Part 20


Tears like today

###

Part 20

###

"Setidaknya beri dia pakaian, Rea." ucap Darius gusar begitu kepalanya mendongak ke anak tangga dan melihat Senja muncul dari lantai dua dan dengan dres putih polosnya. Bahkan itu bukan gaun yang pantas untuk menghadiri sebuah acara pernikahan. Apalagi Senja sendiri yang akan menjadi pengantinnya di pernikahan ini.

Rea mengikuti arah pandangan suaminya. Wajahnya berubah muram dan langsung melemparkan tatapan tajamnya pada Diaz yang duduk di seberang mereka. "Apa kau tidak membelikannya gaun untuk pernikahan kalian?"

"Kami hanya butuh pengantin, cincin, pendeta dan saksi, Ma. Tidak masalah baju apa yang akan kami kenakan." jawab Diaz tenang. Ia tak membutuhkan pernikahan meriah seperti pernikahan Adam dan Senja. Lagipula, saksi yang datang juga tak sampai hitungan semua jemari tangan kanannya. Ia hanya butuh menikahi Senja secara sah.

Rea tertegun untuk sedetik dengan kata-kata Diaz. Lalu melirik sinis ke arah suaminya dan bergumam lirih, "Kenapa aku tak asing dengan kata-kata itu?"

Wajah Darius berubah pias dengan sindiran istrinya. "Setidaknya aku masih menyiapkan gaun yang pantas untuk pernikahan kita, bukan?" kilahnya.

Rea hanya membuang wajahnya dengan bantahan Darius. Lalu beranjak berdiri sambil berkata, "Kau memang benar-benar Darius junior, Diaz."

Diaz tak berkomentar apa pun. Bahkan ia juga sama sekali tak keberatan jika Senja mengenakan piyama tidurnya untuk acara pernikahan mereka.

Kedua tangan Senja bertaut dan saling meremas jemarinya begitu kakinya terangkat dari anak tangga terakhir yang di turuninya.

Sejak Rea mengetuk pintu kamar untuk membangunkannya dan menyuruhnya segera bersiap-siap. Sejak itu pula ingatannya masih berputar-putar menampilkan rekaman pernikahannya dengan Adam. Salah satu hari yang paling membahagiakan dari sekian banyak hari bahagianya hidup dengan Adam.

Dan sekarang...

Mimpi-mimpi buruknya baru saja di mulai. Tak akan ada lagi satu hari pun yang akan di jalaninya tanpa setetes air matanya.

"Senja, ikut Mama sebentar." Rea menghampiri Senja dan menarik tangan kanannya untuk mengikutinya. Senja pun hanya mengekor di belakangnya.

"Pakai ini." Rea mengeluarkan sebuah gaun beserta gantungannya dari dalam lemari dan menyerahkannya pada Senja yang malah balas menatapnya dengan wajah bengong.

Senja tercenung dengan kerutan yang membentuk di keningnya menatap gaun yang di sodorkan mertuanya untuknya. Ia mengamati gaun itu dari ujung ke ujung. Itu gaun selutut berpotongan sederhana, berwarna peach, tanpa tali dan berlipit dari dada sampai ke pinggul yang pasti akan menampakkan kulit leher dan bahunya yang telanjang. Dengan kelopak kelopak bunga mawar merah yang menghiasi bagian bawahnya, itu memang gaun yang cantik.

"Ini gaun pernikahan mama. Sepertinya ukurannya akan pas denganmu." tambah Rea lagi. Memindahkan gaun itu ke dalam kedua genggaman tangan Senja. 

Kepala Senja menunduk untuk menatap gaun itu sejenak dan kembali mendongak melihat wajah mertuanya tak bisa berkata-kata.

"Mama tahu kenapa kau tidak mau memakai gaun pernikahanmu dengan Adam. Dan sepertinya Diaz juga tak mau memaksakan kehendaknya lebih dari ini padamu. Jadi, pakailah ini agar kau tidak tampak semuram itu di hari pernikahanmu dengan Diaz. Mama tidak ingin menjadi saksi pernikahan seperti menghadiri acara pemakaman." Rea mendorong Senja menuju kamar mandi di kamarnya sebelum menantunya itu sanggup mengeluarkan kata-kata penolakan.

