Part 32



Tears like Today

###

Part 32

###

Hari ini terakhir preorder babang Diaz ama Ario. Yuk, buruan yang belum pesen, segera diorder.


Senja tak bisa lagi menggambarkan bagaimana perasaan takut yang menyesakkan dadanya. Matanya terpejam,menghirup dan menghembuskan nafasnya dengan perlahan, sambil dalam hati menghitung satu sampai sepuluh untuk meredakan luapan emosi yang siap menyembur. Beruntung di hitungan ke tujuh, perasaannya kembali tenang.

Senja bisa saja berdiri dan menampar pipi Ario dengan suara lantang membalas kata-kata brengsek pria itu. Namun Senja tak mau memuaskan keinginan Ario. Saat ini, ia punya bayi dalam kandungannya untuk dipikirkan. Ia tidak mau ketidakstabilan emosi memengaruhi keadaan janin dalam perutnya.

Diaz pasti datang. Senja yakin hal itu. Karena Diaz sangat mencintainya. Dengan kegilaan pria itu, ia tahu Diaz akan membebaskannya dari Ario. Semoga.

Perhatian Senja dan Ario teralih pada getaran ringan yang berasal dari saku celana Ario. Pria itu pun menyelipkan tangan kanannya untuk memberikan perhatian pada ponsel yang berkelap-kelip. Menggeser layar dan menempelkannya di telinga.

"Ya?"

Ketenangan Senja kembali terusik oleh ekspresi di wajah Ario yang mendadak berubah. Sepertinya si penelfon membawa kabar yang tidak menyenangkan.

"Aku tahu, suruh mereka menunggu."

Mata Senja melebar dengan kata 'mereka' yang diucapkan Ario. Apakah Diaz dan Kinan sudah datang?

Ario terkekeh, mendengar suara penuh kemurkaan menggantikan pengawal yang bertugas. "Anda memang bukan pria penyabar, Tuan Farick."

'Diaz?' Senja segera beranjak dari simpuhnya. Tangisannya hampir pecah tanpa alasan.

"Ya. Anda bertamu ke rumah saya, sudah seharusnya Anda mengikuti aturan tuan rumah."

Senja berniat memanggil nama diaz sekencang dan sekuat mungkin. Namun sebelum mata Senja sempat terkejap, punggungnya sudah menempel di dada Ario dan telapak tangan pria itu membungkam bibirnya. Kontan tubuh Senja meronta, kedua tangannya mencakar telapak Ario, berusaha melepaskan tangan Ario.

"Mungkin kita butuh waktu beberapa menit untuk membangunkan nyonya Farick." Ario memutus panggilan tersebut.

Jeritan dan sumpah serapah Senja tertahan dan membuat tenggorokannya sakit. Sedikit bersusah payah dengan rontaan Senja yang semakin menjadi. Ario mendorong tubuh Senja menempel di dinding kamar mandi. Menahan dorongan sekuat tenaga Senja untuk terbebas. Namun apa daya, kekuatan wanita Senja sama sekali tak sebanding dengan tubuh kekar Ario yang bertekad dan sama sekali tak menutupi nafsu pria itu.

Ario melepaskan telapak tangannya dari bibir Senja, berpindah menelusupkan jemarinya di tengkuk Senja. Senja sudah mengeluarkan suara untuk berteriak sekencang mungkin memanggil nama Diaz, tapi sebelum kata itu selesai, bibir Ario membungkam bibir Senja. Mencium wanita itu dengan paksa.

Tangisan Senja pecah, atas ketidakberdayaannya dengan kekuatan fisik Ario. Kemarahan dan sakit hati yang menekan dadanya begitu kuat tak membiarkannya mengambil nafas dengan mudah.

Sampai akhirnya Ario melepas ciumannya dan membiarkan tubuh Senja terjatuh lunglai di lantai kamar mandi yang dingin.

