11. It's gone
'Lately, I've been thinking about the way to shake my life up.'
-Celeste-
***
Agak sempoyongan, Alexia keluar dari toilet setelah mengeluarkan makanan yang belum tercerna sempurna di lambung. Dia mencuci tangan di wastafel lalu berkumur tuk menghilangkan sensasi asam di mulut selanjutnya membasuh muka. Sesaat sorot mata biru terang Alexia mengarah ke arah cermin dalam kebisuan. Menilik sekaligus menilai penampilannya sendiri. Rahang tirus, lingkaran hitam mengerikan di bawah mata, tatapan sayu, bibir kering, dan sinar wajah yang suram. Dua minggu lebih semenjak insiden di studio tersebut, harus diakui kalau Alexia tidak dapat tidur pulas dan makan enak.
Yang dia lakukan hanyalah menangis, melamun, tidur sepanjang hari atau justru terjaga sepanjang malam. Mungkin orang akan menilai bahwa cecaran Ryder tak perlu diindahkan, tapi bagi Alexia sebaliknya. Semakin dilupakan maka hinaan itu semakin terngiang-ngiang. Manalagi Ryder menyinggung 'pecandu' di mana hal tersebut berhubungan dengan adiknya--Jhonny. Ditambah menyebut tubuhnya tak enak dipandang sementara Alexia berusaha keras menjaganya demi kompetisi.
Akibatnya, dia melampiaskannya ke makanan--menghabiskan apa pun yang ada di kulkas--tidak peduli perutnya meronta-ronta memohon agar berhenti. Namun, cercaan yang menuntutnya agar tetap ramping membuat gadis itu berlari ke toilet untuk mengeluarkan semua makanan dengan rangsangan muntah. Tidak hanya itu saja, dia menelan pencahar lalu memukul-mukul perut dan menyalahkan mengapa Tuhan memberikan bentuk tubuh seperti ini.
"Tidak ada makanan atau minuman selama latihan, Lexi!"
"Bentuk pahamu besar itu yang bikin kau kesusahan bermanuver! Aku sudah bilang, jangan makan terlalu banyak! Kau harus hindari segala yang mengandung karbo!"
"Aku pernah di posisimu, Lex, nyatanya aku bisa. Kenapa kau tidak?"
"Aku tidak mau tahu, kau harus turunkan berat badanmu! Pertandingan itu tiga bulan lagi, aku tidak peduli kau berdarah yang penting kau harus diet!"
"I fucking hate myself," gumam Alexia kepada pantulan dirinya di cermin.
Memang benar dia sudah menelan obat tidur agar rasa sakit itu menguap sampai hatinya serasa kosong dan hampa. Memang benar pula tablet yang dikonsumsinya bisa membawa Alexia menuju indahnya dunia khayalan. Namun, kenikmatan itu tidak berlangsung lama. Dia terbangun dengan dorongan kuat agar kembali mengunyah persediaan makanan sebelum memuntahkannya lagi dan lagi.
Tangan kirinya menarik kerah kaus kebesaran berwarna merah bergambar rusa, memperlihatkan tulang selangka yang cekung serta ringkihnya tulang bahu. Bibir pucat Alexia gemetaran dibarengi bulir-bulir kristal bening yang bergerombol di pelupuk mata. Saat jemari kanan kurus nan lentik itu meraba tulang selangka dilanjut melepas kaus yang menunjukkan bentuk tubuh atasnya secara utuh tanpa bra.
"Kau lihat saja badannya. Tidak enak dipandang!"
"Seperti pecandu saja."
Kalimat Ryder kala itu kembali berputar dalam benak Alexia dan entah kenapa semakin lama semakin melekat di setiap pembuluh darah dan terpatri di setiap inci kulit putihnya. Dia ingin menghapus ingatan ini, tapi setiap kali bercermin kilasan tersebut datang lagi. Terutama cara pandang Ryder.
Meremehkan sekaligus menjijikkan.
Jari-jari Alexia bergerak ke arah tulang iga yang tampak jelas setiap kali dia menarik napas. Ejekan Ryder telah meninggalkan bekas abstrak tak terlihat berbarengan butiran air mata jatuh ketika ucapannya lagi-lagi berkumandang. Tangan kurus Alexia gemetaran bukan main saat berhenti di perutnya yang datar.
"Tidak enak dipandang!"
