Part 2
Tears like Today
###
Part 2
###
"Ini ... Ini benar-benar ..." Rea kehilangan kata-katanya. Kedua tangannya terangkat untuk mengusap wajah menunjukkan ketidak setujuan atas berita yang dibawa Diaz.
Baru seminggu yang lalu, Adam menikah. Sekarang dia digemparkan tentang kembarannya yang meminta akan menikah. Seminggu lagi.
Jika Adam yang minta ijin secara mendadak begini, Rea tidak akan ambil pusing. Dua tahun berpacaran dan saling mengenal pribadi masing-masing, hubungan Adam dan Senja memang sudah saatnya untuk masuk ke tahap yang lebih serius. Sedangkan Diaz, putranya satu ini tidak pernah serius menjalin hubungan dengan wanita mana pun. Berganti wanita seperti berganti pakaian.
"Saat Adam menikah, Mama bertanya kapan Diaz akan menyusul. Lalu sekarang, Diaz sudah ingin menikah tapi mama yang ..."
"Tapi wanita yang kamu bawa itu ..." Sekali lagi Rea kehilangan suara. Ya, ia memang yang paling antusias menyuruh anaknya satu ini menikah. Siapa tahu, penyakit playernya bisa sembuh jika sudah menikah.
Lalu, saat sebuah kemungkinan muncul di kepala Rea, ia tampak terkesiap dan napasnya sempat tertahan. Matanya membelalak penuh tuduhan pada Diaz. "Apa wanita itu hamil? Anakmu?"
Bahu Diaz meorosot ke sandaran sofa. Dengan memasang raut sakit hati, ia menggerutu, "Diaz memang suka bermain dengan para wanita, tapi tidak seburuk itu sampai menghamili wanita sebelum menikah."
Nafas Rea berhembus penuh kelegaan, meskipun matanya masih terlihat menyipit curiga. "Lalu?"
"Lalu apa?" tanya Diaz tak mengerti. Mamanya masih tak menunjukkan tanda-tanda akan menyetujui permintaannya untuk menikah. Membuat Diaz mendengkus sinis, teringat ketika Adam mengenalkan Senja pada keluarganya beberapa bulan yang lalu. Mamanya tampak sangat antusias tentang kapan hubungan mereka akan berlanjut ke jenjang yang lebih serius. Padahal saat itu, Papanya yang justru terang-terangan menolak Senja.
Namun sekarang, Papanya bahkan sama sekali tak menolak tentang wanita yang akan ia nikahi, dan malah Mamanya yang berganti menghalangi pernikahannya.
"Apa kamu merasa tertekan karena Mama terus menodongmu tentang pertanyaan kapan kamu menikah?" Suara Rea melembut.
Diaz menggeleng. "Diaz memang ingin menikah. Lagipula, bukankah Diaz memang harus melanjutkan hidup." Matanya melirik sejenak ke arah Senja, yang duduk di samping Adam di sofa seberang. Seringai tipis tersamar di bibir menyadari gerakan tak nyaman wanita itu.
"Apa maksudmu, Diaz?" Kali ini Darius yang bertanya dengan suara yang tegas dan dalam. Matanya menyipit penuh selidik.
Diaz menoleh ke arah kanan. Pada Darius yang duduk di sofa, berdampingan dengan Rea. "Maksud Diaz, bukankah Diaz juga harus menikah suatu saat nanti. Jadi apa bedanya Diaz menikah sekarang atau besok?"
"Masalahnya kami belum mengenal Kinan dengan baik," sela Rea. "Akan lebih masuk akal jika Nina yang menjadi calon istrimu."
"Ayolah, Ma. Kami hanya bersahabat. Hubungan kami tidak pernah seperti yang Mama kira."
Darius dan Rea hanya saling pandang. Cukup lama hingga Diaz berkata lagi, "Kalian akan mengenal Kinan lebih baik setelah kami menikah."
