Part 27

Tears like Today

###

Part 27

###

Ebooknya Darius udah ada di google play, ya. Yang dari kemarin-kemarin udah nunggu langsung aja cari di sana. Jangan lupa kata kuncinya karospublisher trus scroll ke bawah sampai ketemu abang di sana.



###

"Sudah berapa kali mama mengingatkanmu, Diaz. Jangan membuat Senja tertekan. Kau tidak mau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan menimpanya, bukan?" Rea berbisik tajam pada putranya yang berdiri di sampingnya menunggu dokter memeriksa Senja. Menantunya itu masih tidak sadarkan diri. Putranya hanya terdiam, tampak semakin kusut di antara ekspresi kekhawatiran yang memenuhi wajah tersebut.

Tak lama dokter itu beranjak dari duduknya di pinggiran ranjang. Mengembalikam stetoskopnya ke dalam tas sambil mengisyaratkan pada kedua sosok di menunggu tak jauh dari tempatnya untuk keluar mengikuti dirinya.

"Apa ada yang serius, Richard?"

Richard menggelengkan kepalanya dengan senyum lembut, meskipun setelahnya ia malah menghela nafas. "Untuk sekarang menantu kakak baik-baik saja."

"Apa maksudnya untuk sekarang, Om?" sambar Diaz yang langsung bisa mencerna kalimat Richard dengan cepat. "Apa besok Senja tidak akan baik-baik saja?"

"Bukan itu maksud Om. Istrimu hanya sedang stres, Diaz. Mungkin dia terlalu banyak pikiran. Om sudah pernah mengatakannya padamu, bukan? Wanita hamil tidak boleh stres. Juga jangan biarkan tertekan oleh apa pun."

Diaz ingat kumpulan nasehat itu. Mamanya juga tak henti-hentinya memperingatkan jika mereka bertemu. Padahal mereka tinggal dalam satu atap. Dan bukan hanya sekali sehari saja keduanya bertatap muka. Diaz pun tak akan heran, mengingat jenis rumah tangga yang ia, Senja dan Kinan jalani. Seakan ketentraman dalam rumah tangganya adalah impian yang tak akan pernah bisa mereka capai.

"Apa ini ada hubungannya dengan istri pertamamu?" Richard bertanya, tangan kanannya berada di pundak Diaz bermaksud menenangkan keponakannya itu.

Diaz hanya terdiam. Ia tidak tahu bagaimana harus menjelaskan semua masalah ini pada pamannya itu. Sekalipun ia juga tak cukup dekat dengan suami adik dari papanya itu. Apalagi ada mamanya di sini.

"Jika Senja mengeluh kram atau mulas di perutnya, langsung bawa ke rumah sakit. Apalagi kalau sampai ada pendarahan. Untuk sementara Om tidak akan memberi obat apa pun. Biarkan dia istirahat dan buat dia setenang mungkin. Apa kau mengerti?"

Diaz hanya mengangguk pelan. Membiarkan  pamannya sekali lagi mengusap pundaknya dan berpamitan pada mamanya untuk pergi.

"Masalah apalagi ini, Diaz?" Diaz sudah tahu mamanya akan mencecarnya dengan berbagai macam pertanyaan begitu wanita itu membukakan pintu apartemen dan mendapati pamannya yang seorang dokter berdiri di depan pintu. Lalu menunggu dengan raut tak sabar dan penasarannya karena tidak mau mengganggu konsentrasi seorang dokter yang tengah memeriksa Senja. Ketika pamannya pergi, sudah pasti ia tidak akan selamat dengan meminta penjelasan yang terpampang di wajah cantik wanita itu.

"Senja pingsan dan bahkan mama tidak tahu sampai Richard datang kemari. Apa kau bertengkar dengan Senja?" Rea tak bisa menampik tentang hubungan buruk putra dan menantunya satu itu. Senja sudah berubah dan tidak lagi seceria ketika Adam masih hidup. Dan ia juga tak bisa menyalahkan rasa cinta yang berakar di hati putranya yang lain. Hatinya selalu berharap suatu saat hati Senja bisa terbuka untuk Diaz dengan hadirnya darah daging dalam rahim wanita itu. Tapi nyatanya hal itu juga tak memperbaiki hubungan rumah tangga Diaz dan Senja.

"Apa ini ada hubungannya dengan Kinan?" Rea mengajukan pertanyaan lainnya karena Diaz hanya diam mengabaikan pertanyaannya dan melangkah menuju sofa di ruang tengah. Putranya itu menyandarkan kepala di punggung sofa dengan raut lelah, muram dan penuh luka.

