Part 8

Tears like Today

###

Part 8

###

"Apa kau begitu merindukan istrimu ini hingga membuatku terburu-buru datang kemari?" kata-kata lembut Kinan penuh sindiran ketika wanita itu mengambil tempat duduknya di seberang Diaz.

Diaz menarik ssalah satu sudut bibirnya menyeringai, "Tentu saja aku merindukanmu, Kinan. Sudah seminggu lebih kita tidak bertemu, apa kau tidak merindukanku juga?" katanya penuh nada sindiran yang tak kalah menyebalkannya.

Kinan memutar bola matanya sambil meletakkan tas tangannya dengan kasar ke kursi kosong di sampingnya. Bersandar dan menyilangkan kaki dan tangannya dengan angkuh. "Kau mengganggu acaraku siang-siang begini tidak mungkin hanya untuk membual omong kosongmu itu. Jadi sebaiknya cepat katakan apa yang ingin kau bicarakan. Aku ada janji dengan temanku."

"Teman atau kekasihmu?"

"Dan sepertinya itu bukan urusanmu."

"Memang. Dan aku juga tak mau ikut campur kehidupanmu." Diaz melempar amplop coklat yang diberikan Adam ke hadapan Kinan. "Selama hal itu juga tidak mengusik kehidupan pribadiku. Apalagi keluargaku."

Kinan melirik amplop itu, kembali pada Diaz sebelum mengambilnya dan membuka isinya. Hanya foto-foto mesra dirinya dengan beberapa teman kencannya. Alisnya terangkat satu ketika ada beberapa adegan ketika ia berciuman dengan memakai bikininya. Sewaktu ia pergi ke pantai pribadi Kevin. Yang tentu saja diambil secara diam-diam. "Siapa yang mengirimnya?"

"Aku tidak akan bertanya kalau aku tahu."

Kinan memasukkan foto dan amplop itu ke tasnya. "Aku akan mencari tahunya."

"Kau pikir aku ingin tahu?"

"Lalu apa maumu?"

"Cerai."

"Apa?!" kini perhatian Kinan sepenuhnya tertuju pada sosok yang duduk di seberang meja. "Cerai?" ia mengulangi permintaan Diaz dengan kening berkerut.

"Ya." Diaz mengangguk, "Aku tak mau mengambil resiko mamaku terkena serangan jantung mendadak kalau tahu perbuatanmu pada putra kesayangannya. Sekalipun aku sama sekali tak masalah."

"Jangan bercanda kau, Diaz." Kinan tertawa mencemooh. Lalu tatapannya menajam dan langsung menolak. "Aku tidak mau."

"Kenapa? Apakah sekarang kau sudah mulai mencintaiku?"

"Aku tidak akan mau bercerai!" kali ini Kinan mengulang kalimatnya. Menekan setiap kata-katanya dengan tajam.

"Katakan alasan yang masuk akal."

"Kita tidak pernah mengatakan kapan kesepakatan kita akan berakhir."

"Kalau begitu sekarang waktunya kita membahas hal itu."

"Dan kita tidak akan pernah membahasnya." tandas Kinan lagi. Tak terbantahkan.

"Lalu apa yang kau inginkan dari pernikahan ini? Aku sudah bosan tidur di atas sofa. Dan aku tidak mau tidur di atas sofa seumur hidupku."

"Kalau begitu mulai sekarang aku yang akan tidur di sofa."

Diaz membuka mulutnya. Lalu membuang wajahnya ke samping kehabisan akal. Seorang Kinan rela tidur di atas sofa hanya karena tak mau bercerai dengannya. Sungguh drama komedi yang tak pernah terpikirkan akan di alaminya.

"Kenapa kau tiba-tiba ingin kita bercerai? Apa alasanmu menikah denganku sudah berubah? Apa kau sudah mulai mencintai wanita lain? Nani?  Atau siapa nama si perias itu. Apa kau menceraikanku karena ingin menikah dengannya?"

"Ini sana sekali tidak ada hubungannya dengan Nina." desis Diaz tak kalah tajamnya. Ia tak suka ada orang yang membicarakan sahabatnya dengan nada mencemooh seperti itu.

"Kalau begitu katakan padaku alasanmu memintaku bercerai. Alasan yang masuk akal."

"Memangnya apa yang kau pertahankan dari pernikahan ini?" Diaz balik bertanya. "Kau bahkan bisa bersenang-senang dengan pria lain sekali pun pria itu bukan Adam."

