktu tertentu agar mencapai poin.

Tidak hanya itu saja, Alexia memamerkan cantilever usai mengeksekusi quad axel secara sempurna. Ryder membeliak nyaris beranjak dari kursi. Namun, terpaksa ditahan akibat lirikan dan senyum penuh kemenangan yang diterbitkan Thomas seolah-olah berhasil menerawang isi pikiran Ryder. Lagi-lagi Alexia menunjukkan kemampuannya di atas gelanggang, menyelesaikan aksi quad lutz yang dikombinasi euler juga triple salchow. 

Damn! batin Ryder.

"She is fucking bee's knees," puji Thomas. "Pilihanku tidak salah bukan? Sering kali dia dipanggil quad girl, semua gerakan yang pernah dilakukan pria, disapu habis olehnya."

Mulut Ryder terkatup rapat akibat kehabisan kata-kata menanggapi Thomas. Namun, hati kecilnya tidak akan menyangkal betapa hebat gadis itu di sana. Mungkin atas dasar inilah Thomas mendesak Ryder menerima tawaran berpasangan dengan Alexia. 

"Bagaimana?" tanya Thomas lagi. "Dia itu tiket emasmu, Ryder."

Masih enggan menjawab, Ryder terus menaruh atensinya kepada si pirang yang kini melaju santai ke pinggir arena. Gadis itu tertawa malu-malu ke tiga gadis yang mengacungkan jempol padanya.

Merasa diawasi, sorot mata Alexia tertuju ke arah Ryder. Entah ini halusinasi atau bukan, lelaki itu menangkap sudut bibir Alexia naik dan mata birunya berkilat penuh arti.

Shit! Berlagak pamer rupanya, gerutu Ryder dalam hati.

"Come on, aku kenalkan kalian berdua," ajak Thomas seraya bangkit dari kursi penonton.

Mari ikuti permainan ini, batin Ryder sembari mengekori Thomas menuruni anak tangga bersamaan Alexia keluar dari arena seluncur.

Alexia mengempaskan diri di salah satu kursi dan mengambil hard guards yang tergeletak di samping botol minumannya. Seraya memasang ke pisau sepatu, ekor mata Alexia mencerling kala dua lelaki yang duduk di sisi atas gelanggang tadi sekarang menghampirinya. Sementara orang-orang di sekitar begitu menggebu-gebu menyambut kehadiran Ryder di belakang Thomas.

"Ya ampun dia benar-benar Ryder."

"Hei, Ryder, apa kabar?"

"He's fucking hot."

"Aku tidak sabar melihatnya tampil lagi."

Alexia memutar bola matanya kesal mendengar komentar hiperbola orang-orang yang terlalu mendewakan Ryder. Bahkan selentingan dari mereka ingin berfoto bersama si Ice Prince dan meminta tanda tangannya usai tiga tahun ditelan bumi.

"Lex!" panggil Thomas. "Ini partnermu yang kuceritakan kemarin."

That's not my fucking partner! protes Alexia dalam hati.

Sialnya, dia harus menyambut Ryder layaknya manusia baru bangkit dari kematian. Alexia ingin sekali menghilang tapi tidak ada sesuatu yang bisa melenyapkannya dalam satu jentikan, bahkan di kursi yang diduduki sekarang pun serasa ada lem super yang menyekat bokongnya. Mau tak mau akhirnya dia harus menghadapi Thomas dan...

"Ryder."

Pria eksotis yang menjulang tinggi di depannya ini mengulurkan sebelah tangan. Suaranya serak nan berat diiringi tatapan tajam di balik iris hijau yang begitu gelap. Ekspresinya sedatar nada bicaranya. Alexia heran bagaimana bisa gadis-gadis mengagung-agungkan pria sedingin es ini? Apakah mereka buta?

"Alexia." Dia membalas jabatan tangan itu secara singkat.

"Jadi, apa kau setuju, Lex?" tanya Thomas lalu mendekat dan berbisik, "Kuanggap pesanmu kemarin tidak pernah kubaca. Ini kesempatan yang tidak akan datang dua kali. Jadi, terimalah."

Oh, damn! Sudah kuduga!

Alexia melirik sinis Thomas dan menggerutu dalam hati. Instingnya tidak pernah meleset mengetahui pelatihnya sengaja tak membalas pesan berhari-hari demi melancarkan pertemuan ini.