"Diaz!" Rea memanggil nama putranya yang masih membungkam. Lalu dia menghembuskan nafas secara perlahan sebelum mengambil tempat di sisi Diaz. Menggenggam kedua tangan putranya untuk menyalurkan kehangatan dan kelembutannya sebagai seorang ibu.

"Diaz tidak tahu lagi bagaimana harus menghadapi sikap Senja, Ma. Hampir setiap hari kami bertengkar."

Rea menangkup wajah Diaz dengan kedua tangannya. Wajah penuh keputus asaan yang begitu kental.

"Kenapa Adam melakukan ini padaku?"

"Adam hanya menginginkan yang terbaik untuk orang-orang yang dia sayang. Sama seperti dirimu."

"Senja membuat kami saling menyakiti satu sama lain."

"Setidaknya kau harus memahami posisi Senja, Diaz. Dia begitu mencintai Adam, mereka juga tengah berbahagia dengan kehadiran Aidan. Kemudian tiba-tiba kebahagiaannya di renggut tanpa persiapan apa-apa. Jika kau saja bisa seterpukul ini karena kehilangan Adam, lalu bagaimana dengan Senja yang hanya seorang wanita lemah?"

Bibir Diaz membeku tanpa mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Tentu saja pukulan itu akan lebih keras bagi wanita selemah dan serapuh Senja.

"Dia masih terluka. Masih ada sisa trauma yang memenuhi hatinya. Tentu saja ia akan melakukan apa pun demi mencegah hal itu terjadi untuk yang kedua kalinya. Itulah sebabnya ia mau menikah denganmu, karena Aidan. Karena ia tak ingin kehilangan Aidan."

"Jika kau begitu mencintainya, bersabarlah. Pegang tangannya dan bantu dia bangkit dengan perlahan. Dia butuh seseorang yang bisa di jadikan sandaran dan membantunya menyembuhkan luka. Kalian pasti bisa melewati ini semua. Mama yakin itu." Rea meremas bahu Diaz meyakinkan. "Adam pasti ingin yang terbaik untuk kalian berdua. Kau tahu dia sangat menyayangimu, bukan."

Mata Diaz terpejam. Sudut matanya mulai memanas menahan tangisan. Luka hatinya tak sebanding dengan penderitaan yang Senja alami. Dan di saat luka lamanya bahkan belum sembuh, Diaz sudah menambahkan luka lebih besar dengan memaksa pernikahan mereka pada wanita itu tanpa kekuatan untuk menolak. Ialah yang sudah menghancurkan Senja. Dan seharusnya ia bisa sedikit lebih bersabar menghadapi dan menunggu Senja.

"Mama akan ke bawah. Temani Senja dan bicaralah baik-baik," pesan Rea sambil menepuk bahu Diaz memberi semangat. Lalu berjalan meninggalkan Diaz.

***

"Apa kau mau minum?" Diaz membantu Senja duduk dan bersandar pada bantal di belakang punggungnya.

Jika bukan tubuh Senja yang terlalu lemah dan rasa haus yang terasa mencekik di tenggorokannya, ia tak akan sudi menerima bantuan dari Diaz.

Diaz meletakkan kembali gelas kosong yang isinya sudah di tenggak habis oleh Senja ke atas nakas. Kebisuan yang menyusul membuat Senja gerah. Diaz yang pendiam lebih membuatnya kesal di bandingkan pria itu yang suka memaksakan kehendaknya, karena dia akan dengan senang hati membalas dengan makian.

Ia begitu sakit hati, pernikahan mereka ternyata hanyalah kedok dari rasa sakit hati Diaz yang ingin diluapkan pada Kinan. Ini lebih menyakitkan daripada dirinya yang di paksa menikahi Diaz karena tanggung jawabnya atas perasaan pria itu. Atau paling tidak hanya sekedar Aidan tidak ingin mendapatkan sosok seorang ayah yang tidak jelas. Senja mengerutkan keningnya, sejak kapan ia peduli akan tujuan Diaz pada pernikahan mereka. Dan kenapa ia harus sakit hati dengan hubungan Kinan dan Diaz? Bukankah dialah yang menjadi orang ketiga dalam hubungan pernikahan Kinan dan Diaz?