***

Selama beberapa detik Diaz terpaku menatap penampilan Senja yang baru saja keluar dari kamar mamanya. Ia tahu sejak pertama kali matanya menemukan Senja, wanita itu sangat cantik, dan wanita itu tak pernah kelihatan jelek sekali pun tak menggunakan polesan apa pun di wajahnya. Dan kali ini, ia tak bisa membuka mulutnya untuk meluapkan pujiannya. Wanita itu memang sangat cantik di matanya. Wanita paling cantik setelah mamanya. Karena dia sangat mencintai Senja, atau mungkin karena Senja akan menjadi pengantinnya yang membuat aura kecantikan wanita itu menjadi berkali-kali lipat.

Beginikah perasaan Adam ketika mendapati Senja mengenakan gaun pengantin di hari pernikahan mereka?

"Orang tua Senja sudah menunggu, Rea. Sebaiknya kita cepat berangkat." ucapan Darius begitu Rea dan Senja keluar dari kamar membuat Diaz mengerjap sekali. Lalu mengekor di belakang papanya menuju mobil yang sudah di siapkan di halaman.

Setelah butuh 20 menit perjalanan, pernikahan berlangsung begitu cepat. Di hadapan pendeta dan para saksi, Diaz mengucapkan janji pernikahannya juga dengan singkat, padat dan jelas. Tapi suaranya terdengar sangat yakin, kuat dan tegas. Lalu pendeta menyuruh Diaz dan Senja saling menukar cincin.

Diaz sempat tertegun selama beberapa detik ketika awalnya ia menarik jemari tangan Senja yang sebelah kiri. Wanita itu menggenggam jemarinya begitu erat dan kuat tak ingin melepaskan cincin pernikahannya dengan Adam jika sewaktu-waktu Diaz memaksa untuk melepaskannya dan menggantikan dengan cincin pria itu.

Tapi tidak seperti yang Senja duga, Diaz justru menarik tangan kanannya dan menyematkan cincin pernikahan mereka di jari manis sebelah kanan. Lalu mencium bibir Senja singkat setelah pendeta menyatakan bahwa mereka sudah sah menjadi seorang suami dan istri.

Senja hanya membeku saat bibir Diaz menyentuh bibirnya. Sama sekali tak ada niat untuk membalas ciuman tersebut. Wajah Diaz yang sama persis dengan wajah Adam membuat perutnya terasa di aduk-aduk oleh perasaan yang tak di mengerti dan tak mengenakkan. Akan tetapi satu hal yang ia tahu pasti, Diaz bukanlah Adam.

Ia masih membeku, ketika Diaz mengambil sertifikat pernikahan mereka dan menarik pinggangnya menghadap anggota keluarga yang menyaksikan pernikahan mereka. Hanya kedua orang tua dan mertuanya. Juga Kinan yang sudah mulai tampak bosan meskipun baru lima menit mendaratkan pantatnya di kursi.

Hanya senyum tipis yang bisa ia sunggingkan untuk membalas ucapan selamat mereka satu persatu. Dan pernikahan pun selesai hanya dalam hitungan menit. Tapi sanggup merubah kehidupannya untuk selamanya.

***

Bulan madu?

Ia sudah menolak gagasan mama mertuanya untuk pergi berbulan madu setelah pernikahan mereka. Ia tak mau meninggalkan Aidan seminggu penuh hanya untuk berlibur dengan suami baru sekaligus pria yang paling di bencinya itu. Dan sebagai gantinya, mama mertuanya itu memaksa bahwa setidaknya mereka harus menginap di hotel untuk menghabiskan malam pertamanya tanpa gangguan siapa pun.

Sudah lebih dari empat puluh ia hanya duduk termenung di sofa kamar hotel menatap pemandangan langit yang mulai beranjak malam. Diaz menyuruhnya naik ke kamar mereka terlebih dahulu karena harus bertemu dengan sekretarisnya di cafe yang ada di lantai satu hotel.

Ia hanya menoleh sekali saat sepuluh menit yang lalu Diaz menyusul masuk. Lalu terdengar langkah kaki menjauh dan pintu kamar mandi bergerak membuka dan tertutup. Suara gemericik air yang menandakan pria itu sedang membersihkan diri.

"Apa kau tidak ingin mandi dan melepas gaunmu?" pertanyaan Diaz membuat Senja mengalihkan matanya dari bintang-bintang yang mulai bermunculan di langit malam menghadap Diaz. Badan dan rambut pria itu masih basah. Membuat amarah melonjak di dadanya karena dengan begitu santainya pria itu melangkah mendekat hanya dengan handuk yang tersampir menutupi pinggang. Dan dengan tanpa malunya.

"Apa yang kau lakukan, Diaz?!" gertak Senja yang langsung beranjak dari duduknya.