"Pernikahan bukan seperti berpacaran, Diaz. Saat kau bosan kau bisa memutuskan hubungan begitu saja." Kali ini Adam yang bersuara. Walaupun sampai saat ini masih bertanya-tanya alasan adiknya membawa wanita itu ke rumah ini. Tidak bisakah Diaz bersikap lebih dewasa sedikit saja? Diaz memang adiknya, tapi jarak umur mereka hanya beberapa menit saja. Bagaimana mungkin pola pikir pria itu masih jauh kekanak-kanakan seperti ini.
"Adam benar." Rea membenarkan.
Diaz mendesah kesal dengan keras. "Kenapa dengan kalian? Apa yang tidak kalian suka dari Kinan?" Kedua tangan kanannya terangkat dengan gerakan kasar. "Apa ada kriteria tertentu untuk jadi menantu keluarga ini? Atau apakah memilih istri harus dengan keputusan yang diambil berdasarkan suara terbanyak?"
"Memilih istri yang akan menghabiskan sisa hidup bersamamu juga bukan keputusan yang bisa diambil secepat ini, Diaz," sela Adam.
Diaz mendengkus. "Apakah aku harus menunggu sampai dua tahun berpacaran sebelum membawa wanitaku ke rumah?"
"Bukan itu maksud kami, Diaz." Rea berusaha menenangkan putranya. "Kami hanya terlalu terkejut karena tiba-tiba saja kau ingin menikah, secepat ini."
"Juga karena Mama tidak menyukai calon Diaz, bukan?" Diaz melanjutkan kalimat Rea dengan ketus. Mamanyalah pengambil keputusan di rumah ini. Dia atas raja, memang hanya ada seorang ratu, bukan? Dan papanya itu sudah terlanjur dibutakan oleh seorang Andrea Farick.
Jika Diaz menjadi papanya, ia juga akan dengan begitu mudah untuk mencintai mamanya. Berbeda dengan Adam yang begitu dekat dengan Darius, Diaz cenderung lebih lengket dengan Rea. Apa pun akan dia lakukan untuk wanita itu, begitu juga sebaliknya.
Diaz hanya perlu sedikit membujuk, berpura-pura kesal, sebelum semuanya berjalan dengan mulus dan sesuai rencananya.
"Ayolah, Ma. Apa yang kurang dari Kinan? Dia baik. Cantik juga. Yaahh ... walaupun memang tidak secantik Senja, tapi Kinan masih bisa dibilang cantik, kok." Sekali lagi Diaz melirik Senja, yang sama sekali tidak mengeluarkan suara sejak rapat keluarga ini dimulai. Wajah wanita itu memerah. Sudah jelas memendam kegeraman untuknya. Sedangkan Adam, saudaranya itu menatap tajam penuh peringatan padanya. Yang ia balas dengan cengiran muram.
"Cantik tidak mewakili segalanya, Diaz." Rea memberi pengertian lagi. Ada sedikit perasaan bersalah karena menolak keinginan Diaz. Entah kenapa, firasatnya tak membenarkan dirinya untuk menyetujui hal tersebut. "Apa kau mencintainya?"
"Hanya sedikit orang yang bisa mewujudkan impian dengan wanita yang dicintainya, Ma." Diaz mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Lalu, apa landasan pernikahan yang akan kalian jalani?"
"Tidak semua pernikahan harus dilandasi dengan sebuah cinta, bukan? Lagi pula, bukankah Mama pernah bilang, siapa tahu pernikahan bisa membuat Diaz berubah menjadi lebih baik. Jadi, apa sekarang salah, jika Diaz ingin berubah?"
Mulut Rea kali ini terkatup rapat. Diaz membalik kalimat itu padanya. Suasana mendadak dipenuhi keheningan. Tiba-tiba saja suara mereka tertelan kembali dengan alasan Diaz yang terdengar meyakinkan. Membuat mereka hanya saling pandang tanpa kata,
Sedangkan Diaz, pria itu menundukkan wajah. Tak lupa memasang wajah muram dan memastikan Rea melihat ekspresi itu, sebelum ia benar-benar menunduk letih.
"Apa kau serius ingin menikah dengannya?" Darius akhirnya memecah kesunyian yang tercipta di ruang keluarga itu.
Diaz mendongak menatap Darius dan mengangguk sebagai jawaban. Memastikan papanya memperhatikan harapan di manik matanya. Harapan yang lainnya.