"Apa kau lapar?" nada lembut dalam suara Diaz membuat pria itu berjengit. Pasalnya ia belum pernah bicara selembut -juga tatapan mata Diaz yang lebih hangat dari biasanya- itu pada Senja tanpa perdebatan yang sengit di antara keduanya.

Senja hanya menggeleng sebagai jawaban setelah beberapa saat sempat tertegun dengan nada dan cara bicara Diaz yang tak biasa.

"Apa kau ingin makan sesuatu?" suara Diaz masih selembut seperti sebelumnya. Dan malah membuat Senja semakin tak tahan. Apakah ini semua juga termasuk kebohongan pria itu?

"Aku ingin bercerai," kali ini Senja mata dingin Senja memandang wajah Diaz. Memperhatikan ekspresi wajah pria itu dengan seksama. Ia tak mau seterusnya di jadikan boneka akan pertengkaran Diaz dan Kinan.

"Kau harus banyak beristirahat dan tidak boleh terlalu lelah. Tidurlah." Diaz berusaha mengabaikan ucapan Senja. Memegang bahu Senja dan merebahkannya kembali, namun tepisan kasar tangan wanita itu membuat Diaz mendesah keras.

"Aku ingin bercerai, Diaz. Penderitaan sebesar apa lagi yang ingin kau berikan padaku?" teriak Senja.

"Kau tahu jawabannya, Senja. Aku tak akan pernah menceraikanmu. Apa lagi dengan anakku yang masih ada di dalam kandunganmu," Diaz berdiri dari duduknya. Ia tak bisa mengontrol emosinya lebih lama lagi, dan sebelum dirinya membuat Senja tertekan lebih baik ia membuat Senja bungkam, "Kecuali kau siap untuk kehilangan Aidan dan anak kita."

Senja muak akan ketidak berdayaannya dengan ancaman Diaz yang sama dan belum berubah. Jika pria itu melantunkan ancamannya hanya untuk membungkam mulutnya, maka pria itu berhasil.

"Jika kau pikir aku menikahimu karena aku ingin balas dendam pada Kinan, sebaiknya hilangkan jauh-jauh pikiran konyolmu itu. Masalahku dengan Kinan sama sekali tidak ada sangkut pautnya denganmu."

"Lalu kenapa kau ingin menceraikannya? Apa karena dia berselingkuh? Sejak kapan kau tahu dia berselingkuh? Apakah sebelum kita menikah?" pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulutnya meminta penuntasan akan rasa sakit di hatinya yang entah karena apa.

"Sejak awal pernikahan kami pun aku sudah tahu hubungannya dengan deretan kekasihnya. Bahkan Adam juga tahu dan memintaku menceraikannya." Diaz memperhatikan ekspresi terkejut di wajah Senja. Mulut Senja bahkan terbuka namun tak mampu bergerak untuk bersuara lagi. "Tapi, bukankah kau mengenal Kinan dengan baik akan obsesi wanita itu pada Adam? Dan aku sendiri punya alasan untuk tetap mempetahankan pernikahan kami. Dan itu bukan karena Adam atau kau." Diaz menekan kalimat terakhirnya saat Senja kembali ingin berkata-kata dengan segala prasangka yang tampak di wajahnya.

Senja tak tahu harus bereaksi seperti apa akan informasi tak terduga Diaz. Selama ini, dialah pihak yang paling tidak tahu apa-apa dengan hubungan mereka berempat. Dan ia merasa di bodohi oleh semua orang, termasuk Adam.

"Pernikahanku dengan Kinan hanya sebatas kertas yang kami tanda tangani. Tidak lebih tidak kurang."

"Lalu kenapa baru sekarang kau ingin menceraikannya?"

"Apa kau pikir masih ada yang tersisa di antara kami yang harus dipertahankan?" sinis Diaz pada Senja yang masih mempertanyakan hal semacam itu.

"Apa mama tahu kalau anak yang di kandung Kinan bukan anakmu?"

Diaz menggeleng, "Aku akan mencari waktu yang tepat."

"Apa kau yakin anak itu bukan anakmu?" sekali lagi Senja mengkonfirmasi.

Diaz mendesah keras sambil berdiri dari duduknya. Tak percaya Senja masih mempertanyakan hal itu setelah semua penjelasan panjang lebarnya tadi. "Jika kau tidak ingin aku mengganggumu, habiskan makanamu dan minumlah obatmu. Aku punya beberapa urusan di ruang kerjaku."

###

Monday, 12 November 2018

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top