"Adam dan Senja terlalu sibuk dengan kebahagiaan baru mereka. Kau terlalu sibuk dengan kemurunganmu. Setidaknya biarkan aku sedikit bersenang-senang menikmati kebahagiaanku yang masih tersisa."

"Oh ya, tapi bisakah kau sedikit menjaga nama baik keluargaku?"

"Kali ini aku akan berhati-hati."

Diaz mendengus.

"Baiklah. Pembicaraan kita selesai." Kinan menyambar tas tangannya dan berdiri.

Diaz menghela nafasnya sambil bersandar. Baiklah, mereka tidak akan bercerai. Tapi setidaknya istrinya yang tidak lebih cantik dari Senja itu tidak akan membuat masalah lagi. Mereka hanya perlu menjalani pernikahan ini seperti sebelumnya. Dan ia juga baik-baik saja dengan pernikahan ini.

Kinan benar. Jika mereka bercerai, Nina pasti akan merasa punya harapan. Dan ia tak mau melukai wanita itu.

Sepertinya ia harus menjenguk wanita itu sebelum kembali ke rumah. Jam tangannya masih menunjukkan pukul 11.30 AM.

***

Sudah hampir lima menit keduanya hanya saling bungkam dan menutup mulut masing-masing. Dan karena sepertinya wanita itu juga tak ada niat untuk bicara, Diaz pun memilih mengakhiri kesunyian itu.

"Bagaimana kabarmu?"

Nina mengalihkan tatapannya dari selang infus yang terpasang di pergelangan tangannya dan menatap pria itu dengan senyum tipisnya yang pucat. "Baik." jawabnya lirih.

"Kecuali keadaanmu yang tengah berbaring di ranjang rumah sakit, mungkin kau benar." kata Diaz muram. Karena ia sendiri tak yakin menanyakan keadaan hati atau kesehatan wanita itu.

Nina tak membalas kalimat Diaz. Dan sejujurnya keadaannya tak pernah baik-baik saja sejak hari itu. Sejak Diaz memberitahunya akan menikah dengan seseorang yang sekarang sudah menjadi istrinya. Wanita yang bahkan tak mencintai dan dicintai oleh pria itu.

Ia kembali menoleh ke samping. Sedikit menunduk dengan ranjang rumah sakit yang jauh lebih tinggi daripada kursi yang di duduki oleh Diaz. Sekalipun pria itu jauh lebih tinggi darinya. "Maafkan aku." lirihnya setelah sesaat menghalau keraguan dalam hatinya.

Sejenak Diaz hanya terpaku dengan kata maaf itu. Seharusnya ia yang meminta maaf pada sahabat terbaiknya itu. "Untuk?"

"Entahlah." Nina mengangkat bahunya. Menatap jemarinya yang saling bertaut-tautan di atas pahanya. "Mungkin untuk sikap kekanak-kanakkanku yang menghindarimu. Seharusnya aku tidak melakukan itu."

Dari sekian banyak wanita yang di sodorkan Diaz padanya untuk di rias dan menemani acara penting pria itu, seharusnya ia sudah terbiasa dengan wanita-wanita yang ada di sisi sahabatnya itu. Dan bahkan seharusnya ia juga sudah memperkirakan suatu saat pria itu akan menikah. Hanya saja...

"Seharusnya aku tidak melakukan itu pada sahabatku." ia menambahkan.

"Aku juga minta maaf."

Nina mengangguk, kali ini menoleh dengan menampakkan wajahnya yang sedikit ceria dengan keadaan mereka yang mulai mencair. "Ya, seharusnya kau juga minta maaf padaku. Seharusnya kau tidak begitu saja memutuskan hubungan persahabatan kita sekali pun aku menghindarimu. Jika memang aku masih begitu berarti untukmu."

Diaz terkekeh, "Ya, Adam benar. Seharusnya aku berusaha menemui atau pergi ke apartemenmu."

Nina mengangguk setuju. Senyum di bibirnya mulai meninggi. "Kau sendiri, bagaimana kabarmu?"

"Ya, baik-baik saja. Aku juga mulai sibuk membantu pekerjaan Adam di luar kota sejak istrinya hamil. Apalagi sekarang, Adam harus benar-benar mengurangi pekerjaannya hampir sepenuhnya karena kehamilan Senja semakin besar. Jadi, aku juga tidak sepenuhnya mengabaikanmu karena kesibukanku itu, bukan?"

Nina terpaku dengan pengakuan panjang lebar Diaz. Bukan karena pengakuan sahabatnya itu. Tapi sorot penuh cinta yang sangat familiar dan penuh luka itu yang membuatnya tak berkata-kata. "Apa... Apa kau masih mencintainya?"

