Part 29
Tears like Today
###
Part 29
###
Sebelum baca, Author mau pamer nih. Pamer calon covernya babang Ario ama babang Diaz. Yang pengen peluk-peluk mereka, mulai nabung, yak. Ga lama mereka bakalan bisa dinikmati oleh mata dan hati kalian. Dibawa ke kamar juga boleh kok, kan enak tuh baca-baca sambil tiduran di kasur. Wkwkwk
Untuk informasi POnya, pantengin terus aja lapak Ario ama Diaz, nanti bakalan langsung diumumin di sana. Okeeeeyyyyyy???
###
"Sialan!!!" Diaz membanting pintu lemari pakaian Kinan yang sudah kosong dengan keras, hingga kaca lemari tersebut pecah dan melukai telapak tangannya. Darah segar mengucur di lantai. Namun kemarahan yang membara mengalahkan rasa perih dari kulit tangannya yang robek.
Sejak tadi pagi dia sudah merasa ada yang mencurigakan dengan perginya Kinan yang pagi-pagi sekali, dan dengan semua pakaian wanita itu yang menghilang, kecurigaan benar-benar terbukti. Sudah tentu Kinan pergi melarikan diri karena tidak mau menandatangani surat perceraian yang tadi malam mereka bicarakan.
"Diaz?" Rea berdiri di depan pintu kamar Diaz, melihat putranya yang tampak dipenuhi amarah di depan pecahan kaca yang sudah berhamburan di lantai. Lalu matanya membelalak menemukan darah yang berasal dari tangan kanan diaz. Di antara penerangan kamar yang redup karena lampu yang tidak dinyalakan, mata Rea menajam sekali lagi, memastikan penglihatannya. Ia tersentak, itu benar darah. Nafasnya terhenti selama beberapa saat ketika ingatan mengerikan itu muncul di kepalanya. Tidak, tidak lagi. Diaz dan darah bukanlah sesuatu yang menyenangkan.
Rea bergegas menyeberangi ruangan yang sunyi itu dan mendekati Diaz, "Ada apa ini," ia mengambil telapak tangan Diaz yang berdarah dan menekan kulit Diaz yang robek untuk menghentikan pendarahannya. "Ayo, biarkan mama mengobatinya."
Diaz sedikit mengernyit dengan luka yang ditekan oleh mamanya, dan hanya diam membiarkan dirinya diseret menuju sofa di tengah ruangan.
"Ada apa lagi, Diaz?" tanya Rea sambil mengoleskan salep pada luka Diaz. Mendesah kecil dengan permasalahan Kinan dan Diaz yang seakan tak ada henti-hentinya. Semakin hari semakin rumit.
Tadinya Rea pikir, dengan kehamilan Kinan dan Senja yang bersamaan akan membuat hubungan Diaz dengan kedua istrinya itu membaik, tapi sekarang... seakan belum cukup ujian untuk rumah tangga mereka putranya yang di ambang kehancuran. Ia sendiri tidak tahu harus bagaimana
"Kinan melarikan diri," Diaz menjawab dengan gumaman yang hampir terdengar menggeram. Ya, amarahnya masih mendidih dengan perbuatan Kinan. Wanita itu benar-benar masalah. Masalah besar.
Rea mengerutkan keningnya, "Apa maksudmu melarikan diri?"
"Dia tidak mau menandatangani surat perceraian kami,"
Rea tercenung selama beberapa saat sebelum mencerna kata-kata Diaz dengan baik. Melarikan diri? Perceraian?
"Kami akan bercerai," Diaz menjelaskan sekali lagi saat mamanya masih terdiam seperti tak mengerti apa yang ia bicarakan. Ya, sekaranglah waktunya mengatakan semuanya. Lebih cepat lebih baik, kebohongan ini tidak bisa berlanjut lebih lama lagi.
Rea meletakkan tangan Diaz di atas pangkuannya, tatapannya mengamati lebih seksama ekspresi wajah Diaz dari samping, "Bagaimana kalian bisa bercerai dengan keadaan Kinan yang sedang mengandung anakmu, Diaz?"
"Janin dalam kandungan Kinan bukan anak Diaz." Kali Diaz memberanikan diri menatap wajah mamanya. Ekspresi kecewa yang membuatnya semakin sedih. Berapa banyak lagi kekecewaan yang akan ia ciptakan di wajah cantik itu. "Pernikahan kami benar-benar di atas kertas, Ma. Diaz tak pernah menyentuh Kinan."
Rea kehilangan kata-katanya, terlalu banyak kejutan yang diberikan putranya itu di dalam pernikahan pertama Diaz. Kesepakatan Kinan dan Diaz, perceraian dan kehamilan Kinan yang...
Rea memejamkan matanya. Kekecewaan rasanya tak cukup mewakili perasaannya pada satu-satunya kebahagiaan yang masih tersisa.
