Part 28



Tears Like Today

***

Part 28

***

"Tuan Farick," senyum di bibir Ario penuh maksud terselubung. Beramah tamah adalah salah satu hal untuk membuat lawannya terbuai. Ia mengambil tempat di kursi kosong depan Diaz.

"Apa yang kau inginkan?" berbeda dengan Diaz yang sama sekali tak mau membuang energinya untuk berpura-pura baik dan membuang waktu lebih lama dengan pria itu. Meskipun Diaz bukanlah pria yang memedulikan pandangan publik ketika kepergok berhubungan dengan mafia kelas kakap seperti Ario Bayu, ia hanya tak mau membuang waktunya terlalu banyak hanya untuk mengurusi kekacauan yang dibawa Kinan pada kehidupannya.

Senyum di wajah Ario seketika lenyap digantikan oleh ekspresi dingin oleh sikap Diaz yang tak butuh basa-basi di sana-sini sedikit pun. "Menurut anda?"

"Aku tahu hubunganmu dengan Kinan, dan kurasa kita juga tak butuh penjelasan panjang lebar untuk masalah ini."

Ario mengangguk-angguk mengerti sambil mengusap-usap dagunya dengan tenang.

"Kami akan bercerai," Diaz melanjutkan.

Ario mengerutkan keningnya, meskipun ia juga tak akan heran dengan pernyataan Diaz tersebut, "Kenapa?"

"Kau tahu alasannya,"

Mata Ario menyipit penuh selidik ke arah Diaz, "Anda begitu mudah melepaskan seorang istri yang berselingkuh di belakang anda. Apakah ada sesuatu yang tersembunyi di dalam pernikahan kalian?"

"Kurasa bukan urusanmu untuk tahu lebih banyak mengenai rumah tanggaku."

Ario terkekeh, "Anda benar."

"Tapi, hubungan kami hanyalah sebatas pernah menghabiskan satu malam bersama. Saya tahu istri anda masih tetap mencintai anda, saya bisa memastikan hal tersebut. Semua yang terjadi di antara kami hanyalah kecelakaan semata."

"Hentikan Ario, aku tak butuh omong kosongmu," desis Diaz mulai kesal dengan ekspresi mengejek yang berkilat di mata Ario. "Itu urusanmu dengan Kinan, dan aku tak mau tahu lebih banyak lagi."

"Saya tidak tahu harus berterima kasih ataukah sebaliknya dengan keputusan anda ini."

Diaz tak berkomentar apa pun. 

"Sungguh anda suami yang baik hati karena dengan sukarela memberikan istrinya pada orang lain yang lebih bisa membahagiakannya." Kali ini Ario benar-benar berkata dengan tulus, meskipun dengan raut kelicikan yang tersemat di pujian tersebut. "Pantas saja semua wanita rela untuk menjadi madu anda, tuan Farick."

"Membahagiakannya?" dengkus Diaz, "Apa kau yakin? Dengan latar belakang yang kau miliki, apa kau yakin akan membuat Kinan dan anaknya bahagia."

Ario tersenyum masam, rupanya Diaz tahu dengan siapa pria itu berhubungan. Lalu mengangguk-anggukan kepalanya sambil menggaruk dagunya yang tidak gatal, "Sayangnya hal itu juga tidak menghentikan saya untuk meminta Kinan pada anda."

"Itu sudah seharusnya," sahut diaz dingin, "Mungkin kau bisa mengabaikan wanita yang pernah menghabiskan satu malam denganmu, tapi kau tak bisa mengabaikan darah daging yang tengah bertumbuh di dalam perut Kinan. Bukankah itu alasanmu menelfon dan memintaku menemuimu di sini?"

Ario hanya tersenyum kecut dengan penjabaran Diaz. Sejak meniduri Kinan, ia tahu dirinyalah pria pertama wanita itu. Bagaimana mungkin dengan usia pernikahan Diaz dan Kinan yang menginjak tahun ketiga, pria itu sama sekali tak pernah menyentuh istrinya. Dengan tubuh seseksi dan semulus Kinan, sangat tidak mungkin jika ada seorang pria yang mampu menahan gairahnya. Tubuh wanita itu selalu mampu membuat pria mana pun berfantasi dengan begitu liar.

Impoten? Tidak mungkin. Karena saat ini istri kedua Diaz juga tengah hamil. Ataukah?

"Bolehkah saya bertanya satu hal pada anda sebelum kita berpisah, tuan Farick?" pertanyaan Ario mencegah Diaz untuk berbalik.

