Part 4
Tears like Today
###
Part 4
###
"Kau harus memotong rambutmu, Diaz. Anak mama jadi lebih mirip mafia daripada karyawan kalau seperti ini." Rea mengacak-acak rambut panjang Diaz. Pandangan matanya tampak terharu menata putranya yang satu itu memakai setelan formal. Dan akhirnya setelan itu untuk berangkat bekerja ke kantor.
"Karyawan?" mata Diaz melebar. Lalu mengalihkan pandangannya pada sosok yang duduk di seberang meja. Saudaranya yang tengah sibuk menyantap sarapan paginya. "Kau bilang kau akan mengajariku mengelolah perusahaan?"
Adam menelan sepotong roti sebelum menjawab pertanyaan saudaranya itu, "Papa dulu menjadikanku asistennya saat mengajariku mengelolah perusahaan."
"O, jadi aku akan jadi tangan kananmu? Asistenmu?" mata Diaz melebar tak percaya, "Pembantumu?"
"Tidak akan seburuk itu, Diaz. Aku tidak mungkin menyuruhmu membeli kopi di cafe seberang gedung."
"Kau selalu memaksaku datang ke pesta untuk bertemu para kolega bisnismu dan memperkenalkanku sebagai kembaranmu. Apa kata mereka kalau aku hanya jadi pembantumu saja? Aku seperti putra tiri keluarga ini saja." Diaz mengangkat salah satu sudut bibirnya ke atas beserta dengusan sinis yang menyusulnya, "Setidaknya berikan aku posisi yang bagus, Adam. Wakil presdir paling tidak."
"Itu posisiku." Adam menyuapkan sepotong roti ke mulutnya.
Diaz menoleh ke samping, ke arah mamanya, "Apa mama bisa membujuk papa untuk istirahat saja di rumah. Biar perusahaan kami berdua saja yang mengurusinya." bujuknya pada si mama.
"Apa sekarang kau ingin menyingkirkan papa dari perusahaan?" Darius menyahut sambil menunjuk ke arah Diaz dengan garpu makannya.
Rea tersenyum simpul pada suaminya, "Sudah waktunya kau beristirahat, Darius."
"Ooh, apakah istriku juga ingin menyingkirkanku sekarang?" Darius membelalakkan matanya tak percaya pada Rea, "Dan aku tidak setua itu, Rea."
Rea tertawa. Diikuti tawa Diaz dan Adam. Perdebatan orang tua mereka terkadang tampak begitu romantis bagi mereka. "Jika semuanya berjalan dengan lancar, tak menunggu lama sebelum kita dipanggil kakek dan nenek, Darius."
Pernyataan Rea membuat Senja yang duduk di samping Adam tersedak makanannya. Kalimat mertuanya itu secara gamblang menunjukkan apa yang di minta darinya sebagai seorang menantu. Suara tawa tiba-tiba lenyap dan kini semua perhatian tertuju padanya. Sekali pun dengan sigap, Adam membantunya untuk minum sambil mengusap lembut punggungnya, kegugupan wanita itu tak juga menghilang.
"Kau tidak apa-apa?" Adam menatap khawatir Senja dan meletakkan gelas yang tinggal setengah itu kembali ke tempatnya.
Senja menggeleng. Sambil mengusap-usap mulutnya dari sisa minumannya sebelum mengucapkan maaf pada perhatian yang semua orang tujukan padanya, "Maaf."
"Apa kata-kata mama ada yang mengganggumu?" tanya Rea prihatin. Lalu mendadak tersenyum sumringah ketika melanjutkan pertanyaan keduanya. "Atau kalian sudah punya kabar gembira untuk kami?"
"Bukan seperti itu, Ma." Adam mengambil alih jawaban Senja.
"Apa kalian berniat menunda untuk memiliki anak?"
"Tidak." jawab Adam singkat.
"Dan kau, Diaz?" Rea beralih pada putranya yang duduk di sebelahnya.
