Part 33



Part 33

###

ArioKinan dan DiazSenja mulai hari ini udah bisa dipeluk online di playstore untuk menemani #Stayathome kalian di rumah ya.

###

Darah itu sangat banyak. Memenuhi bagian depan kemeja putih yang pria itu kenakan. Kedua tangan yang bertumpuk di perut sama sekali tak mampu menghentikan darah mengalir dan mulai membasahi lantai tempat pria itu tersungkur. Ekspresi kesakitan di wajah dan erangan yang keluar dari bibir pucat itu membuatnya mendongak. Menatap nanar wajah yang sama persis dengannya. Itu saudaranya. Adam.

Nafasnya tercekat. Siapa yang berani melakukan ini pada sauadaranya?

Ia mencoba mengusir kekakuan di kaki dan melangkah mendekat. Bersimpuh di samping tubuh itu. tangannya terangkat, berusaha membantu menghentikan darah yang terus mengalir. Namun, bukannya darah itu berhenti, ekspresi wajah itu semakin kesakitan. Ia menunduk, dan betapa terkejutnya saat melihat ada sebuah pisau dalam genggamannya. Penuh dengan darah. Darah yang sama di tubuh pria itu.

"Ti ...tidak. Tidak mungkin." Ia menggelengkan kepala. Menjerit tak percaya. "Tidak mungkin."

"Ke ... kenapa?" Bibir pucat itu bergerak dengan lemah. lalu terbatu dan memuntahkan darah.

Ia menggeleng-gelengkan kepala lebih keras hingga lehernya terasa sakit.

"Kenapa kau lakukan ini padaku?" suara lemah itu kini semkain nyaring dan memekikkan telinganya.

"Kenapa kau membunuhnya?" suara feminim bercampur isak tangis yang berasal dari samping membuatnya menoleh. Ia melihat mamanya bersimpuh di samping tubuh yang penuh darah itu. memeluknya. Lalu muncul sosok papanya di samping kiri, lalu Senja, Aidan, Nina, Kinan. Semua memandangnya dengan ekspresi menuduh dan tatapan kebencian.

"Kenapa kau membunuh Adam, Diaz?"

Diaz tersentak. Matanya mendadak terbuka dan sekujur tubuhnya gemetar. Nafasnya terengah-engah saat berusaha melepaskan diri dari cengkeraman mimpi buruk yang menyiksa. Merasa sedikit lega melihat sisi lain tempat tidur yang sudah kosong. Senja tak perlu menyaksikan kepiluan dan kelemahannya yang tak mampu menghadapi kebenaran menyedihkan itu.

Butuh beberapa menit bagi Diaz untuk menunggu detak jantungnya melambat dan sepenuhnya kembali ke dunia nyata. Kemudian ia turun dari ranjang dan berjalan ke kamar mandi. Namun suara gedebuk dari ruangan di samping dan tangisan Aidan yang nyaring membatalkan niatnya. Secepat kilat Diaz berlari ke pintu penghubung dan mendorongnya terbuka. Ia baru saja pulih dari serangan mimpi buruk yang membuat kepalanya terasa pening. Kini kepalanya semakin pening dengan pemandangan yang membuatnya kembali kehilangan nafas.

"Senja?!"

***

"Bagaimana keadaanmu?" Diaz meletakkan nampan berisi sarapan pagi di nakas dan duduk di sisi Senja yang bersandar dikepala ranjang. Wajah wanita itu masih nampak pucat, membuat Diaz memaksa untuk tetap diam di ranjang.

"Ba ... baik," lirih Senja. Memejamkan mata demi menghilangan pusing yang masih tersisa.

"Apa kepalamu masih pusing?"

Senja menggeleng. Lalu matanya terbuka dan bertanya, "Di mana Aidan?"

"Dengan mama." Diaz mengambil tempat duduk di pinggiran ranjang. Mengambil segelas susu menyuapkannya ke bibir Senja.

Sambil bernafas lega Senja meneguk susu tersebut hingga habis. Perutnya terasa lebih baik. Tadi ia mengabaikan rasa pusing di kepalanya karena begitu merindukan Aidan dan menemui Aidan sebelum sempat mengisi perut.

Diaz mengembalikan gelas yang sudah kosong ke tempatmya dan mengambil sepotong sandwich keju untuk Senja. "Makanlah."

Senja membuka mulutnya dengan canggung ketika rasa pusing di kepalanya benar-benar menghilang dan ia menyadari interaksi mereka yang begitu intim. Diaz begitu telaten merawatnya. Kekhawatiran Diaz seringkali membuatnya rishi, tapi entah kenapa perhatian pria itu kali ini malah membuat terbiasa.

Ia merasakan pipinya memanas ketika Diaz mengusap sisa remahan di bibir. Membuatnya menahan nafas sampai Diaz menarik jemari pria itu menjauh.