"Maafkan Diaz, Ma." Diaz menarik kedua tangan mungil itu ke dalam genggamannya. Rasanya beribu maaf pun tak akan sanggup melenyapkan kekecewaan yang tersirat di wajah mamanya.
Seandainya ia tidak menerima kesepakatan yang ditawarkan Kinan, sendaianya ia tidak perlu menghindari Nina dengan kedok pernikahannya dengan Kinan, seandainya...
Diaz memejamkan matanya menyingkirkan semua angan-angan yang tak akan mampu ia dapatkan. Nyatanya semua ini terjadi karena pilihan yang ia ambil sendiri. Semua kekecewaan yang diberikan pada mamanya adalah keputusan dirinya sendiri.
Seandainya ia mendengarkan Adam untuk menceraikan Kinan waktu itu, ia tak perlu memperpanjang kebohongannya. Paling tidak mamanya tak akan kecewa sebesar ini. Satu lagi kata seandainya yang tak pernah berhenti membentuk lubang besar penuh penyesalan di dalam hatinya. Sudah terlalu banyak penyesalan yang harus ia tanggung seorang diri, tanpa Adam.
Kenapa Adam harus pergi?
Kenapa Adam tak lebih giat untuk merusak acara pernikahannya dengan Kinan?
Kenapa Adam...
'Dan kenapa kau malah menimpakan semua kesalahan yang kau buat sendiri padaki?' Suara Adam berteriak mencemooh.
'Kau terlalu pengecut untuk mengakui kesalahan yang telah kau lakukan, Diaz!!'
Diaz mengerjap, tersadar dari lamunannya. Matanya menangkap wajah rapuh mamanya yang masih menyiratkan kekecewaan. "Maafkan Diaz, Ma."
"Setidaknya kau tahu kalau mama benar-benar kecewa pada sikapmu yang satu ini."
"Hanya itu yang bisa Diaz berikan pada mama."
"Mama hanya ingin kau bahagia, Diaz." Rea mengangkat kedua telapak tangannya dan merangkum wajah putranya dengan tatapan penuh kehangatan. "Hanya itu satu-satunya hal yang paling mama inginkan untukmu. Mama, papa dan bahkan Adam, kami semua menginginkan hal itu untukmu."
Sudut mata Diaz mulai terasa panas, semua orang di sekelilingnya hanya menginginkan satu hal itu untuknya. Terutama Adam. Dirinya sendirilah yang lebih memilih untuk hidup penuh penderitaan dan kekecewaan.
Rea menarik tubuh Diaz dalam pelukannya, mengusap punggung putranya sambil berharap, "Berusahalah untuk lebih baik dan membuat hidupmu bahagia. Semoga setelah masalah ini selesai, kau dan Senja bisa memulai untuk belajar mencari kebahagiaan kalian. Bersama Aidan dan calon anakmu."
Diaz mengangguk, dan setetes air mata tak mampu ia tahan lagi untuk merembes membasahi pipinya.
***
Senja tersenyum melihat Aidan yang tertidur dalam gendongan ayahnya. Setelah seharian bermain air di kolam renang dengan kedua orang tuanya,putranya itu pasti kelelahan. Senyum Aidan selalu ampuh untuk membuat harinya dipenuhi keceriaan.
"Apa kau yakin tidak ingin bermalam saja, Senja?" sekali lagi ibunya bertanya.
"Mobilnya sudah datang, Ma." Senja menggeleng sambil tersenyum. Diaz pasti tidak akan mengijinkannya, apalagi dengan sikap pria itu yang terkadang hampir mendekati gila sejak ia hamil. Senja tak akan heran jika Diaz nantinya tiba-tiba muncul di depan pintu apartemen kedua orang tuanya dan akan ikut menginap.Tadi saat ia turun dari mobil Diaz yang mengantarkannya ke sini, pria itu sudah memperingatkannya untuk cepat pulang jika tidak ingin Diaz yang menjemputnya. Senja bahkan sedikit heran saat melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul tujuh malam dan ia sama sekali belum mendapatkan telfon dari Diaz dan menerornya. Ia tadi juga terlalu lelah hingga tertidur dan baru terbangun pukul enam lewat lalu segera menghubungi sopir rumah untuk menjemputnya. Mungkin juga karena pengaruh kehamilannya, yang membuatnya lebih sering mengantuk tanpa tahu waktu dan tempat.
Farah mendesah lesu sambil melihat mobil yang pintunya sudah dibuka oleh sopir, sedangkan si sopir sibuk memasukkan barang-barang keperluan Aidan ke dalam bagasi.
"Lain kali saja,"Senja berusaha menghibur.
Farah mengangguk, "Baiklah, kalau begitu. Hati-hati di jalan."