Diaz tersenyum muram, "Apakah masih tampak begitu jelas bagimu?" kedua tangannya mengusap wajahnya. Seakan dengan begitu akan menghapus semua perasaan yang masih mendekam di sana. Tapi nyatanya tindakan itu sia-sia.

"Setelah pernikahan kalian?" tanya Nina lagi tak percaya. Tubuhnya menegak dari sandarannya untuk lebih dekat ke arah Diaz.

Diaz hanya mengangkat bahunya sebagai jawaban.

"Lalu bagaimana dengan istrimu? Bagaimana pendapatnya tentang semua ini? Apakah dia tahu?"

Diaz mengibaskan tangannya, "Semua baik-baik saja. Kami... sepakat menjalaninya secara perlahan."

Jawaban itu membuat cubitan yang cukup menyakitkan di dada Nina. Tapi ia berusaha mengabaikannya dan terlihat baik-baik saja. "Apakah kau sangat mencintainya hingga begitu sulit untukmu melupakannya? Sedalam itukah perasaanmu?"

"Aku bahkan sudah menyerah dengan semuanya. Tapi aku tak tahu apa yang membuatku masih bertahan." Diaz menunduk. Suaranya begitu lirih hingga hampir berbisik. Selama berbulan-bulan ia menahan semuanya karena tak ada seseorang yang bisa diluapkan akan emosinya yang bergejolak. Dan saat ada Nina di sisinya, ia tak bisa lagi menahan semuanya. Hanya Nina yang mengerti dirinya. Hanya Nina yang tahu sebesar apa perasaan cintanya untuk Senja dan mau mengerti semuanya.

Ada rasa sesak di dada Nina yang lebih menyakitkan daripada rasa tercubit akibat pengakuan Diaz di hatinya. Ia tak suka melihat pria yang di sayangi sekaligus di cintainya begitu menderita. Tangannya terangkat menyentuh bahu Diaz demi menenangkan pria itu. Dan saat sahabatnya itu mendongak, ia tak suka melihat air mata yang mengalir membasahi pipi itu. Menunjukkan sebesar apa derita yang di alami Diaz.

Diaz menarik tubuhnya mendekat ke pinggiran ranjang dan meletakkan kepalanya di atas kedua paha Nina. Ia membutuhkan Nina untuk mengurangi sesak itu.

Nina mengusap lembut punggung Diaz. Membiarkan pria itu menangis dalam dekapannya. Membiarkan pria itu meluapkan apa pun yang ingin dikeluarkannya. Dan seketika itu muncul penyesalana di sana. Seharusnya ia tidak menghindari Diaz sejak pernikahan itu. Seharusnya ia tidak meninggalkan Diaz mengalami penderitaan itu sendirian. Pria ini pasti sangat menderita menyaksikan kebahagiaan orang yang di cintainya dengan kakak kesayangannya. Dan hidup seatap dengan Senja dan Adam pasti sangat berat untuknya.

***

Diaz berhenti berjalan ketika samar-samar ia mendengar percakapan dengan nada tegang dari arah ruang santai. Keningnya berkerut menangkap suara Kinan dan saudaranya. Mambatalkan niatnya untuk segera ke kamar dan berganti arah menuju ruang santai yang tak jauh dari sana. Dan benar saja, ia melihat Kinan dan Adam yang berdiri di tengah-tengah set sofa tampak saling bersitegang.

"Aku tidak akan bercerai dengan Diaz. Jadi jangan buang waktumu untuk membujuk saudara kesayanganmu itu."

"Dia pantas mendapatkan wanita yang jauh lebih baik daripada kau, Kinan."

"Apa wanita yang bernama Nina itu yang kau maksud?"

"Ya, dan dia sangat jauh lebih baik daripada dirimu."

"Tapi Diaz tak membutuhkan wanita seperti itu."

"Jaga kata-katamu!" Adam menunjuk wajah Kinan dengan geram.

"Aku mengatakan yang sebenarnya. Buktinya Diaz memilih menikahiku daripada wanita itu."

"Aku akan melakukan apa pun agar Diaz menceraikanmu dan mengusirmu dari rumah ini."

"Tadi siang kami sudah bicara tentang perceraian itu. Dan apa kau tahu kalau kami tidak akan bercerai sebagai hasil akhirnya?"

"Kalau begitu aku yang akan membuatmu keluar dari rumah ini." ancam Adam sekali lagi.

Kinan hanya mendengus sinis dengan ancaman Adam. Pria itu tak lagi ragu-ragu untuk saling menunjukkan kebencian padanya.