"Aku masih memikirkannya." Alexia berkilah sekadar mengulur-ulur waktu supaya Thomas mencari pengganti yang lebih mumpuni.

"Lex ..." Seketika suara Thomas terdengar frustrasi menyebut namanya.

"Wow, pikirmu kau begitu sempurna sampai tidak mau satu tim denganku, Ms. Ross," timpal Ryder menyulut emosi membuat Thomas kontan berbalik dan mendelik sembari mengumpat pelan.

Tak mengindahkan peringatan lelaki berambut ikal itu, Ryder mendekati Alexia seperti ingin menerkamnya hidup-hidup. Dari jarak sedekat ini, tubuh Alexia terlihat mungil mirip sebatang kayu rapuh. Andai bukan perempuan, bogem mentah mungkin sudah mendarat dalam sekali pukul. Berani-beraninya gadis sombong ini menolak di saat banyak orang lain rela antre demi berpasangan bersamanya.

"Kau pikir dengan trikmu itu bisa membawa emas di Olimpiade?" Ryder menyorot dari atas ke bawah, mengorek-ngorek apakah ada kelebihan lain dari diri Alexia. Tidak! Tidak ada yang menarik di matanya. Tubuh kurus, kulit sepucat pualam, pipi kemerahan berhias bintik kecokelatan mirip meses di atas donat. Perhatiannya baru berhenti di bibir penuh Alexia berpulas lipstik merah muda.

She's a big zero!

"Cantilever dan gerakan quad-mu tidak menarik perhatianku, Ms. Ross. Aku juga bisa melakukannya lebih baik darimu," tambahnya bagai menuang bensin ke dalam kobaran api yang langsung menjilat-jilat kemarahan Alexia yang akan meledak.

"Apa?" Rahang Alexia nyaris menyentuh lantai mendengar hinaan Ryder, matanya membulat tak terima. "Kau pikir siapa berhak menilai--"

"Dan siapa kau berhak menyombongkan diri dengan mata besarmu itu!" balas Ryder makin memperkeruh keadaan.

"What the fu--"

"Hold on, hold on, guys," lerai Thomas memotong kalimat Alexia sebelum suasana makin tidak terkendali. "Aku tahu kalian berdua masih asing, tapi come on ... kita mulai secara baik-baik oke? Tidak ada perdebatan dan saling mengejek trik apa pun seperti ini, guys, aku yakin kalian berdua bakal jadi tim yang hebat. Kita cuma butuh waktu agar semuanya berjalan mulus. Bagaimana?"

"In your fucking dream!" seru Ryder dan Alexia kompak melayangkan pandangan tajam ke arah pria ikal tersebut.

Mereka saling melempar tatapan sinis bagai menyodorkan sebilah pisau ke leher dan menanti siapa yang bakal kalah. 

Alexia memutus aksi saling pandang tersebut. "Jawabanku sama, Tom, atau mungkin tidak sama sekali." Dia berbalik, meninggalkan sang pelatih dan Ryder tanpa menoleh lagi.

"Lex! Lexi!" teriak Thomas berusaha menghentikan Alexia tapi hanya dianggap angin lalu semata. "Damn! Kau--" Dia nyaris mengutuk Ryder ketika lelaki itu berkata,

"Akhir pekan, bawa dia untuk latihan!"

"Apa!"

Ryder mengangkat kedua bahu dan melengkungkan bibir ke bawah tak mau tahu seraya memasang kembali tudung hoodie. Iris mata hijaunya berkilat berbarengan seringai mengamati bayangan Alexia yang sudah lenyap. "Kurasa pendengaranmu masih normal, Tom. Sampai jumpa." Dia memutar badan dan melenggang tanpa memedulikan panggilan Thomas.

***

Daftar istilah

Hair cutter : gerakan di mana skater menekuk punggung sampai membentuk lingkaran dan tangan menyentuh pisau sepatu sambil berputar.

Cantilever itu posisinya kayak kayang tapi badan dan kedua tangan hampir menyentuh permukaan es dan kaki meluncur mengitari arena. Ditekankan ke otot paha sama lutut.

Hard Guards : pelindung pisau sepatu

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top