Diaz menghentikan langkahnya, mengamati Senja yang beringsut menjauhinya. "Kurasa kau tahu apa artinya mama mengirim kita untuk menginap di kamar hotel."

"Kau tidak bisa menyentuhku." Senja menekan garis bibirnya.

Diaz tertawa sinis melihat raut penolakan yang ditunjukkan Senja bahkan sebelum ia melakukan apa pun. "Kau istriku."

"Aku terpaksa melakukan semua ini."

"Kalau begitu kau seharusnya sadar bahwa sekarang akulah yang memilikimu. Kau terima atau tidak, sekarang aku adalah suamimu dan kau adalah istriku."

"Aku benar-benar membencimu, Diaz." Senja harap kata-kata itu mampu membalaskan rasa sakit hatinya.

"Maka bencilah aku sesukamu." Diaz menggeram dan melangkah semakin dekat pada Senja. Tapi kali ini wanita itu sama sekali tak menggerakkan kakinya untuk menjauhinya.

Setetes air mata meluncur turun membasahi pipi Senja. Air mata keputus asaan akan satu-satunya usaha dan harapan yang berakhir sia-sia. Bahkan kebenciannya yang begitu mendalam sama sekali tak mampu menghentikan langkah Diaz. Dan seharusnya ia tak begitu bodoh untuk mempunyai harapan seperti itu.

"Menangislah sepuasmu, Senja. Kau tahu air mata itu tak akan menghentikanku." Diaz menangkup wajah  Senja dengan tangan kanannya. Mendongakkan kepala Senja untuk menatap wajahnya. "Dan setelahnya, kau tetap tak bisa menolak apa pun yang kuinginkan."

Senja ingin menghentikan air mata yang terus saja mengalir di pipinya seperti anak sungai. Ia tak ingin tampak begitu lemah di hadapan pria kejam semacam Diaz. Tapi dadanya yang begitu sesak oleh rasa sakit karena kalimat Diaz yang menghantamnya begitu keras membuat air mata itu mengalir semakin deras. Dan ia tak sanggup menahan rasa perih yang lebih menyakitkan daripada palu godam yang di pukulkan ke punggung. "Kau bisa memaksakan kehendakmu pada tubuhku, Diaz. Tapi hatiku, selamanya hanya akan menjadi milik Adam."

"Dan apa kau pikir aku akan merebut satu-satunya hal yang dimiliki saudaraku itu?" dengus Diaz tepat di wajah Senja. Hidungnya hampir saja menyentuh hidung wanita itu. "Hanya itu satu-satunya hal yang akan kubiarkan dimiliki Adam untuk selamanya."

Tak ada jeda waktu ketika Diaz menyelesaikan kalimatnya. Di saat berikutnya, bibirnya sudah melumat bibir Senja dengan tanpa paksaan karena wanita itu sama sekali tak meronta. Pasrah dan tak berdaya. Membiarkannya melepas gaun wanita itu dan membawanya ke atas ranjang yang hanya beberapa langkah dari tempat mereka berdiri.

***

Diaz terbangun karena rasa haus yang amat sangat di tenggorokannya. Tangannya meraba nakas di samping ranjang untuk meraih gelas berisi air putih. Sambil meneguk air putih tersebut pandangannya terarah ke sisi tempat tidur yang lain. Tempat seharusnya Senja berbaring dan tertidur.

Segera ia menyingkap selimut dan melupakan rasa hausnya. Membungkuk untuk mengambil celana pendeknya yang terjatuh di lantai dan sApa gera mengenakannya. Lalu melangkah ke pintu kamar mandi. Suara gemericik air menandakan keberadaan wanita itu.

Ia mengumpat dalam hati menyadari bahwa dirinya langsung tertidur setelah membiarkan Senja ke kamar mandi. Ia tahu wanita itu ingin menangis sendirian karena dia telah menyentuhnya. Tapi apa yang terjadi? Wanita itu belum keluar setelah satu jam lewat. Bersyukur rasa haus membangunkannya.

"Senjaa!!!" Diaz memutar handle pintu yang di kunci dari dalam dan langsung menggedornya. "Buka pintunya, Senja!!"

Rasa panik itu tiba-tiba datang menyergapnya. Sekuat tenaga ia menggedor pintu mengabaikan rasa sesak di dadanya. Perasaan ini sama ketika ia berlari menuju mobil yang terbalik. Menarik saudaranya dari himpitan besi-besi. Bau darah, bensin dan suara desis mesin yang semakin membuat dadanya berdenyut nyeri dan terbakar.

Tidak...

Ini tidak boleh terjadi lagi...