Diaz terpaku. Membatalkan niatnya menyuapkan potongan rotinya ke dalam mulut dan meletakkan kembali ke atas piring. Mungkin pertanyaan itu tepat jika di tanyakan pada Adam dan Senja. Tapi untuk dirinya...
"Tidak, Ma." Diaz menggeleng. Lalu menoleh ke arah Kinan meminta persetujuan, "Benarkan, Kinan?"
Kinan mengangguk pelan dengan senyum tipisnya, "Iya, Ma. Kami juga tidak akan menunda untuk memiliki anak."
Rea menghela nafas lega, "Syukurlah. Kalian berdua cukup sehat untuk segera mengandung. Jadi jangan cari alasan apa pun untuk menunda kehamilan. Kalau perlu kalian berdua ikut program kehamilan."
"Ma, usia pernikahan kami bahkan belum ada tiga bulan." Adam menyuarakan pendapatnya. "Memang kami tidak menunda, tapi kami juga tidak terburu-buru untuk segera mempunya anak."
Rea berdecak kesal, "Setidaknya kau harus sedikit terburu-buru untuk memberikan kabar gembira untuk kami."
"Rea, jangan buat menantumu tertekan." Darius memandang wajah istrinya penuh isyarat. "Itu juga tidak akan baik untuk mereka berdua."
Rea mendengus sinis dengan ucapan suaminya. Terpaksa menerima pendapat Darius karena memang benar adanya. Lalu pandangannya kembali beralih pada Adam dan Diaz bergantian, "Mama tidak akan bertahan sejauh ini jika mama tidak punya tingkat kesabaran yang tinggi untuk kaliam berdua." ia diam sejenak. Pandangan matanya menatap lurus ke arah samping sebelum melotot lebar pada Diaz, "Terutama kau!"
Diaz hanya menyengir lebar dengan todongan mamanya. Lalu dengan cepat ia menunduk untuk merangkulkan lengannya di leher mamanya dan memberikan ciuman singkat di pipi mamanya, "Diaz juga menyayangi mama. Amat sangat."
"Diaz!" gertak Darius. Jangan salahkan kecemburuan yang mulai bergejolak di dadanya. Tapi salahkan istrinya yang memang selalu lebih banyak memberikan perhatiannya pada putra kesayangannya itu. Selalu saja, anaknya yang satu itu lebih berkuasa atas hati istrinya.
"Dia hanya anakmu, Darius."
***
"Berapa hari kau di sana?" Senja memasukkan kemeja terakhir Adam sebelum menutup resleting koper kecil pria itu. Menoleh pada suaminya yang bersandar di kepala ranjang dengan kacamata beningnya. Sibuk dengan laptop di pangkuannya.
"Seminggu paling lama. Ada masalah dengan pembangunan hotel di sana. Ada beberapa warga yang protes dengan lahan kami." Adam menjawab dengan pandangan mata yang masih sibuk menatap layar laptop dan jemari yang menuliskan balasan untuk email yang masuk. "Semoga saja semuanya berjalan dengan lancar."
"Apa kau sendiri yang harus turun tangan mengurus masalah di luar kota seperti ini?" gumam Senja lirih. Bibirnya mengerucut menunjukkan protesnya. Selama lebih dari dua bulan ia menikah dengan Adam, hanya beberapa hari saja suaminya itu tidur di rumah karena proyek entah apa itu dan di kota ini itu bergantian setiap minggunya.
Adam menghentikan kegiatannya menyadari nada sedih dalam suara istrinya. Lalu mendongak mengamati cemberut di wajah cantik Senja sejenak. Tahu benar penyebab bibir istrinya yang melengkung muram. Sejak menikah waktunya memang lebih banyak ia berikan untuk pekerjaannya yang menumpuk di kantor. Juga proyek-proyek baru yang dipercayakan papanya untuk ia pegang. Diaz tak cukup banyak membantu. Karena adiknya itu memang baru ikut mengurus perusahaan selama seminggu ini.
