Part 3


Tears like Today...

###

Part 3

###

"Kau menikahiku hanya untuk menunjukkan kemesraan mereka padaku?" suara tipis syarat akan kesinisan itu hanya mendapatkan dengusan mencemooh sebagai jawabannya. Ia sudah terlalu lelah dengan gaun pengantin yang dikenakannya. Tersenyum pada para tamu yang memberi mereka selamat. Dan sekarang ia ingin segera kembali ke kamar dan beristirahat. Bukannya menonton adegan memuakkan di salah satu meja tamu yang ada di sudut halaman.

"Seingatku kau yang mendatangiku lebih dulu." Diaz menyahut. Tapi pandangannya masih setia pada dua sosok yang saling tertawa di ujung sana. Cemburu, ia sudah terlalu akrab dengan perasaan sentimentil itu. Membuatnya berteman baik sekalipun dadanya bergemuruh meminta pelampiasan. Tapi, seperti lain kali yang sudah-sudah. Ia tidak bisa melewati batasannya.

Kinan melemparkan lirikan tajamnya. Bahkan suaminya tak mau repot-repot menatap matanya saat menjawab pertanyaannya. Terlalu sibuk memperhatikan pasangan pengantin baru yang lain. Dua bersaudara yang berusaha memperebutkan seorang wanita. Benar-benar hanya seorang wanita. Wajah cantik dan segala perilaku baik wanita itu tak membuat kebenciannya meluruh. Sedikit pun. Malah membuat kenbenciannya semakin menjadi.

"Dan kenapa kau mau repot-repot menikah denganku?" mata Kinan memicing. Penuh kecurigaan ketika menatap sisi wajah Diaz. Tak lama pria itu akhirnya melepas pandangannya pada Senja dan Adam untuk membalas tatapannya. "Aku tahu kau bukan tipe pria yang akan mengabulkan keinginan orang lain semudah itu, Diaz. Sungguh kau terlalu baik hati itu untuk hal itu." Kinan memuji, akan tetap jenis pujian yang penuh cemoohan.

"Umurku sudah 27 tahun. Sudah waktunya aku menikah. Dan kebetulan saja kau menawariku proposal yang menarik." jawab Diaz ringan.

Kinan mendengus, "Aku tahu apa yang sebenarnya kau inginkan. Kau ingin menjadikan aku pionmu untuk merebut Adam dari Senja. Sehingga kau juga bebas mendapatkan Senja."

Diaz hanya terdiam. Mengamati wajah wanita yang baru beberapa saat lalu dinikahinya. Jemarinya terangkat untuk membelai rambut Kinan yang panjang. Rambut itu mirip dengan rambut Senja. Panjang, bergelombang dan hitam. Ia tahu Kinan memakai model rambut ini untuk mandapatkan hati saudaranya.

Belaian itu amat sangat lembut, sebelum jemarinya naik ke sisi leher Kinan dan wajahnya mengeras. Matanya menatap Kinan tajam dan berbisik, "Aku akan memastikan tanganku sendiri yang mematahkan lehermu kalau kau sampai berani berbuat sesuatu yang membuat Senja menangis atau saudaraku menderita."

Kinan menegang dengan ancaman Diaz. Tubuhnya seketika berubah kaku hanya dengan memandang tatapan Diaz. Pria itu pria kejam yang tak pernah main-main dengan ancamannya. Hanya itulah satu-satunya hal yang ia tahu tentang saudara kembar Adam. Apalagi dengan jemari pria itu yang masih bertengger di lehernya, membuatnya hanya bisa menelan ludahnya susah payah.

Dan Kinan masih  menahan nafasnya ketika jemari Diaz sudah menjauh dari lehernya dan suara cekikikan yang menghinanya keluar dari bibir Diaz. "Ayolah, Kinan. Kau tak perlu setakut itu padaku."

Kinan masih terbengong dengan perubahan sikap Diaz yang bisa berubah-ubah hanya dalam hitungan detik. Sekalipun nafasnya sudah mulai berhembus.

"Aku tahu kau tidak akan melakukan tindakan bodoh itu." sekali lagi Diaz tertawa. Tangan kanannya melambai di depan wajahnya. "Benar, kan?"