Tubuhnya terdorong ke depan ketika pintu tiba-tiba terbuka. Hampir saja ia menabrak wajah Senja begitu pintu di tarik dan menemukan wajah Senja.

Senja tercenung melihat wajah Diaz yang pucat pasi. Wajahnya putih seakan darah tersedot entah menghilang ke mana. Pria itu tampak panik menggedor-gedor pintu dengan sangat keras. Bahkan ia bisa membayangkan pintu kamar mandi itu akan terdobrak jika ia membuka pintunya sedetik lebih lama.

"Kenapa kau mengunci pintunya?" tanya Diaz di antara nafasnya yang terengah-engah. Masih berusaha mencari udara agar paru-parunya bisa bernafas dengan normal. "Aku memanggilmu berkali-kali."

"Aku sudah menjawab panggilanmu." kata Senja. Mengernyitkan dahinya melihat kepanikan yang rasanya terlalu berlebihan di wajah Diaz. Dan semakin terheran bagaimana Diaz tak mendengar jawaban dari panggilan pria itu. Padahal ia juga menjawabnya dengan suara yang cukup keras. Tidak mungkin Diaz tak mendengarnya.

Diaz mengerjapkan matanya dua kali. Mengamati wajah pucat Senja. Mata wanita itu bengkak sudah tentu karena tangisannya. Bibirnya yang membiru tampak gemetaran dengan rambut basah kuyupnya. Mungkin karena membiarkan tubuhnya di siram air dingin sejak masuk ke kamar mandi sampai sekarang. "Apa yang kau lakukan di kamar mandi selama ini?"

Senja tak menjawab. Mungkin satu jam lebih ia duduk di bawah guyuran air dingin shower. Menangis dan menggosok-gosok tubuhnya guna menghilangkan semua bekas sentuhan Diaz. Akan tetapi, hingga kulitnya memerah dan terasa perih karena gosokan, ia tetap tak bisa menghilangkan rasa jijik oleh sentuhan pria itu. Tak bisa menghilangkan perasaan karena telah mengkhianati Adam.

Diaz tahu wanita itu tak akan menjawab pertanyaannya. Maka ia menarik lengan atas Senja dan menggiring wanita itu ke atas ranjang. Senja sempat memberontak ketika ia mendorongnya untuk berbaring. Tapi begitu Diaz menutupi seluruh tubuh wanita itu dengan selimut tebal hingga ke dadanya, Senja menghentikan rontaannya.

Senja mengeratkan tali jubah mandinya dan berbaring miring saat Diaz melangkah memutari ranjang. Memeluk tubuhnya sendiri dan ingin melanjutkan tangisnya. Tapi ia tak ingin Diaz mendengar tangisannya. Tak ingin Diaz tahu kelemahan dan kerapuhannya.

Matanya hampir saja terpejam ketika sayup-sayup suara pintu kamar mereka di ketuk. Ia merasakan ranjang di belakangnya bergerak dan mendengar suara pintu terbuka.

"Apa kau sudah tidur?" Diaz menggoyang pelan pundak Senja.

Mata Senja terbuka dan berjingkat kaget menyadari tiba-tiba saja Diaz sudah duduk di sisi ranjang tempatnya meringkuk.

"Minumlah sebelum kau tidur." kata Diaz sambil menyodorkan cangkir berisi coklat hangat dengan tangan kanannya. Sedangkan tangan yang lain berniat membantu Senja terduduk yang langsung di tangkis oleh wanita itu.

"Aku tak membutuhkannya." kata Senja dingin. Menarik selimutnya semakin ke atas dan kembali memejamkan matanya.

Dengan lebih kuat, ia menarik lengan Senja hingga wanita itu terduduk. "Kau sudah memutuskan untuk pasrah dan menerima pada satu-satunya pilihan untuk tetap di bisa melihat Aidan tumbuh besar. Dan kau sudah bersikap sebagai istri yang penurut sejak aku menyentuhmu tadi. Maka jadilah penurut dan istri yang baik untuk selanjutnya."

Mata Senja kembali berkaca-kaca dengan paksaan Diaz. Tubuhnya memang menggigil kedinginan dan membutuhkan minuman itu untuk menghangatkannya.

"Atau kau ingin memilih cara yang lain untuk menghangatkan tubuhmu?"

Senja langsung merebut cangkir minuman tersebut dengan pertanyaan Diaz dan mulai menyesapnya. Rasa hangat langsung menjalar dari mulut ke tenggorokan dan perutnya. Perlahan memghangatkan tubuh dan memmbuatnya nyaman.