"Bagaimana kalau setelah menikah kau tetap tak bisa berubah menjadi dewasa?"
"Kita tak akan pernah tahu hasilnya jika belum mencoba, bukan?"
Semua kembali diam. Masih tak menunjukkan persetujuaan untuk Diaz. Keheningan itu sempat bertahan hingga ke detik lima belas. Saat Diaz bersandar lemas ke punggung sofa dan berkata, "Baiklah, kalau kalian tidak setuju. Diaz tidak akan menikahi Kinan, kalau itu yang kalian inginkan."
Rea tak mungkin bisa mengabaikan tatapan kecewa yang terpancar di mata Diaz. Tak sampai hati melihat kekecewaan Diaz yang terasa seperti menampar wajahnya.
Sejak dulu, ialah yang menginginkan Diaz berubah. Lalu sekarang, setelah Diaz bertekad ingin berubah, malah....
"Baiklah, mama setuju," ucap Rea akhirnya. Tak bisa menahan diri meluncurkan kata-kata persetujuan yang diminta putranya.
Diaz menoleh. Ia sudah menyangka akhir keputusan yang akan diambil mama tersayangnya. Mengabaikan gerakan tak nyaman Adam dan Senja di seberang sana, ia menghampiri Rea dan memeluk tubuh mungil itu. Mencium pipi Rea di sisi kanan dan kiri dua kali.
"Aktingmu berlebihan, Diaz." Darius mendorong Diaz menjauh, mencoba memisahkan Rea dari pelukan putranya. Walaupun hanya sekejap saja, ia sempat terkejut dengan keputusan Rea. Lagi pula, jika istrinya sudah bertitah. Apalah daya semua orang di keluarga ini.
"Dan mama ingin kau tak main-main dengan semua ini," pesan Rea untuk terakhir kalinya.
Diaz tak menjawab, tak juga mengangguk, karena sejujurnya ia tak bisa menjanjikan hal itu.
Matanya menatap Senja. Memaku pandangan wanita itu dengan seringai tipis yang samar.
Awal kehidupan mereka baru saja dimulai.
***
"Apa maksudmu membawa wanita itu ke rumah ini, Diaz?" tanya Adam menghampiri Diaz yang duduk santai di set sofa yang ada di lantai dua. Saudaranya itu tampak sedang menikmati secangkir coklat hangat dan sepiring camilan sambil menonton acara televisi. Senja masih di bawah membantu mamanya membereskan makan malam mereka. Sengaja dia mendahului Senja untuk menemui Diaz di kamar, tapi karena di kamar pria itu tidak ada, tempat satu-satunya hanyalah ruang santai yang ada di samping kamarnya dan Senja. Karena tidak mungkin pria itu ada di perpustakaan ataupun ruang kerjanya.
"Aku tidak punya maksud apa pun, Adam. Aku hanya ingin menikah, dan dia kandidat terbaik untuk pernikahan macam apa yang akan kami jalani." Diaz meletakkan cangkirnya. Memungut kue cokelat dan melahapnya. Masih dengan gerakan santai dan penuh ketenangan.
"Dia tidak akan membuatmu berubah. Wanita itu bukan wanita yang tepat untukmu." Adam mendesis. Mendaratkan tubuhnya di sofa seberang Diaz.
"Ya, tapi dia satu-satunya wanita yang tidak menginginkanku."
"Apa kalian berdua memiliki kesepakatan?" Adam menatap penuh curiga.
Diaz tertawa dengan tatapan menuduh yang dilemparkan kepadanya. "Ayolah, Adam. Aku tidak selicik itu untuk menghancurkan rumah tanggamu."
"Aku percaya padamu, tapi dialah yang tidak bisa kupercaya."
"Kau bilang hanya Senja satu-satunya wanita yang kau cintai? Sudah seharusnya wanita mana pun tak akan bisa mengusikmu, bukan?"
Adam tak menjawab, karena memang tidak ada yang salah dengan kata-kata Diaz. Dia mencintai Senja, begitu juga sebaliknya.
"Senja tidak akan nyaman dengan keberadaan wanita itu." Adam bergumam pelan. Lebih kepada dirinya sendiri.