Isak tangis Alexia pecah tanpa bisa ditahan lebih lama. Dia jatuh terduduk, merangkul dirinya sendiri dalam sepi tanpa ada orang yang tahu bahwa di belakang sikap tegas dan ambisi besarnya terdapat tekanan batin sekaligus tuntutan-tuntutan memenuhi kepala. Dan segalanya kini diperburuk oleh kehadiran Ryder.
"I hate myself ... I fucking hate myself ..."
###
Thomas's calling...
300 Missed Call
1035 Unread Messages
Thomas : Lex, are you okay? Please jawab teleponku.
Mom : Kenapa kau tidak menjawab telepon, Mom? Thomas bilang ada masalah antara kau dan Ryder.
Mom : Diam tidak menyelesaikan segalanya.
Mom : Ucapan Ryder tak perlu dimasukkan ke hati. Kau jangan terlalu sensitif, Lex!
Poppy : Lex? Where're you?
Poppy : Aku tidak melihatmu di Lee Valley atau Golden Skate, is everything alright?
Norah : Hey, Lex. Aku di depan apartemenmu. Apa kau ada di dalam? Tolong buka pintunya. Aku khawatir.
Arya : Babe???? Are you okay there? Kau di mana?
Alexia memerhatikan dalam diam layar ponselnya dan membiarkan gawai itu kembali bergetar di atas laci. Dia duduk menghadap ke jendela seraya merangkul kedua lutut dan menanti efek fluoxetine yang empat hari lalu terpaksa dinaikkan dosisnya oleh psikiater. Dia memutuskan pergi menemui sang dokter karena kebiasaan merangsang muntahnya makin tak terkendali disertai buang air besar mengarah ke diare akibat menelan obat pencahar terlalu banyak.
Bukan hanya itu saja, apartemen Alexia seperti gudang tak terjamah. Buku-buku, sepatu skating, bungkus makanan, botol minuman, underwear, hingga baju-bajunya berserakan di lantai. Bahkan aroma tak sedap pun menguar menusuk hidung, saat Alexia tidak punya cukup energi sekadar membuang sampah tersebut kecuali berbaring di atas kasur selama berhari-hari.
Hening.
Riuh dalam kepalanya tak lagi terdengar.
Sekarang perasaanya jauh lebih ringan meski dilanda lemas dan kantuk tak tertahankan. Saking ringannya hati Alexia, dia serasa melayang-layang di udara bersama angin yang membelai lembut pipi tirusnya. Begitu pula debaran jantung Alexia teraba tenang seiring tarikan napas di dada. Tidak ada nafsu makan berlebihan, tidak ada keinginan untuk mengeluarkan makanan, dan tidak ada rasa menghakimi diri sendiri. Hanya rasa kantuk dan beban terlepas dari pundak yang merupakan efek di fase-fase awal setiap kali dosis obat dinaikkan oleh dokter.
Dia jatuh tertidur hingga matahari terbit lagi di keesokan harinya memancarkan jejak hangat di jendela dari cakrawala. Ketika terbangun, tubuhnya jauh lebih segar dibanding kemarin. Alexia bangkit lantas memungut barang-barang yang tercecer.
"Sudah waktunya aku mandi. Bauku seperti kambing," gumam Alexia menarik kaus dan mencium aroma tubuhnya sendiri.
###
Setelah membereskan kekacauan selama berjam-jam di apartemen dan membuang sampah yang nyaris lima kantong, Alexia mengayuh sepeda menuju supermarket untuk membeli stok makanan sekaligus memborong beberapa buku yang baru rilis bulan ini.
Dia berjanji pada diri sendiri akan menghabiskan lebih banyak waktu bersama pria-pria fiksi kesayangan sebelum disibukkan latihan skating yang ditinggalkan dua minggu lebih. Apalagi Thomas kembali mengiriminya pesan dan meminta Alexia memikirkan kembali keputusannya.
Thomas : Aku tahu kau marah, Lex. Aku juga sempat bertengkar dengan Ryder. Tapi, apakah harus selama ini kau menghilang?
Thomas : Aku akan tetap menunggumu dan tolong kabari aku bahwa kau benar-benar baik-baik saja.
Alexia : Ok.
Mengenakan legging gelap berpadu sweter putih dan hoodie taupe yang dirangkap leather coat serta ankle boots senada, Alexia mendorong troli mengamati harga bahan makanan. Dia bukan tipikal gadis yang menulis daftar belanja secara rinci seperti halnya orang lain.