Kinan hanya diam saja dengan cemoohan Diaz. Ia tahu pria itu tertawa, tapi tawa itu sekaligus menunjukkan padanya bahwa ancaman Diaz juga tak main-main. Ia membuang wajahnya dengan kasar. Membiarkan Diaz sepuasnya menertawainya. Untuk kali ini, biarkan pria itu tertawa. Karena lain kali, ia akan memastikan pria itu menyesali keputusannya untuk menikah dengannya.

"Aku tidak mau repot-repot dengan drama seorang istri yang mengemis cinta padaku." kata Diaz setelah tawa pria itu berhenti. Membuat Kinan menoleh lagi padanya dengan kening berkerut. "Itulah alasanku menerima pernikahan yang kau tawarkan. Tidak lebih. Dan aku hanya mengijinkanmu mengusik mereka. Bukan melampiaskan kebencian atau pun membuat kakakku dan istrinya dalam masalah."

"Apalagi berangan-angan akan mendapatkan kakakku." Diaz menambahkan sebelum beranjak dari duduknya dan melangkah pergi meninggalkan Kinan dududm sendirian di meja mereka.

Kedua tangan Kinan terkepal di atas pangkuannya. Menatap punggung Diaz menahan emosinya.

"Kalau begitu jalan kita sudah berbeda, Diaz."

***

"Apa sebenarnya yang kau inginkan dari pernikahan ini, Diaz?"

"Kau ingin jawaban jujur atau kebohongan belaka?" Diaz tersenyum penuh arti. Matanya melirik menggoda pada Senja yang menatapnya dengan menyipitkan mata. "Karena sejujurnya aku masih mencintaimu, Senja." Diaz menambah dengan berbisik. Matanya mengedip menggoda.

Senja menghembuskan nafasnya kesal. Menyesal telah mengajukan pertanyaannya. Mengedarkan pandangannya mencari sosok Adam dan mengabaikan adik iparnya itu.

"Apa kau tidak ingin mengucapkan selamat untuk pernikahan kami, Senja?" Diaz mengambil tempat duduk di samping Senja. Menggantikan tempat Adam. Badannya menoleh ke samping dengan tangan kanan bertopang pada dagunya. Senyum cerah khas seorang pengantin baru itu harusnya di tujukan untuk Kinan. Bukan untuk wanita lain yang notabenenya adalah kakak iparnya sendiri. "Atau setidaknya ucapkan terima kasih untuk hadiah pernikahan kalian."

Senja terpaku, arah pandangannya mencari Adam terhenti. Kepalanya menoleh ke samping menatap Diaz. "Hadiah pernikahan?" ia mengulangi kalimat terakhir Diaz.

"Aku membawa sahabatmu kemari. Mungkin kau bisa memperbaiki hubungan kalian yang merenggang."

Ada emosi yang bergejolak di dadanya dengan kata sahabat yang diucapkan Diaz. "Istrimu hanyalah orang lain bagiku, Diaz. Dan aku hanya diam saja kau membawanya dalam kehidupanku kembali hanya karena kau adalah adik pria yang kucintai. Kau tak perlu repot-repot mengurusi masalahku."

"Apakah seburuk itu hubungan kalian berdua?"

"Jangan mengungkit-ungkit sesuatu yang bukan urusanmu. Sebaiknya kau urusi saja masalahmu. Dia tidak akan menjadi masalah untukku. Aku mempercayai Adam sama seperti Adam mempercayaiku. Tapi kau, dia akan menjadi masalah untukmu." Senja mengucapkannya dalam sekali tarikan nafas. Berusaha terlihat tenang sekalipun hatinya bergetar hebat penuh kekhawatiran yang menggerogotinya. Ia takut wanita itu datang merebut kebahagiaannya.

Diaz mengedikkan bahunya ringan, "Aku bisa mengurusnya."

Senja menggeleng-gelengkan kepalanya dua kali sebelum menghembuskan nafasnya dengan kasar, "Kau tidak akan mendapatkan apa pun dengan tingkah lakumu yang kekanakan seperti ini, Diaz."