"Senja?" suara ayahnya yang sudah berdiri di samping mobil membuat Senja menoleh. Lalu mengikuti arah pandangan sang ayah yang membuatn pria paruh baya itu memanggil namanya. Ia melihat seorang pria dengan jas serba hitam dan berkacamata hitam, berjalan menuju arah mereka berdiri. Yang dikenali Senja bukan salah satu dari sopir keluarga Farick.
Pria berjas itu langsung mendekat kearahnya dan berkata, "Apakah anda yang bernama Nyonya Senja Farick?"
Senja tak langsung menjawab. Matanya mengamati pria itu dari atas sampai bawah penuh keheranan. Berkali-kali mencoba mengingat apakah ia pernah bertemu dengan orang itu? tapi dengan kacamata hitam yang dikenakan pria itu membuat Senja semakin kesulitan untuk mengingat.
"Saya suruhan tuan Ario Bayu." Pria itu mengenalkan diri.
Ario Bayu? Senja tersadar. Pria yang membuat Diaz dibakar oleh api cemburu itu? Senja pun mengangguk.
"Bisakah anda ikut dengan saya sebentar, tuan Ario ingin bicara." Pria itu menunjuk mobil hitam yang terparkir di pinggir jalan.
Senja mengikuti arah pandang pria berjas itu dengan kening yang berkerut, 'Ada apa Ario Bayu ingin bicara denganku?'
"Ada apa, Senja?" suara Farah bertanya.
Senja menggeleng menjawab pertanyaan ibunya, lalu menoleh pada pria berjas yang masih menunggu jawaban darinya. Merasa bingung harus berbuat apa dengan pandangan penuh tanya ayah dan ibunya yang tak cukup puas dengan gelengan kepalanya, akhirnya ia mengangguk pada pria berjas itu.
"Senja akan segera kembali," pamit Senja pada kedua orang tuanya lalu mengikuti pria berjas itu menuju tempat mobil terparkir. Berbagai macam pertanyaan tentang alasan Ario Bayu ingin berbicara dengannya muncul.
Apakah ada hubungannya dengan Diaz? Tapi dengan sikap dingin dan aura permusuhan yang sangat kental milik Diaz pada pria itu, rasanya tidak mungkin.
Tadinya Senja mengira, pria berjas itu membukakan pintu untuk Ario, tapi saat sosok yang ditunggu tidak keluar Senja merasa ragu untuk masuk ke dalam mobil tersebut.
Cukup sekali ia pernah merasakan kontak fisik dengan Ario saat di pesta waktu itu dengan auranya yang tak mengenakkan, bagaimana jika harus berada di dekat pria itu dengan ruangan tertutup seperti ini. Sesaat Senja merasa menyesal telah menerima undangan tersebut
"Silahkan masuk, Nyonya Farick." Wajah Ario Bayu melongok dari dalam mobil dengan senyum ramahnya, tapi entah kenapa senyum itu malah membuat bulu di tengkuknya merinding. Seolah mengingatkannya pada bahaya yang akan datang.
Senja sempat meragu sebelum menerima ajakan tersebut. Lalu ia melihat pria berjas dengan ekspresi datarnya mengangguk mengisyaratkan dirinya untuk segera masuk ke dalam.
"Saya hanya ingin bicara dengan anda, Nyonya Farick. Tidak akan lama," Ario membujuk melihat keraguan yang tersirat begitu jelas di wajah Senja.
"Lima menit? Apa itu cukup?" Senja bertanya. Sepertinya semkain cepat semakin baik. Diaz pernah mengatakan pada Kinan bahwa Ario adalah masalah. Pasti ada sebab tertentu yang membuat Diaz memperingatkan Kinan,tapi yang pasti bukan karena kecemburuan.
"Mungkin," Ario mengangkat bahunya, dengan senyum yang tak juga lepas dari wajahnya.
Senja membungkuk dan mengangkat kakinya untuk masuk ke dalam mobil. Lalu saat ia sudah terduduk, firasat buruk yang sejak pria berjas itu mengatakan tentang Ario terbukti. Pintu di sampingnya tertutup, menyusul pria berjas hitam mengambil tempat duduk di kursi pengemudi dan menyalakan mesin mobil.
Senja menoleh pada Ario Bayu saat mobil mulai melaju, "Bukankah kita hanya ingin bicara?"
Ario mengangguk, "Tapi bukan di sini."
Senja menatap mata Ario yang bersinar licik, seketika ia menyadari bahwa dirinya terkunci dan terperangkap didalam mobil ini tanpa perlu mencoba membuka pintu mobil.
***
Apakah kalian menikmati cerita ini?
Authornya mau survey, hha hha hhaaa.... (Kurang kerjaan banget ya?)
Wednesday, 28 November 2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top