"Aku akan membiarkanmu menangis kapan pun kau mau hingga air matamu kering, Senja. Dan aku tak akan menghapusnya karena aku tahu kau tak akan mengijinkanku melakukan itu." kata Diaz begitu Senja menyelesaikan tegukan keduanya.

"Tapi yang perlu kau tahu adalah..." Diaz berhenti sejenak untuk mengamati manik Senja yang berkaca-kaca. "Bahwa air mata itu tak akan membuatmu lebih baik atau pun menghentikan langkahku."

***

"Mau ke mana kau?" Diaz menahan pergelangan tangan Senja ketika wanita itu berhasil menyingkap selimut mereka dan menginjakkan kedua kakinya di lantai.

Senja menoleh ke belakang. Ia mengira pria itu masih terlelap ketika terbangun. Gerakan perlahan-lahannya untuk terlepas dari pelukan Diaz sepertinya sia-sia karena sekarang pria itu menatapnya dengan mata terbuka lebar. Berbeda dengan keadaan rambut panjangnya yang berantakan sehabis bangun tidur tergerai di bahunya yang telanjang. Padahal sebelum mengangkat tangan kanan Diaz dari atas perutnya, ia sudah memastikan bahwa pria itu masih terlelap. "Aku akan ke kamar mandi. Ini sudah pagi."

Diaz menoleh ke arah jendela dan menyadari bahwa kamar mereka sudah terang benderang oleh sinar matahari pagi. "Sepuluh menit. Jika dalam sepuluh menit kau belum keluar. Kau tahu apa yang akan kulakukan."

Senja membelalak tak percaya dengan ancaman Diaz. Apakah bahkan Diaz juga akan menerapkan peraturan hanya untuk masuk ke kamar mandi. "Aku bisa mandi sesukaku, Diaz."

"Atau kau ingin aku menemanimu mandi?"

Senja menahan godaannya untuk menyemburkan umpatannya pada Diaz. Mengibaskan tangan Diaz dari pergelangan tangannya dengan kasar dan beranjak menuju ke kamar mandi dengan kaki yang di hentak-hentakkan ke lantai.

"Dan jangan kunci pintunya." ia masih bisa mendengar tambahan kata-kata Diaz  begitu pintu ia dorong tertutup. Tapi memangnya apa yang bisa pria itu lakukan dengan ancamannya sekarang? Ia hanya perlu memutar kunci pintu. Ia bisa mandi selama apa pun dan Diaz juga tak akan bisa masuk ke dalam.

Bunyi klik yang samar-samar tertangkap telinganya membuktikan bahwa Senja tak mengindahkan kata-kata terakhirnya. Jadi ia segera bangkit terduduk dan bersandar di kepala ranjang. Menatap jam di atas nakas untuk menunggu.

Ia tak main-main dengan kata-katanya tentang waktu sepuluh menit yang di berikannya pada Senja untuk mandi. Sepuluh menit waktu yang cukup untuk wanita itu mandi. Bahkan untuk menangis lagi.

Dan tepat sepuluh menit kemudian, ia turun dari atas ranjang karena tak ada tanda-tanda pintu kamar mandi tersebut akan terbuka. Akan tetapi belum sempat ia mengambil dua langkahnya, bel berbunyi memenuhi seluruh ruangan.

Diaz menoleh ke arah pintu dengan kening berkerut. Setahunya ia belum memesan sarapan pagi mereka pada petugas hotel. Mengabaikan keheranannya, ia memilih menggedor pintu kamar mandi daripada membukakan tamu atau siapa pun yang ada di luar sana. Mereka bisa menunggu. Tapi ia tak bisa menunggu untuk memastikan Senja tak melakukan sesuatu seperti tadi malam.

Tangannya baru terangkat akan memukul pintu kamar mandi ketika bunyi klik dari dalam menghentikannya. Lalu handle pintu terputar dan pintu membuka.

"Siapa yang datang?" tanya Senja. Sama sekali tak heran mendapati Diaz berdiri di depan pintu kamar mandi.

Diaz tak menjawab. Menurunkan tangannya dan berbalik pergi membukakan pintu untuk orang yang menekan bel kamar mereka.

Dan ia tak membutuhkan masalah lainnya lagi saat menemukan sosok yang berdiri di depan pintu kamar tersebut.

"Apa yang kau lakukan di sini, Nina?"


***


Ga ada edit jadi jangan heran kalau banyak typo.

Dan terima kasih banyak yang sudah rekomendasikan ceritanya buat author.

Monday, 26 March 2018


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top