"Aku mendapatkan apa yang kuinginkan."

Senja tak menjawab. Lebih karena tak peduli.

"Aku bisa melihatmu. Setiap hari kalau boleh kutambahkan."

"Apa kau tahu kenapa aku tidak bisa membencimu, Diaz?" Senja bertanya dengan nada yang selembut mungkin. Berusaha sekuat tenaga untuk tidak terpancing amarahnya yang mulai bergejolak.

Diaz tak menjawab. Tapi gurat di wajah Senja menunjukkan padanya bahwa jawaban wanita itu akan cukup mengena di hatinya.

"Karena saat kau membenci seseorang, suatu saat kau akan punya kemungkinan untuk mencintainya sebesar kebencian itu. Di dunia ini ada yang namanya karma. Aku percaya itu." Senja beranjak dari tempat duduknya. Melangkah meninggalkan Diaz dengan keangkuhan dan hati batunya.

Diaz masih tercenung di tempatnya, bahkan setelah punggung Senja menghilang di antara beberapa tamu.

Kata-kata Senja menjelaskan padanya. Bahwa dirinya bukan hanya tak pantas di cintai. Tapi juga tak pantas di benci. Itu bahkan lebih buruk dari cintanya yang ia tahu tak akan terbalaskan.

Senja bahkan tak ingin punya kemungkinan untuk membalas cintanya.

Adakah yang lebih menyakitkan dari ini semua?

***

Senja tersentak kaget mendapati Diaz tengah bersandar di meja riasnya. Kedua tangannya di masukkan ke saku celananya dan kaki bersilang penuh keangkuhan. Menatapnya dengan senyum cerah tanpa dosa yang selalu membuatnya muak.

Mata Senja melotot dan tangannya terangkat merapatkan jubah mandinya. Dia baru saja selesai mandi dan butuh privasi untuk memakai bajunya. Tapi pria itu tanpa sopan santun masuk ke dalam kamarnya tanpa ijin. "Apa yang kau lakukan di sini, Diaz."

Diaz menaikkan satu alisnya seakan pertanyaan Senjalah yang aneh, bukan keberadaannya di kamar ini. "Aku tidak pernah tidak diinginkan setiap mengunjungi kamar Adam."

"Adam sudah bukan pria lajang yang kamarnya bisa seenaknya kau masuki tanpa ijin seperti ini, Diaz." Senja menunjuk ke arah pintu kamar yang tertutup. "Adam di ruang kerjanya, sebaiknya kau keluar sekarang juga."

Diaz tak bergerak sedikit pun dari tempatnya. Matanya tampak mengamati wajah Senja dengan senyum yang semakin melebar, "Mungkin kalau ada keperluan lagi dengan Adam aku akan langsung ke ruang kerjanya. Tapi sayangnya, aku ke sini sedang ingin berbicara denganmu."

"Juga melihatmu." Diaz menambahkan. Satu kedipan mata dilemparkan pada Senja penuh godaan.

"Keluar!" Senja menggeram marah. Sekali lagi menunjuk pintu kamarnya, lalu nadanya menaik saat berkata, "Sekarang, Diaz!"

Diaz terkikik geli, "Apa kau membenciku sekarang?"

Senja mendesah gusar. Tangannya terangkat menyusuri rambutnya yang tergerai dengan memejamkan matanya guna menenangkan emosinya. Apa sekarang pria itu berharap kebencian dari dirinya?

"Aku marah. Dan kau pasti tahu apa perbedaan kata marah dan benci." desis Senja.

Diaz mengangguk-anggukkan kepalanya. Salah satu sisi bibirnya yang terangkat menunjukkan pada Senja bahwa pria itu tengah menertawakan dirinya.

Senja membuka mulutnya untuk mengeluarkan makiannya. Tapi ia membatalkannya karena tahu Diaz akan semakin menertawakannya. Menghadapi batu tidak bisa dengan batu juga. Dengan usaha tingkat tingginya untuk menenangkan emosi di percobaan keduanya, ia menghela nafas keras. Cukup berhasil setelah nafasnya kembali tenang walaupun wajahnya lebih ke arah datar daripada ke wajah berpura-pura tenangnya. "Apa maumu, Diaz?"