Belum lagi dengan rasa malu yang masih mendekam di hatinya ketika mengingat detail kejadian kemarin malam. Detail ketika ia melihat Diaz dan berlari ke dalam pelukan Diaz. Menangis di dada pria itu. Bisakah ia bersikap memalukan seperti itu setelah semua sikap dinginnya pada Diaz. Belum lagi dengan reaksi Diaz saat ini, yang terkesan tak terpengaruh sama sekali dengan kejadian tadi malam.

Diaz membawanya pulang dan membiarkan tubuh lemahnya bersandar pada pria itu. Memeluk tubuhnya dan menenangkannya di saat ia butuh kehangatan dan kenyamanan. Diaz memberikan semua yang ia butuhkan. Mata dan hatinya tak cukup buta untuk semua kebaikan yang diberikan oleh Diaz.

Sentuhan tangan Diaz di perut membuyarkan lamunan Senja. Wanita itu terpaku melihat Diaz yang menunduk dan tercenung memperhatikan perutnya.

"Apakah dia juga baik-baik saja?"

Senja mengangguk setelah sempat tertegun dengan pertanyaan Diaz.

"Apa dia bisa bergerak?"

Senja menggeleng lalu menjawab, "Sekitar tiga bulan, biasanya dia mulai bergerak."

"Saat ini, dia pasti sangat kecil dan rapuh," Diaz menggumam pada dirinya sendiri. "Terima kasih kau sudah menjaganya dengan sangat baik."

Kening Senja berkerut. Terima kasih? Seharusnya ialah yang mengucapkan kalimat itu pada Diaz. Bibir Senja sudah terbuka dan kata itu sudah di ujung lidah ketika gerakan tiba-tiba Diaz membuatnya terpaku.

Diaz membungkukkan punggung dan menempelkan telinganya di perut Senja. Perasaan hangat seketika memenuhi dadanya ketika merasakan sebuah kehidupan di dalam sana. Ia bisa merasakan kehadiran bagian dari dirinya yang sedang bertumbuh. Membawa kebahagiaan yang sangat istimewa.

Lalu bayangan mimpi itu muncul dan mengejeknya. Menguapkan semua kehangatan dan kebahagiaan yang baru saja muncul. Tubuhnya menegang ketika ingatan semua mata yang menatapnya dengan tatapan penuh kebencian.

Tangan Senja terangkat, berniat menyentuh kepala Diaz. Namun belum sempat jemarinya menyentuh rambut Diaz, tiba-tiba pria itu bangkit dan melangkah ke kamar mandi secepat kilat. Meninggalkannya dalam kebingungan.

Kenapa?

Apakah ia melakukan kesalahan?

****

Sikap Diaz memang selalu mengusik perhatian Senja. Perasaan cinta yang penuh keterusterangan, kekhawatiran yang terlalu berlebihan, bahkan sekarang sikap diam pria itu semakin membuat Senja memutar otak.

Ekspresi muram di antara raut lelah Diaz, semakin membuatnya bertanya tanpa berharap bisa mendapatkan jawaban.

Tiga hari sejak pria itu menjemputnya di rumah Ario, sikap Diaz berubah 180 derajat. Terkesan menutup diri dan menjauhinya. Meskipun Diaz masih kerap kali memastikannya untuk makan tiga kali sehari, meminum susu ibu hamil atau pun vitaminnya. Tak sedikit pun perhatian pria itu berkurang.

Berkali-kali Senja memikirkannya, ia tak menemukan penyebab perubahan sikap Diaz yang aneh. Pria itu lebih banyak menghabiskan waktunya di ruang kerja saat di rumah, sehingga Senja sendiri tak sempat berbicara lebih. Seperti saat ini. Setelah memastikan dirinya naik ke atas ranjang, Diaz langsung ke kamar mandi dan kembali ke ruang kerjanya dengan dalih ada urusan kantor yang menumpuk. Kemudian, keesokan paginya Senja akan menemukan Diaz yang sudah siap dengan setelan jas untuk berangkat ke kantor. Memastikan gizinya dan anaknya terpenuhi sebelum berjalan ke kamar Aidan untuk menengok putranya sebentar. Tak lama samar-samar ia mendengar suar pintu kamar Aidan terbuka dan tertutup kembali.

Senja tertegun menatap pintu penghubung yang tertutup. Cukup yakin pria itu tidak akan kembali ke kamar sebelum pagi menjelang. Seprai yang masih rapi yang Senja temukan dua hari ini memberinya keyakinan tersebut.

Apa Diaz sedang marah padanya?

Kenapa?

Kening Senja berkerut mengingat kejadian tentang malam itu. dirinya, Ario, Kinan dan Diaz. Apakah ada sesuatu yang disembunyikan mereka darinya?

Mendadak tubuh Senja membeku teringat kata-kata terakhir Ario. Terima kasih atas pujian manisnya, Nyonya Farick. Ini akan menjadi rahasia indah di antara kita berdua.

Apakah Diaz tahu tentang itu?

Apakah Ario memberitahunya?