"Anggaplah ini sebagai kompensasi atas terlukanya perasaan saya, Nyonya Farick," kata Ario. "Setidaknya saya bisa mengingat ini sebagai ucapan selamat tinggal yang manis."

"Kau benar-benar menjijikkan, Ario," desis Senja di antara air mata yang membanjiri wajahnya. Tubuhnya bergetar oleh kemurkaan dan matanya berkilat penuh kebencian yang amat besar pada Ario.

Ario tersenyum, ibu jarinya menyapu bibirnya dengan ekspresi kepuasan yang sangat besar. "Terima kasih atas pujian manisnya, Nyonya Farick. Ini akan menjadi rahasia indah di antara kita berdua."

***

Seperti udara yang masuk ke paru-parunya untuk pertama kalinya, Senja tersengal oleh nafasnya ketika melihat Diaz berdiri di tengah ruang tamu kediaman Ario. tanpa keraguan sedikit pun, Senja berlari menyeberangi ruang tamu yang luas dan menghampiri Diaz seakan pria itu satu-satunya hal yang membuatnya bertahan hidup.

Diaz tersentak ketika Senja mendekap tubuhnya dengan pelukan yang erat, ia pun menarik Senja ke pelukannya yang kuat.

"Diaz," isak Senja di dada Diaz. Ia begitu ketakutan, dan dengan kekuatan yang dimiliki Diaz untuk mereka berdua membuatnya merasakan kenyamanan. Mendekap erat-erat tubuh Diaz seakan takut terlepas jika ia melonggarkan pelukannya sedikit saja.

Diaz mencium puncak kepala Senja. Menghirup dalam-dalam wangi rambut Senja. Tangan kanannya mengusap punggung Senja untuk meredakan gemetar dan tangisan wanita itu, "Sshhh, apa kau baik-baik saja?"

"Aku ingin pulang," kata Senja sambil sesegukan.

Diaz mengangguk. Tanpa melepas pelukan mereka, keduanya berjalan ke luar rumah.

"Jika kau memang begitu menginginkan Senja, seharusnya kau tidak membiarkan pertukaran ini berjalan dengan mudah, Ario," desis Kinan memecah lamunan Ario pada kedua sosok yang baru saja menghilang dari pandangan mereka berdua.

Ario menoleh. "Sayangnya takdir membuat kita bertemu lebih dulu."

Kinan mendengkus. Berada di nomor dua adalah perasaan familiar yang mendekam di lubuk hatinya paling dalam jika disandingkan dengan Senja. Setidaknya ia memang harus berpuas diri hanya dengan menjadi istri pertama Diaz. Meskipun di balik sertifikat pernikahan mereka, Diaz tidak pernah menganggapnya sebagai seorang istri.

Ario mengangkat kedua tangannya pada Kinan. Lalu pandangannya tertuju pada perut dan wajah Kinan bergantian. Dengan seringai tipis di bibirnya, ia bergumam, "Satu-satunya yang dia bawa dari sini adalah hatiku yang terluka, Kinan. Tapi akan membaik dengan kehadiran kalian berdua dan berjalannya waktu."

***

Diaz mencium punggung tangan Senja yang menggenggam jemarinya dengan kuat. Memandang wajah yang tengah terlelap itu dengan pandangan kosong. Akhirnya, tangisan wanita itu berhenti dan emosinya sudah mulai tenang setelah meminum obat tidur. Senja terlalu lelah secara fisik dan emosi untuk menjelaskan tentang ketakutan yang begitu menghantui wanita itu, dan ia tak mau menambah beban tersebut dengan sebuah pertanyaan. Entah apa yang dilakukan Ario pada Senja. Diaz benar-benar merasa begitu tak berdaya. Terlalu lemah.

Dengan lembut Diaz mengusap jari manis Senja lalu diam terpaku. Memandang kedua cincin pernikahan Senja terpasang di sana. Dari Adam dan dirinya. Kilas balik saat Adam menyelipkan cincin itu, senyum kebahagiaan mereka di pelaminan.