Senyum kepuasan seketika menghiasi wajah Diaz dengan pertanyaan bernada dingin itu. Tubuhnya terangkat dari bersandar di meja rias dan mulai melangkah mendekati Senja yang masih berdiri di depan pintu kamar mandi.

Senja sedikit beringsut mundur dengan jarak mereka yang semakin menghilang dengan langkah kaki Diaz. Tapi ia tetap berusaha terlihat sama sekali tak terpengaruh dan tampak setenang mungkin. Ia tahu Diaz tak akan berani berbuat apa pun itu yang di takutkannya. Ia mempercayai darah yang mengalir di nadi pria itu dan suaminya. Hanya pada hal itulah semua Diaz tak akan melewati batasnya.

"Ini!" Diaz mengulurkan kotak beludru berwarna hitam ketika jaraknya dengan Senja hanya bertaut setengah meter.

Senja hanya terpaku dengan kotak yang diacung-acungkan Diaz. Matanya bergantian menatap kotak itu dan Diaz dua kali sebelum keningnya berkerut tak mengerti.

"Hadiah pernikahanmu dengan Adam." Diaz membuka kotak tersebut. Memamerkan satu set perhiasan mahal lengkap dengan berlian putih yang sangat indah. Kalung, gelang, anting dan cincin. Semua cantik dan begitu mempesona sekaligus menghanyutkan naluri hawanya terhadap segala hal yang indah dan cantik.

"Kau sudah memberiku cukup banyak ucapan selamat untuk pernikahanku dan Adam." Senja mengalihkan pandangannya dari perhiasan itu dengan tatapan tak tertarik sama sekali. Ia memang suka segala macam bentuk keindahan. Tapi ia tak akan terbutakan oleh hal itu. Kecuali jika Adam yang memberikannya tentu saja.

"Ucapan selamat lainnya kalau begitu." Diaz mengayunkan kotak itu. Ada kekecewaan dalam hatinya melihat pandangan tak tertarik Senja, walaupun ia sudah menduga reaksi wanita itu. Ia bahkan sudah mengira bahwa Senja akan melemparkan kotak tersebut ke tempat sampah. "Sepertinya kau tidak cukup tertarik dengan hadiahku yang sebelumnya."

Senja menyeringai sinis, "Pernikahanmu?"

Diaz mengangkat bahunya sambil mengambil satu langkah ke depan. Tangan kirinya terangkat menarik tangan Senja dan meletakkan kotak hitam itu dalam genggaman jemari Senja.

Senja menarik tangannya menjauh, tapi genggaman kedua tangan Diaz yang memaksanya menerima kotak perhiasan itu membuat matanya melotot. "Lepaskan, Diaz."

"Terima kasih kembali, Senja sayang." cengiran membentuk di wajah Diaz.

"Seharusnya istrimu yang menerima ini." Kini tangan kiri Senja ikut membebaskan tangan lainnya.

"Istri?" kening Diaz berkerut selama beberapa detik, lalu mengangguk-angguk dengan tawa mencemooh, "Aku sudah punya istri rupanya. Aku hampir lupa."

"Kau benar-benar sudah gila, Diaz."

"Mungkin."

"Lepaskan atau aku akan berteriak memanggil Adam?"

Senyuman di bibir Diaz semakin lebar, "Ide bagus. Mungkin aku masih sempat melepas baju dan jubah mandimu sebelum Adam masuk."

Darah seketika lenyap dari wajah Senja. Rontaannya terhenti dan ketakutan menyerbunya tanpa persiapan apa pun. Terkadang ancaman Diaz begitu menakutkannya.

Diaz tersenyum simpul dengan reaksi yang ditunjukkan Senja. Wanita itu selalu sepucat kapas jika ia mengancam tentang Adam. Itulah titik lemah seorang Senja. Pandangan matanya turun ke bawah. Ke arah jemari Senja yang masih melayang di antara mereka sekali pun ia sudah membebaskan tangan tersebut. Dan wanita itu segera menariknya menjauh ketika ia tertawa keras. "Aku hanya bercanda, Senja."