"Aku akan memastikan hal itu untukmu."

"Lakukanlah sesukamu. Tapi selama aku masih berstatus sebagai istrinya, kau tidak akan bisa mendepakku dari rumah ini. Dan itu tidak akan terjadi sebelum kau menjadi milikku."

"Kau benar-benar sudah gila." Adam menggelengkan kepalanya tak percaya. Wanita itu tanpa mempunyai rasa malu sedikit pun mengucapkan kata-katanya penuh keangkuhan dan kepercayaan diri yang tinggi. "Tapi satu yang perlu kau ingat, selama aku masih bernafas, selama itu pula aku tak akan pernah menjadi milikmu. Sedetik pun, aku tak sudi berada di sisimu. Apalagi seumur hidup menghabiskan umurku untukmu. Kau tak akan mendapatkan apa pun dariku selain kematianku. Bahkan kematianku pun kau tak pantas mendapatkannya."

Kinan mengetatkan kepalan kedua tangannya di kedua sisi tubuhnya dengan penghinaan Adam. Matanya menyipit dan bibirnya menipis penuh amarah.

"Hanya Senja yang berhak atas diriku. Seutuhnya. Apakah itu masih belum juga menyadarkanmu dari mimpi khayalanmu? Apakah matamu masih belum terbuka dengan kenyataan yang kau lihat dengan mata kepalamu sendiri? Kebahagiaanku dan Senja, bahkan dengan semua usaha sia-siamu untuk menginjakkan kakimu di rumah ini. Kami tetap bahagia. Sama sekali tak terusim dengan keberadaanmu. Sedikit pun."

"Hentikan, Adam. Atau kau akan menyesal telah mengucapkan kata-kata itu padaku." geram Kinan. Giginya mengertak menahan amarahnya yang ingin membuncah.

"Aku tidak akan pernah menyesal. Seharusnya kau yang menyesali perbuatan-perbuatan kotormu. Padaku atau pun pada Diaz. Sebelum aku yang memaksamu menyesali semuanya jika sampai mamaku tahu apa yang kau perbuat di belakangnya."

Kinan kehilangan suaranya untuk mengancam Adam lagi. Sampai ia tak tahan lagi dengan pembicaraan panas mereka dan melangkah meninggalkan Adam. Sempat terpaku sejenak ketika menyadari keberadaan Diaz yang berdiri di antara ruang santai dan lorong menuju kamar mereka. Pria itu hanya menatapnya tanpa ekspresi menyaksikan perdebatannya dengan Adam.

"Aku tak akan pernah menceraikanmu sekali pun kau memaksaku. Kau tahu apa yang mampu kulakukan jika aku ingin." kata Kinan saat ia sudah berdiri di hadapan Diaz.

Diaz mengangkat sebelah alisnya, sedetik mengamati wajah marah Kinan dengan senyum tipis mencemoohnya. "Jangan mengancamku, Kinan. Sepertinya kau juga tahu apa yang mampu kulakukan jika kau sedikit saja mengusik keluargaku."

Kinan mendesah kasar. Menghentakkan kakinya ketika melangkah pergi.

"Jika kau tak masih tak mau menceraikannya, aku sendiri yang akan mendepaknya dari rumah ini. Dengan atau tanpa persetujuanmu." kali ini Adam yang berkata padanya.

"Apa kau juga mengancamku?"

"Aku tidak bercanda, Diaz." gertak Adam dengan wajahnya yang sama sekali tak menunjukkan gurat bercanda sedikit pun sambil melangkah mendekat menghampiri adiknya.

"Apa kau pikir aku juga bercanda?"

"Kau menganggap pernikahanmu hanya sebuah permainan. Kau pikir akan sekecewa apa mama kalau tahu kau telah mengkhianati persetujuannya pada ijin pernikahanmu."

"Aku tahu kau tidak akan membocorkan masalah ini padanya."

"Memang tidak. Kecuali jika terpaksa, aku tak akan punya pilihan lain." ancam Adam lagi.

"Ayolah, Adam." Diaz mengangkat kedua tangannya. "Kami baik-baik saja. Terutama aku."

"Lalu kenapa aku tidak bisa melihatnya?"

"Kalau begitu kau hanya perlu menghargai keputusanku."

"Hanya jika keputusanmu itu benar." kata Adam sebelum berjalan pergi mengakhiri perdebatan mereka yang ia tahu tak akan berakhir baik. Ia benar-benar sudah kehabisan akal dengan sikap adiknya. Sudah cukup Diaz bermain-main dengan kehidupannya.

***

Monday, 12 February 2018

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top