Kemudian kebahagiaan itu lenyap tak bersisa setelah kecelakaan Adam. Semua bayangan itu ditambah kata-kata Kinan tentang penyebab kecelakaan Adam yang berkelebat di pikirannya membuat Diaz menggigil. Membuat emosinya keluar tak terkendali oleh rasa takut yang menggantung di antara dirinya dan Senja. Bagaimana tentang kebahagiaan yang ada dalam genggamannnya adalah sumber dari penderitaan yang harus di terima oleh cintanya.

Diaz tak ingin mempercayai semua kata-kata Kinan, tapi ia tahu semua itu benar. Semua penderitaan Senja bermula dari dirinya. Bermula karena ia yang tak sanggup mengarahkan hatinya dengan benar. Jika saja ....

Diaz menggeleng ketika kata perandaian itu mulai merasuk ke dalam hatinya. Semua kata perandaian itu akan membuatnya semakin dipenuhi rasa bersalah yang ia tahu tak sanggup Diaz rasakan. Akan membuatnya berakhir dengan sangat menyedihkan.

"Kurasa inilah alasan kenapa cinta untuk Senja di matamu tak pernah memudar. Aku bisa tenang me ninggalkan Senja dan Aidan."

"Mungkin ini alasan kenapa kita mencintai wanita yang sama. Hanya kau yang bisa kupercayai untuk menjaga Senja dan Aidan."

Kata-kata Adam seperti teror yang berdiam diri di kamar mereka. Menghantui dan mengejek Diaz tentang harapan akan cintanya yang telah tercapai. Ironis sekali, bahwa cintanya harus berasal dari penderitaan orang-orang di sekitar yang sangat ia sayangi.

"Maafkan aku, Senja," bisik Diaz parau. Mencium kening Senja, menghirup aroma menyejukkan di sana. Lalu tangannya bergerak menyentuh perut Senja. Terlihat tak ada perubahan yang cukup besar, tapi jemarinya bisa merasakan tonjolan di sana. Sepertinya bayi mereka mulai bertumbuh semakin besar. Senyum tipis terukir di bibirnya saat bayangan replika Senja dalam bentuk yang sangat mungil dan rapuh berada dalam gendongannya. Lalu pertanyaan itu muncul di kepalanya dengan sangat jelas.

Bisakah ia meraih kebahagiaan yang begitu besar dengan kerapuhan dan kelemahan yang mengendap cukup lama di dasar hatinya ini?

Pantaskah ia mendapatkan kebahagiaan tersebut?

***

Suara tawa Aidan dan Diaz yang melengking mengukirkan senyum di bibir Senja. Keduanya tengah berlari di pinggir pantai. Hanya butuh dua langkah besar bagi Diaz untuk mengejar Aidan dan menangkap tubuh mungil itu. Membawanya berguling di pasir dan menggelitikinya. Dengan wajah yang diwarisi dari Adam yang merupakan saudara kembar Diaz, tentu tidak aka nada yang menyangka bahawa mereka adalah keponakan dan paman. Setiap orang pasti mengira bahwa Aidan adalah anak Diaz.

"Senyum Aidan memang selalu lebih lebar saat bersama Diaz." Senja menoleh dan mendapati Adam berdiri di sampingnya. Dengan senyum hangat dan lembut yang masih begitu jelas terpatri diingatan Senja.

"Bukan berarti dia tidak menyayangimu," jawab Senja. "Dia sangat merindukanmu."

Adam tersenyum lebar.

"Aku juga." Suara Senja terdengar serak. Sudut matanya mulai basah. "Kami semua sangat merindukanmu."

Adam tertawa, "Sudah seharusnya begitu. Aku adalan pria yang kau cintai."

"Apa kau juga tidak mencintaiku? Kenapa kau meninggalkanku dan Aidan? Apa kau tidak menyayangi kami?"