Diaz hanya diam. Tak mengiyakan maupun menolak.

"Bagaimana keadaan kehamilan istri kedua anda?"

Rahang Diaz seketika menegang, tangannya terkepal menahan keinginannya untuk meninju wajah Ario, "Aku tidak pernah ingin ikut campur urusanmu dengan Kinan, akan lebih baik jika kau juga tak mengurusi urusanku juga."

Senyum kepuasan melengkung lebar di bibir Ario sambil mengamati punggung Diaz yang menjauh. Reaksi pria itu menjawab semua pertanyaan yang ada di kepalanya.

***

"Aku tidak sudi menikah dengannya, Diaz. Pria itu hanya tidak mau anaknya suatu hari nanti datang dan menuntut dirinya. Menurutmu apa yang harus kulakukan? Lebih baik menanamkan pikiran bahwa anakku tidak punya ayah sepertinya, atau mengatakan bahwa ayahnya sudah mati."

"Setidaknya anakmu akan punya ayah dan status pernikahan kalian. Kau hanya perlu menurutinya sebagai istri yang baik, setelah anak kalian lahir kau bisa menceraikannya."

Kinan mendengkus, "Istri? Pria seperti Ario? Yang tak tahan hanya dengan satu wanita saja, dia pasti akan merasa bosan jika harus melihatku setiap hari di rumahnya. Lalu status pernikahan macam apa yang akan kuberikan pada anakku?"

"Orang dengan dunia gelap seperti dia. Dan lagi, kau pikir apa yang akan dilakukan kedua orang tuaku jika tahu kita bercerai lalu aku menikah dengan Ario. Sudah pasti mereka akan melupakan pernah punya anak sepertiku."

"Lalu apa yang kau inginkan?!" teriak Diaz mulai terpancing oleh amarah, "Pria itu menelfonku dan memintaku untuk menemuinya."

Kinan terkesiap, rasa sesak tiba-tiba memenuhi dadanya, "Apa?!"

"Aku tak mau lagi ikut campur dengan kekacauan yang kau bawa, Kinan. Jadi sebaiknya kau segera menghadapinya sendirian."

"Apa kau memberitahunya kalau anak ini adalah anaknya?" Kinan menatap marah pada Diaz.

Diaz mendengkus, "Jika dia tidak tahu janinmu bukanlah anak kalian, kau pikir untuk apa dia sampai harus menelfon dan memintaku menemuinya?"

Untuk sesaat Kinan benar-benar berhenti bernafas. Ario tidak boleh tahu kalau anak ini adalah anak pria itu.

"Pengacaraku akan mengurus perceraian kita, sebaiknya kau tak mengulurnya."

"Aku tidak mau bercerai, Diaz!"

"Coba saja," tantang Diaz, "Kita bisa lihat, apa bukti perselingkuhanmu masih bisa mempertahankan pernikahan ini di persidangan."

Kinan menggeram, matanya menusuk punggung Diaz yang bergerak menjauh menuju pintu.

"Sialan kau, Diaz!" Kinan menyumpah. Melemparkan semua kosmetik miliknya di atas meja rias ke lantai demi meluapkan amarah yang membara.

"Aku akan membuatmu membayar semua ini, Diaz."

***

"Mau ke mana kau?" Diaz melihat Senja yang berdiri di samping ranjang sedang mengemasi barang-barang Aidan ke dalam tas bepergiannya.

"Ke tempat ayah," jawab Senja sambil memasukkan mainan Aidan lalu menarik resleting tas tertutup. "Aku sudah mengatakan padamu tadi malam."

Diaz mengernyit sambil mengusap rambutnya yang basah dengan handuk. Ya, ia baru ingat kalau semalam Senja sudah meminta ijin untuk pergi ke rumah ayahnya. "Aku akan mengantar kalian sebelum berangkat kerja."

"Aku bisa meminta sopir..."

"Aku ingin," tegas Diaz. Sebisa mungkin ia memang harus melibatkan diri dalam kegiatan Senja. Atau hubungan mereka akan terancam hancur. "Dan sepulang kerja aku akan menjemput kalian."

"Kami akan langsung pulang begitu setelah kembali dari kolam renang, jadi kau tak perlu menjemput kami."

"Kolam renang?" Diaz semakin mengernyit, "Kenapa kau tidak mengatakannya padaku?"