"Dia mencintaimu, Adam. Sudah pasti dia akan lebih mempercayaimu daripada siapa pun." Diaz menoleh membungkuk sedikit, mengambil cangkirnya lagi. Menyesapnya dengan perlahan menikmati setiap sesapannya, seakan mereka mengobrol ringan antar keluarga di sore hari. Berbanding terbalik dengan sikap tegang yang ditunjukkan kembarannya di seberang sana.
"Apa pun bisa saja terjadi, Diaz. Aku tidak mau kau membawa masalah dalam rumah tangga kami yang bahkan masih berumur seminggu."
"Yaahhh ...." Diaz mengangguk-anggukkan kepala, "Apa pun memang bisa saja terjadi, tapi jika kalian saling mempercayai, tidak akan ada yang bisa menggoyahkan pernikahan kalian, bukan?"
Mata Adam menelusuri ekspresi yang ditunjukkan Diaz padanya. "Kau sama sekali tidak berubah, Diaz. Aku tahu pernikahan ini tidak akan mengubahmu."
Diaz mendengkus sinis. Adam memang satu-satunya orang yang bisa membaca pikirannya dengan sangat cepat dan tepat. Tidak salah jika ada pepatah yang mengatakan saudara kembar itu mempunyai ikatan batin yang sangat kuat. "Itulah alasanku memilih Kinan. Dia tidak akan keberatan jika aku tidak bisa berubah, dan dia tidak akan keberatan kalaupun aku tidak bisa menghapus nama di dadaku."
Jemari Adam mengepal di atas pahanya. Tahu benar nama siapa yang ada di dada Diaz. Bagaimanapun kerasnya ia menekan rasa cemburu itu, tetap saja dirinya tak bisa melenyapkan dengan mudah.
Diaz melirik gerakan kaku pada jemari Adam yang terkepal. "Tenanglah, Adam. Sejak awal kita berdua tahu kemana arah cintaku ini akan mengarah. Kau tak bisa menghapusnya sama seperti kau tak bisa menghapus perasaanmu pada Senja."
"Ada batasan untuk semua hal, Diaz. Sudah seharusnya kau berusaha menghapus Senja dari hatimu sekarang."
"Apakah selama ini aku pernah melewati batasanku?"
Tidak, Adam menjawab dalam hati. Diaz memang tak pernah melakukan apa pun yang melewati batasan-batasan pria itu meskipun setengah mati mencintai kekasihnya. Yang sekarang sudah menjadi istrinya.
"Ayolah, Adam. Aku hanya tidak mau menanggung rasa bersalah karena tak bisa mencintai istriku sendiri. Lebih repot lagi jika wanita lain yang jelas-jelas menyimpan perasaan padaku. Hanya Kinan satu-satunya kandidat yang tidak akan repot-repot mengemis perasaan padaku."
"Apakah itu alasanmu tidak menerima Nina?"
"Dia satu-satunya wanita yang bisa mengerti aku. Hanya itu. Aku tidak mau melukainya. Kau tahu itu, bukan?"
"Ada cara yang lebih mudah tapi kau selalu memilih jalan yang lebih sulit, Diaz." Adam mengusap wajahnya sekali. Tak pernah habis pikir dengan jalan pilihan adiknya itu. Jika Diaz memang tidak mau melukai perasaan Nina, bukankah itu bisa dijadikan alasan untuk berusaha membuang perasaan Diaz pada Senja dan mencoba membalas perasaan Nina?
Diaz dan pemikirannya ....
Diaz hanya mengedikkan bahu sebagai jawaban untuk komentar Adam.
"Aku harap keputusanmu kali ini tidak akan membuat masalah atau penyesalan untukmu ke depan nanti." Adam bergumam lirih atas harapannya benar pada Diaz. Sungguh-sungguh berharap.
"Semoga." Diaz mengamini. Tak benar-benar berniat karena ia tak berjanji pernikahannya tidak akan membawa masalah. Kecuali tentang penyesalan, ia benar-benar berharap tak akan menyesali semua perbuatannya ini.
****
Repost
Monday, 26 August 2019
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top