"Kemarilah." tangan Adam melambai pada istrinya setelah ia memindahkan laptop dari pangkuannya dan kacamatanya ke atas nakas.
Sejenak Senja hanya terdiam dengan panggilan suaminya. Namun jika Adam sudah menyingkirkan musuh besarnya dan berusaha menyisihkan waktunya sedikit untuknya seperti ini, tentu ia tak akan pernah bisa menolaknya, bukan?
Senja pun merangkak ke dalam pangkuan Adam dengan senang hati. Merangkulkan kedua lengannya di leher pria itu. Dan senyum cerah langsung menghiasi wajahnya begitu Adam memberikan kecupan ringan di bibirnya.
"Kau tahu papa tidak mungkin mondar-mandir keluar kota setiap seminggu sekali, bukan? Dan Diaz juga belum pernah mengurusi hal-hal seperti ini. Mungkin bulan depan aku baru akan mengajaknya. Setidaknya, waktu sibukku akan berkurang setengahnya. Bagaimana? Apa berita ini cukup menyenangkanmu?" Adam menggesek-gesekkan hidungnya di hidung Senja.
Senja mengerutkan keningnya, tampak berpura-pura memikirkan pertanyaan suaminya. Dengan cengirannya, ia menjawab, "Sedikit."
Adam memicingkan matanya curiga, sebelum senyum jahil muncul di sudut bibirnya dan jemarinya yang bertengger di pinggang Senja menggelitik wanita itu.
"Adam!" Senja menjerit, matanya membelalak kaget dan tertawa kencang merasakan geli di sekitar pinggangnya. Kedua tangannya mendorong dada Adam dan berusaha terlepas dari pelukan suaminya. Tapi pria itu malah membawanya berbaring di tengah ranjang dan menindih tubuhnya. Mengurungnya. "Hentikan, Adam."
"Apa ini cukup membuatmu tertawa?" jemari Adam masih sibuk membuat istrinya bergelinjangan di bawah tubuhnya.
"Ampuunnn!!!" teriak Senja di antara tawa gelinya. Tangannya berpindah menahan pergelangan tangan Adam. Tapi apa daya, ia terlalu lemah dengan kekuatan pria itu. "Kumohon, ampuni istrimu yang tak berdaya ini."
Adam menghentikan gelitikannya, tersenyum penuh kepuasan dengan penyerahan istrinya.
"Ampunilah istrimu yang cantik ini." Senja mengulangi kalimat penyerahannya.
"Aku akan memikirkannya." Adam menyanggah tubuhnya dengan kedua siku yang mengurung istrinya agar berat tubuhnya tidak meremukkan tubuh mungil di bawahnya. "Suamimu benar-benar bukan seorang yang pemaaf, Nyonya Adam."
Lengan Senja terangkat dan mengalungkannya di leher Adam dengan senyum penuh maksud tersembunyi pada suaminya. Suaranya terdengar lembut dan penuh godaan ketika berbisik, "Malam ini, aku berjanji akan menuruti semua permintaan suamiku."
Adam menarik salah satu alisnya, menunjukkan ketertarikannya dengan godaan istrinya, "Benarkah?"
"Ya. Malam ini ini, sepenuhnya aku hanya milik suamiku." Senja mengangguk. Masih dengan bisikan menggoda untuk menjawab pertanyaan suaminya. Bahkan wanita itu sengaja menghembuskan nafasnya di telinga Adam. Membuat pria itu memejamkan matanya tak tahan dengan godaan istrinya.
"Aku benar-benar tidak kuasa untuk menolaknya, bukan?" Adam langsung menyambar godaan istrinya bahkan sebelum mulutnya tertutup menyelesaikan kalimatnya. Bibirnya seketika tenggelam dalam kelembutan bibir Senja. Dan tak menunggu lama hingga keduanya saling bergelung di atas ranjang untuk melanjutkan aktifitas panas mereka menyambut malam.
Dan malam pun semakin larut.