Dia memasukkan dua kotak susu rendah lemak, keju, telur, tepung, sayur hingga buah. Tak lupa sereal, roti gandum, hingga mentega. Selain kebutuhan perut, Alexia juga membeli peralatan pribadi karena ada beberapa yang sudah habis.
Sesaat kemudian, dia tertegun mendengar beberapa anak perempuan berbisik-bisik menyinggung nama Ryder. Beruntung posisinya agak jauh sehingga mereka tidak menyadari kalau Alexia berada di satu tempat yang sama.
"Aku tidak yakin Ryder bakal menang. Dia terlalu tua untuk ukuran kelas senior," komentar salah satu anak sembari meraih body lotion. "Sekarang jamannya anak-anak muda yang ikut berkompetisi bukan pria berusia dua puluh delapan tahun yang kemampuannya..."
"Itu karena kecelakaan, Amanda," sela gadis di sampingnya. "Siapa pun tidak ada yang menginginkan kejadian itu. Lagi pula, apa salahnya ikut turnamen di usia matang? Skating tidak mengenal batasan. Kau tidak lihat atlet Maxime Deschamps yang kemarin dapat medali emas di usia hampir empat puluh tahun?"
"Baiklah, baiklah. Aku hanya meragukan kekuatan kaki Ryder. Aku dengar bahwa dia tidak bisa melakukan axel. Itu gerakan dasar, Carol. Kau tahu, kudengar pula kalau dia bertengkar dengan Lexi juga pelatihnya," tutur Amanda. "Orang-orang di gelanggang sudah paham desas-desus ini, media saja dibuat bungkam oleh keluarganya supaya Ryder--"
"Supaya apa?" potong Alexia angkat suara merasa geram bukan main menyaksikan percakapan sok tahu dari bocah kecil itu. "Apa kau ini cenayang bisa membaca kepala Ryder, hm?"
"Lex? Alexia Ross?" suara mereka berdua memanggil nama Alexia bersamaan dengan ekspresi tercengang sekaligus menahan malu.
"Dengar. Kalian tidak berhak menilai Ryder saat ini, girls. Aku bisa menuntut kalian karena menjelekkan reputasi Ryder tanpa ada bukti," ancam Alexia. "Kalian juga menyeret namaku dan berkata yang tidak-tidak."
"Tapi, Lex, di Golden Ska--"
"Kau masih percaya gosip?" potong Alexia bersedekap menatap tajam ke arah gadis berambut oranye dan berpipi tembam yang dipanggil Amanda. "Kau menyebut dirimu gadis berkelas sementara kau sendiri percaya rumor murahan?"
"Ti-tidak!"
"Ya sudah! Jangan menyebar ucapan tanpa dasar!" sembur Alexia. "Kali ini aku memaafkan kalian. Jika lain hari aku bertemu dan mendengarkan omong kosong seperti tadi, aku bisa menyeret kalian berdua ke kantor polisi!" sambungnya dibalas anggukan dua gadis itu.
Dia mendorong troli dan melangkah cepat meninggalkan remaja di belakang tanpa memedulikan mungkin besok dirinyalah yang jadi buah bibir. Meski sempat berseteru dengan Ryder, Alexia lebih membenci orang yang asal-asalan mengeluarkan opini tak berdasar. Mereka tidak tahu apa dan bagaimana olahragawan menghadapi masalah fisik juga mental. Terlebih insiden yang menimpa Ryder. Kenapa pula mereka menyinggung masalah psikis lelaki itu? Apa mereka berlagak jadi psikiater sehingga begitu mudah menilai sikap Ryder?
Walau aku membenci Ryder, bukan berarti aku menusuk dari belakang dan membicarakan keburukannya.
Unknown's calling...
Ponsel Alexia berdering, dia merogoh benda itu selagi mendorong troli ke kasir. Dia tak langsung menjawab telepon malah membiarkannya mati sendiri karena tahu yang menghubunginya adalah Ryder. Terpujilah untuk Tuhan yang memberkati Alexia ingatan tajam mengingat nomor ponsel lelaki itu.
Unknown's calling ...
Dibiarkan ponselnya terus bergetar menampilkan nomor yang sama. Meski perasaan Alexia tidak seperti sebelumnya, dia merasa belum siap menghadapi Ryder sekarang. Mungkin dia butuh waktu lagi bahkan lebih lama tanpa tahu kapan berakhir.
Unknown's calling ...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top