Senja menyingkap selimut yang dipakaikan Diaz ke samping. Mengenakan sandal dan melangkah menuju ruang kerja pria itu. Ia harus bicara lebih dengan Diaz.

"Inikah urusan kantormu yang menumpuk itu?" Pertanyaan Senja membuat Diaz mengerjap dan menoleh ke ambang pintu. Ia bahkan tak tahu kapan Senja membuka pintu.

Pikirannya benar-benar kacau, benar-benar dalam keadaan berantakan dan ia belum siap menghadapi Senja. Keadaan seperti ini pernah terjadi, setelah kecelakaan itu dan sekarang semakin parah. Bahkan setelah semua itu selesai, ia masih tak mampu menghadapinya. Menghadapi Senja, Aidan, kedua orang tuanya maupun Nina. Satu-satunya alasan ia belum menjadi gila dan kembali ke masa tersuramnya adalah karena ada Senja di rumah ini. Merasa beruntung wanita itu adalah satu-satunya hal yang membuatnya tetap waras, meskipun ia sama sekali tak bisa memejamkan mata. Terlalu pengecut bahkan untuk menghadapi mimpi butuk yang menerornya.

"Kenapa kau belum tidur, Senja."

Senja terdiam. Sudut bibir Diaz yang berkedut menunjukkan kekesalan yang berusaha pria itu tutupi. Apa pria itu kesal karena ia memergokinya berbohong?

"Apa kau menghindariku?"

Pertanyaan bagus. Diaz mendesah dalam hati. Matanya terpejam dan jemarinya mengurut hidung. Berusaha terdengar normal saat berkata, "Kembalilah tidur, Senja. Ini sudah terlalu larut."

"Jadi itu benar?" Senja menutup pintu dan berjalan masuk.

Diaz menegakkan punggung. Tekad kuat di wajah Senja membuatnya semakin frustasi. "Tidak," bohongmya dengan gelengan kepala. "Aku hanya memikirkan sesuatu."

Mata Senja menyipit dengan kebohongan yang diucapkan oleh Diaz. "Kau bahkan menghindari untuk menatap wajahku."

Desahan keras keluar di antar bibir Diaz. "Ini sudah malam. Tidak seharusnya ibu hamil ...."

"Hanya butuh tak lebih dari tiga puluh menit untuk kita bicara, Diaz. Kenapa kau menghindariku?"

"Aku tak ...."

"Kita berdua tahu itu bohong, Diaz," sela Senja. "Kau berubah setelah kita kembali dari rumah Ario? Apa aku melakukan kesalahan?"

Bukan kau, tapi aku, dan aku tahu kau tak akan mampu menghadapi kebenaran di balik kecelakaan Adam, Diaz menjawab dalam hati. Mungkin Senja perlu tahu, tapi keadaan wanita itu saat ini tak memungkinkan bagi Diaz membongkar semuanya sekarang.

"Apa karena Ario menciumku?" Senja mendorong gumpalan di tenggorokannya. Mendorong ketakutan yang masih tersisa ke dasar hatinya ketika membayangkan jika Ario bertindak lebih jauh dari sekedar ciuman.

Diaz mendongak dan matanya membelalak terkejut sebelum api bergemuruh di dadanya. "Apa?! Ario menciummu?"

"Ya, bukankah karena itu kau merasa jijik memandangku?" Senja hampir tak bisa menahan dorongan untuk menangis dengan kalimat yang diucapkannya. Ketakutan itu mulai kembali merebak memenuhi hatinya. "Atau kini kau sudah menyadari arti keberadaan Kinan."

"Sialan," umpat Diaz sambil beranjak dari duduknya dan memutari meja untuk meraih tubuh Senja. Jika ia tidak mengenal Senja dengan baik, ia akan mengira Senja sedang cemburu. "Hilangkan semua pikiran konyolmu itu, Senja."

"Aku tahu kau tidak lagi tidur di kamarku, apa kau kembali tidur di kamarmu?" Entah kenapa pertanyaan itu terasa seperti mencubit hati Senja. Bagaimana pemikiran seperti itu mampu membuatnya merasa sangat kesal.

"Aku tidak tidur dan semua tidak seperti yang ada di pikiranmu, Senja." Diaz membawa Senja ke dalam pelukannya. Gemetar yang menjalar di tubuh Senja membuat rasa bersalahnya semakin besar. Seharusnya ia lebih cepat menemukan Kinan dan Senja tak perlu menghadapi kebrengsekan Ario. Mungkin ia harus membuat perhitungan dengan pria itu karena telah berani menyentuh Senjanya.

"Maafkan aku, seharusnya aku lebih cepat menjemputmu."

"Aku benar-benar takut, Diaz." Suara Senja bergetar di dada Diaz. Namun kenyamanan yang diberikan Diaz mampu menekan ketakutannya dalam sedetik.

"Aku tahu." Diaz mencium puncak kepala Senja dalam-dalam dan mempererat rengkuhan lengannya. "Aku akan menemanimu tidur malam ini."

****

Saturday, 5 January 2019

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top