***
Perutnya yang bergejolak dengan sangat tiba-tiba membangunkan Senja dari tidur yang lelap. Dengan segera ia menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya dan berlari ke arah kamar mandi. Hanya sempat meraih kaos longgar milik Adam untuk menutupi kulit tubuhnya. Dan beruntung ia masih sempat mencapai toilet ketika memuntahkan isi perutnya. Semua makan malamnya.
"Apa kau baik-baik saja?" Adam muncul di belakangnya hanya dengan menggunakan celaka boxer. Tangannya memegang rambut panjang istrinya agar tidak terkena muntahan. Matanya yang sudah terbebas dari rasa kantuk menatap istrinya dengan kekhawatiran. Walaupun kepalanya sedikit pusing oleh bangun tidur dengan cara dikagetkan oleh gerakan istrinya yang tiba-tiba seperti ini. Belum pernah Senja bergerak kasar ketika terbangun dari tidurnya. Dan mungkin inilah penyebabnya.
Senja tak bisa menjawab pertanyaan suaminya bahkan hanya dengan gelengan kepala saja. Sekali lagi ia menunduk dan memuntahkan sisa-sisa makan malam yang masih ada di dalam perutnya. Dan setelah tak ada apa pun yang bisa dimuntahkannya, ia mulai beranjak dari simpuhnya sambil menarik tutup toilet dan duduk di atasnya.
"Apa sudah lebih baik?" tanya Adam sekali lagi. Mengusap punggung istrinya untuk meredakan apa pun rasa tak nyaman yang dirasakan Senja.
Senja mengangguk pelan dan mengusap keringat di dahinya. Membiarkan Adam menyeka sisa-sisa muntahan di sekitar bibirnya sambil berjongkok di depannya.
"Aku akan mengantarmu ke dokter kalau kau sakit." Adam melempar tisu kotor itu ke tempat sampah di sudut ruangan. Lalu jemarinya menyelipkan anak-anak rambut Senja di balik telinga.
Senja menggeleng, "Kau harus ke bandara pagi ini."
Mata Adam melebar baru teringat dengan jadwal keberangkatannya pagi ini. Haruskah ia meninggalkan istrinya dengan keadaan seperti ini?
Senja menangkup wajah Adam dengan kedua jemarinya ketika mendapati kemuraman di wajah suaminya. "Aku baik-baik saja. Mungkin aku hanya kelelahan setelah tadi malam."
"Tapi..."
"Aku hanya butuh istirahat lebih saja. Setelah itu aku akan kembali seperti semula." Senja memotong ucapan Adam. Berusaha memberikan senyumnya untuk menenangkan kekhawatiran pria itu. "Dan kalau aku masih tidak baik-baik saja, aku bisa pergi ke dokter. Kau tidak perlu khawatir. Lagipula ada mama dan papamu yang akan menjagaku selama kau pergi. Benar, kan?"
Lama sebelum akhirnya Adam mengangguk dan menyetujui pernyataan istrinya. "Kalau begitu kembalilah istirahat. Aku akan bersiap-siap."
Senja mengangguk. Mengalungkan lengannya di leher pria itu agar tidak terjatuh ketika Adam membawanya kedalam gendongannya. "Aku masih kuat berjalan ke atas kasur, Adam." gumamnya pelan. Lalu menyandarkan kepalanya di lekukan leher pria itu dan berkata lagi, "Tapi aku suka kau menggendongku."
Adam mencium kening Senja. Merasakan senyuman lebar istrinya di lekukan lehernya. "Aku juga menyukainya."
"Aku akan bicara dengan mama sebelum berangkat nanti. Biar sarapanmu di bawa ke atas." Kata Adam lagi ketika menyelimuti tubuh Senja hingga di atas dadanya. "Istirahatlah."
Sekali lagi Senja mengangguk. Matanya mulai mengantuk ketika Adam memberikan kecupan lagi di dahinya sebelum beranjak ke kamar mandi.
***
Repost
Monday, 2 September 2019
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top