"Aku mencintaimu, Senja. Aku menyayangi kalian semua. Termasuk calon keponakanku." Adam melirik ke arah perut Senja yang masih rata.

"Lalu kenapa kau meninggalkan kami semua?" Kali ini Senja tak bisa menahan air matanya terjatuh.

"Aku selalu bersamamu. Bersama kalian." Tangan Adam terangkat dan menyentuh dada Senja. Dengan senyum yang menyalurkan kehangatan dan kelembutan, Adam berbisik, "Di sini."

Air mata Senja semakin membanjir. "Kita masih punya banyak impian yang belum tercapai."

"Ya, kau pasti bisa mengabulkan semua impian itu. Dengan Diaz." Tangan Adam berpindah ke wajah Senja. Menghapus air mata yang hampir memenuhi wajah Senja. "Jangan melihat masa lalu dengan sebuah penyesalan, Senja. Karena kau akan takut untuk meraih kebahagiaan lebih besar yang menanti kalian di depan sana. Kau harus mulai merencanakan masa depan yang akan kalian miliki."

"Tapi ...." Senja akan membantah. Namun telunjuk Adam tertempel di bibir menahan semua protes yang akan ia ucapkan.

"Sampaikan salamku untuk Diaz dan Aidan."

Senja tersentak dan terbangun dari mimpinya. Matanya mengerjap dan bergerak mengelilingi tempat tidur. Cahaya matahari yang menembus gorden mendarat di sekitar tempat tidur. Lalu ia menoleh ke samping, melihat tangannya tertahan oleh jemari Diaz yang tertaut di tangannya. Pria itu masih terlelap, tanpa selimut dan masih mengenakan pakaian yang kemarin. Sulit membedakan wajah Adam dan Diaz jika keduanya tampak begitu tenang dan damai dalam tidur. Hanya rambut panjang yang terurai berantakan di sekitar bantallah yang membedakan bahwa sosok yang tertidur di sampingnya adalah Diaz. Bukan Adam.

Dengan gerakan sepelan dan sehati-hati mungkin tanpa melepaskan tautan tangan mereka, Senja bersandar di kepala ranjang. Entah apa yang mendorongnya untuk menyelipkan rambut yang menghalangi wajah Diaz ke belakang. Apakah dorongan kata-kata Adam dalam mimpinya baru saja? Ataukah kenyataan Diaz yang datang tepat waktu untuk menyelamatkan dirinya dari Ario? Senja tidak tahu.

'Jangan melihat masa lalu dengan sebuah penyesalan, Senja. Karena kau akan takut untuk meraih kebahagiaan lebih besar yang menanti kalian di depan sana. Kau harus mulai merencanakan masa depan yang akan kalian miliki.'

Sekelebatan kata-kata Adam terngiang di kepalanya. Bisakah ia melakukan itu semua tanpa Adam? Bisakah ia menggantungkan hidupnya pada Diaz?

Perasaan bersalah merayap ke sudut hatinya ketika kilasan-kilasan sikap dingin dan kebencian yang ia lemparkan pada Diaz. Senja terlalu terjebak dalam penyesalan masa lalunya dengan Adam. Terus menerus laru dalam kesedihan karena hatinya masih belum rela melepaskan Adam. Namu satu kesadaran telah menamparnya. Bahwa hidupnya tetap berlanjut dan nafasnya tetap berhembus meskipun Adam pergi dengan membawa separuh jiwa dan raganya.

Semua orang berhak memiliki kesempatan untuk mendapatkan masa depan yang bahagia dan lebih indah dibandingkan dengan sebelumnya.

Sanggupkah ia dan Aidan meraih semua itu? Mampukah mereka mendapatkannya dengan Diaz? Mungkin ia memang butuh sedikit membuka hatinya untuk Diaz. Sebagai langkah pertama untuk menyusun rencana masa depan mereka.


***

Semoga masih cukup memuaskan para readers, dan ga lama lagi End ya.


Saturday, 7 March 2020


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top