"Aku sudah mengatakannya padamu?" kali ini Senja berbalik menghadap Diaz dengan kernyitan di dahinya. Semalam, ia jelas-jelas mengatakan pada Diaz kalau ingin pergi  ke kolam renang bersama keluarganya dan Aidan. Pria itu hanya mengangguk sambil sibuk dengan laptopnya.

Diaz terdiam, "Aku mengiyakan saat kau bilang akan ke rumah ayahmu."

"Jangan menyalahkanku atas pekerjaan yang lebih  banyak menyita perhatianmu daripada diriku, Diaz." sindir Senja.

Diaz tak menjawab, kemarin pekerjaannya memang menumpuk sampai harus membawa pulang beberapa map untuk diperiksa. Sekilas ia memang ingat kalau Senja akan pergi ke rumah ayahnya hari ini, tapi tak ingat kalau Senja dan Aidan akan pergi ke kolam renang.

"Untuk apa kau pergi ke kolam renang? Kalau hanya berenang, kau tak perlu pergi ke sana. Kita punya kolam renang di halaman belakang."

Senja memutar bola matanya jengah, "Kami pergi berlibur, Diaz."

"Kau sedang hamil muda, berbahaya kalau pergi ke tempat umum seperti itu. Bagaimana kalau kau terpeleset..."

"Hentikan, Diaz!" Senja mulai gusar dengan perdebatan mereka. "Aku hanya ingin berkumpul dengan keluargaku. Kau tak perlu bersikap berlebihan seperti ini."

"Tidak bisakah kau membawa mereka dan berenang di rumah saja?"

"Apa kita akan selalu bertengkar hanya karena masalah sepeleh seperti ini?" Senja hampir berteriak. Kenapa setiap berbicara dengan Diaz selalu mudah terpancing emosi. "Sebelumnya aku pernah hamil Aidan, dan Adam tidak pernah mengekangku sepertimu. Tapi kandunganku baik-baik saja. Jadi tak ada yang perlu kau khawatirkan tentang anakmu, aku bisa menjaganya dengan sangat baik."

Wajah Diaz membeku saat nama saudaranya terucap. Senja membanding-bandingkannya dengan Adam. Sudah tentu ia tak akan pernah terlihat jika disandingkan dengan saudaranya itu. Adam lebih segala-galanya dibandingkan dengan dirinya. Amat sangat jauh.

Tok... Tok... Tok...

Suara ketukan pintu mengalihkan kebekuan Diaz, ia menoleh ke arah pintu sedangkan Senja sudah melangkah untuk membukakan pintu.

"Ada apa, bik?" tanya Senja melihat bik Asrih di depan pintu dan mengulurkan sebuah map padanya.

"Dokumen dari tuan Joshua, baru saja sopirnya yang mengantarkannya," jelas bik Asrih.

Senja mengambil dokumen tersebut dan mengamati selama beberapa saat sebelum Diaz menyambarnya.

"Terima kasih, bik," ucap Diaz. Wajahnya tiba-tiba memucat mendengar dokumen itu dari Joshua. Senja tak boleh tahu kalau itu adalah dokumen perceraiannya dengan Kinan. "Apa Kinan sudah bangun?" tanyanya sebelum bik Asrih melangkah pergi.

Senja menatap keheranan pada sikap Diaz yang terlihat aneh. Matanya mengamati dokumen dalam genggaman tangan Diaz dan wajah pria itu bergantian. Lalu saat Diaz menanyakan tentang Kinan, bola matanya melebar menyadari sesuatu.

"Nona Kinan sudah pergi sejak pagi-pagi tadi."

"Apa dia bilang akan pergi ke mana?"

Bik Asrih menggeleng. Istri pertama tuannya itu memang tak pernah mengatakan akan pergi ke mana setiap keluar. Keluar masuk rumah ini sesukanya, dan kapan pun semaunya sendiri.

Diaz mengangguk, mengisyaratkan pada bik Asrih untuk pergi dan menutup pintu seSetelah wanita paruh baya itu berbalik.

"Apa itu surat perceraianmu dengan Kinan?" tanya Senja mengikuti langkah Diaz menuju walk in closet.

"Apa kau serius akan menceraikan Kinan?"

Diaz mendesah keras, "Aku sudah mengatakan padamu untuk tidak ikut campur urusanku dengan Kinan, Senja."

"Tapi..." Senja tak melanjutkan kalimatnya melihat raut tak terbantahkan milik Diaz. Ya, ia memang tak perlu ikut campur urusan Kinan dan Diaz lebih jauh lagi.



Thursday, 22 November 2018


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top