Wajah pucat Senja memerah karena amarah. "Bercandamu sama sekali tidak lucu, Diaz." desisnya.

"Aku tahu." Diaz melangkah mundur. Matanya mengedip nakal sebelum ia membalikkan badannya dan berjalan keluar, "Tapi bagiku, kaulah yang menggemaskan."

Segala macam umpatan meluap dari mulutnya ketika Diaz menghilang dari balik pintu kamarnya. Dengan langkah kasarnya, ia berjalan ke samping meja rias untuk melemparkan kotak hitam itu ke dalam tempat sampah. Tapi sebelum kotak dalam genggamannya meluncur jatuh ke dalam, suara Adam yang tiba-tiba muncul membuatnya membatalkan niatnya dan menoleh mencari asal suara.

"Apa yang kau buang?" Adam menutup pintu kamar mereka. Dengan kening berkerut, ia melangkah menghampiri Senja.

Senja termangu. Mulutnya tertutup dan hanya menunjukkan kotak perhiasan itu pada Adam. Dengan nafas gusarnya ia bergumam untuk menjawab pertanyaan Adam, "Dari Diaz."

Adam mengambil kotak hitam yang tak asing itu. Membuka dan mengamati isinya sejenak sebelum mengembalikannya pada Senja.

Sikap santai Adam malah membuat Senja mengerutkan keningnya heran, "Kau tidak marah?"

"Kenapa aku harus marah?"

"Cemburu?" kerutan di kening Senja semakin dalam.

Adam malah tertawa geli dengan pertanyaan Senja. Tangan kanannya terangkat dan mengusap kerutan di kening Senja dengan lembut. Wanita itu memang menggemaskan. Apalagi dengan bibirnya yang mengerucut tak suka. "Diaz adikku, Senja. Aku mempercayainya."

Senja hanya mendengus. Membuang mukanya ke samping dengan kesal sambil meletakkan kotak perhiasan itu di meja riasnya. Seharusnya suaminya itu cemburu karena ada pria lain yang memberikannya hadiah perhiasan semewah ini. Sekalipun pria lain itu adalah adiknya sendiri.

"Aku memang mempercayai Diaz. Tapi yang terpenting dari semua itu adalah..." Adam membawa kedua tangan Senja dan menyangkutkannya di lehernya. Lalu kedua tangannya melingkar di pinggang istrinya. Memaksanya menghadap dirinya dan mendaratkan ciuman di bibir Senja. "... Aku mempercayaimu. Aku tahu di hatimu hanya ada aku seorang. Senja hanya mencintai Adam."

Senja masih terdiam. Memasang wajah datarnya sekalipun hatinya berbunga-bunga memaksa bibirnya melengkung ke atas.

"Apa kau masih marah sekarang?" Adam menempelkan hidungnya di hidung Senja dan menggosok-gosokannya dengan lembut. Memaksa wanitanya untuk tersenyum.

Mau tak mau Senja tersenyum dengan perlakuan romantis Adam. Pria itu selalu tahu bagaimana cara membuatnya tersenyum melebihi dirinya.

"Lagipula, Diaz membelinya memakai uangku. Jadi apa salahnya jika kau memakainya."

"Benarkah?" mata Senja melebar. Membuat Adam semakin gemas dan kembali mengambil ciuman di bibir merah itu.

"Dia hanya memesan dan mendahului startku untuk memberikannya padamu. Ya, itu memang hadiah darinya. Tapi secara tidak langsung, itu hadiah dariku, bukan?"

"Hmmm..." Senja mengangguk-anggukkan kepalanya. "Baiklah, kalau begitu itu adalah hadiah pernikahan kita. Darimu dan untukku. Begitu terdengar menyenangkan."

"Tak masalah. Asalkan Senjaku bahagia."

Senja berjinjit. Kali ini dia yang dahulu untuk mencuri ciuman dari Adam, "Aku sangat mencintaimu, Adam."

***

Pendukung Adam?

Pendukung Diaz?

Mereka berdua anaknya Darius kok. Jadi, penggemarnya Darius harus suka dua-duanya dong....

Saturday, 18 November 2017

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top